• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.6 Analisis Data

4.6.2 Analisis Spasial

Data kepadatan penduduk dan kasu DBD yang telah dianalisis berdasarkan kategori yang ditentukan, lalu melakukan analisis spasial untuk membuat peta gambaran spasial dengan teknik Simbologi warna menggunakan aplikasi Quantum GIS versi 3.12.0, sedangkan pada data variabilitas iklim menggunakan teknik Interpolasi metode Thiessen dengan membuat peta berdasarkan titik pada setiap stasiun. Data variabilitas iklim (curah hujan, suhu, kecepatan angin, dan kelembapan), dan kepadatan penduduk sehingga menghasilkan peta tingkat kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten.

Pembuatan peta dalam penelitian ini akan diberikan simbologi warna berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Peta pada bagian variabilitas iklim (suhu, curah hujan, kelembapan udara, dan kecepatan angin) setelah melakukan teknik Interpolasi dengan metode Thiessen akan diberikan warna merah terang untuk klasifikasi risiko tinggi, warna merah muda untuk klasifikasi risiko sedang, warna putih untuk klasifikasi Rendah.

35

Pada data kasus DBD dan akan mendapat warna dan batas warna berbeda. Peta bagian kasus DBD dikategorikan berdasarkan yang telah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan RI, yaitu IR<20 per 100.000 penduduk akan diberi warna putih untuk klasifikasi kejadian rendah, IR 20-55 per 100.000 penduduk akan diberikan warna merah muda untuk klasifikasi kejadian sedang, dan IR≥55 per 100.000 penduduk akan diberi warna merah untuk klasifikasi kejadian tinggi.

Peta bagian kepadatan penduduk akan diberikan warna berdasar kategori yang ditentukan, yaitu <2000 jiwa/km2 diberi warna putih untuk klasifikasi rendah, 2000-4000 jiwa/km2 diberi warna merah muda untuk klasifikasi sedang, dan >4000 jiwa/km2 diberi warna merah untuk klasifikasi tinggi. Setelah melakukan pemetaan pada data variabilitas iklim dan kepadatan penduduk, selanjutnya dilakukan pembuatan peta tingkat kerawanan kejadian DBD dengan menggunakan simbologi warna yaitu warna putih untuk tingkat kerawanan rendah, warna merah muda untuk tingkat kerawanan sedang, dan warna merah untuk tingkat kerawanan tinggi.

36 BAB V HASIL 4.7 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

4.7.1 Kondisi Geografis

Provinsi Banten merupakan bagian dari Negara Indonesia yang berada pada ujung Pulau Jawa. Berdasarkan posisi geografis, Provinsi Banten memiliki perbatasan Utara-Laut Jawa, Selatan-Samudera Hindia, Barat-Selat Sunda, Timur-Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Letak geografis provinsi Banten pada batas astronomi yaitu 105˚1’11’’ - 106 ˚7’12’’ Bujur Timur dan 5˚7’50’’ - 7˚1’1’’ Lintang Selatan. Peta administrasi Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut (BPS, 2019).

Gambar 0.1 Peta Administrasi Provinsi Banten

37

Gambar 5.1 di atas menunjukkan terdapat delapan kabupaten/kota yang terdiri dari empat kabupaten dan empat kota, yaitu:

1. Kabupaten Pandeglang 2. Kabupaten Lebak 3. Kabupaten Tangerang 4. Kabupaten Serang 5. Kota Tangerang 6. Kota Cilegon 7. Kota Serang

8. Kota Tangerang Selatan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun 2019 menjelaskan luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2), Kabupaten Lebak (3.426,56 km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2), Kabupaten Tangerang (1.011,86 km2), Kota Tangerang (153,93 km2), Kota Cilegon (175,50 km2), Kota Serang (266,71 km2), dan Kota Tangerang Selatan (147,19 km2). Provinsi Banten memiliki luas 9.662,92 km2 dengan Kabupaten Lebak menjadi kabupaten/kota luas terbesar dan Kota Tangerang Selatan menjadi kabupaten/kota luas terkecil (BPS, 2019).

4.7.2 Kependudukan

Laporan Banten Dalam Angka tahun 2019 menjelaskan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Banten tahun 2019 sebanyak 12.927.316 jiwa yang terdiri dari 6.583.895 jiwa laki-laki dan 6.343.421 jiwa

38

perempuan. Provinsi Banten memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.388 jiwa/km2 pada tahun 2019 dengan Kota Tangerang menjadi kabupaten/kota yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu sebesar 14.486 jiwa/km2, sedangkan Kabupaten Lebak menjadi kabupaten/kota yang memiliki kepadatan terendah yaitu sebesar 380 jiwa/km2.

Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Banten dari 2010 hingga 2019 sebesar 2,14% dengan kota Tangerang Selatan menjadi kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan penduduk terbesar yaitu sebesar 3,36% dan kabupaten Pandeglang menjadi kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan terkecil sebesar 0,54% (BPS, 2019)

4.8 Hasil Analisis

4.8.1 Gambaran Distribusi Spasial Penyakit DBD di Banten 2015-2019 Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Banten masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang harus diperhatikan.

Hal ini dapat dilihat pada kasus DBD yang selalu mengalami fluktuasi.

Jumlah kejadian DBD diperoleh berdasarkan laporan pencatatan kasus dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Berikut jumlah kejadian DBD di Provinsi Banten tahun 2015-2019.

39

Grafik 0.1 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD (Insidence Rate) Berdasarkan Kabupaten/Kota Penduduk di Provinsi Banten Tahun

2015-2019

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Grafik di atas menjelaskan bahwa kejadian DBD berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Namun, terdapat kabupaten/kota yang selalu tinggi kejadian DBD yaitu Kota Cilegon (IR 144,14 per 100.000 penduduk) pada tahun 2015. Sedangkan, kejadian DBD yang paling rendah yaitu Kabupaten Lebak (IR 1,16 per 100.000 penduduk) pada tahun 2017.

0 20 40 60 80 100 120 140 160

2015 2016 2017 2018 2019

40

Gambar 5.2 Peta Distribusi Kejadian DBD (Insidence Rate) Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

41

Gambar 5.2 menjelaskan peta distribusi penyakit DBD berdasarkan derajat masalah di Provinsi Banten periode 2015-2019.

Pada tahun 2015, diketahui terdapat kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi IR tinggi yaitu Kota Cilegon. Terdapat kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi IR tinggi pada tahun 2016 di provinsi Banten yaitu Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak.

Tahun 2017 hanya dua kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi IR sedang yaitu Kabupaten Serang dan Kota Cilegon. Kabupaten/kota di provinsi Banten pada tahun 2018 hanya Kota Cilegon yang memiliki klasifikasi IR sedang. Pada tahun 2019 terdapat kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi IR tinggi yaitu kota Cilegon. Pada peta distribusi kejadian DBD berdasarkan IR di Provinsi Banten dapat menunjukkan bahwa tahun 2016 kejadian DBD di Provinsi Banten memiliki kejadian paling tinggi. Hal tersebut membuat Kota Cilegon memiliki konsistensi di klasifikasi IR sedang dan tinggi dalam periode 2015-2019.

4.8.2 Gambaran Distribusi Spasial Kepadatan Penduduk di Banten 2015-2019

Kepadatan penduduk di Provinsi Banten dalam periode 2015- 2019 dapat dilihat pada hasil analisis berupa peta distribusi spasial sebagai berikut.

42

Gambar 0.2 Peta Distibusi Kepadatan Penduduk di Provinsi Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar 5.3 di atas merupakan peta distribusi spasial kepadatan penduduk berdasarkan klasifikasi di Provinsi Banten periode 2015- 2019. Periode 2015-2019 terdapat konsistensi dimana dua kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi padat, yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Sedangkan, kabupaten/kota yang memiliki

43

klasifikasi kepadatan penduduk tidak padat yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang.

4.8.3 Gambaran Distribusi Spasial Variabilitas Iklim di Banten 2015- 2019

1. Curah Hujan

Grafik 0.2 Perbandingan Curah Hujan dan Kejadian DBD di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.3 menjelaskan curah hujan di Provinsi Banten periode 2015-2019. Curah hujan mengalami penurunan setiap tahunnya dan adanya penurunan tersebut diikuti oleh kejadian DBD dari tahun 2016-2018, akan tetapi kejadian DBD kembali mengalami kenaikan di tahun berikutnya. Total curah hujan tertinggi terdapat di tahun 2015 sebesar 15.780,8 mm dan curah hujan paling rendah terdapat di tahun 2019 sebesar 8246,8 mm.

Peta distribusi curah hujan di Provinsi Banten disajikan pada Gambar 5.3 berikut.

9089,2

15780,8

14377,6

9457,5

8246,8

29,05 49,15 10,92 8,06 22,57

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000

2015 2016 2017 2018 2019

Curah Hujan Kasus DBD

44

Gambar 0.3 Peta Distibusi Curah Hujan di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar tersebut menunjukkan seluruh stasiun BMKG yang tersebar di Provinsi Banten pada tahun 2015 dan 2019

45

mengumpulkan angka curah hujan di seluruh wilayah Provinsi Banten sehingga berada dalam klasifikasi curah hujan rendah (<2000 mm). Tahun 2016 seluruh stasiun BMKG yang mengumpulkan angka curah hujan sehingga hampir seluruh wilayah stasiun BMKG berada dalam klasifikasi sedang (2000-3000 mm). Namun, terdapat satu stasiun yang berada dalam klasifikasi tinggi (>3000 mm) yaitu Balai Besar MKG Wilayah II yang mencakup sebagian Kota Tangerang Selatan.

Selanjutnya tahun 2017, diketahui angka curah hujan di stasiun Meteorologi Curug yang mencakup wilayah Kabupaten Lebak dan sebagian Kabupaten Tangerang berada dalam klasifikasi tinggi (>3000 mm). Sedangkan, pada tahun 2018 terdapat perubahan klasifikasi dari tinggi ke sedang yaitu stasiun Meteorologi Curug dan perubahan dari klasifikasi sedang ke rendah yaitu stasiun Balai Besar MKG Wilayah II yang mencakup sebagian Kota Tangerang Selatan dan Meteorologi Pondok Betung mencakup sebagian wilayah Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang.

2. Kecepatan Angin

Grafik 5.3 menampilkan perbandingan rata-rata kecepatan angin dan kejadian DBD di Provinsi Banten periode 2015-2019.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa kecepatan angin di Provinsi Banten mengalami fluktuasi pada tahun 2015-2016 dan mulai menurun berturut-turut pada tahun 2017-2019, lalu terdapat penurunan kejadian DBD berdasarkan IR pada tahun 2016-2018.

46

Nilai kecepatan angin tertinggi terdapat pada tahun 2017 sebesar 4,58 knot dan nilai terendah terdapat pada tahun 2016 sebesar 3,66 knot.

Grafik 0.3 Perbandingan Rata-Rata Kecepatan Angin dan Kasus DBD di Banten Tahun 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Seluruh stasiun BMKG yang tersebar di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengumpulkan angka kecepatan angin di seluruh wilayah Provinsi Banten. Namun, tahun 2015 dan 2016 seluruh wilayah stasiun BMKG masing-masing memiliki kategori kecepatan angin Light Air (1-6 knot).

Terdapat dua stasiun BMKG dengan kategori Gentle Breeze pada 2017 dan 2018 yaitu Geofisika Tangerang yang mencakup wilayah sebagian Kota Tangerang dan sebagian Kabupaten Tangerang dan Klimatologi Pondok Betung yang mencakup wilayah sebagian kota Tangerang Selatan dan sebagian Kota Tangerang.

Kemudian, hanya terdapat satu wilayah stasiun dengan kategori

3,75 3,66 4,58 4,33 4,18

29,05

49,15

10,92

8,06

22,57

0 10 20 30 40 50 60

2015 2016 2017 2018 2019

Kecepatan Angin Kasus DBD

47

kecepatan angin Gentle Breeze (7-10 knot) pada 2019 yaitu Klimatologi Pondok Betung. Peta distribusi kecepatan angin di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut.

48

Gambar 0.4 Peta Kecepatan Angin Berdasarkan Stasiun BMKG di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

49 3. Kelembapan Udara

Grafik 0.4 Perbandingan Rata-Rata Kelembapan Udara dan Kasus DBD di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.5 menjelaskan bahwa angka kelembapan udara di Provinsi Banten tertinggi pada tahun 2016 sebesar 82% dan rendah pada tahun 2015 dan 2019 sebesar 77%. Adanya pola naik-turun dari kelembapan udara juga diikuti oleh kasus DBD dari tahun 2015- 2018. Distribusi spasial kelembapan udara di Banten tahun 2015- 2019 disajikan pada Gambar 5.6.

77 82 80 79 77

29,05

49,15

10,92 8,06

22,57

0 20 40 60 80 100 120 140

2015 2016 2017 2018 2019

Kelembaban Udara Kasus DBD

50

Gambar 0.6 Peta Distribusi Kelembapan Udara di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar 5.6 menunjukkan seluruh stasiun BMKG yang tersebar di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengumpulkan

51

persentase kelembapan udara memiliki klasifikasi hampir seluruh wilayah Provinsi Banten berada dalam klasifikasi kelembapan udara tinggi (>70%). Namun, pada tahun 2015 terdapat stasiun BBMKG wilayah II mencakup wilayah sebagian Kota Tangerang Selatan mengumpulkan persentase kelembapan udara mendapatkan klasifikasi kelembapan udara berada dalam klasifikasi sedang (40- 70%).

4. Suhu

Grafik 0.5 Perbandingan Rata-Rata Suhu dan Kasus DBD di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Grafik 5.5 menunjukkan rata-rata suhu di Provinsi Banten tertinggi pada tahun 2016 sebesar 28,01˚C dan rendah pada tahun 2015 dan 2017 sebesar 27,57˚C. Adanya pola naik-turun dari suhu juga diikuti oleh kasus DBD dari tahun 2015-2017. Peta distribusi suhu di Provinsi Banten disajikan pada Gambar 5.7 berikut.

27,58 28,01 27,57 27,71 27,92

29,05

49,15

10,92

8,06

22,57

0 10 20 30 40 50 60

2015 2016 2017 2018 2019

Suhu Kasus DBD

52

Gambar 0.6 Peta Distibusi Suhu di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

53

Gambar 5.6 menunjukkan bahwa seluruh stasiun BMKG yang tersebar di Provinsi Banten periode 2015-2019 mengumpulkan angka suhu yang ada dan menghasilkan seluruh wilayah Provinsi Banten berada dalam suhu tinggi (>22˚C). Namun, jika melihat rata-rata suhu setiap wilayah stasiun BMKG di Provinsi Banten diketahui wilayah BBMKG II dengan rata-rata suhu tertinggi sebesar 29,9˚C pada tahun 2016 dan rata-rata suhu terendah terdapat pada stasiun BMKG yaitu Meterologi Curug yang mencakup wilayah sebagian Kabupaten Lebak, sebagian Kabupaten Serang, dan sebagian Kabupaten Tangerang dengan rata-rata suhu sebesar 26,7˚C pada tahun 2015.

4.8.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019

Peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten periode 2015- 2019 ditentukan oleh pengelompokan dan pemberian skor pada setiap variabel yang tersedia. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.

Tabel 0.1 Skoring

Variabel Pengelompokan Skoring

Kepadatan Penduduk

1. <2000 Jiwa/km2 2. 2000-4000 Jiwa/km2 3. >4000 Jiwa/km2

1 2 3 Curah Hujan

1. Rendah (<2000 mm) 2. Menengah (2000-3000 mm) 3. Tinggi (>3000 mm)

1 2 3 Kecepatan Angin

1. Calm (<1 knot) 2. Light Air (1-6 knot) 3. Gentle Breeze (7-10 knot)

3 2 1 Kelembapan Udara

1. Rendah (<40%) 2. Sedang (40-70%) 3. Tinggi (>70%)

1 2 3 Suhu

1. Dingin (<11˚C) 2. Sedang (11-22 ˚C) 3. Panas (>22 ˚C)

1 2 3 Tabel 5.1 menjelaskan penggunaan skoring dan akan dilanjutkan dengan penjumlahan skor pada masing-masing variabel

54

tersebut untuk menghasilkan peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten tahun 2015-2019. Hasil penjumlahan skor pada setiap variabel tersebut kemudian didapatkan hasil skor akhir berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hasil skor dibagi menjadi tiga kategori yaitu nilai kurang dari 11 (tingkat kerawanan rendah), nilai 11 sampai dengan 12 (tingkat kerawanan sedang), dan nilai lebih dari 12 (tingkat kerawanan tinggi). Pemberian kelas tersebut dapat menghasilkan peta kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten tahun 2015-2019. Hasil penjumlahan skor disajikan pada Tabel 5.2, 5.3, 5.4, 5.5, dan 5.6, serta peta kerawanan disajikan pada Gambar 5.8 di halaman berikut.

55

Tabel 0.2 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2015 Kabupaten/Kota

Variabel

Skor Kepadatan

Penduduk Curah Hujan Kecepatan Angin

Kelembapan

Udara Suhu

Kota Tangerang Selatan 3 1 2 2 3 11

Kota Tangerang 3 1 2 3 3 12

Kota Cilegon 2 1 2 3 3 12

Kota Serang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Tangerang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Lebak 1 1 2 3 3 10

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 0.3 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2016

Kabupaten/Kota

Variabel

Skor Kepadatan

Penduduk Curah Hujan Kecepatan Angin

Kelembapan

Udara Suhu

Kota Tangerang Selatan 3 3 2 3 3 14

Kota Tangerang 3 2 2 3 3 13

Kota Cilegon 2 2 2 3 3 12

Kota Serang 2 2 2 3 3 12

Kabupaten Pandeglang 1 2 2 3 3 11

Kabupaten Serang 1 2 2 3 3 11

Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12

Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

56

Tabel 0.4 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2017

Kabupaten/Kota

Variabel

Skoring Kepadatan

Penduduk Curah Hujan Kecepatan Angin

Kelembapan

Udara Suhu

Kota Tangerang Selatan 3 2 1 3 3 12

Kota Tangerang 3 1 1 3 3 11

Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11

Kota Serang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12

Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 0.5 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2018 Kabupaten/Kota

Variabel

Skoring Kepadatan

Penduduk Curah Hujan Kecepatan Angin

Kelembapan

Udara Suhu

Kota Tangerang Selatan 3 1 1 3 3 11

Kota Tangerang 3 1 1 3 3 11

Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11

Kota Serang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Tangerang 2 2 2 3 3 12

Kabupaten Lebak 1 2 2 3 3 11

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

57

Tabel 0.6 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun 2019

Kabupaten/Kota

Variabel

Skoring Kepadatan

Penduduk Curah Hujan Kecepatan Angin

Kelembapan

Udara Suhu

Kota Tangerang Selatan 3 1 1 3 3 11

Kota Tangerang 3 1 2 3 3 12

Kota Cilegon 2 1 2 3 3 11

Kota Serang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Pandeglang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Serang 1 1 2 3 3 10

Kabupaten Tangerang 2 1 2 3 3 11

Kabupaten Lebak 1 1 2 3 3 10

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Tabel 5.7 Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Provinsi Banten Tahun 2015-2019

No. Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019

1. Kota Tangerang Selatan Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang

2. Kota Tangerang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang

3. Kota Cilegon Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

4. Kota Serang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

5. Kabupaten Pandeglang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah

6. Kabupaten Serang Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah

7. Kabupaten Tangerang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

8. Kabupaten Lebak Rendah Sedang Sedang Sedang Rendah

58

Gambar 0.7 Peta Kerawanan Penyakit DBD di Banten 2015-2019

Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder

Gambar 5.7 menunjukkan kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memasuki klasifikasi tingkat kerawanan sedang tahun 2015 adalah Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang,

59

Kota Tangerang Selatan. Akan tetapi, pada tahun 2016 terdapat perubahan klasifikasi dari tingkat kerawanan sedang ke tingkat kerawanan tinggi di Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, kemudian terdapat kabupaten/kota mengalami perubahan dari tingkat rendah ke tingkat sedang yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang. Tahun 2017 hingga 2018, terdapat konsistensi pada tingkat kerawanan sedang, yaitu Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Lebak. Sementara, tahun 2019 terdapat satu kabupaten/kota yang mengalami perubahan tingkat kerawanan dari sedang ke rendah yaitu Kabupaten Lebak.

60 5 BAB VI PEMBAHASAN 5.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam kajian ini, yaitu:

1. Ada potensi bias informasi karena referensi rujukan untuk penentuan klasifikasi masing-masing variabel dari sumber yang berbeda.

2. Angka Insidence Rate (IR) DBD yang digunakan tidak bersumber sama dengan data kejadian DBD.

3. Penggunaan Interpolasi metode Thiessen memiliki kekurangan yaitu penempatan stasiun pengamatan yang dapat memengaruhi hasil.

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

5.2.1 Gambaran Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Banten 2015-2019

Kejadian DBD di Provinsi Banten dalam penelitian ini ialah kejadian DBD yang diperoleh dari laporan setiap Dinas Kesehatan kabupaten/kota di Provinsi Banten. Data kejadian DBD yang diperoleh merupakan laporan kasus per orang sehingga harus dikonversikan ke Insidence Rate (IR) per 100.000 penduduk untuk mengetahui nilai ambang batas kejadian DBD di Provinsi Banten. Klasifikasi IR DBD per 100.000 penduduk tiap kabupaten/kota mengacu kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010 yang terbagi menjadi 3 klasifikasi yaitu rendah (IR <20), sedang (IR 20-55), dan tinggi (IR ≥55) (Kemenkes RI, 2010b).

Hasil penelitian ini menunjukkan Kota Cilegon merupakan kabupaten/kota dengan kejadian DBD tertinggi selama periode 2015-

61

2019. Meskipun mengalami penurunan pada 2016, Kota Cilegon masih memiliki kejadian DBD yang termasuk klasifikasi tinggi pada tahun tersebut. Kemudian, kota tersebut terus mengalami penurunan kejadian DBD pada tahun 2017 dan 2018, dan termasuk ke dalam klasifikasi sedang, namun kejadian DBD Kota Cilegon kembali mengalami peningkat1an yang tajam dan termasuk ke klasifikasi tinggi pada 2019.

Kota Cilegon memiliki kejadian DBD yang cenderung tinggi karena kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi. Hal tersebut karena kepadatan penduduk yang terus bertambah semakin rawan dengan penularan penyakit DBD jika tidak diiringi dengan upaya pencegahan nyamuk Aedes Aegypti (Chandra, 2019). Kota Cilegon secara geografis terletak di ujung pulau Jawa dan menjadi pintu utama yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, sangat memungkinkan adanya masyarakat yang melintasi Kota Cilegon membawa agent penyebab DBD. Selain itu, tingginya kejadian DBD di Kota Cilegon juga dapat dipengaruhi oleh pelaksanaan Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Program PSN yang dilaksanakan oleh Provinsi Banten antara lain yaitu 3M plus dengan melalui gerakan 1 rumah 1 jumantik (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2019). Pengadaan upaya tersebut dapat memberikan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku perorangan maupun masyarakat dalam mengatasi masalah agar dapat mencegah terjadinya DBD (Wurisastuti, Sitorus, & Surakhmi Oktavia, 2017).

Kurang efektifnya program penyakit DBD, dan kurangnya edukasi

62

masyarakat tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sehingga Kota Cilegon menjadi salah satu kota endemis di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan, 2019). Oleh karena itu, Dinas Kesehatan perlu melakukan sosialisasi terhadap masyarakat untuk meningkatkan efektifitas program dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

5.2.2 Gambaran Distribusi Kepadatan Penduduk di Banten 2015-2019 Kepadatan penduduk merupakan jumlah penduduk keseluruhan dengan luas wilayah di suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan dan pemindahan penyakit dari orang ke orang lainnya. Semakin padat penduduk di suatu wilayah, maka makin kondusif perkembangbiakan virus sehingga mengakibatkan peningkatan kasus. Kepadatan penduduk di Provinsi Banten tidak merata sehingga terdapat kabupaten/kota yang memiliki tingkat kepadatan tinggi, sedang dan rendah.

Klasifikasi kepadatan penduduk dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian Agcrista Permata dan Dyah Mahendrasari tahun 2016 yaitu kepadatan rendah (<2000 Jiwa/km2), sedang (2000-4000 Jiwa/km2), dan tinggi (<4000 Jiwa/km2) (Kusuma & Sukendra, 2016b).

Wilayah kabupaten/kota yang memiliki klasifikasi kepadatan penduduk tinggi di Provinsi Banten tahun 2015-2019 berdasarkan hasil penelitian ini yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Sementara itu, kabupaten/kota yang memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu Kabupaten Lebak.

63

Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan berada dalam klasifikasi kepadatan penduduk yang tinggi. Kedua kota tersebut memiliki lokasi yang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta. Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1979 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu daerah pendukung DKI Jakarta dan dikembangkan agar menjadi tempat yang menarik sehingga menjadi pusat pertumbuhan baru (Presiden RI, 1976). Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Kabupaten Lebak yang memiliki kepadatan penduduk terendah (Pemerintah Kabupaten Lebak, 2021).

Kabupaten Lebak merupakan kabupaten/kota dengan wilayah paling luas di Provinsi Banten. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan Kabupaten Lebak memiliki kepadatan yang terendah dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak memiliki luas wilayah administrasi sekitar 3.305 km2 dan sebagian besar wilayahnya adalah pedesaan yang diketahui memiliki laju pertumbuhan penduduk lebih lambat dibandingkan dengan perkotaan.

Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa kejadian DBD memiliki hubungan spasial dengan kepadatan penduduk (Chandra, 2019; Ernyasih, Zulfa, Andriyani, & Fauziah, 2020b; Masrizal & Sari, 2016). Hubungan spasial antara sebaran DBD dengan kepadatan penduduk ini berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mendukung keberadaan breeding place nyamuk Aedes Aegypti. Hal tersebut terjadi

64

jika perilaku pencegahan dari masyarakat sangat kurang sehingga membuat lingkungan sekitar menjadi munculnya breeding place seperti banyaknya potensi genangan air. Kepadatan penduduk sangat perlu diperhatikan untuk menjaga kestabilan lingkungan. Rata-rata nyamuk memiliki waktu hidup 8-15 hari dengan rata-rata nyamuk terbang 30-50 meter, sehingga nyamuk dapat berpindah 240-750 meter selama hidup nyamuk (Kusuma & Sukendra, 2016b). Kepadatan penduduk memerlukan perhatian karena berhubungan dengan kelayakan hidup terutama adanya urbanisasi yang tidak terkendali.

Provinsi Banten secara geografis berbatasan dengan DKI Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan RI dan pintu gerbang transportasi antar Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Oleh karena itu, dinamika kependudukan Provinsi Banten cenderung dipengaruhi oleh dinamika kependudukan DKI Jakarta dan mobilitas penduduk yang tinggi antar dua pulau tersebut. Kondisi ini memengaruhi tingkat kepadatan penduduk Provinsi Banten (BKKBN Provinsi Banten, 2020).

Masalah kepadatan penduduk tersebut dapat dikendalikan dengan adanya program dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Banten yaitu Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) yang mampu menekan laju pertumbuhan penduduk.

Program Bangga Kencana terdapat dalam rencana strategi (Renstra) BKKBN Provinsi Banten Tahun 2020-2024 yaitu bertujuan untuk menurunkan Total Fertility Rate (FTR) hingga 2,09 di tahun 2024. Hal

Dokumen terkait