• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV JUJURAN DALAM ADAT BANJAR DAN HUKUM

D. Analisis Penulis

Dari sahabat Abi Shirmah radiyallhu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alayhi wa sallam bersabda:

االله ىلص ِّ للََّا لو س َر َلاَق :َلاَق هنع االله ىضر َةَم ْر ِّص يِّبَأ ْنَع َو قَش اًمِّ لَس م قاَش ْنَم َو ,للهَا ه راَض اًمِّلْس م راَض ْنَم ملسو هيلع ) هَن سَح َو ُّيِّذِّم ْرِّ تلَا َو َد واَد و بَأ هَج َرْخَأ ( ِّهْيَلَع للََّا

Artinya : “Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberi kemudharatan kepadanya, barang siapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia” (H.r. Abu Dawud dan dihasankan oleh Imam At Tirmidzi).40

56

Tradisi Jujuran telah menjadi suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat suku Banjar. Sehingga sesuai dengan kaidah fikih,

ٌةَم كَح م ة َد اَعْلَا

Artinya: “ Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”41

Kaidah fikih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Maka ‘urf tidak demikian halnya. Kata ‘urf digunakan dengan memandang ada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak.42

Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Tidak bertentangan dengan syariat.

2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemaslahatan.

3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.

4. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah

Dari beberapa syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa jujuran masih dapat diterima menjadi suatu adat yang dapat dijadikan landasan hukum.

Kedua penulis menganalisis mengenai pengertian dari jujuran.

Meskipun jujuran sudah menjadi suatu adat, akan tetapi sebagian masyarakat Banjar, masih sering menyamakan antara mahar dengan jujuran. Menurut

41 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:

Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 114.

42 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 388.

analisis penulis hal ini disebabkan fungsi yang hampir sama yaitu pemberian dari pihak laki-laki ke pihak perempuan, serta kebanyakan mahar yang nanti akan disebutkan dalam akad di ambil dari pemberian jujuran.

Sehingga masyarakat berpendapat bahwa mahar dan jujuran itu sama.

Padahal mahar adalah syarat sah dari perkawinan sedangkan jujuran tidak.

Meskipun bukan merupakan syarat sah dari perkawinan, jujuran dalam masyarakat Banjar hampir mendekati suatu kewajiban.

Hal ini apabila tidak dilakukan, maka akan menimbulkan cemoohan, ejekan serta hinaan dari masyarakat, bahkan bisa memicu timbulnya suatu fitnah. Seperti pandangan masyarakat kepada calon mempelai wanita bahwa telah hamil diluar pernikahan yang sah.

Dalam pembahasan tentang metode penemuan hukum dengan pendekatan hukum (maqoshid syari’at) telah digambarkan, bahwa tujuan asy- syari’ dalam menetapkan hukum adalah semata-mata demi kemaslahatan hamba-hambanya, bukan untuk menyusahkan dan mempersulit mereka.

Oleh karena itu, baik melalui Al-Qur’an maupun hadis, asy-syari’ tidak pernah memerintahkan suatu perbuatan, kecuali karena didalam perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan, meskipun didalam perintah tersebut terkadang terdapat kesulitan yang dalam batas-batas kemampuan manusia untuk melaksanakan.

Berdasarkan prinsip inilah penulis mecoba menghubungkan antara praktik jujuran dengan suatu kaidah fikih yaitu,

ْلا ِّبْلَج ىَلَع ٌم دَق م ِّدِّساَفَمْلا ء ْرَد

ِّحِّلاَصَم

58

Artinya : “Menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih manfaat”.43

Kaidah ini maksudnya adalah berbenturan antara menghilangkan sebuah kemudhorotan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka di dahulukan menghilangkan kemadhorotan. Karena dengan menolak kemadhorotan berarti juga meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat.44

Jika penulis hubungkan antara jujuran dengan kaidah ini. Bahwa jujuran apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kemudharatan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu praktik jujuran di masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong tidak bertentangan dengan kaidah- kaidah fikih.

Ketiga penulis akan menganalisis mengenai praktik tawar-menawar serta menentukan harga dalam adat jujuran. Masyarakat adat Banjar di dalam menjalankan kebiasaan atau tradisi jujuran kebanyakan tidak merasa terbebani dan tidak menganggap bahwa jujuran itu adalah hal yang menyimpang dari hukum Islam. Sehingga hal ini sudah dianggap kebiasaan baik yang harus ditunaikan bagi pihak yang akan menikahi wanita Banjar. Sebagaimana pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada penentuan jumlah jujuran oleh pihak keluarga calon mempelai wanita.

Dalam penentuan jumlah jujuran, keluarga mempelai wanita tidak semena-mena dalam menetukan jumlah jujuran. Sebelum menentukan, mereka memperkirakan jumlah biaya yang nanti akan dikeluarkan untuk acara perkawinan. Serta melihat bagaimana latar belakang calon mempelai pria.

43 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:

Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 101.

44 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, h.

102.

Informasi tersebut didapat melalui pembicaraan kedua belah mempelai.

Nantinya akan di informasikan kepada keluarga wanita oleh si mempelai wanita itu sendiri. Bahwa si calon mempelai pria hanya mampu memberikan jujuran dalam jumlah tertentu. Apabila keluarga wanita menyetujui, makan akan ditentukan tanggal untuk menerima kedatangan pihak si calon mempelai pria.

Adapun ketika pada saat tanggal yang ditentukan, dimana keluarga si calon mempelai pria datang atau lebih dikenal oleh masyarakat Banjar dengan Badatangan. Keluarga mempelai wanita akan menentukan harga diatas yang ditentukan sebelumnya, dengan jumlah yang tidak terlalu tinggi dari jumlah yang dibicarakan sebelumnya.

Hal ini untuk melihat keseriusan dari keluarga pihak mempelai pria dan disinilah terjadi proses tawar menawar, bisa jadi jumlah jujuran akan lebih banyak dari jumlah yang telah dibicarakan oleh kedua mempelai sebelumnya, tetapi bisa juga sesuai dengan yang telah mereka bicarakan.

Hal utama yang terjadi pada saat tawar-menawar adalah bukan untuk menjual anak, akan tetapi untuk mencari kesepakatan agar terwujudnya rasa saling tolong-menolong diantara kedua keluarga. Hal ini masih diperbolehkan di dalam syariat Islam. Hal ini dapat digambarkan di dalam hadis sebagaimana berikut:

ٌنب ِّلْهَس ثْيِّدَح ِّل ْو س َر ىَلِّإ ةَأ َرْما ِّتَءاَج : َلَق هْنَع االله َي ِّض َر دْعَس

َكَل بَهَأ تْئ ِّج ِّاالله لو س َر اَي ْتَلاَقَف َم لَس َو ِّهْيَلَع االله ىلَص ِّاالله َرَظ نلا َد عَصَف َم لَس َو ِّهْيَلَع االله ى لَص ِّاالله لو س َر اَهْيَلِّإ َرَظَنَف يِّسْفَن وَص َو اَهيِّف ا مَلَف هَسْأ َر َم لَس َو ِّهْيَلَع االله ي لَص ِّاالله لو س َر َأَطْأَط م ث هَب

ْن ِّم ٌل ج َر َماَقَف ْتَسَلَج اًءْيَش اَهْيِّف ِّضْقَي ْمَل ه نَا ةَأ ْرَمْلا ِّتَأ َر

60

اَهْيِّنْج ِّ و َزَف ٌتَجاَح اَهِّب َكَل ْن كَي ْمَل ْنِّإ ِّاالله َلو س َر اَي َلاَقَف ِّهِّبَحْصًأ ْبَهْذا َلاَقَف ِّاالله لو س َر اَي ِّااللهوَ َل َلاَقَف ءْيَش ْنِّم َكَدْنِّع ْلَهَف َلاَق َف اَم ِّاالله َو َل َلَقَف َعَج َر م ث َبَهْذَف اًءْيَش د ِّجَت ْلَه ْر ظْناَف َكِّلْهَأ َلِّإ

َو ْر ظْنا َم لَس َو ِّهْيَلَع االله ي لَص ِّاالله لو س َر َلاَقَف اًءْيَش تْدَج َو ْوَل

اَهَلَف ٌءاَد ِّر هَل اَم ٌلْهَس َلاَق ي ِّرا َزِّإ اَذَه ْنِّكَل َو دْيِّدَح ْنِّم اًمِّتاَخ َك ِّرا َزِّإِّب عَنْصَت اَم َم لَس َو ِّهْيَلَع االله ى لَص ِّاالله لو س َر َلاَقَف ه فْصِّن َكْيَلَع هْتَسِّبَل ْنِّإ َو ٌءْيَش هْنِّم اَهْيَلَع ْن كَي ْمَل هَتْسِّبَل ْنِّإ ٌءْيَش هْنِّم

ِّاالله ى لَص ِّاالله لو س َر هآ َرَف َماَق ه سِّلْجَم َلاَط اَذِّإ ى تَح ل ج را َسَلَجَف َن ِّم َكَعَم اَذاَم َلاَق َءاَج ا مَلَف َيِّع دَف ِّهِّب َرَمَأَف اًيِّ ل َو م َم لَس َو ِّهْيَلَع َهَدَدَع اَذَك ة َرو س َو اَذَك ة َرو س َيِّعَم َلاَق ِّنآ ْر قلا ْنَع ن ه ؤ َرْقَت َلاَقَف ا

ِّنآ ْر قْلا َنِّم َكَعَم اَمِّب اَهَتْكِّ ل م ْدَقَف ْبَهْذا َلاَق ْمَعَن َلاَق َكِّبْلَق ِّرْهَظ

Artinya : “Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dia telah berkata: “ Pada suatu ketika seorang perempuan datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu. “ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya sambal mendongak kepadanya dan memperhatikan dengan teliti kemudian belaiau mengangguk- anggukan kepalanya. Ketika perempuan itu mendapati Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam diam tanpa memberi keputusan, perempuan itu segera duduk, lalu bangkitlah seorang sahabt dan berkata: “Wahai Rasulullah! Sekiranya engkau tidak ingin mengawininya kawinkanlah aku dengannya. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bertanya : ”Apakah kamu memiliki sesuatu yang dijadikan maskawin ? “Sahabat itu menjawab: “Tidakada” Beliau bersabda: “Pulanglah menemui keluargamu, mencari sesuatuyang bsa dijadikan maskawin.”

Lantas sahabat tersebut pulang, kemudian kembali menemui

45 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al- Ma’rifah. T.th), Juz 3, h. 232.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Demi Allah! Aku tidak mendapatkan apa-apa yang bisa dijadikan maskawin.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi: “Carilah walaupun sebentuk cincin besi.” Lalu sahabat tersebut pulang dan datang kembali serta berkata:

“Wahai Rasulullah! Demi Allah aku tidak mendapatkan apa-apa walaupun cincin besi, tetapi aku hanya memiliki kain ini, yaitu kain yang hanya bisa menutupi bagian bawah badanku (Sahl berkata: Sahabat ini tidak mempunyai pakaian yang menutup bagian atas badannya) karena yang separo sudah aku berikan kepada perempuan tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:”Apa yang bisa engkau perbuat dengan kainmu sekiranya sengkau memakai kain itu ? Apakah perempuan tersebut tidak dapat memakainya walaupun sedikit ? Apakah apabila dia memakai kain tersebut engkau tidak mempunyai apa-apa untuk dipakai?” Sahabat itu duduk terdiam sekian lama kemudian bangun lalu berjalan mondar-mandir kesana kemari.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tingkah sahabat tersebut. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya dia dipanggil. Setelah sahabat tersebut tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah kamu mempunyai Al-Qur’an?” Sahabat tersebut menjawab:

“Aku hafal surat ini dan surat itu.” Lalu sahabat tersebut menghitungnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Apakah engkau bisa membacanya secara hafalan?” Sahabat tersebut menjawab: “Ya!” Rasulullah berkata: “Pergilah! Engkau telah emilikinya berdasarkan maskawin berupa ayat atau surat Al-Qur’an yang engkau hafal.”

(H.r. al-Bukhari)

Hadis di atas menerangkan bahwa maskawin tidak harus berupa harta benda yang mahal. Mengajar Al-Qur’an atau sebuah cincin besi boleh dijadikan maskawin kalau memang tidak punya apa-apa. Apabila mampu, seyogyanya maskawin yang diberikan itu terdiri dari benda yang bermanfaat seperti emas, uang dan lain-lain. Semakin tinggi nilai manfaatnya, semakin baiklah maskawin tersebut.46

46 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih Bagian Munakahat dan Mu’amalat (Jakarta: Kencana, 2004), h. 44.

62

Keempat penulis akan menganalisis mengenai jujuran sebagai pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat Badatang.

Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian hadiah yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan selama proses Badatang, pada dasarnya merupakan hadiah. Hadiah-hadiah ini sangat dianjurkan dengan maksud untuk memperat tali silalturrahim. Akan tetapi jujuran tidak memiliki nilai jaminan apabila setelah jujuran diberikan pernikahan dibatalkan. Apabila kita padankan dengan istilah fikih, maka jujuran dapat diartikan dengan hadiah-hadiah khitbah. Ada beberapa pendapat fikih mengenai mengembalikan hadiah-hadiah khitbah:

Pertama, boleh memintanya kembali jika barangnya yang dihadiahkan masih ada dan utuh. Akan tetapi jika barangnya sudah rusak atau kualitasnya menurun, maka lelaki pengkhitbah tersebut tidak berhak meminta gantinya.

Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi.47

Kedua, tidak boleh memintanya kembali, meskipun pembatalan pertunangan dari pihak perempuan, kecuali ada syarat dan tradisi yang berlaku.

Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama madzhab Maliki.

Ketiga, hadiah boleh diminta kembali apapun bentuknya. Jika hadiah itu berupa barang yang masih utuh, maka barang itu diminta kembali. Jika barangnya rusak, maka diminta kembali nilai harga barang tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama madzhab Syafi’I dan Hambali. Bagi mereka, hadiah tidak sama dengan hibah, karena bagi mereka salah satu syarat hibah adalah tanpa imbalan. Peminang yang memberi hadiah dalam pertunangan, pada dasarnya mensyaratkan kekalnya akad. Jika akad itu tidak terlaksana, maka dia berhak memintanya kembali.

47 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjamah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 37.

Keempat, jika pembatalan pertunangan dari pihak peminang, maka dia tidak berhak untuk meminta kembali hadiah yang diberikannya. Jika pembatalan berasal dari pihak perempuan, maka peminang berhak memintanya kembali. Sebab, tujuan diberikannya hadiah itu belum terlaksana. Pendapat ini dikemukakan oleh Rafi’I dari kalangan madzhab Syafi’I, Ibnu Rasyid dari kalangan madzhab Maliki dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.48

48 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A’immah, Penerjamah Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh. Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 196.

64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:

1. Masyarakat Banjar di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan memahami bahwa jujuran dengan mahar itu berbeda. Walaupun sama-sama merupakan pemberian dari pihak laki-laki, akan tetapi mahar di katakan menjadi suatu keharusan yang diberikan dan diucapkan pada saat akad nikah. Sedangkan jujuran hanya pemberian yang merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam hal jumlah atau besaran jujuran dapat dipengaruhi strata sosial yang dimiliki oleh pihak keluarga mempelai wanita. Strata sosial disini tidak hanya berarti berasal dari keturunan kerajaan, tetapi bisa juga karena seorang wanita telah memilki pekerjaan yang layak, jabatan yang tinggi atau karena jenjang pendidikan yang telah dilalui. Telah terjadi beberapa pergeseran dimasyarakat mengenai jujuran. Yang seharusnya jujuran di jadikan sebagai media tolong menolong dan silturahmi. Bergeser menjadi ajang saling gengsi mengenai jumlah atau besaran nilai jujuran.

2. Makna filosofis yang terkandung dalam adat Banjar mengenai jujuran yaitu, adat tersebut berkaitan dengan prinsip tolong-menolong. Yang mana antara kedua belah pihak saling tolong-menolong dalam mempersiapkan kebutuhan dalam acara pernikahan. Selain itu jujuran juga sebagai media pengikat antara kedua belah pihak mempelai agar tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari orang lain. Namun hubungan kedua calon itu sendiri tetap sebagai orang asing yang diharamkan berduaan, berkhalwat atau hal-hal yang sejenisnya.

3. Integrasi hukum Islam dengan budaya jujuran adalah bahwa jujuran dengan ajaran Islam memiliki prinsip yang sama, yaitu prinsip tolong-menolong

dan memperpanjang tali silaturrahim. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pemisahan antara budaya dan agama, karena budaya (kearifan) lokal dapat terintegrasi dengan nilai-nilai atau semangat yang terkandung dalam Islam

B. Saran-saran

1. Bagi masyarakat, hendaknya berupaya tetap mempertahankan tradisi jujuran sebagai salah satu identitas kebangsaan yang mengandung norma kearifan lokal dan berusaha untuk lebih memahami hubungan antara tradisi jujuran dengan nilai-nilai ajaran Islam. Agar kiranya setiap perkembangan zaman dapat direspon dengan baik tanpa ada kesalahan-kesalahan yang menyimpang dari ajaran agama.

2. Bagi ilmuwan dan ulama, hendaknya memilki kewajiban untuk memberikan penjelasan mengenai nilai kearifan lokal yang terintegrasi dengan Islam, tanpa menghindari perkembangan zaman. Karena justru nilai-nilai utama filosofi dari tradisi jujuran seiring dengan semangat ajaran Al-Qur’an yang mendorong masyarakat untuk tetap mempertahankan dan menjalakan nilai-nilai ajarannya.

3. Bagi seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hendaknya agar lebih intens melakukan penelitian di bidang etnografis, untuk mengetahui bagaimana masyarakat tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai keislaman yang dikemas dalam tradisi-tradisi adat suatu daerah dan masih dipertahankan hingga saat ini,

66

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Adil Abdul Mun’im Abu. Az-Zawaj wa al-‘Alaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islam.

Penerjamah Gazi Said, Ketika Menikah Jadi Pilihan. Jakarta: Almahira, 2008.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Apeldoorn, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Permas, 1975.

Arfa, Faisar Ananda dan Wathi Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam Jakarta:

Prenadamedia Group, 2016.

As-San’ani Muhammad Ibnu Ismail. Subul as-Salam, Beirut: Dar al-Fikr. T.th.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta: Amzah, 2004.

Baihaqi, al-, Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali. Sunan Al-Kubra, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Bugha, al-, Musthafa. Diib At-Tadzhîb fî Adillat Al-Ghâyat wa At-Taqrîb Al-Masyhur bi Matan Abi Syujafi Al-Fiqh Asy-Syâfi’î, Penerjamah D.A Pakihsati. Fikih Islam Lengkap. Solo: Media Zikir, 2010.

Bukhari, al-, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari, Kairo: Darul Haisyim, 2003.

Bukhari, al-, Imam Hafids Abi Abdillah Ibn Ismail. Shahih Bukhari, Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998.

Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT BULAN BINTANG, 2005.

Madkur, Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wasit. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Mahalli, Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah. Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih Jakarta: Kencana, 2004.

Mahalli, al-, Jalaluddin bin Muhammad Tafsiir Al-Jalalain. Penerjamah Najib Junaedi, Tafsir Jalalain. Surabaya: Pustaka elBA, 2010.

Mochamad Rochman Firdian, “Tradisi “maantar jujuran” dalam perkawinan adat Banjar Kalimantan selatan perspektif hukum Islam dan sosiologi hukum.”

Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015.

Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al Authar. Penerjamah Amir Hamzah dan Asep Sefullah, Ringkasan Nailul Authar. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjamah Masykur A.B, Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff. Fiqih Lima Madzhab.

Jakarta: Lentera, 2010.

Muslim, Imam. Shohih Muslim, Beirut-Libanon: Darul Ma’rifah, 2007M/1428H.

Nasution, Rosramadhana. Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom:

Subaltern Perempuan Pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Nawawi, Hadari Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.

Sabiq , Ahmad bin Abdul Lathif, Kadah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, t.t:

Pustaka Al-Furqon, 2009.

Sabiq. Sayyid. ed, Fiqh Sunnah. Penerjamah Abdurrahim dan Masrukhin. Fikih Sunnah 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011

Saleh, Hasan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008.

Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid. Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Keputusan), Bandung:

Penerbit Alfabeta, T.th.

Shalih, Syaikh. Al-Fiqh al-Muyassar, Penerjamah Izzudin Karimi. Fikih dan Hukum Islam. Jakarta: Darul Haq, 2015.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbâh. Ciputat: Lentera Hati, 2000.

68

Sopyan, Yayan. Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, Ciputat, Buku Ajar, 2010.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkwinan, Jakarta: Kencana, 2007.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PRENADA MEDIA, 2006.

Utsaimin, al-, Syaikh Muhammad bin Shalih. Fiqh Imrotul Muslimah, Penerjamah Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani. Shahih Fiqih Wanita. Jakarta: Akbarmedia, 2009.

Utsaimin, al-‘, Syaikh Muhammad bin Shalih, Syarh Hilyah Thaalibil ‘Ilmi, Penerjamah Ahmad Sabiq. Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu. Jakarta:

Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2007.

Yanggo, Huzaemah T. (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta:

IIQ Press, 2011.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010.

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan , Jakarta : Prenadamedia Group, 2014.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar, Penerjamah Muhammad Afifi dan Abdul Hafidz. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira, 2010.

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjamah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani, 2011.

Artikel dan Wawancara

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabalong dalam Angka 2010, BPS Kabupaten Tabalong, 2010.

BAPPEDA dan BPS Kabupaten Tabalong, Monografi Kabupaten Tabalong 2009.

Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari http://tabalongkab.go.id/.

Profil Kabupaten Tabalong diakses pada 20 Desember 2017 dari tabalongkab.bps.go.id.

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jaelani (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Arif Rahman Hakim (Tokoh Agama), Tabalong 25 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Agus Sami (Tokoh Adat), Tabalong 27 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Aulia Rachman (Masyarakat), Tabalong 19 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Asnawati (Masyarakat), Tabalong 20 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Asnah Hudaya (Pegawai Kemenag Tabalong), Tabalong 21 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Robyani (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Zarkasi (Ketua Kelompok Pengawas Kemenag Tabalong), Tabalong 23 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Bahrul Amiq (Penghulu Kampung), Tabalong 17 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Hendra (Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Husni Thamrin (Tokoh Agama), Tabalong 23 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Misna Wati (Masyarakat), Tabalong 21 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Mustofa Inani (Ketua Bimbingan Masyarakat Islam), Tabalong 22 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Muhamad Rijani (Wakil Lurah Mabuun), Tabalong 22 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Noraianah (Tokoh Masyarakat), Tabalong 22 Januari 2018.

Wawancara Pribadi dengan Norma (Ketua RT), Tabalong 24 Januari 2018.

Dokumen terkait