SKRIPSI
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019
DISUSUN OLEH:
Thoriq Fajar Batuah 11171010000095
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443/2022
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DISUSUN OLEH:
Thoriq Fajar Batuah 11171010000095
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443/2022
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi
Thoriq Fajar Batuah, 11171010000095
Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten Tahun 2015-2019
72 halaman + 8 tabel + 11 gambar + 5 grafik ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan dunia. DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus berat dan ditularkan melalui nyamuk endemik dengan ditandai meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, hypovolemia dan gangguan mekanisme penggumpalan darah. Salah satu cara untuk menggambarkan masalah penyakit berbasis lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan epidemiologi spasial.
Epidemiologi spasial merupakan deskripsi dan analisis geografis dalam penyakit yang berkaitan dengan faktor risiko demografis, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, dan juga genetik dengan berfokus pada pemetaan penyakit di suatu wilayah, studi korelasi geografis, dan kluster penyakit. Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain ecological study menggunakan permodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis pada data sekunder dan melalui pendekatan spasial dengan unit analisis tingkat kabupaten/kota. Penelitian ini menunjukan bahwa pada tahun 2015 yang memasuki kategori tingkat kerawanan sedang tahun 2015 adalah Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Lebak. Tahun 2016 pada kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan memiliki tingkat kerawanan tinggi. Tahun 2017-2018 terdapat konsistensi tingkat kerawanan pada kabupaten/kota di Provinsi Banten. Sementara, tahun 2019 terdapat satu kabupaten/kota yang mengalami perubahan tingkat kerawanan dari sedang ke rendah yaitu Kabupaten Lebak. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mempersiapkan program pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Provinsi Banten.
Kata Kunci: Spasial, DBD, Kerawanan Daftar Bacaan: 61 (1976-2021)
FACULTY OF HEALTH SCIENCE DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF EPIDEMIOLOGY
Under graduate thesis
Thoriq Fajar Batuah, 11171010000095
Spatial Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever in Banten Province 2015-2019
72 pages + 8 tables + 11 pictures + 5 charts ABSTRACT
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is still a public health problem in Indonesia and even the world. DHF is a disease caused by a heavy virus and transmitted through endemic mosquitoes characterized by increased vascular permeability, hypovolemia and impaired blood clotting mechanisms. One way to describe environmental-based disease problems is to use a spatial epidemiological approach. Spatial epidemiology is a geographic description and analysis of disease related to demographic, environmental, behavioral, socio-economic, and genetic risk factors with a focus on disease mapping in an area, geographic correlation studies, and disease clusters. This research is a descriptive epidemiological research with an ecological study design using a Geographic Information System (GIS) modeling based on secondary data and through a spatial approach with a unit of analysis at the district/city level. This study shows that in 2015 the category of moderate vulnerability level in 2015 was Tangerang City, Cilegon City, Serang City, Tangerang Regency, South Tangerang City, and Lebak Regency. In 2016 the city of Tangerang and the city of South Tangerang had a high level of vulnerability. In 2017-2018 there is a consistent level of vulnerability in districts/cities in Banten Province. Meanwhile, in 2019 there was one district/city that experienced a change in the level of vulnerability from medium to low, namely Lebak Regency. The results of this study can be used as input to prepare a program to control and prevent dengue in Banten Province.
Keywords: Spatial, DHF, Vulnerability Reading List: 61 (1976-2021)
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperolah gelar strata satu (S1) di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 6 Januari 2022
Thoriq Fajar Batuah
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai Civitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Thoriq Fajar Batuah
NIM : 11171010000095
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Fakultas : Ilmu Kesehatan
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta hak untuk menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelola, mendistribusikan, dan mempublikasikan melalui internet atau media lain bagi kepentingan akademis skripsi saya yang berjudul “Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten Tahun 2015-2019” selama tetap mencantumkan nama saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Tangerang, 6 Januari 2022
Thoriq Fajar Batuah
PERNYATAAN PERSETUJUAN
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019
Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Januari 2022
disusun oleh
THORIQ FAJAR BATUAH NIM: 11171010000095
Menyetujui, Mengetahui,
Pembimbing Skripsi Ketua Program Studi
Dr. Minsarnawati, S.K.M, M.Kes Catur Rosidati, M.K.M NIP. 19750215 200901 2003 NIP. 19750210 200801 2018
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H/2022 M
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
EPIDEMIOLOGI SPASIAL PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2015-2019
Disusun Oleh:
THORIQ FAJAR BATUAH NIM: 11171010000095
Telah diujikan
Pada Tanggal 13 Januari 2022
Ketua Sidang Skripsi
Meliana Sari, M.K.M NIP: 19880928 201801 2002
Penguji 1
Prof. Dr. H. Arif Sumantri, MKes NIP. 19650808 198803 1002
Penguji 2
Dr. Sodikin, S.Pd, M.Si NIDN. 2022028704
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Thoriq Fajar Batuah Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Palangkaraya, 9 Agustus 1999 Kewarganegaraan : Indonesia
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Jalan Cilik Riwut Km. 7 No B 12 RT 003/007 Kel.
Bukit Tunggal, Kec. Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah 73112
Nomor Telepon : 089606307599
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2017-2022 : S1 – UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Epidemiologi
2014-2017 : Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Palangkaraya 2011-2014 : Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Negeri 2 Palangkaraya 2006-2011 : Sekolah Dasar Negeri (SDN) 6 Palangka Kota
Palangkaraya
Riwayat Organisasi
2021 : Ketua Bidang Kesehatan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2019 : Anggota Departemen Seni dan Olahraga Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan Masyarakat FIKES UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018-2021 : Anggota Korps Sukarela (KSR) Unit Kota Tangerang
Selatan
ii
2018 : Anggota Departemen Kewirausahaan Himpunan
Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan Masyarakat FIKES UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016-2017 : Wakil Ketua Divisi Kesehatan OSIS MAN Model
Palangkaraya
2015-2016 : Sekretaris Kader Kesehatan Remaja (KKR) MAN Model Kota Palangkaraya
2015-2016 : Anggota Divisi Kesehatan OSIS MAN Model Kota Palangkaraya
2014-2016 : Anggota Palang Merah Remaja (PMR) MAN Model Kota Palangkaraya
2011-2014 : Palang Merah Remaja (PMR) MTsN 2 Kota Palangkaraya
iii
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir skripsi yang berjudul “Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten Tahun 2015-2019”. Selanjutnya, shalawat beserta salam tidak lupa Peneliti hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini. Penyusunan tugas akhir skripsi ini tentunya tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kendala. Meskipun begitu, hal tersebut tidak mengurungkan semangat Peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini, karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Peneliti ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak berikut yang telah memberi bantuan, arahan, dan dukungan sejak awal proses penyusunan proposal hingga selesainya tugas akhir skripsi ini.
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang berlimpah berupa kesehatan, pengetahuan, keselamatan, dan perlindungan kepada Penulis.
2. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua dan adik-adik yang selalu menyertai penulis dengan doa dan kasih sayang.
3. Ibu Dr. Zilhadia, M.Si., Apt., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
4. Ibu Catur Rosidati, M.KM, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, S.KM, M.Kes, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan motivasi selama penyusunan tugas akhir skripsi penulis.
6. Ibu Meliana Sari, M.K.M. dan Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku penguji proposal hingga skripsi yang telah memberi saran dan masukan untuk penyusunan skripsi penulis.
7. Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku dosen peminatan Epidemiologi yang telah memberikan ilmunya selama perkuliahan di kelas Epidemiologi.
8. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
9. Teman-teman Grup 10 Epidemiologi bimbingan Ibu Wati, yang menjadi teman belajar dan berbagi sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi.
10. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Palangkaraya (IKMAPA) dan teman- teman USFOP yang telah membersamai penulis dari awal menjalani perkuliahan hingga di tahap ini.
11. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat yang juga telah membersamai penulis dari awal berproses hingga saat ini.
12. Teman-teman satu tempat tinggal, Arif Saiful Pramudita, Eki Nizar, dan Panglima Madani yang juga telah membersamai penulis dari awal penulisan hingga selesai.
v
13. Pihak lainnya yang telah membantu, mendukung, dan menemani Peneliti, yang namanya belum dapat Peneliti sebutkan satu persatu
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan dalam tugas akhir skripsi ini. Penulis berharap hasil penelitian dalam tugas akhir skripsi ini dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Demikian pengantar tugas akhir ini, terima kasih atas segala perhatian dan kesempatan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tangerang Selatan, 2022
Thoriq Fajar Batuah
vi DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ... v
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR GRAFIK ... xii
1 BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.3.1 Tujuan Umum ... 6
1.3.2 Tujuan Khusus ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.4.1 Manfaat untuk Peneliti ... 6
1.4.2 Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 7
1.4.3 Manfaat untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten ... 7
1.4.4 Manfaat untuk Masyarakat ... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 9
2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue ... 9
2.1.2 Etiologi DBD ... 9
2.1.3 Rantai Penularan DBD ... 10
2.1.4 Gejala DBD ... 10
vii
2.1.5 Epidemiologi DBD ... 11
2.1.6 Diagnosis DBD ... 12
2.2 Epidemiologi Deskriptif ... 13
2.2.1 Orang ... 13
2.2.2 Tempat... 13
2.2.3 Waktu ... 13
2.3 Segitiga Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 14
2.3.1 Host (Pejamu) ... 14
2.3.2 Agent ... 15
2.3.3 Environment ... 16
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 18
2.4.1 Definisi SIG ... 18
2.4.2 Komponen SIG ... 19
2.4.3 Sumber Data ... 20
2.5 Analisis Spasial ... 21
2.5.1 Data Spasial ... 21
2.6 Kerangka Teori ... 22
3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 24
3.1 Kerangka Konsep ... 24
3.2 Definisi Operasional ... 27
4 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 29
4.1 Desain Penelitian ... 29
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 30
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 31
4.4.1 Pengumpulan Data dan Sumber Data ... 31
4.4.2 Instrumen Penelitian... 32
4.5 Manajemen Data ... 32
viii
4.5.1 Pemeriksaan Data ... 33
4.5.2 Pemberian Kode ... 33
4.5.3 Pemasukan Data ... 33
4.5.4 Pembersihan Data... 33
4.6 Analisis Data ... 33
4.6.1 Analisis Univariat... 34
4.6.2 Analisis Spasial ... 34
5 BAB V HASIL ... 36
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 36
5.1.1 Kondisi Geografis ... 36
5.1.2 Kependudukan... 37
5.2 Hasil Analisis ... 38
5.2.1 Gambaran Distribusi Spasial Penyakit DBD di Banten 2015-2019 38 5.2.2 Gambaran Distribusi Spasial Kepadatan Penduduk di Banten 2015- 2019 41 5.2.3 Gambaran Distribusi Spasial Variabilitas Iklim di Banten 2015-2019 43 5.2.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019 ... 53
6 BAB VI PEMBAHASAN ... 60
6.1 Keterbatasan Penelitian ... 60
6.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 60
6.2.1 Gambaran Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Banten 2015-2019 ... 60
6.2.2 Gambaran Distribusi Kepadatan Penduduk di Banten 2015-2019 . 62 6.2.3 Gambaran Distribusi Variabilitas Iklim di Banten 2015-2019 ... 65
6.2.4 Daerah Rawan DBD di Banten 2015-2019 ... 72
6.2.5 Kajian Keislaman pada Penyakit DBD ... 74
7 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 78
7.1 Simpulan ... 78
7.2 Saran ... 78
ix
7.2.1 Saran untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten ... 78
7.2.2 Saran untuk Masyarakat ... 79
7.2.3 Saran untuk Peneliti Selanjutnya ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 27 Tabel 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten ... 30 Tabel 5.1 Skoring ... 53 Tabel 5.2 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2015 ... 55 Tabel 5.3 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2016 ... 55 Tabel 5.4 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2017 ... 56 Tabel 5.5 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2018 ... 56 Tabel 5.6 Hasil Skoring Tingkat Kerawanan Penyakit DBD di Banten Tahun
2019 ... 57
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prosedur SIG ... 20
Gambar 2.2 Teori Segitiga Epidemiologi ... 23
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 26
Gambar 5.1 Peta Administrasi Provinsi Banten ... 36
Gambar 5.2 Peta Distribusi Penyakit Demam Berdarah Dengue di Banten 2015- 2019 ... Error! Bookmark not defined. Gambar 5.3 Peta Distibusi Kepadatan Penduduk di Provinsi Banten 2015-2019 42 Gambar 5.4 Peta Distibusi Curah Hujan di Banten 2015-2019 ... 44
Gambar 5.5 Peta Kecepatan Angin Berdasarkan Stasiun BMKG di Banten 2015- 2019 ... 48
Gambar 5.6 Peta Distibusi Kelembaban Udara di Banten 2015-2019 ... 50
Gambar 5.7 Peta Distibusi Suhu di Banten 2015-2019 ... 52
Gambar 5.8 Peta Kerawanan Penyakit DBD di Banten 2015-2019 ... 58
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Frekuensi Kasus DBD Berdasarkan Kabupaten/Kota dan Insidence Rate (IR) per 100.000 Penduduk di Banten 2015-2019 ... 39 Grafik 5.2 Perbandingan Curah Hujan dan Kasus DBD di Banten 2015-2019... 43 Grafik 5.3 Perbandingan Rata-Rata Kecepatan Angin dan Kasus DBD di Banten
Tahun 2015-2019 ... 46 Grafik 5.4 Perbandingan Rata-Rata Kelembaban Udara dan Kasus DBD di
Banten 2015-2019 ... 49 Grafik 5.5 Perbandingan Rata-Rata Suhu dan Kasus DBD di Banten 2015-2019
... 51
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) sampai detik ini tergolong sebagai momok bagi permasalahan kesehatan masyarakat Indonesia bahkan dunia.
DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus berat yang tertular dari nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit ini cukup rentan menyerang masyarakat di negara seperti wilayah Asia Tenggara dan Selatan, Pasifik, maupun Amerika Latin dengan tanda peningkatan permeabilitas pembuluh darah, hypovolemia, maupun gangguan mekanisme penggumpalan darah (Kunoli, 2013). DBD salah satu jenis penyakit arbovirus, yakni virus yang tertular dari gigitan arthropoda seperti nyamuk.
Jenis virus yang mengakibatkan DBD, seperti tipe Den-1, Den-2, Den- 3, dan Den-4 dari kelompok Arthropod-Borne viruses. Vektor utama pada DBD, yaitu nyamuk aedes aegypti pada wilayah kota dan nyamuk aedes albopictus wilayah desa (Kunoli, 2013). DBD masuk ke dalam kategori Vector Borne Disease atau Penyakit yang disebabkan oleh vektor. Diagosis DBD kerap kali mengalami kesalahan, dan kerap dikaitkan dengan penyakit lainnya, seperti flu dan tifus. Perihal ini diakibatkan oleh virus Dengue yang sifatnya asimtomatik atau bergejala tidak jelas (Frida N, 2008).
Penderita DBD kerap mengalami gejala batuk, pilek, mual, muntah, dan diare. Virus Dengue dapat terjadi bersamaan dengan infeksi penyakit tifus dan flu, sehingga perlu memahami alur penyakit infeksi dan pengamatan klinis virus Dengue (Frida N, 2008). Masa inkubasi DBD berlangsung 14
2
hari. Orang yang mengalami DBD akan menunjukkan gejala seperti, demam tinggi selama 2-7 hari, nyeri otot, sakit kepala, mual hingga muntah, perut terasa kembung, pembesaran hati, tinja berwarna hitam, terdapat bintik-bintik merah akibat manifestasi perdarahan, dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Gejala klinis yang dijelaskan menjadi landasan untuk menemukan kasus DBD dengan melakukan pengamatan klinis (Kementerian Kesehatan RI, 2016; Sardjana & Nisa, 2007).
Jumlah penderitanya memiliki potensi untuk meningkat setiap tahun dan penyebarannya juga semakin meluas, karena masih banyak wilayah endemik. Wabah DBD telah terjadi di seratus negara wilayah cakupan WHO (World Health Organization), seperti kawasan Asia Tenggara, Mediterania Timur, Afrika, Amerika, maupun Pasifik Barat. Amerika, Pasifik Barat, dan Asia Tenggara merupakan bagian terparah yang terpapar oleh penyakit ini dengan Asia mewakili kurang lebih 70% dari jumlah kasus DBD yang ada di dunia (WHO, 2020).
WHO melaporkan bila jumlah kejadian DBD di dunia mengalami peningkatan lebih dari delapan tingkat selama dua puluh tahun terakhir dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2,4 juta pada tahun 2010, dan kembali meningkat pada tahun 2019 sebanyak 4,2 juta kasus, sedangkan kasus kematian yang disebabkan oleh DBD rentang tahun 2000 hingga 2015 mengalami peningkatan dari 960 menjadi 4.032 kasus (WHO, 2020). Jumlah kasus DBD di Asia pada medio 2019 tertinggi berada di negara Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000), Filipina (420.000), dan Vietnam (320.000) (WHO, 2020).
3
DBD di Indonesia memiliki incidence rate (IR) sejumlah 24,75 per 100.000 penduduk pada 2018, lalu menunjukkan peningkatan pada tahun 2019 dengan rata-rata kejadian sejumlah 51,48 per 100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Jumlah kasus DBD di Provinsi Banten pada tahun 2019 sejumlah 2.918 kasus, Kabupaten Tangerang sebagai wilayah yang mencapai angka kasus tertinggi di antara kabupaten atau kota lainnya, yaitu 610 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2019). Perubahan iklim yang dapat memengaruhi DBD di antaranya perubahan suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan curah hujan pada suatu wilayah (Ridha, Indriyati, Tomia, & Juhairiyah, 2019a).
Penelitian yang dilakukan Ratna Maya Paramita (2017) membuktikan curah hujan berhubungan spasial dengan kejadian DBD (Paramita &
Mukono, 2017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulia Iriani pada tahun 2012 di Kota Palembang juga menunjukkan terdapat hubungan spasial antara variabel curah hujan dan meningkatnya jumlah kejadian DBD sebab curah hujan bisa memicu tempat kembang biak vektor meningkat (Iriani, 2012).
Penelitian lain pun membuktikan suhu dan kejadian demam berdarah dengue berhubungan secara spasial. Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat penting terhadap meningkatnya perkembangbiakan vektor dan tingkat gigitan (Fitriana & Yudhastuti, 2018). Suhu yang cocok untuk perpindahan DBD berkisar 21,6 hingga 32,9 °C (Ridha dkk., 2019a). Hasil penelitian oleh Daswito (2019) membuktiakn kecepatan angin mempunyai hubungan spasial dengan kejadian DBD. Artinya, kecepatan angin sebagai satu dari beberapa faktor berisiko yang mengakibatkan kejadian DBD. Perihal
4
ini diperjelas bila kecematan angin cenderung menghalangi terbang dan memengaruhi penempatan telur ke habitat yang sesuai. Kecepatan yang meningkat sejumlah 1-4 m/s dapat menghalangi nyamuk terbang di lingkungan (Daswito, Lazuardi, & Nirwati, 2019a).
Selain suhu, curah hujan, dan kecepatan angin, kelembapan udara pun berperan sebagai faktor risiko kejadian DBD. Kelembapan udara di suatu wilayah menjadi faktor yang memengaruhi keberlangsungan hidup nyamuk, semakin rendah tingkat kelembapan pada suatu wilayah dapat memperpendek usia nyamuk. Udara yang lembap menyebabkan air menguap dari dalam nyamuk, sehingga nyamuk mengalami kekeringan cairan (Lahdji & Putra, 2017). Selain variabilitas iklim, terdapat faktor kepadatan penduduk sebagai penyebab kejadian DBD.
Faktor kepadatan penduduk dibuktikan pada penelitian yang menunjukkan kepadatan penduduk berhubungan bermakna dengan kejadian DBD (Safitri, 2016). Salah satu cara untuk menggambarkan masalah penyakit berbasis lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan epidemiologi spasial (Sunaryo, 2015).
Epidemiologi spasial merupakan deskripsi dan analisis geografis dalam penyakit yang berkaitan dengan faktor risiko demografis, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, dan juga genetik dengan berfokus pada pemetaan penyakit di suatu wilayah, studi korelasi geografis, dan kluster penyakit (Elliott & Wartenberg, 2004). Pendekatan epidemiologi spasial bermanfaat untuk dilakukan karena dapat membuat deskripsi pola penyakit, identifikasi cluster penyakit, dan memprediksi faktor risiko kejadian penyakit dengan
5
menggunakan pemetaan masalah kesehatan dan guna menunjang penentuan keputusan surveilans dan upaya menanggulangi penyakit, hal ini penting dilakukan untuk membantu mengambil keputusan masalah DBD (Sunaryo, 2015; Pfeiffer dkk., 2008).
Sesuai pemaparan tersebut, peneliti memiliki ketertarikan guna melaksanakan kajian terkait Epidemiologi Spasial Penyakit Demam Berdarah Provinsi Banten Tahun 2015-2019. Pemilihan Provinsi Banten sebagai wilayah penelitian dikarenakan masih ditemukan masalah pada penyakit DBD di provinsi Banten tahun 2015-2019. Pendekatan epidemiologi spasial diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran spasial berdasarkan variabilitas iklim dan kepadatan penduduk terhadap kejadian DBD sehingga dapat meningkatkan efektivitas dalam penanggulangan permasalahan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana distribusi spasial kejadian demam berdarah dengue di Provinsi Banten tahun 2015-2019?
2. Bagaimana distribusi spasial kepadatan penduduk dan variabilitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan, maupun kecepatan angin) di Provinsi Banten tahun 2015-2019?
3. Bagaimana tingkat kerawanan kejadian Demam Berdarah Dengue berdasarkan pemetaan kepadatan penduduk dan variablitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan, kecepatan angin) di Provinsi Banten tahun 2015-2019?
6 1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui tingkat kerawanan kejadian DBD berdasarkan pemetaan variabilitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan, maupun kecepatan angin) dan kepadatan penduduk menggunakan pendekatan spasial di Provinsi Banten tahun 2015-2019
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi spasial kejadian DBD di Provinsi Banten tahun 2015-2019.
2. Mengetahui distribusi spasial kepadatan penduduk dan variabilitas iklim (suhu, kelembapan udara, curah hujan, maupun kecepatan angin) di Provinsi Banten tahun 2015-2019.
3. Mengetahui peta tingkat kerawanan kejadian DBD berdasarkan pemetaan kepadatan penduduk dan variabilitas iklim (suhu, curah hujan, kecepatan angin, maupun kelembapan) di Provinsi Banten tahun 2015-2019.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat untuk Peneliti
Penelitian ini bisa menginformasikan kejadian DBD di Provinsi Banten, serta dapat mengimplementasikan keilmuan yang pernah diperoleh dalam perkuliahan dalam meneliti masalah DBD.
7
1.4.2 Manfaat untuk Program Studi Kesehatan Masyarakat
Penelitian ini bisa bermanfaat guna referensi baru pada perkuliahan dan menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya mempergunakan teknik yang lebih baik.
1.4.3 Manfaat untuk Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Penelitian ini bisa berguna untuk pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten dalam membuat atau mengevaluasi program penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD dengan tersedianya hasil analisis berdasarkan pemetaan wilayah.
1.4.4 Manfaat untuk Masyarakat
Penelitiani ini bisa memberikan informasi terkait masalah DBD yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga memiliki wawasan terkait pencegahan dan penanggulangan DBD.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian terkait epidemiologi spasial penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten tahun 2015-2019. Penelitian ini terlaksana oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan pada bulan Mei 2021 dengan pendekatan epidemiologi spasial menggunakan desain Ecological studies. Penelitian ini bermaksud agar bisa mengetahui tingkat kerawanan kejadian DBD berdasarkan gambaran variabilitas iklim maupun kepadatan penduduk di Provinsi Banten, meliputi 8 kabupaten/kota yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
8
Pengumpulan data terlaksana dengan menganalisis data variabilitas iklim (suhu, kelembapan, kecepatan angin, maupun curah hujan), dan kepadatan penduduk di Provinsi Banten.
9 2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue
DBD merupakan penyakit endemis yang ditularkan oleh virus dengue melalui gigitan Athropoda, yaitu nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
Penyakit ini menjadi satu dari sekian banyak permasalahan kesehatan di Indonesia.
Penderita dan luas daerah penyebaran makin bertambah mengingat peningkatan ruang gerak maupun tingkat kepadatan penduduk (B.Halstead, 2008; Safitri, 2016).
2.1.2 Etiologi DBD
Virus yang menyebabkan DBD, yaitu virus dengue. Virus dengue tergolong sebagai genus Flavivirus, dan famili Flaviridae. Virus dengue meliputi nukleokapsid dengan simetri kubik tertutup dalam amplop lipoprotein. Ukuran virus dengue sangat kecil yaitu 50 nm dan mengandung single-strand RNA sebagai genom (WHO, 2011).
Genom dari virus dengue memiliki panjang 11.644 nukleotida, dan meliputi tiga gen protein struktural yang mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein terkait membran (M), protein amplop (E), dan tujuh protein nonstruktural.
protein (NS). Sementara itu, protein non-struktural, yaitu amplop glikoprotein, dan NS1, memiliki kepentingan diagnostik maupun patologis. Ukuran dari protein tersebut sebesar 45 kDa dan berkaitan dengan hemaglutinasi virus dan kegiatan netralisasi (WHO, 2011).
Virus dengue terbagi menjadi empat serotipe virus, seperti DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Apabila seseorang terkontaminasi oleh salah satu serotipe, maka ia akan mempunyai kekebalan sepanjang hidup terhadap serotipe virus itu.
10
Infeksi sekunder berserotipe lain atau infeksi multipel berserotipe berbeda mengakibatkan bentuk dengue lebih parah (WHO, 2011).
Beberapa sub tipe dari keempat serotipe virus dengue di dunia saat ini telah ditemukan. Sejumlah tiga sub tipe telah teridentifikasi untuk DEN-1, enam bagi DEN-2 (salah satunya terdapat di primata nonmanusia), empat bagi DEN-3 dan empat bagi DEN-4, serta DEN-4 lainnya yang eksklusif pada primata nonmanusia (WHO, 2011).
2.1.3 Rantai Penularan DBD
Ada tiga faktor yang turut menularkan virus dengue, yakni manusia, virus, dan vektor. Virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk berjenis Aedes Albopictus yang terdapat di pedesaan dan Aedes Aegypti yang ada pada lingkungan perkotaan. (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Nyamuk yang terkandung virus dengue kemudian menggigit manusia yang mempunyai kandungan virus yang sama atau biasa disebut Viremia. Virus tersebut berada pada kelenjar liur dan berkembang biak selama 8-19 hari sebelum bisa tertularkan lagi ke manusia. Di dalam tubuh manusia, virus membutuhkan waktu masa tunas empat hingga enam hari sebelum munculnya penyakit (Asep, 2014).
2.1.4 Gejala DBD
Penderita DBD ditandai dengan adanya gejala, yaitu: (CDC, 2020; Sardjana
& Nisa, 2007)
1. Mual dan muntah 2. Ruam
3. Demam tinggi selama 2-7 hari 4. Sakit kepala
5. Pembesaran hati
11
6. Terdapat bitnik-bintik merah oleh manifestasi pendarahan
7. Sakit dan nyeri (Sakit mata, biasanya terdapat di belakang mata, otot, sendi, atau nyeri tulang)
8. Trombositopenia 2.1.5 Epidemiologi DBD
DBD sebagai penyakit menular yang bertingkat risiko/bahaya cukup tinggi dan bisa mengakibatkan kematian dalam waktu singkat. Penemuan pertama kali DBD pada tahun 1953 di Manila, Filipina yang kemudian tersebar ke bermacam negara. Pertama kali dilaporkan adanya DBD di Indonesia pada tahun 1968, tepatnya di Surabaya. Setelah adanya kasus pertama kali di Indonesia, DBD menyebar ke seluruh provinsi pada tahun 1980 terkecuali Timor-Timur (Asep, 2014).
DBD merupakan penyakit yang menginfeksi dan diakibatkan oleh virus dengue sehingga adanya spektrum manifestasi klinis yang bermacam sehingga ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang terjangkit virus setelah menggigit manusia yang mengalami Viremia. Host alami yaitu manusia dan agennya ialah virus Dengue yang tergolong sebagai keluarga Flaviridae dan genus Flavivirus yang meliputi 4 serotipe, yakni Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4 (Candra, 2010).
Demam Berdarah Dengue mempunyai pola epidemiologis yang berbeda namun saling berkaitan dengan empat serotipe virus. Perihal ini bisa tersebar secara bersamaan di suatu wilayah/negara, serta memang ada banyak negara yang hiper-endemik untuk empat serotipe tersebut. Dengue berdampak cukup berisiko terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global maupun nasional. Virus dengue
12
saat vektor berpotensi ada di daerah baru, terdapat potensi untuk transmisi lokal yang hendak didirikan (WHO, 2020).
Kasus DBD yang dilaporkan oleh WHO meningkat selama dua puluh tahun terakhir, dari angka 505.430 pada tahun 2000, menjadi 2,4 juta kasus pada tahun 2010, serta meningkat 4,2 juta pada 2019. Adanya laporan dari WHO terkait jumlah DBD di dunia, menjadikan Asia berada di urutan pertama terkait jumlah penderita DBD pada tiap tahunnya. Pada tahun 2019 tertinggi berada di negara Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000), Filipina (420.000), serta disusul oleh Vietnam (320.000) (WHO, 2020).
Indonesia menjadi negara dengan angka kasus DBD yang tinggi dan masih menghadapi masalah DBD karena kasus yang masih tinggi. Pada tahun 2019 menurut Profil Kesehatan Indonesia bahwa kasus DBD sebesar 138.127 kasus.
Jumlah kasus DBD di Provinsi Banten pada tahun 2019 menyentuh angka 2.915 dengan Kota Tangerang Selatan sebagai wilayah dengan kasus paling tinggi di antara kabupaten atau kota lainnya, yaitu 484 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2019).
2.1.6 Diagnosis DBD
Diagnosis DBD terlaksana dengan mencermati gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium dari pasien. Diagnosis DBD dapat ditegakkan, apabila terdapat dua gambaran atau gejala klinis ditambah satu dari kriteria atau hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pada DBD dilakukan dengan cara melihat gejala klinis dan juga hasil laboratorium, yakni isolasi virus, deteksi antibody, maupun deteksi antigen atau RNA virus (Kemenkes RI, 2010a).
13 2.2 Epidemiologi Deskriptif
Studi guna menetapkan frekuensi atau jumlah dan pendistribusian penyakit di suatu wilayah berdasarkan waktu, tempat, dan orang. Perihal itu terlaksana bila informasi yang didapat cukup sedikit terkait kejadian, riwayat, dan faktor yang terkait dengan penyakit (PAEI, 2016).
2.2.1 Orang
Variabel orang bisa berperan sebagai upaya mencari tahu kriteria populasi yang berisiko di suatu wilayah. Variabel bagian orang, yaitu pendidikan, mata pencarian, jenis kelamin, dan lain-lain (Umaya, Faisya, & Sunarsih, 2013).
Epidemiologi deskriptif bagian orang dengan variabel usia pada penyakit DBD bahwa usia berpengaruh pada kejadian DBD karena usia yang lebih muda mempunyai imunitas yang belum sempurna dibanding usia dewasa, maka usia muda lebih tinggi berisiko terpapar penyakit akibat virus (Pertiwi & Anwar, 2018).
2.2.2 Tempat
Variabel tempat bisa dipergunakan untuk mengetahui pembagian wilayah dari suatu penyakit sehingga bisa diberlakukan perencanaan oleh pelayanan kesehatan, serta bisa mengetahui faktor yang menyebabkan penyakit. Variabel bagian tempat, yaitu kelurahan, kecamatan, kota, provinsi, maupun negara (Pertiwi
& Anwar, 2018)
Hal ini tempat pada penyakit DBD bisa tersebar ke semua tempat, terkecuali tempat yang berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut sebab adanya perbedaan suhu di daerah yang rendah dan tinggi (Pertiwi & Anwar, 2018).
2.2.3 Waktu
Epidemiologi deskriptif bagian waktu dilihat untuk mengetahui panjang waktu terjadinya suatu kejadian dan perubahan secara siklus terjadinya perubahan
14
angka kesakitan seperti hari, musiman atau bulanan, tahunan. Indonesia mempunyai dua musim: kemarau dan penghujan. Penyebaran penyakit DBD tidak mengenal waktu setiap bulannya, akan tetapi penyebaran tertinggi DBD ada pada musim hujan. Penderita DBD dapat meningkat dengan berdasarkan musiman.
Perihal ini dapat terjadi sebab rendahnya suhu udara mengakibatkan peningkatan kelembapan, dan akibat tidak menentunya curah hujan pada musim hujan sehingga adanya genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk yang menjadi cepat (Giarno, Dupe, & Mustofa, 2012; Pertiwi & Anwar, 2018).
2.3 Segitiga Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Segitiga epidemiologi yang disampaikan Gordon dan La Richt pada tahun 1950 mengatakan bila muncul atau tidaknya sebuah penyakit pada manusia terpengaruh oleh tiga faktor, yaitu host (pejamu), agent, dan environment (lingkungan). Terdapat tiga pendapat sesuai penjelasan Gordon: (Rajab, 2009), meliputi:
1. Kemunculan penyakit akibat tidak seimbangnya host (pejamu) dan agent.
2. Keseimbangan ditentukan oleh sifat alami dan kriteria agent dan pejamu.
3. Kriteria agent dan pejamu hendak berinteraksi dan berhubungan langsung dengan keadaan alami dari lingkungan
2.3.1 Host (Pejamu)
Faktor pejamu sebagai semua karakteristik yang ada di manusia sehingga memberi pengaruh kemunculan suatu penyakit. Karakteristik tersebut di antaranya usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
1. Usia
Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang semua kalangan usia. Akan tetapi, usia yang lebih muda memiliki risiko DBD yang lebih tinggi karena faktor daya tahan tubuh yang belum sempurna dibanding usia dewasa
15
(Pertiwi & Anwar, 2018). Penelitian oleh Ernyasih (2020) membuktikan jika variabel usia menjadi faktor yang memengaruhi kejadian DBD. Hal tersebut dijelaskan bahwa usia <15 tahun lebih berisiko tertular DBD karena memiliki daya tahan tubuh yang rentan (Ernyasih, Zulfa, Andriyani, & Fauziah, 2020a).
2. Jenis Kelamin
Permatasari (2015) menemukan keterkaitan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Jenis kelamin perempuan berpeluang 3,3 kali lebih besar mengalami DBD dibanding jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut dikarenakan perempuan berkecenderungan mempunyai berat badan yang kurang dan ketahanan tubuhnya rendah sehingga cukup rentan terhadap penyakit (Permatasari, Ramaningrum, & Novitasari, 2015).
2.3.2 Agent
Penyakit menular pun bisa berasal dari binatang (reservoir), yaitu binatang tempat perkembangbiakan agen penyakit. Sumber penyakit binatang lainnya seperti nyamuk yang terinfeksi virus dengue yang menggigit manusia (Amalia, 2016). DBD diakibatkan jenis virus, yaitu tipe Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4 dari kelompok Arthropod-Borne viruses. Vektor utama pada penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes Aegypti pada daerah kota sedangkan namuk Aedes Albopictus di wilayah desa (Kunoli, 2013).
Angka Bebas Jentik (ABJ) menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan dalam hal kepadatan jentik di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan Kurniawati (2016) bahwa ABJ menjadi faktor terjadinya DBD dengan hubungan yang lemah dan arah hubungan yang positif (r=0,078). Menurut Kemenkes RI bahwa ABJ
≥95% maka harus dikurangi sehingga penularan DBD di wilayah itu bisa berkurang (Kemenkes RI, 2010a).
16 2.3.3 Environment
Kejadian suatu penyakit ialah adanya interaksi antara manusia dengan perilaku maupun lingkungan yang berpotensi menyebabkan penyakit. Variabel pada perilaku penduduk yaitu pendidikan, kepadatan penduduk, budaya dan lain- lain, oleh karena itu kejadian penyakit dapat timbul sebab adanya pengaruh variabel perilaku dan variabel lingkungan seperti variabilitas iklim (Achmadi, 2009).
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk ialah jumlah penduduk per satuan unit wilayah (km2). Menurut Badan Standarisasi Nasional bahwa kepadatan penduduk dikategorikan berdasarkan jumlah penduduk di suatu wilayah, yaitu <150 jiwa/ha, 151-200 jiwa/ha, 200-400 jiwa/ha, dan >400 jiwa/ha (Badan Standardisasi Nasional, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2016) memperlihatkan kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Penelitian ini pun sama seperti Penelitian yang dilakukan oleh Apriyandika (2015) menunjukan bila kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan atau memindahkan penyakit dari masing-masing orang tanpa ada usaha mencegah. Makin padatnya penduduk, maka mengakibatkan makin kondusifnya perkembangbiakan virus sehingga bisa memicu kasus (Achmadi, 2009;
Apriyandika, Yulianto, & Feriandi, 2015; Kusuma & Sukendra, 2016a).
2. Curah Hujan
Curah hujan merupakan tingkat rata-rata hujan pada waktu tertentu sehingga menjadi faktor kejadian DBD. Hal ini diperjelas oleh Wirayoga
17
(2013) yang membuktikan bila curah hujan berhubungan bagi kejadian DBD.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian milik Ridha (2019) bila curah hujan tidak terbukti memengaruhi kejadian DBD. Curah hujan menjadi faktor kejadian DBD dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi selama musim penghujan sebagai media perkembangbiakan nyamuk yang cukup potensial (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).
3. Kelembapan Udara
Kelembapan udara merupakan tingkat kelembapan udara pada suatu wilayah pada waktu tertentu. Wirayoga (2013) membuktikan hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD. Penelitian ini sama seperti penelitian milik Ridha (2019), membuktikan hubungan antara kelembapan udara dengan kejadian DBD. Kelembapan udara bisa memengaruhi kejadian DBD karena kelembapan yang rendah dapat menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga cairan yang ada dalam tubuh mengering. Kelembapan juga memengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, dan lainnya (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).
4. Suhu
Tingkat suhu udara di suatu wilayah menjadi hal yang perlu diperhatikan terhadap penularan DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Komaling (2020) membuktikan suhu udara tidak berhubungan terhadap kejadian DBD. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha (2019) bahwa suhu relatif memiliki pengaruh dan berhubungan dengan kejadian DBD. Suhu udara menjadi faktor kejadian DBD karena ketika pergantian musim penghujan ke musim kemarau kondisi suhu berada dikisaran 23 hingga
18
31°C, yaitu kisaran suhu optimum untuk nyamuk berkembang biak (Komaling, Sumampouw, & Sondakh, 2020a; Ridha dkk., 2019a).
5. Ketinggian
Virus memerlukan tempat berkondisi yang sesuai supaya bisa bertahan hidup. Virus dengue bisa berkembang dengan baik berdasar wilayah kecuali wilayah yang berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut sebab adanya ketinggian sehingga suhu pada wilayah tersebut rendah dan perkembangbiakan nyamuk tidak sempurna. Hal ini dibuktikan penelitian yang dilakukan oleh Tamengkel (2020) bila ketinggian wilayah berhubungan dengan kejadian DBD (Tamengkel, Sumampouw, & Pinontoan, 2020).
6. Kecepatan Angin
Kecepatan angin pada suatu wilayah menjadi faktor terjadinya DBD.
Semakin tinggi kecepatan angin maka semakin berkurang kejadian DBD. Hal ini dijelaskan karena kecepatan angin cenderung menghambat terbang nyamuk dan memengaruhi oviposisi nyamuk. Kecepatan angin dengan 1-4 m/s membuat nyamuk terhambat saat terbang. Hal tersebut dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Daswito (2019) bahwa kecepatan angin berhubungan dengan kejadian DBD (Daswito dkk., 2019a; Lu dkk., 2009a).
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.4.1 Definisi SIG
Sistem Informasi Geografis yang biasa disebut SIG sebagai sistem informasi berbasis perangkat komputer guna melakukan pengolahan dan penyimpanan data geografis. Umumnya, SIG merupakan komponen yang meliputi perangkat keras maupun lunak, data geogratif, serta sumber daya manusia yang menjalin kerja sama secara efektif guna memasukan, penyimpanan, perbaikan,
19
pembaruan, pengelolaan, memanipulasi, mengaitkan, menganalisis, serta memperlihatkan menampilkan data di suatu informasi berbasis geografis (Marjuki, 2014).
2.4.2 Komponen SIG
Sistem informasi geografis memiliki komponen yang berkaitan, yaitu:
(Tricahyono & Dahlia, 2017) 1. Data
Berupa data grafis atau spasial dan data atribut. Data grafis merepresentasikan permukaan bumi yang bereferensi koordinat, seperti peta, foto udara, citra satelit. Data Atribut yaitu data hasil pengukuran lapangan seperti data sensus penduduk, catatan survei, data kasus penyakit, dan lain-lain.
2. Perangkat Lunak
Sebagai penyedia tools untuk melakukan penyimpanan, penganalisisan, dan penyajian hasil. Perangkat lunak yang dipergunakan, secara umum seperti Arc- Gis, Map Info, ILWIS, Quantum GIS, Envi, IDRISI, maupun GRASS.
3. Perangkat Keras
Seperti komputer digunakan untuk membantu dalam pengelolaan SIG 4. Sumber Daya Manusia
5. Prosedur
SIG bisa teroperasikan dengan baik bila ada perencanaan untuk menerapkan, yang terancang dengan baik.
20
Gambar 2.1 Prosedur SIG 2.4.3 Sumber Data
Sistem informasi geografis memerlukan data yang sifatnya spasial maupun deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara lain, yaitu: (Irwansyah, 2013)
1. Peta Analog
Peta berbentuk cetakan yang dibuat dengan teknik kartografi sehingga bereferensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin, dan lainnya.
2. Data dari Sistem Penginderaan Jauh
Data ini sangat penting bagi SIG karena ketersediaannya secara berskala. Adanya satelit di ruang angkasa dengan spesifikasi masing-masing, SIG dapat menerima berbagai jenis citra satelit untuk pemakaian yang beragam
3. Data hasil pengukuran lapangan
Data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak penggunaan hutan yang dihasilkan berdasarkan perhitungan sendiri
4. Data GPS
GPS memberikan hal yang penting dalam menyediakan informasi atau data bagi SIG. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor.
21 2.5 Analisis Spasial
Sistem Informasi Geografi terdapat istilah yang biasa disebut analisis spasial.
Analisis spasial dapat menjelaskan kumpulan teknik maupun model analisis yang akan digunakan untuk melakukan analisis nilai maupun objek yang telah ditentukan. Analisis spasial sendiri memiliki beberapa komponen utama yaitu permodelan kartografi dan permodelan matematika. Permodelan Kartografi mengumpulkan setiap data dan direpresentasikan sebagai peta atau operasi berbasis peta untuk menghasilkan peta baru, sementara Permodelan matematika terdapat interaksi spasial antara objek dengan hubungan spasial. (Haining, 2004).
2.5.1 Data Spasial
Data spasial yang terdapat pada SIG merupakan data yang berorientasi geografis yang memiliki koordinat tertentu sebagai dasar referensi dan memiliki dua hal yang membuat data spasial berbeda dengan data yang lain yaitu informasi lokasi dan informasi deskriptif (Marjuki, 2014).
a. Informasi Lokasi
Hal ini berhubungan dengan koordinat geografi seperti Lintang dan Bujur maupun koordinat XYZ.
b. Informasi Deskriptif
Informasi ini non spasial yaitu suatu lokasi yang memiliki fungsi untuk menampilkan keterangan pada data grafis seperti jumlah populasi, luas wilayah, dan sebagainya.
2.5.2 Analisis Data Vektor
Data Vektor merupakan data yang bisa merepresentasikan bentuk bumi dalam kumpulan garis, area, titik, dan nodes. Data vektor sendiri merupakan data yang sangat ringan dalam konteks file dan presisi dalam lokasi, tetapi
22
sangat sulit untuk digunakan dalam komputasi matematik. (Irwansyah, 2013;
Marjuki, 2014).
2.5.3 Analisis Data Raster
Data raster atau sel grid merupakan data yang dihasilkan dari jarak jauh.
Data raster direpresentasikan sebagai struktus sel grid yang biasa disebut dengan pixel. Data raster merupakan data yang sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah seperti tanah, kelembapan tanah, vegetasi, dan suhu tanah. Keterbatasan dari data raster terdapat pada ukuran file yang dihasilkan, semakin tinggi resolusi grid maka semakin besar ukuran file.
2.6 Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini berdasarkan segitiga epidemiologi yaitu konsep timbulnya penyakit dengan adanya interaksi tiga komponen penyebab penyakit, yaitu Host, Agent, dan Environment (Irwan, 2017). Pada penelitian ini Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat terjadi antara interaksi faktor host (Usia dan Jenis Kelamin), faktor Agent (Angka Bebas Jentik), dan faktor Environment (Suhu, Kelembapan, Curah Hujan, Kecepatan Angin, dan Ketinggian).
23
Gambar 2.2 Teori Segitiga Epidemiologi
24 3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD).
Peneliti ingin mengetahui gambaran dari variabilitas iklim pada wilayah provinsi banten berdasarkan titik sampel atau stasiun dari BMKG yang tersebar di Provinsi Banten dan kepadatan penduduk untuk mengetahui kategori kepadatan penduduk pada masing-masing kabupaten/kota sehingga hasil akhir pada penelitian ini yaitu peta kerawanan kejadian DBD di Provinsi Banten tahun 2015-2019. Hal tersebut membuat peneliti memilih kejadian DBD, variablitas iklim (curah hujan, kecepatan angin, suhu, dan kelembapan), kepadatan penduduk, serta kerawanan DBD sebagai variabel yang akan diteliti. Peneliti juga mempertimbangkan terhadap ketersediaan dan kelengkapan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Berikut uraian variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Kepadatan Penduduk
Penelitian ini terdapat variabel kepadatan penduduk karena menjadi salah satu sumber masalah kesehatan lingkungan sehingga potensi penyakit yang muncul di tengah kepadatan penduduk yaitu penyakit DBD. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan atau pemindahan penyakit dari satu orang ke orang lain. Semakin padat penduduk maka semakin kondusif virus dapat berkembangbiak.
25 2. Suhu
Suhu merupakan variabel yang dapat memengaruhi kejadian DBD sehingga dimasukkan ke dalam penelitian ini. Suhu menjadi faktor risiko karena dapat menjadikan nyamuk berada pada kondisi optimum dalam perkembangbiakan.
3. Kelembapan Udara
Kelembapan udara menjadi variabel penelitian karena kelembapan udara dapat memengaruhi kejadian DBD dengan adanya tingkat kelembapan yang rendah. Hal tersebut karena dapat memengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, dan berkembangbiak.
4. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dimasukkan ke dalam penelitian ini karena variabel tersebut memengaruhi kejadian DBD. Hal ini karena semakin tinggi kecepatan angin maka akan mengurangi kejadian DBD.
Kecepatan angin cenderung menghambat terbang nyamuk.
5. Curah Hujan
Penelitian ini melibatkan variabel curah hujan karena merupakan bagian variabilitas iklim yang dapat memengaruhi kejadian DBD. Hal ini karena curah hujan dapat menjadikan sarana perkembangbiakan nyamuk.
Variabel-variabel tersebut akan dianalisis secara spasial untuk mengetahui distribusi dengan menghasilkan peta pada masing-masing variabel. Adanya pemetaan tersebut berfungsi untuk melihat distribusi spasial variabel di Provinsi Banten berdasarkan kabupaten/kota tahun 2015-2019.
26
Oleh karena itu, kerangka konsep yang akan dipakai dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
27 3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus
Telaah dokumen Angka Insidens rate per 100.000 penduduk
1. Rendah (IR<20) 2. Sedang (IR 20-55) 3. Tinggi (IR≥55)
Sumber : (Kemenkes RI, 2010b)
Ordinal
2. Suhu Rata-rata suhu di provinsi
Banten yang tercatat dalam laporan BMKG selama 2015-2019.
Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam derajat Celcius (°C)
1. Dingin (<11˚C) 2. Sedang (11-22 ˚C) 3. Panas (>22 ˚C) (Winarsih, 2019)
Ordinal
3. Kecepatan Angin Rata-rata kecepatan angin di provinsi banten yang
tercatat dalam laporan BMKG selama 2015-2019.
Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam knot.
1. Calm (<1 knot) 2. Light Air (1-6 knot) 3. Gentle Breeze (7-10 knot) Sumber : (Sari & Maulidany, 2020)
Ordinal
4. Kelembapan Rata-rata kelembapan di Telaah dokumen Rata-rata pertahun dalam persentase Ordinal
28
No Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
provinsi Banten yang tercatat dalam laporan BMKG selama 2015-2019.
(%)
1. Rendah (<40%) 2. Sedang (40-70%) 3. Tinggi (>70%) Sumber : (BMKG, 2021) 5. Curah Hujan Tingkat hujan di provinsi
Banten yang tercatat dalam laporan BMKG selama tahun 2015-2019.
Telaah dokumen Rata-rata per tahun dalam mm.
1. Rendah (<2000 mm)
2. Menengah (2000-3000 mm) 3. Tinggi (>3000 mm)
Sumber : (Prasetiyo, Irwandi, &
Pusparini, 2018)
Ordinal
6. Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk total dengan luas wilayah di provinsi banten.
Telaah dokumen Rata-rata dalam jiwa/km2 1. <2000 Jiwa/km2 2. 2000-4000 Jiwa/km2 3. >4000 Jiwa/km2
Sumber : (Kusuma & Sukendra, 2016b)
Ordinal
7. Kerawanan DBD kemungkinan potensi kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian DBD di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.
Telaah Dokumen Berdasarkan hasil analisis dan menggunakan kategori
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Sumber : (Achmad, 2010)
Ordinal
29 4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian
Kajian ini berjenis kajian epidemiologi deskriptif dengan desain ecological study mempergunakan permodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis pada data sekunder dan melalui pendekatan spasial.
Studi ekologi merupakan penelitian epidemiologi dengan unit analisis berupa populasi dan mengunakan data agregat. Pendekatan epidemiologi spasial digunakan untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian Demam Berdarah Dengue di Provinsi Banten tahun 2015-2019 dengan menggunakan variabel yang diteliti yaitu dari faktor lingkungan diantaranya: curah hujan, kelembapan, suhu, kecepatan angin, dan kepadatan penduduk sehingga dapat mengetahui tingkat kerawanan kejadian DBD di Provinsi Banten pada tahun 2015-2019 berdasarkan variabel tersebut.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Kajian ini terlaksana di wilayah Provinsi Banten, meliputi 8 kabupaten/kota yakni: Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak. Kajian ini terlaksana sejak bulan Mei sampai Juli 2021.
30
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan sampel yang ada di kajian ini ialah semua wilayah kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
No. Kabupaten/Kota
1. Kota Tangerang Selatan 2. Kota Tangerang
3. Kota Serang 4. Kota Cilegon
5. Kabupaten Tangerang 6. Kabupaten Pandeglang 7. Kabupaten Serang 8. Kabupaten Lebak
31 4.4 Metode Pengumpulan Data
4.4.1 Pengumpulan Data dan Sumber Data
Pengumpulan data kajian ini dilakukan dengan observasi data sekunder dari instansi terkait. Observasi data sekunder dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk memperoleh informasi terkait kejadian DBD, sementara nilai Insidence Rate (IR) didapatkan dengan adanya penghitungan menggunakan rumus IR. Observasi data sekunder yang didapat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di wilayah banten yang bersumber di Balai Besar Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah 2 untuk memperoleh informasi terkait variabilitas iklim (curah hujan, suhu, kecepatan angin, dan kelembapan). Sementara, observasi data sekunder yang didapat dari Badan Pusat Statistik Provinsi Banten untuk memperoleh informasi terkait kepadatan penduduk.
Peta administrasi Provinsi Banten diperoleh dari mengunduh peta wilayah berbentuk file Shapefile (shp). Terlampir data yang terkumpilkan pada kajian ini.
Tabel 4.2 Sumber Data Penelitian
Data Sumber Data Tahun Metode
Kasus Demam Berdarah Dengue
(DBD) per kabupaten/kota
Dinas Kesehatan Provinsi Banten
2015-2019 Laporan Ditjen P2P Dinas Kesehatan Provinsi Banten
32
Tabel 4.2 Sumber Data Penelitian (Lanjutan) Data Sumber Data Tahun Metode Variabilitas
Iklim (Curah hujan, suhu, kelembapan, dan kecepatan angin)
Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Serang
2015-2019 Pengamantan unsur- unsur cuaca yang dilaksanakan oleh BMKG
Kepadatan Penduduk per kabupaten/kota
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten
2015-2019 Laporan BPS Provinsi Banten dalam Angka
Peta wilayah administrasi Provinsi Banten
Situs Ina- Geoportal
2021 Hasil interpretasi foto yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia
4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen pada kajian ini ialah lembar checklist dan dummy table untuk memeriksa ketersediaan dan kelengkapan data.
4.5 Manajemen Data
Data diolah menggunakan Microsoft Office Excel dan Software Quantum GIS versi 3.12.0. untuk mengetahui peta tingkat kerawanan DBD di Provinsi Banten. Software Microsoft Excel digunakan untuk membuat dummy table terkait tabel yang dibutuhkan dalam penelitian. Software Quantum GIS versi 3.12.0 digunakan untuk menyatukan layer vektor peta wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dan membuat peta gambaran spasial variabel insiden Demam Berdarah Dengue (DBD), Kepadatan penduduk, Variabilitas Iklim (Curah hujan, suhu, kelembapan, dan kecepatan angin). Tahapan pengolahan data pada kajian ini, yaitu:
33 4.5.1 Pemeriksaan Data
Data yang didapat akan disajikan ke bentuk dummy tabel, lalu memeriksa data terkait kelengkapan dan konsistensinya selama 5 tahun sehingga dapat dianalisis.
4.5.2 Pemberian Kode
Pemberian kode bertujuan untuk mempermudah dalam proses analisis. Data yang telah lengkap diberikan kode berdasarkan tujuan dari tiap variabel dan disesuaikan dengan variabel, seperti data kasus DBD diberi kode DBD, Kepadatan Penduduk diberi kode kppdkn, dan untuk variabilitas iklim diberikan kode sesuai dengan variabel yang sudah ada dari data.
4.5.3 Pemasukan Data
Penginputan data dilakukan menggunakan komputer. Data yang sudah dikumpulkan akan dipilih sesuai variabel yang akan dianalisis, lalu memberikan dan menyocokan nama kelurahan sesuai dengan yang melekat pada peta dengan Ms.Excel dilakukan dengan membuka atribut tabel pada software QGIS versi 3.12.0.
4.5.4 Pembersihan Data
Tahap ini data yang dimasukan ke dalam software diperiksa ulang untuk memastikan bila data itu tidak ada missing atau kesalahan.
Setelah melakukan pembersihan, selanjutnya data siap untuk dianalisis.
4.6 Analisis Data
Analisis data dalam kajian ini terdiri dari analisis univariat dan analisis spasial.
34 4.6.1 Analisis Univariat
Data yang sudah melalui tahap pengolahan data dilakukan analisis univariat mempergunakan software Ms. Excel untuk melihat distribusi frekuensi kejadian DBD dan kepadatan penduduk.
4.6.2 Analisis Spasial
Data kepadatan penduduk dan kasu DBD yang telah dianalisis berdasarkan kategori yang ditentukan, lalu melakukan analisis spasial untuk membuat peta gambaran spasial dengan teknik Simbologi warna menggunakan aplikasi Quantum GIS versi 3.12.0, sedangkan pada data variabilitas iklim menggunakan teknik Interpolasi metode Thiessen dengan membuat peta berdasarkan titik pada setiap stasiun. Data variabilitas iklim (curah hujan, suhu, kecepatan angin, dan kelembapan), dan kepadatan penduduk sehingga menghasilkan peta tingkat kerawanan penyakit DBD di Provinsi Banten.
Pembuatan peta dalam penelitian ini akan diberikan simbologi warna berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Peta pada bagian variabilitas iklim (suhu, curah hujan, kelembapan udara, dan kecepatan angin) setelah melakukan teknik Interpolasi dengan metode Thiessen akan diberikan warna merah terang untuk klasifikasi risiko tinggi, warna merah muda untuk klasifikasi risiko sedang, warna putih untuk klasifikasi Rendah.
35
Pada data kasus DBD dan akan mendapat warna dan batas warna berbeda. Peta bagian kasus DBD dikategorikan berdasarkan yang telah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan RI, yaitu IR<20 per 100.000 penduduk akan diberi warna putih untuk klasifikasi kejadian rendah, IR 20-55 per 100.000 penduduk akan diberikan warna merah muda untuk klasifikasi kejadian sedang, dan IR≥55 per 100.000 penduduk akan diberi warna merah untuk klasifikasi kejadian tinggi.
Peta bagian kepadatan penduduk akan diberikan warna berdasar kategori yang ditentukan, yaitu <2000 jiwa/km2 diberi warna putih untuk klasifikasi rendah, 2000-4000 jiwa/km2 diberi warna merah muda untuk klasifikasi sedang, dan >4000 jiwa/km2 diberi warna merah untuk klasifikasi tinggi. Setelah melakukan pemetaan pada data variabilitas iklim dan kepadatan penduduk, selanjutnya dilakukan pembuatan peta tingkat kerawanan kejadian DBD dengan menggunakan simbologi warna yaitu warna putih untuk tingkat kerawanan rendah, warna merah muda untuk tingkat kerawanan sedang, dan warna merah untuk tingkat kerawanan tinggi.
36 BAB V HASIL 4.7 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
4.7.1 Kondisi Geografis
Provinsi Banten merupakan bagian dari Negara Indonesia yang berada pada ujung Pulau Jawa. Berdasarkan posisi geografis, Provinsi Banten memiliki perbatasan Utara-Laut Jawa, Selatan-Samudera Hindia, Barat-Selat Sunda, Timur-Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Letak geografis provinsi Banten pada batas astronomi yaitu 105˚1’11’’ - 106 ˚7’12’’ Bujur Timur dan 5˚7’50’’ - 7˚1’1’’ Lintang Selatan. Peta administrasi Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut (BPS, 2019).
Gambar 0.1 Peta Administrasi Provinsi Banten
37
Gambar 5.1 di atas menunjukkan terdapat delapan kabupaten/kota yang terdiri dari empat kabupaten dan empat kota, yaitu:
1. Kabupaten Pandeglang 2. Kabupaten Lebak 3. Kabupaten Tangerang 4. Kabupaten Serang 5. Kota Tangerang 6. Kota Cilegon 7. Kota Serang
8. Kota Tangerang Selatan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun 2019 menjelaskan luas daratan masing-masing kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pandeglang (2.746,89 km2), Kabupaten Lebak (3.426,56 km2), Kabupaten Serang (1.734,28 km2), Kabupaten Tangerang (1.011,86 km2), Kota Tangerang (153,93 km2), Kota Cilegon (175,50 km2), Kota Serang (266,71 km2), dan Kota Tangerang Selatan (147,19 km2). Provinsi Banten memiliki luas 9.662,92 km2 dengan Kabupaten Lebak menjadi kabupaten/kota luas terbesar dan Kota Tangerang Selatan menjadi kabupaten/kota luas terkecil (BPS, 2019).
4.7.2 Kependudukan
Laporan Banten Dalam Angka tahun 2019 menjelaskan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Banten tahun 2019 sebanyak 12.927.316 jiwa yang terdiri dari 6.583.895 jiwa laki-laki dan 6.343.421 jiwa