• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbedaan Kualitas Tidur, Aktivitas Fisik, Asupan Energi dan

Dalam dokumen perbedaan kualitas tidur, aktivitas fisik (Halaman 56-64)

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5 Analisis Perbedaan Kualitas Tidur, Aktivitas Fisik, Asupan Energi dan

Program Studi Gizi Universitas Binawan

Program Studi Gizi Universitas Binawan Kualitas tidur yang buruk disebabakan oleh banyak faktor. Pada penelitian ini, sebagian besar subjek memiliki kebiasaan bermain gadget sebelum tidur dan menyelesaikan pekerjaan atau tugas hingga larut malam.

Sebagian subjek yang bekerja sebagai ibu rumah tangga masih memilik i anak bayi maupun balita sehingga mereka selalu terbangun dini hari dan setiap beberapa jam sekali setiap malam. Hal tersebut merupakan salah satu gangguan tidur yang berpengaruh pada kualitas tidur subjek. Rata-rata skor kualitas tidur pada subjek status gizi obesitas yaitu 7,38 (12±4) sedangkan pada subjek status gizi normal 6,40 (13±2).

Salah satu dari tujuh komponen untuk penilaian kualitas tidur adalah durasi tidur, sehingga durasi tidur yang kurang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang (Wijayanti, 2017). Durasi tidur yang kurang dapat berpengaruh terhadap asupan dan pengeluaran energi. Hal tersebut berkaitan dengan perubahan kadar hormon yaitu menurunnya hormon leptin dan meningkatkan hormon ghrelin. Menurunnya hormon leptin karena durasi tidur yang singkat menyebabkan seseorang sulit mengendalikan napsu makan dan menurunkan rangsangan pengeluaran energi.

Meningkatnya hormon ghrelin dapat menyebabkan meningkatnya selera makan sehingga penggunaan cadangan lemak menurun. Selain kedua hormon tersebut juga berkaitan dengan meningkatnya hormon kortisol pada sore dan malam hari, yang dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah sehingga menyebabkan peningkatan penimbunan lemak (Safitri, 2015).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Afriani et al (2019) yang dilakukan pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Hasil analisis menyatakan terdapat perbedaan kualitas tidur pada mahasiswi obesitas dan non obesitas dengan nilai p=0,003. Hal disebabkan karena mahasiswi obesitas banyak yang mengalami gangguan tidur seperti gangguan pernapasan (sleep apnea) yang ditandai dengan mendengkur, sulit bernafas, posisi tidur yang tidak nyaman. Selain itu mahaisiwi juga memiliki durasi tidur yang singkat disebabkan oleh tidur larut malan, menonton, bermain game dan juga gadget.

Program Studi Gizi Universitas Binawan 4.5.2. Perbedaan Aktivitas Fisik Subjek Status Gizi Normal Dan

Obesitas Di Wilayah Kelurahan Paseban

Hasil analisis perbedaan yang dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 10, didapatkan nilai p value sebesar 0,060 dimana hasil tersebut lebih dari dari 0,05 (p>α). Artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada aktivitas fisik antara subjek status gizi normal dan obesitas. Dilihat pada Tabel 8 hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar pada kedua kelompok subjek memiliki aktivitas fisik berat. Aktivitas fisik pada subjek penelitian di wilayah Kelurahan Paseban memiliki aktivitas yang hampir sama pada kedua kelompok subjek, yaitu aktivitas fisik yang berat. Aktivitas fisik berat lebih banyak terdapat pada subjek dengan status gizi normal, tetapi perbedaannya tidak terlalu jauh.

Namun secara statistic berdasarkan uji Mann-Whitneyy tidak berbeda nyata.

Hal tersebut dikarenakan setiap RT/RW pada kelurahan paseban selalu dilaksanakan senam bersama selama satu minggu sekali. Sebagian wilayah RW juga dekat dengan pasar sehingga banyak subjek yang bekerja sebagai pedagang maupun buruh di pasar. Selain itu sebagian besar subjek adalah ibu rumah tangga yang memiliki aktifitas rumah tangga yang tinggi dan selalu berulang setiap harinya seperti mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, serta mengurus dan menggendong anak. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar subjek memiliki aktivitas fisik yang berat karena melakukan senam kurang lebih selama dua jam setiap satu minggu sekali, mengangkat barang berat, serta melakukan pekerjaan rumah tangga yang berulang. Rata-rata aktivitas fisik subjek status gizi obesitas yaitu 2476,73 (8.648±200) sedangkan pada subjek status gizi normal 3070,22 (14.373±258).

Aktifitas fisik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan asupan dan pengeluaran zat gizi terutama sumber energi dalam tubuh (Supariasa et al, 2016). Aktivitas fisik yang kurang dapat berisiko terhadap berbagai macam penyakit salah satunya yaitu kegemukan atau obesitas. Aktivitas fisik yang ringan seperti aktivitas yang dilakukan saat waktu luang dapat menyebabkan pengeluaran energi yang

Program Studi Gizi Universitas Binawan digunakan untuk beraktivitas lebih sedikit dibandingkan dengan pemasukan energi yang dihasilkan dari asupan makan. Hal tersebut menyebabkan ketidak seimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar.

Sehingga dapat meningkatkan risiko obesitas karena dapat menyebabkan terjadinya penumpukan jaringan lemak pada tubuh (Elder., 2016). Aktivitas fisik berat yang dilakukan lebih dari 30 menit/hari dapat menurunkan 0,91cm lingkar perut dan dapat mencegah penumpukan lemak seiring dengan bertambahnya usia (Jakicic & Otto, 2005). Aktivitas fisik seseorang dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan dan pekerjaan (Amelia et al, 2019).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi

& Istianah 2018, yaitu diperoleh nilai (p=0,894) dimana hasil tersebut lebih besar dari ketentuan 0,05 (p>α). Hal tersebut berarti tidak terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan obesitas. Penelitian yang dilakukan pada pegawai Kantor Direktorat Poltekes Kemenkes Jakarta II terdapat 17 orang yang memiliki status gizi normal dan 32 orang memiliki status gizi lebih.

Pada subjek dengan status gizi normal terdapat 12 (35,3%) subjek dengan aktivitas fisik sedang dan 5 (33,3%) subjek dengan aktivitas fisik berat.

Sedangkan pada subjek dengan status gizi lebih, terdapat 22 (64,7%) subjek dengan aktivitas fisik sedang dan 10 (66,7%) subjek dengan aktivitas fisik berat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Christianto et al 2018, yaitu diperoleh nilai (p=0,18) dimana hasil tersebut lebih besar dari ketentuan 0,05 (p>α). Hal tersebut berarti tidak terdapat hubungan aktivitas fisik dengan obesitas. Penelitian yang dilakukan pada warga Desa Banjaroyo Yogyakarta ini terdapat 123 orang dengan BB lebih dan obesitas serta 113 orang dengan BB kurang dan normal. Pada subjek dengan BB kurang &

normal terdapat 14 (5,59%) memiliki aktivitas fisik sedang dan 99 (41,95% ) memiliki aktivitas fisik berat. Sedangkan pada subjek dengan BB lebih dan obesitas terdapat 23 (9,75%) memiliki aktivitas fisik sedang dan 100 (42,37%) memiliki aktivitas fisik berat.

Program Studi Gizi Universitas Binawan Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Suryadinata & Sukarno 2019, yaitu diperoleh nilai (p=0,025) dimana hasil tersebut lebih kecil dari ketentuan 0,05 (p<α). Artinya terdapat hubungan antara aktivitas fis ik dengan obesitas. Penelitian yang dilakukan pada masyarakat usia dewasa muda di kota Surabaya ini terdapat 97 orang subjek Obesitas dan 99 orang subjek non obesitas. Pada subjek obesitas terdapat 58 (59,8%) yang memiliki aktivitas fisik rendah, 37 (38,1%) memiliki aktivitas fisik sedang, dan 2 (0,21%) memiliki aktivitas fisik tinggi. Sedangkan pada subjek non obesitas terdapat 40 (40,4%) memiliki aktivitas fisik rendah, 56 (56,6% ) memiliki aktivitas fisik sedang, dan 3 (0,3%) memiliki aktivitas fisik berat.

4.5.3. Perbedaan Asupan Energi Dan Zat Gizi Makro Subjek Status Gizi Normal Dan Obesitas Di Wilayah Kelurahan Paseban

Hasil analisis perbedaan pada asupan energi yang dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 10, didapatkan nilai p value sebesar 0,533 dimana hasil tersebut lebih dari dari 0,05 (p>α).

Artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan energi antara subjek status gizi normal dan obesitas. Hal tersebut dapat disebabkan karena rata-rata asupan energi pada kedua kelompok subjek berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 9 yaitu sebagian besar subjek pada kedua kelompok memiliki asupan energi yang baik.

Energi merupakan zat gizi yang didapatkan dari hasil metabolisme zat gizi makro, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Energi merupakan zat yang sangat penting untuk beraktivitas, pertumbuhan dan pengaturan suhu serta melakukan metabolisme basal bagi manusia (Evans et al, 2015).

Kebutuhan energi setiap orang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kondisi khusus seperti ibu hamil dan menyusui. Untuk menentukan kebutuhan energi dapat diketahui melalui basal metabolic rate (BMR) atau disebut juga angka metabolisme basal (Almatsier, 2015). Apabila energi dikonsumsi secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan akan diubah menjadi lemak tubuh. Jika tidak ada pengeluaran energi yang cukup maka akan menyebabkan penumpukan

Program Studi Gizi Universitas Binawan lemak tubuh. Jika hal tersebut terjadi secara terus menerus akan berakiba t obesitas (Ells et al., 2019).

Menurut AKG 2019 kebutuhan energi pada laki-laki dewasa usia 19- 29 tahun dan 30-49 tahun yaitu sebesar 2650 kkal dan 2550 kkal. Sedangkan pada perempuan usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun sebesar 2250 kkal dan 2150 kkal. Rata-rata asupan energi dalam penelitian ini pada subjek status gizi obesitas yaitu 2290,23 kkal (1330,3±5482,1) sedangkan rata-rata asupan energi pada subjek status gizi normal yaitu 1811,83 kkal (1235,3±3108). Rata-rata asupan energi pada kedua kelompok subjek kurang dari kebutuhan energi berdasarkan AKG.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Simanoah et al (2022) pada mahasiswa baru FKM UNAIR menunjukan nilai p=0,670 yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan asupan energi dengan IMT. Hal tersebut disebabkan karena pada setiap kategori asupan energi kurang, cukup, baik, dan berlebih terdapat distribusi homogen, sehingga tidak menunjukan perbedaan yang signifikan pada hasil asupan energi.

Hasil analisis perbedaan pada asupan protein yang dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 8, didapatkan nilai p value sebesar 0,736 dimana hasil tersebut lebih dari dari 0,05 (p>α).

Artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan protein antara subjek status gizi normal dan obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 7 yaitu sebagian besar subjek pada kedua kelompok memiliki asupan protein yang baik. Protein merupakan zat pembangn yang berfungsi sebagai pembentuk jaringan-jaringan tubuh. Selain itu protein juga digunakan sebagai cadangan energi tubuh jika karbohidrat dan lemak tidak bisa memenuhi kebutuhan energi tubuh (Winarno, 2002).

Kebutuhan protein seseorang normalnya yaitu sebesar 10-15% dari kebutuhan energi total. Protein memiliki fungsi sebagai zat pembangun dan pemelihara sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2015). Jenis protein terdiri dari protein hewani dan protein nabati, protein hewani diperoleh dari daging, ikan, unggas, telur dll. Sedangkan protein nabati diperoleh dari kacang-kacangan, biji-bijian, dan produk olehannya (Hardinsyah &

Program Studi Gizi Universitas Binawan Supariasa et al, 2016). Menurut AKG 2019, kebutuhan protein pada laki- laki usia 19-29 tahun dan 30-49 adalah 65 gram, sedangkan pada perempuan usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 75 dan 70 gram. Rata-rata asupan protein pada penelitian ini pada subjek status gizi obesitas yaitu 83,24 g (45,3±173,5) sedangkan pada subjek status gizi normal 69,74 g (41,3±138,8). Rata-rata pada subjek status gizi obesitas melebihi kebutuhan protein berdasarkan AKG.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Loong et al 2013, Penelitian ini dilakukan pada wanita usia subur peserta JAMKESMAS di Puskesmas Wawonasa Kecamatan Singkil Manado. Terdapat 77 subjek yang terdiri dari 45 subjek tidak obesitas dan 32 subjek obesitas. pada asupan protein diperoleh nilai (P=0,602) dimana hasil tersebut lebih besar dari ketentuan 0,05 (p>α) yang artinya tidak terdapat hubungan asupan protein dengan obesitas. Asupan protein pada subjek non obesitas terdapat 36 (46,75% ) lebih dan 9 (11,69%) cukup dan kurang. Sedangkan asupan protein pada subjek obesitas terdapat 24 (31,15%) lebih dan 8 (10,41%) cukup dan kurang.

Hasil analisis perbedaan pada asupan lemak yang dilakukan dengan menggunakan uji Independent T-test dapat dilihat pada Tabel 8, didapatkan nilai p value sebesar 0,779 dimana hasil tersebut lebih dari dari 0,05 (p>α).

Artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan lemak antara subjek status gizi normal dan obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 7 yaitu sebagian besar subjek pada kedua kelompok memiliki asupan lemak yang berlebih. Asupan lemak harus dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Karena jika asupan lemak tidak adekuat dapat menyebabkan defisiensi asam lemak esensial serta menghambat zat gizi yang larut dalam lemak. Tetapi sebaliknya, jika asupan lemak yang dikonsumsi berlebihan dapat beresiko obesitas dan kemungkinan mengalami penyakit kardiovaskular di masa datang (Sasmito, 2013).

Kebutuhan lemak pada orang dewasa normalnya sebesar 20-35%

dari kebutuhan energi total (Hardinsyah & Supariasa et al, 2016). Asupan lemak harus dikonsumsi dalam jumlah yang cukup, jika berlebihan dapat

Program Studi Gizi Universitas Binawan merugikan, karena dapat menyebabkan penyakit kronis, hiperkolesterol, hiperlipidemia, penyumbatan pembuluh darah, dan lain-lain (Hidayat, 2018). Menurut AKG 2019, kebutuhan lemak pada laki-laki usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 75 gran dan 70 gram, sedangkan pada perempuan usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 65 dan 60 gram. Rata- rata asupan lemak dalam penelitian ini pada subjek obesitas yaitu 71,15 g (35,4±167,9) sedangkan pada subjek status gizi normal yaitu 62,48 g (26±153,4). Rata-rata asupan lemak pada subjek obesitas lebih tinggi dari subjek normal.

Pada asupan lemak penelitian ini sejalan dengan penelitian Loong et al 2013 yang dilakukan pada wanita usia subur peserta JAMKESMAS di Puskesmas Wawonasa Kecamatan Singkil Manado. Diperolah nilai (p=0,265) dimana hasil tersebut lebih besar dari ketentuan 0,05 (p>α) yang artinya tidak terdapat hubungan asupan lemak dengan obesitas. Asupan lemak pada subjek non obesitas terdapat 3 (3,9%) lebih dan 42 (54,53% ) cukup dan kurang. Sedangkan asupan lemak subjek obesitas terdapat 5 (6,5%) lebih dan 27 (35,06%) cukup dan kurang.

Hasil analisis perbedaan pada asupan karbohidrat yang dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 8, didapatkan nilai p value sebesar 0,014 dimana hasil tersebut kurang dari dari 0,05 (p>α). Artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada asupan karbohidrat antara subjek status gizi normal dan obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 7 yaitu sebagian besar subjek pada kedua kelompok memiliki asupan karbohidrat yang berbeda. Pada subjek status gizi normal sebagian besar asupan karbohidratnya defisit sedangkan pada kelompok subjek status gizi obesitas memiliki asupan karbohidrat yang baik.

Karbohidrat sebagai sumber utama energi untuk tubuh, glukosa pada karbohidrat akan mengalami proses glikolisis untuk menghasilkan energi.

Jika tubuh sudah mencukupi kebutuhan energi yang digunakan untuk proses metabolik, maka glukosa akan di simpan di hati, jaringan adiposa, dan jaringan otot dalam bentuk glikogen (Blüher, 2019). Karbohidrat terdiri dari

Program Studi Gizi Universitas Binawan karbohidrat kompleks dan karbohidrat sederhana, karbohidrat kompleks terdiri dari beras, jagung, gandum, roti, umbi-umbian, dan tepung-tepungan.

Fungsi dari karbohidrat kompleks adalah sebagai sumber serat makanan yang dapat membantu mengurangi kadar kolesterol darah dan memperlancar buang air besar. Sedangkan karbohidrat sederhana yaitu gula yang berfungsi sebagai sumber energi yang dapat langsung diserap oleh tubuh, sehingga lebih cepat menimbulkan rasa lapar (Almatsier, 2011)

Kebutuhan karbohidrat pada seseorang normalnya sebesar 55-75%

dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2016). Apabila kurangnya asupan karbohidrat sekitar 15% dari kalori yang ada dapat menyebabkan berat badan menurun dan kelaparan, sedangkan jika asupan berlebihan dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas (Hidayat, 2018).

Menurut AKG 2019, kebutuhan karbohidrat pada laki-laki usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 430 dan 415 gram, sedangkan pada perempuan usia 19-29 tahun dan 30-49 tahun adalah 360 dan 340 gram. Rata-rata asupan karbohidrat pada penelitian ini pada subjek obesitas yaitu 333,45 g (153,5±907,7) sedangkan pada subjek status gizi normal yaitu 244,93 g (137,8±524,3). Rata-rata asupan karbohidrat pada kedua kelompok subjek lebih kecil dari kebutuhan berdasarkan AKG.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitriani et al 2020, yaitu diperoleh nilai (p=0,044) dimana hasil tersebut lebih kecil dari ketentuan 0,05 (p<α) yang artinya terdapat hubungan asupan karbohidrat dengan status gizi. Asupan karbohidrat pada subjek dengan gizi normal sebesar 8 (36,4%) lebih dan 42 (60,9%) tidak lebih. Sedangkan asupan karbohidrat pada subjek gizi lebih sebesar 14 (63,6%) lebih dan 14 (23%) tidak lebih

Dalam dokumen perbedaan kualitas tidur, aktivitas fisik (Halaman 56-64)

Dokumen terkait