• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Makna Patriotisme pada Foto Cerita Jurnalistik MARIO CAISAR FDK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Makna Patriotisme pada Foto Cerita Jurnalistik MARIO CAISAR FDK"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S.Sos)

Oleh: Mario Caisar

NIM: 1111051100013

KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 1 April 2017

(5)

i Mario Caisar

NIM 1111051100013

Makna Patriotisme pada Foto Cerita Jurnalistik

Melalui foto jurnalistik, segala peristiwa tidak akan hilang begitu saja di benak kita dan nantinya dapat mengingatkan khalayak atas peristiwa bersejarah yang pernah terjadi. Foto jurnalistik berperan penting dalam pelaporan suatu peristiwa yang penting dan perlu diketahui banyak orang, karena menyangkut kehidupan di sekitar kita. Membaca dan memahami makna yang ada pada sebuah foto membutuhkan interpretasi dari para penikmat foto, secara mendalam mengaji karya foto tersebut merujuk pada kajian semiotika yang merupakan sebuah metode dalam memaknai tanda atau simbol. Foto jurnalistik membutuhkan suatu medium penyampai pesan pada khalayak, lebih dalam medium tersebut dapat berupa media massa. Www.antarafoto.com mencoba menyajikan gambaran sejumlah pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Satgas Pengamanan Pulau Terluar XVII Yonif 5 Marinir, Yonif 743/PSY Angkatan Darat dan Pangkalan Angkatan Laut Pulau Ndana yang menjaga kedaulatan Republik ini dari klaim negara lain di Pulau Ndana yang terletak di Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui foto cerita jurnalistik yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana yang dipotret oleh seorang pewarta foto ANTARA M. Agung Rajasa.

Dari latar belakang di atas penulis ingin mengetahui apa makna denotasi, konotasi, dan mitos pada foto cerita jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana, pada www.antarafoto.com?, apa makna patriotisme pada foto cerita jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana, pada www.antarafoto.com?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis semiotika model Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) kemudian menghasilkan mitos agar bisa memahami makna pada delapan dari 11 foto pada foto cerita jurnalistik berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana yang diunggah www.antarafoto.com pada September 2015. Selanjutnya, penulis menambahkan dengan temuan makna yang mengarahkan pada patriotisme.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, diperoleh beberapa hasil, yaitu: makna denotasi yang memberikan gambaran bagaimana kehidupan para prajurit TNI di pulau paling selatan di Indonesia yang hanya dihuni oleh para prajurit TNI tersebut. Untuk analisis pada makna konotasi, Sementara makna konotasi dari keseluruhan rangkaian foto cerita jurnlistik tersebut ialah perjuangan para prajurit dalam menjaga kedaulataan wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, meski dalam keterbatasan dan kesederhanaan mereka tetap melaksanakan tugas negara dengan baik. Seperti apa yang ditunjukan oleh Panglima Besar TNI Jendral Sudirman pada masa penjajahan dan pendudukan sekutu. Pada makna mitos adalah nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh Jendral Sudirman diharapkan bisa menular pada setiap prajurit TNI. Sementara nilai patriotisme yang tergambar adalah keberanian, kesetiakawanan sosial dan rela berkorban.

Dengan hasil penelitian ini pula disimpulkan bahwa sebuah foto bukan hanya sekadar sebuah alat pengabadi momen namun dapat pula menjadi media penyampai pesan yang baik dan menarik. Melalui foto-foto yang ditampilkan oleh M. Agung Rajasa pula memperlihatkan bahwa para Prajurit TNI yang bertugas memiliki nilai-nilai patriotisme yang seharusnya juga dimiliki oleh seluruh Warga Negara Indonesia

(6)

ii

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirrabilalamin. Segala puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah dan tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW semoga kita adalah umat yang dapat syafaatnya di hari akhir. Aamiin ya rabbalalamin.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa adanyabantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang diselesaikan penulis pada semester 12 ini bukan suatu yangsempurna dan juga bukan suatu skripsi yang telat selesai, penulis percaya bahwakelulusan di semester 12 ini nantinya akan bermanfaat untuk penulis sendiri dan orang lain. Maka dalam kata pengantar ini ingin menyampaikan terima kasihkepada:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam, yang hadir dalam kehidupan penulis sebagai sesuatu yang penulis percaya keberadaan-Nya dan menghadirkan penulis di dunia ini dan di akhirat kelak.

2. Secara khusus kepada Ramania Laode dan Ari Wahyudi, orang tua penulis, yang senantiasa melapangkan jalan kehidupan dengan doa, perhatian, dan kasih sayang, dan Reza Setiadi, adik penulis. Terimakasih Ibu, Bapak, Ja! 3. Dr. Arief Subhan, MA, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

(7)

iii Sekertaris Konsentrasi Jurnalistik.

5. Fita Fathurokhmah, M.Si, dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu, meberikan ilmu serta nasihat sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. M. Agung Rajasa, yang sudah rela meluangkan waktunya untuk penulis wawancarai, juga berbagi cerita tentang bagaimana menjadi fotografer profesional. Semoga semakin sukses dan makin banyak karya dan prestasinya.

7. Kawan-kawan keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa Journo Liberta, Riski Solehudin, Khoirur Rozi, Ardiansyah, Algifari, Miftah Farid, Rheza Alfian, Bisri, Fakhri, Denny, Fathtra dan seluruh anggota redaksi dari angkatan I sampai V yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Sukses terus dan terus berkarya sebebas kalian.

8. Faizah Irani, yang selalu sabar, selalu buat ketawa, selalu memberi doa, waktu, semangat, dan dukungannya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Makasih ya Neng cantik!

9. Kawan-kawan seperjuangan Jurnalistik 2011, Ozzy, Karim, Yudha, Ama, Eko, Dito, Katherine, Ayu, Dian, Gani, dan akan kepanjangan kalau disebutkan satu per satu, yang berproses bersama di dalam dan luar kampus. 10.Hanggi Tyo, Sayyid, dan Agsa, terima kasih atas saran dan masukkannya

(8)

iv

disebutkan satu per satu. Terima kasih , See You on Top Man!!!

12.Kawan-kawan Pelatihan Jurnalistik Bulutangkis Mahasiswa 2015 bersama Harian Bola dan Djarum Foundation. Terima kasih atas ilmu dan pengalamannya.

13.Serta semua pihak yang turut membantu, baik terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT menggantinya dengan rahmat dan karunia kepada kita semua.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk pembaca.

Jakarta, 1 April 2017

(9)

v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian ...7

D. Manfaat Penelitian ...7

E. Metodologi Penelitian ...8

1. Paradigma Penelitian ...8

2. Pendekatan Penelitian ...8

3. Metode Penelitian ...9

4. Teknik Pengumpulan Data ...9

5. Teknik Analisis Data ...10

6. Tempat dan Waktu Penelitian ...12

7. Subjek dan Objek Penelitian ...12

F. Tinjauan Pustaka ...13

G. Sistematika Penulisan ...14

(10)

vi

B. Ruang Lingkup Fotografi ...25

1. Pengertian Fotografi ...25

2. Sejarah dan Perkembangan Fotografi ...27

3. Aliran-aliran Fotografi ...28

C. Foto Jurnalistik ...32

1. Karakteristik Foto Jurnalistik ...31

2. Jenis Foto Jurnalistik ...33

3. Foto Essay dan Foto Cerita ...37

D. Konsep Patriotisme ...40

BAB III GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lembaga Kantor Berita Nasional(LKBN) ANTARA ...46

1. Profil LKBN ANTARA ...46

2. Profil Antara Foto ...49

B. Profil M. Agung Rajasa ...51

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Analisis Data Foto I ...55

B. Analisis Data Foto II ...59

C. Analisis Data Foto III ...63

D. Analisis Data Foto IV ...67

E. Analisis Data Foto V ...70

(11)

vii

H. Analisis Data Foto VIII ...82 I. Interpretasi ...85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...87 B. Saran ...88

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini, masyarakat sulit terpisah dengan informasi. Informasi dibutuhkan masyarakat demi memenuhi kebutuhan pengetahuan serta mengetahui situasi dan kondisi yang sedang terjadi di sekitar mereka. New Media salah satunya internet menjadi salah satu pilihan masyarakat luas demi melengkapi kebutuhannya akan informasi seiring dengan perkembangan zaman. Melalui internet, masyarakat diberi kemudahan dalam pencarian informasi di mana saja mereka berada dan kapan saja mereka membutuhkannya.

(13)

melihat, menikmati, dan berimajinasi lebih dalam mengenai sebuah peristiwa. Melihat hal tersebut, penulis tertarik meneliti sebuah judul foto cerita untuk dianalisis makna dan pesan jurnalistiknya.

Foto mampu memberikan pesan berita tersendiri bagi para penikmat foto. Foto juga dapat mendukung berita ketika tulisan dalam sebuah berita tidak mampu menggambarkan realita yang terjadi. Foto semakin dianggap penting dalam dunia jurnalistik yang semakin berkembang di Indonesia. Melalui foto jurnalistik, segala peristiwa tidak akan hilang begitu saja di benak kita dan nantinya dapat mengingatkan khalayak atas peristiwa bersejarah yang pernah terjadi. Foto jurnalistik berperan penting dalam pelaporan suatu peristiwa yang penting dan perlu diketahui banyak orang, karena menyangkut kehidupan di sekitar kita1. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press)2. Secara khusus karena objek dan fungsinya yang tidak sekadar mendokumentasikan tetapi juga karena apa yang terekam itu juga harus diketahui secara umum, maka lahirlah apa yang disebut

press photograph atau fotografi jurnalistik.3

1Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa,

(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 3

2Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa,

h. 5

3Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Penerbit UniversitasTrisakti, 2006),

(14)

Foto bukan hanya sekadar hasil karya yang menarik secara bentuk, namun foto memiliki kedalaman dan makna. Foto sebagai ungkapan berita harus mengandung unsur 5W + 1H (what, who, where, when, why, dan how) untuk kelayakan berita setiap helainya.4 Fotografer berperan dalam pemilihan objek yang akan diambil, pemilihan ini dapat terjadi sebelum atau pada saat pengambilan objek. Tiap fotografer memiliki dua pilihan pendekatan saat ia mengambil gambar, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Pendekatan objektif ialah saat fotografer berusaha dengan sadar untuk menyajikan gambaran menurut kenyataan, tanpa mengungkapkan pendapat pribadinya. Sedangkan pendekatan subjektif ialah cara mengabadikan gambar di saat fotografer dengan sengaja berusaha mengungkapkan perasaan pribadi terhadap apa yang dilihatnya.5 Pada dasarnya fotografer jurnalistik dituntut untuk menghasilkan karya foto yang objektif, namun demi menghasilkan gambar yang baik biasanya fotografer menggunakan nalurinya untuk memotret. Foto jurnalistik di Indonesia diatur dalam kode etik jurnalistik, khususnya pada pasal 2 dan 3.6

Menurut Paul Messaris seperti dikutip Seno Gumira Adjidarma dalam bukunya Kisah Mata, gambar-gambar yang dihasilkan oleh manusia, termasuk fotografi, bisa dipandang sebagai suatu keberaksaraan visual.7 Dapat dikatakan bahwa, gambar-gambar itu bisa dibaca, sehingga hasil dari pendapat tersebut

4 Atok Sugiarto, Indah Itu Mudah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 110 5 Andreas Freininger, Unsur Utama Fotografi, (Semarang: Dahara Prize, 1999) h. 16-17 6 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa,

(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 9

7 Seno Gumira Adjidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:Perbincangan tentang

(15)

gambar-gambar pun merupakan bagian dari suatu cara berbahasa. Editor majalah

Life, Wilson Hicks mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya, selain itu ada pula foto seri atau foto esai, merupakan foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto tetapi temanya satu. Hal tersebut mendukung keberadaan foto jurnalistik di media massa untuk melibatkan perasaan dan menggugah emosi khalayak.8

Membaca dan memahami makna yang ada pada sebuah foto membutuhkan interpretasi dari para penikmat foto, secara mendalam mengaji karya foto tersebut merujuk pada kajian semiotika yang merupakan sebuah metode dalam memaknai tanda atau simbol. Hal ini berhubungan juga dengan pesan sang fotografer melalui foto-foto yang diambilnya kepada khalayak, apakah pesan tersebut dapat dimaknai dengan baik oleh khalayaknya. Karya foto sebagai komunikasi visual merujuk pada rekonstruksi atas realitas, yang berarti penggambaran kembali realitas yang terjadi. Pemahaman dan pemaknaan pesan dalam sebuah karya foto jurnalistik dapat berbagai macam hasilnya yang bergantung pada perspektif para penikmat foto. Keberadaan sebuah foto tidak ditentukan oleh apa atau siapa objeknya, melainkan oleh bagaimana “subjek yang memandang" dan memberi makna kepada foto

tersebut.9

8Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa,

(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 5

9Seno Gumira Adjidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:Perbincangan tentang

(16)

Foto jurnalistik membutuhkan suatu medium penyampai pesan pada khalayak, lebih dalam medium tersebut dapat berupa media massa. Kantor berita nasional ANTARA merupakan salah satu medium yang menyajikan teks atau gambar kepada khalayak mengenai realita yang terjadi di sekitar. Portal online

www.antarafoto.com yang juga merupakan bagian dari Kantor berita nasional ANTARA, sebagai distributor foto jurnalistik di Indonesia baik untuk media nasional maupun media internasional, menyajikan beragam karakter foto jurnalistik mulai dari foto tunggal hingga foto cerita.

Www.antarafoto.com mencoba menyajikan gambaran sejumlah pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Satgas Pengamanan Pulau Terluar XVII Yonif 5 Marinir, Yonif 743/PSY Angkatan Darat dan Pangkalan Angkatan Laut Pulau Ndana yang menjaga kedaulatan Republik ini dari klaim negara lain di Pulau Ndana yang terletak di Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui foto cerita jurnalistik yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana yang dipotret oleh seorang pewarta foto Antara, yaitu M. Agung Rajasa. Ketika seseorang memotret, pilihan atas apa yang dipotret merupakan suatu konstruksi budaya, yang merupakan suatu pembacaan atas peristiwa yang intuitif dan berlangsung cepat sekali untuk memutuskan segera pilihan atas objeknya, dimana pemilihan ini sangat ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupan pemotret.10

10 Seno Gumira Adjidarma, Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:Perbincangan tentang

(17)

Dengan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini berjudul: Makna Patriotisme Pada Foto Cerita Jurnalistik

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada foto cerita Jurnalistik karya M. Agung Rajasa di media online www.antarafoto.com yang berjudul

Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana yang diunggah pada 4 September 2015. Foto karya M. Agung Rajasa tersebut bercerita tentang bagaimana kehidupan Satgas Pengamanan Pulau Terluar XVII Yonif 5 Marinir, Yonif 743/PSY Angkatan Darat dan Pangkalan Angkatan Laut pulau Ndana menjaga kedaulatan negara ini dari klaim negara lain. Penulis hanya mengambil delapan dari 11 foto karena menurut penulis empat foto tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Apa makna denotasi, konotasi, dan mitos pada foto cerita jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul

(18)

b) Apa makna patriotisme pada foto cerita jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana, pada www.antarafoto.com?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi, konotasi, dan mitos yang terkandung pada foto cerita jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana, pada www.antarafoto.com. 2. Untuk mengetahui dan memahami makna patriotisme pada foto cerita

jurnalistik karya M. Agung Rajasa yang berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana, pada www.antarafoto.com.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian yang memberi kontribusi bagi keilmuan komunikasi, khususnya keilmuan jurnalistik dalam membaca tanda yang terkandung dalam foto cerita jurnalistik melalui kacamata semiotika.

2. Manfaat Praktis

(19)

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian merupakan suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosisalisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukan pada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan ekstensial atau epistimologi yang panjang.11

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis.12 Paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. 2. Pendekatan Penelitian

Dalam memaparkan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriktif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

11 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2003), h.9.

12 Zainal Arifin, Penelitian, Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: PT Remaja

(20)

perilaku yang dapat diamati.13 Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendapat pemahaman yang sifatnya umum yang diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum tentang kenyatan-kenyataan tersebut.14

3. Metode penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian analisis semotik Roland Barthes, yang dalam memaknai sebuah foto melalui tiga tahapan, yaitu : denotasi, konotasi, dan mitos.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penulis melakukan pengumpulan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Copy File Foto

Untuk mendapatkan foto cerita jurnalistik berjudul

Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana penulis mengkopi file dari portal online www. Antarafoto. com. Foto inilah yang kemudian akan menjadi bahan untuk dianalisis dalam penelitian ini.

13 Lexy J. Maleong, Metodologi penelitian kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2000) h.3

14 Rosady Ruslan, Metodologi Penelitian Relation dan Komunikasi, (Jakarta: PT Raja

(21)

b. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara lisan dan bertatap muka secara langsung antara seorang atau beberapa orang yang diwawancarai.15 Dalam penelitian ini, penulis akan mewawancarai fotografer Antara yang memotret foto cerita jurnalistik berjudul Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana yaitu M. Agung Rajasa. c. Studi Kepustakaan

Untuk melengkapi penelitian penulis juga mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber bacaan, seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dan mendukung penulisan.

5. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data semiotika model Roland Barthes. Pada model ini, pemilahan tanda-tanda denotatif dan konotatif dilakukan dengan menggunakan semiotika sehingga dapat dikaji dan bisa mendapatkan makna sebenarnya yang terdapat dalam foto, bagaimana pesan jurnalistik dalam foto cerita jurnalistik Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana

(22)

melalui tanda-tanda yang ada. Merujuk pada pemaknaan foto, khususnya foto jurnalistik maka penulis menggunakan prosedur Roland Barthes dalam memaknai foto cerita tersebut, yang terdiri dari:

Peta tanda Roland Barthes Tabel 1

Signifier

(Penanda)

Signifiet

(petanda)

Denotative sign (tanda denotatif)

CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

CONNOTATIVE

SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)

CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

6. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini akan dilakukan di Galeri Foto Jurnalistik Antara yang terletak di Jalan Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Penelitian ini dilakukan antara Januari sampai Februari 2016.

7. Subjek dan Objek Penelitian

(23)

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku yang membahas tentang analisis semiotika. Beberapa skripsi mengenai analisis semiotika yang menjadi acuan di antaranya:

Nilai Budaya Dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Headline

di Surat Kabar Harian Kompas Edisi Ramadan 1434 H./2013 M.) oleh Faradilla Nurul Rahma, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Hasil analisis skripsi tersebut menemukan bahwa dengan analisis semiotik model Roland Barthes tidak hanya menemukan makna denotasi, konotasi, dan mitos dari sebuah foto, tetapi juga dapat menemukan nilai budaya dalam foto. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi tersebut adalah terletak pada jenis media yang menerbitkan foto dan jenis fotonya. Pada skripsi karya Faradilla Nurul Rahma merupakan foto dalam media cetak atau koran dan merupakan foto tunggal sedangkan pada skripsi ini adalah media online dan merupakan foto cerita.

(24)

perbedaan dengan skripsi ini adalah foto yang dianalisis pada skripsi tersebut sama-sama merupakan rangkaian foto jamak atau cerita, dan bedanya adalah foto-foto tersebut dipublikasi dalam sebuah pameran sedangkan dalam skripsi ini dipublikasi pada media online.

Yang terakhir adalah Analisis Semiotik Isi Pesan Esai Foto Jurnalistik dalam Foto-foto Perjuangan Sumarsih Belum Berakhir Karya Pewarta Foto Antara pada Buku Kilas Balik 2009-2010 oleh Herka Yanis Pangaribowo, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2012. Hasil dari skripsi karya Herka Yanis Pangaribowo adalah menemukan pesan di balik rangkaian esai foto. Persamaan dan perbedaannya dengan skripsi ini adalah sama-sama merupakan analisis dari foto jamak, dan merupakan foto hasil jepretan perwarta foto dari Antara Foto. Sedangkan bedanya yakni foto tersebut dipublikasi pada buku foto dan foto yang penulis analisis dipublikasi pada media online

www.antarafoto.com. Walaupun sama-sama menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes, penelitian ini memiliki perbedaan objek dari penelitian sebelumnya yaitu foto cerita jurnalistik “Menjaga Indonesia dari Pulau Ndana” karya pewarta foto Antara M.Agung Rajasa.

(25)

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan, maka sistematika penulisan dibagi ke dalam lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari sub-bab dengan penyusunan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI Bab ini membahas tentang ruang lingkup teori semiotika, semiotika model Roland Barthes, fotografi, foto cerita jurnalistik, dan pejelasan tentang nilai patriotisme.

BAB III : GAMBARAN UMUM Bab ini, penulis menggambarkan atau menjelaskan mengenai profil pewarta foto yang bernama M Agung Rajasa, dari mulai pendidikan yang ia jalani, hingga karya dan prestasi-prestasi yang telah ia dapatkan selama menjadi seorang pewarta foto. Serta profil dari LKBN ANTARA dan juga www.antarafoto.com.

(26)
(27)

16

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Ruang Lingkup Semiotika 1. Pengertian Semiotika

Menurut Eco, dalam buku Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis

Framming yang dikutip oleh Alex Sobur secara etimologis, istilah semiotika atau semiologi berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berati “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai

sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.1

Eco juga menjelaskan, secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda.2 Sedangkan menurut Benny H. Soed dalam bukunya

Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan masyarakat dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang kita beri makna.3

1 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Wacana, Analisis Semiotik, dan

Analisis Framming, (Bandung: PT.Rosdakarya, 2004), h. 95

2 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Analisis Untuk Wacana, Analisis Semiotik, dan

Analisis Framming, h. 95

3 Benny H. Soed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu

(28)

Dalam perkembangannya, semiotika memiliki dua tokoh sentral yang mempunyai latar belakang berbeda. Adalah Charles Sanders Pierce dan Ferdinand De Saussure dua pilar sentral keilmuan semiotika. Saussure berpandangan bahwa semiotika merupakan sebuah kajian yang memperlajari tentang tanda-tanda yang menjadi bagian dari kehidupan sosial.4

Berbeda dengan Saussure yang memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Menurut Pierce yang berlatar belakang keilmuan filsafat, tanda adalah perwakilan atau ‘sesuatu’ yang

mewakili ‘sesuatu’, ‘sesuatu’ yang pertama adalah tanda yang

dapat ditangkap oleh panca indera manusia, sedangkan ‘sesuatu’

berikutnya adalah menghubungkan ‘sesuatu’ yang awal dengan

hal-hal yang telah berpacu pada suatu ilmu atau pemahaman manusia yang melihat ‘sesuatu yang awal’ tersebut, di mana

nantinya akan menghasilkan suatu penafsiran atau interpretant.5 Proses yang disebutkan Pierce tersebut disebut dengan nama segitiga semiotik.

2. Semiotika Model Roland Barthes

Karena penelitian ini menggunakan teori semiotik model Roland Barthes maka penulis akan membahas lebih jauh tentang semiotika model ini. Lahir pada 1915 dari keluarga kelas

4 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), h. 4

5 Benny H. Soed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu

(29)

menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat Pantai Atlantik di sebelah Barat Daya Perancis.6

Barthes adalah anak dari seorang perwira angkatan laut, dan setelah sepeninggalan dari ayahnya, Barthes hidup dengan ibunya yang bekerja sebagai penjilid buku. Kepintarannya bukan tanpa sebab, melainkan antara 1943 sampai 1947 ia menderita sebuah penyakit yang memaksanya untuk beristirahat. Dari istirahat itulah Barthes banyak membaca buku hingga berhasil membuat artikel.7 Semasa hidupnya Barthes telah banyak menulis buku, di antaranya adalah le degree zero de l’ecritureatau “nol derajat di bidang menulis” (diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, writing

degree zero 1977).

Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.

Yasraf Amir Piliang menjabarkan dalam bukunya

Hipersemiotika, Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara

(30)

tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti.8

Sementara konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makan-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan.9

Model Barthes ini dikenal dengan signifikasi dua tahap (two way of signification) seperti yang terlihat dalam gambar di bawah.

Peta Tanda Roland Barthes

8 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (

Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261

9 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, h.

261

(31)

Dari peta tanda Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan penanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga

diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.Jadi dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekadar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.11

Selain denotatif dan konotatif, semiotika Roland Barthes juga tidak akan lepas dari adanya mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani yaitu mutos, yang berarti cerita. Biasanya mitos kita pakai untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.12

Mitos oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification),

(32)

sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.13

Teori tentang mitos tersebut kemudian diterangkannya dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifed (petanda) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia akan menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.14 Seperti pada gambar di bawah:

Tatanan Penandaan Barthes Tabel 3

Dua tatanan pertandaan Barthes. Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama

disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.15

13 Roland Barthes, Mitologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009) h. 208.

14 Benny H. Soed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya UI, 2008), h.22

(33)

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.16

Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotatif dan denotatif sebagai berikut:17

Memberi kesan tentang makna Menjabarkan

Dunia mitos Dunia keberadaan/ eksistensi

B. Ruang Lingkup Fotografi 1. Pengertian Fotografi

Fotografi merupakan sebuah ilmu tentang melukis dengan cahaya. Kata fotografi berasal dari bahasa Yunani, yaitu photos dan graphein.

Photos memiliki arti cahaya sedangkan graphein berarti melukis. Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh Sir John Herschell seorang ilmuan asal Inggris tahun 1839.18 Fotografi erat kaitannya dengan cahaya. Sebab cahaya adalah unsur paling penting dalam

16 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h.71 17 Arthur Asa Berger, Tehnik-tehnik Analisis Media second Edition, (Yogyakarta

Universitas Atmajaya, 2000), h.55

18 Darmawan Ferry, Dunia dalam Bingkai, cet 1 (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.

(34)

sebuah pengambilan gambar. Apabila cahaya kurang mencukupi, maka gambar yang terekam akan terlihat kurang jelas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata fotografi merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.19 Melalui tahapan pada bagian kamera, sebuah objek dengan dukungan cahaya akan menjadi sebuah foto yang kemudian menjadi bentuk visual. Fotografi adalah seni, yaitu pemotretan yang menghasilkan karya foto yang indah dan bernilai seni tinggi.20 Selain sebagai media komunikasi, foto juga bernilai estetika yang semakin menguatkan pesan dan mendukung makna yang terkandung. Setelah melewati pengertian bahwa cahaya sangat berpengaruh dalam fotografi, pengertian selanjutnya tentang fotografi tidak dapat berhenti pada titik ini. Fotografi tidak sekadar perkara cahaya, namun terdapat banyak komponen atau unsur yang ada dalam penjelasan terhadap fotografi itu sendiri.

Seno Ajidarma Gumira dalam buku Kisah Mata Fotografi

menjelaskan bahwa foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.21

19 Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h.

2

(35)

Sementara Tubagus P.Svarajati dalam bukunya Phōtagōgós,

mengemukakan bahwa fotografi adalah proses dari seni melihat atau art of seeing yang berpondasi pada kemampuan dalam menuangkan kreativitas seorang fotografer.22

2. Sejarah dan Perkembangan Fotografi

Pada 1558 ilmuan Italia, Giambasista Della Forta menyebut kamera ‘Camera obscura’ pada sebuah kotak yang membantu pelukis

menangkap bayangan gambar. Suatu fakta bahwa fotografi lahir sebagai upaya menyempurnakan karya seni visual dan bentuk prototif sebuah kamera yang disebut camera obscura. Meski percobaan alat rekam gambar sudah mencapai taraf yang menguntungkan dan perkembangan dari saat ke saat semakin berhasil, tetap saja belum bisa disebut proses fotografi karena media perekam gambarnya masih belum bisa membuat gambar permanen.23

Sedangkan peralatan modern dalam bentuk Kodak dan gulungan film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh George Eastman pada 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja sebagai seorang karyawan bank di Rochester, New York. Eastman kemudian mengembangkan temuannya itu, hingga pada 1889 ia membuka usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu

22 Tubagus P. Svarajati, PHŌTAGŌGÓS: Terang-Gelap Fotografi Indonesia, (Semarang:

Suka Buku, 2013), h. 21

(36)

ia memperkenalkan film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai popular di Amerika pada 1920-an.24

Fotografi yang berkembang saat ini jauh berbeda dengan fotografi di awal era kemunculannya. Hal ini terlihat dari pandangan secara teknis kamera dan bentuk kamera. Bayangkan saja seseorang dapat duduk, berbaring, bahkan berdiri selama 10 detik lebih untuk menghasilkan sebuah foto diri atau selfie yang saat ini sedang menjadi trend di Indonesia bahkan di dunia. Hal tersebut diperjelas Erik Prasetya dalam bukunya yang berjudul On Street Photography, bahwa hingga abad ke-19 fotografi tidak bekerja dengan cepat, melainkan baru abad ke-20 lah fotografi cepat yang lebih kecil dan mudah dibawa ditemukan.25 Dalam buku tersebut juga disisipkan hasil foto cetak pertama di dunia yang dibuat oleh fotografer berkebangsaan Prancis, Joseph Nicephore Niepce pada 1826.

Di Indonesia, Yudhi Soerjoatmodjo dalam bukunya berjudul IPPHOS mencatat, Mendur bersaudara, Alex Impurung (1907-1984) dan Frans Soemarto (1913-1971) adalah dua orang yang berpengaruh dalam perkembangan fotografi di Indonesia, di mana mereka merekam peristiwa sebelum dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia.

24 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos

Wacana Ilmu, 1999), h. 100.

25 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],

(37)

3. Aliran-aliran Fotografi

Dalam fotografi terdapat beberapa aliran, Bagas Darmawan dalam bukunya Fotografi dengan Kamera DSLR mengategorikan foto-foto dalam bidangnya. Aliran-aliran itu antara lain journalism photography, potrait photography, foto comercial advertising, wedding photography,

fashion photography, food photography, landscape photography,

cinemagraph photography, wildlife photography, street photography,

underwater photography, infrared photography, macro photography.26 Foto jurnalistik menurut Guru Besar Universitas Missouri, AS, Cliff Edom yang dikutip Audy Mirza Alwi dalam buku Foto Jurnalistik

adalah pantuan kata words dan pictures. Sementara menurut editor foto majalah Life dari 1937-1950, Wilson Hicks, kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya.27

Potrait photography adalah dimana sang fotografer menunjukan penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir tanpa latar belakang.28 Dalam fotografi potret, hubungan antara fotografer dengan subjek yang difoto adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh pada hasil foto.

26 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi dengan Kamera DSLR, (Yogyakarta: Pustaka Baru

Press), h.80

27 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 4

28 National Gheograpic, Ultimate Field Guide To Photography, (China: National

(38)

Foto comercial advertising ditujukan untuk promosi sebuah produk atau iklan.29 Dalam aliran ini, peran software pengolahan foto cukup penting. Sebab untuk kepentingan iklan dalam prosesnya tidak hanya memerlukan keterampilan menggunakan kamera tetapi juga keahlian dalam penggunaan software pengolahan foto.

Wedding photography adalah aliran yang biasa dilakukan oleh fotografer yang sudah ahli atau profesional karena dalam aliran ini dibutuhkan kecepatan dan ketepatan di setiap momen-momennya yang penting.30 Seperti namanya aliran ini ada dalam seluruh aktivitas pernikahan.

Fashion photography hampir mirip dengan aliran foto comercial advertising yaitu untuk mempromosikan pakaian atau perlengkapan-perlengkapan berbusana.31 Perbedaan dari aliran foto comercial

advertising ialah objek yang ditampilkan berupa busana dan aksesoris tubuh lainnya. Aliran ini juga menggunakan model untuk penarik iklan tersebut.

Food photography dibutuhkan untuk iklan sebuah makanan atau minuman serta pengemasannya. Selain untuk dipromosikan atau diiklankan, biasanya foto-foto aliran ini dipakai untuk tampilan menu.32

Landscape photography adalah fotografi yang menampilkan berbagai pemandangan seperti alam, pedesaan dan perkotaan.

29 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi dengan Kamera DSLR, (Yogyakarta: Pustaka Baru

Press), h. 81

30 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi dengan Kamera DSLR, (Yogyakarta: Pustaka

Baru Press), h. 82

(39)

Pendekatan fotografi ini biasanya digunakan oleh para traveller atau wisatawan. Lalu tentang fotografi kontemporer, dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer berarti masa kini.33

Cinemagraph photography adalah aliran yang menampilkan foto yang mampu bergerak.34 Aliran ini memerlukan keahlian khusus dalam pengambilan dan pengolahan fotonya.

Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam.35 Aliran ini hampir sama dengan landscape photography, di mana kedua aliran ini bersinggungan dengan alam. Namun, aliran wildlife photography lebih terfokus pada kehidupan hewan liar yang berada di alam bebas.

Street photography adalah suatu aliran atau pendekatan fotografi yang menampilkan foto-foto di ruang publik seperti taman kota, terminal, mal, pedestrian dan lainnya.36 Ditambahkan oleh Wilsen Way dalam Human Interest Photography, aliran ini mempunyai sifat foto yang diambil diam-diam atau orang biasa menyebutnya snapshoot, lokasinya tentu di mana sana tapi tentunya di luar ruangan.37

Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut. Aliran underwater photography memiliki dua golongan yaitu macro photographer yang menggambarkan keadaan laut secara dekat dan

33 Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008), h. 805

34 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografo dengan Kamera DSLR, h.89

35 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografo dengan Kamera DSLR, (Yogyakarta: Pustaka

Baru Press), h.90

36 Erik Prasetya, On Street Photography, (Jakarta: KPG[Kepustakaan Populer Gramedia],

2014.), h. 12-15

37 Wilsen Way, Human Interest Photography, (Jakarta: PT Alex Media Komputindo,

(40)

detail seperti ikan, siput, rumput laut dan wide angle photographer yang menampilkan keindahan pemandangan bawah laut secara luas.38

Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua kamera bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan pengaturan di dalam kamera yang harus memiliki sensitif pada cahaya inframerah.39

Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan jarak sangat dekat dan menampilka sangat detail bagian tertentu dari objek.40 Aliran ini memerlukan lensa khusus untuk makro. Objek fotografi makro dapat berupa serangga, bunga, bulir air atau benda lain yang jika di-closeup-kan akan menghasilkan detail yang menarik.

C. Foto Jurnalistik

Awal mula fotografi masuk dalam halaman surat kabar adalah sejak Mathew Brady membuat gambaran realis, yang melukiskan suasan perang, gambar tersebut ternyata menarik perhatian para pembaca surat kabar sekaligus membangun kesan tentang peristiwa.41 Sejarah mencatat surat kabar harian Daily Graphic, pada Senin 16 April 1877 memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu seperti yang disebutkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik, merupakan

38 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografo dengan Kamera DSLR, h.92 39 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografo dengan Kamera DSLR, h.93

40 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografo dengan Kamera DSLR, (Yogyakarta: Pustaka

Baru Press), h.95

41 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan teori dan praktek, (Jakarta: logos

(41)

embrio dari foto jurnalistik.42 Lalu pada 1937-1950 terbitlah majalah Life, majalah tersebut menampilkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam penyajiannya.

Perkembangan foto jurnalistik sampai pada era foto jurnalistik modern yang dikenal dengan golden age. Di era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alferd Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour dan W. Eugene Smith. Taufan Wijaya menjelaskan dalam www.1000kata.com, Pada 1947 Henry Cartier-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, dan George Rodger kemudian mendirikan Magnum Photos. Magnum adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu dan belahan dunia. Para pendirinya yang ‘alumni’Life kemudian membagi area kerja yaitu, Afrika dan Timur Tengah, India dan Cina, Eropa, serta Amerika.43

Robert Capa dikenal sebagai fotografer yang memotret secara dekat dalam medan perang dengan kalimat yang sangat terkemuka,“ Jika gambar

Anda tidak cukup bagus, Anda tidak cukup dekat.” Salah satu fotonya yang

sangat terkenal berjudul The Falling Soldier menceritakan tentang seorang prajurit yang gugur karena tertembak dalam perang Spanyol pada 5 September 1936 di Cerro Muriano.44

Di Indonesia foto jurnalistik berawal pada 1841, ialah Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia.

42 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik dalam Dimensi Utuh, (Jakarta: CV.Sahabat,2011), h.1 43 http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/ (diakses pada 8 Februari

2016)

44 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2014),

(42)

Seorang anak Indonesia yang diangkat oleh pasangan Belanda bernama Kassian Cephas dikenal dengan hasil fotonya pada 1875.45 Dalam buku IPPHOS karya Yudhi Soerjoatmodjo, Oscar Motuloh mengungkapkan, pada 2 Oktober 1946 Justus Umbas bersama Frans “Nyong” Mendur, Alex

Mamusung serta Oscar Ganda, mereka mendirikan IPPHOS, yang tercatat sebagai kantor berita foto independen pertama di Indonesia.46

Hingga pada 1992 Lembaga Kantor Berita Negara Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), galeri pertama yang fokus pada foto jurnalistik. Dengan kelas foto jurnalistiknya, Antara menjadi katalis lahirnya jurnalis foto muda. Lewat jalur pendidikan mereka mengembangkan minat dan wawasan jurnalistik.47

1. Karakteristik Foto Jurnalistik

Foto jurnalistik merupakan bagian dari komunikasi massa, adapun yang membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai foto jurnalistik, yaitu di dalamnya mengandung unsur berita, serta mencantumkan keterangan foto yang memuat informasi 5W+1H. Seperti yang dikutip Alwi dalam bukunya Foto Jurnalistik, Frank P. Hoy menjelaskan ada delapan karaketer foto jurnalistik, yaitu:48

45 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h.7

46 Yudhi Soerjoatmodjo, IPPHOS Indonesian Press Photo Service, (Jakarta: Galeri Foto

Jurnalistik Antara, 2013), h.220

47 http://www.1000kata.com/2014/07/sejarah-foto-jurnalistik/ (diakses pada 8 Februari

2016)

(43)

a. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan pewarta foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.

b. Medium foto jurnalistik adalah koran atau majalah, media kabel atau satelit, juga internet seperti kantor berita (wire service).

c. Kegiatan foto jurnalistik adalah melaporkan berita d. Foto jurnalistik adalah panduan foto dan teks. e. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia

adalah subjek sekaligus pembaca foto jurnalistik. f. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang

banyak (mass audiences). Berati pesan yang disampaikan harus singkat dan segera disegera diterima orang yang beraneka ragam.

g. Foto jurnalistik merupakan hasil kerja editor foto. h. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi

kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan bicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).

(44)

a. aktual, b. luar biasa, c. penting,

d. mengandung unsur ketokohan,

e. memiliki kedekatan dengan pembaca, f. berkaitan dengan kemanusiaan, dan g. bersifat universal.

2. Jenis Foto Jurnalistik

Organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan para fotografer dunia, World Press Photo mengategorikan beberapa foto berita, antara lain:49

a. Spot photo atau foto berita

Adalah foto tunggal yang menyajikan satu peristiwa yang berdiri sendiri.50 Dengan kata lain tanpa keterangan yang rumit pembaca surat kabar memahami kesan adanya peristiwa yang mempunyai nilai berita. Jenis foto ini, seorang fotografer membutuhkan keberuntungan dalam hal posisi, keberadaan, serta keberanian saat membuat foto. Memperlihatkan emosi subjek yang difotonya sehingga memancing juga emosi pembaca. Contohnya seperti pada saat aksi baku

49 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.5

(45)

tembak antara polisi dan teroris di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Januari lalu.

b. General news photo

Jenis foto ini menjelaskan tentang foto-foto yang diambil secara umum atau peristiwa yang sudah biasa terjadi. Objek pada sejenis foto ini bermacam-macam biasanya seperti politik, sosial, ekonomi, humor dan lain sebagainya. Contohnya foto Presiden Jokowi yang sedang melantik Jaksa Agung di Istana Negara.

c. People in The News Photo

Jenis foto ini biasanya tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Objek dalam foto ini tidak hanya orang yang memiki popularitas, namun setelah foto tersebut dipublikasikan, objek akan menjadi lebih terkenal dari sebelumnya. Contohnya adalah foto Ponari, seorang bocah yang bisa menyebuhkan penyakit dengan mecelupkan batu ajaibnya ke dalam air pasiennya. d. Daily Life Photo

(46)

ingin disampaikan melalui foto jenis ini.51 Berbeda dengan spot photo jenis foto ini bisa ditayangkan kapan saja karena sifatnya yang tidak mudah basi. Contohnya foto kehidupan masyarakat di bantaran Sungai Cisadane.

e. Potrait photo

Jenis foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan bergaya. Sasaran utamanya adalah wajah manusia dan segala ekspresinya.52 f. Sport photo

Jenis foto yang diambil dari peristiwa olah raga. Dalam jenis foto ini fotografer haruslah sangat cekatan dan cepat dalam menangkap momen-momen yang rata-rata berkecapatan tinggi.53 Oleh karena ada jarak tertentu antara atlet, penonton, dan fotografer juga diperlukan kecepatan dalam mengambil gambar, maka sport foto biasanya menggunakan lensa telle untuk mendapatkan hasil yang bagus. Namun ada beberapa cabang olah raga yang dalam pengambilan gambarnya

51R.M. Soelarko, Pengantar Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT.Karya Nusantara, 1985), h.77 52 Isroi, Fotografi Asyik dengan Kamera Saku, (Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET, 2013),

h. 14

53 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, (Bandung:

(47)

fotografer dilarang menggukan lampu kilat atau

flash, seperti pada cabang olah raga bulu tangkis dan tenis. Karena dapat menggangu konsentrasi atlet saat bertanding. Contoh sport photo adalah ekspresi pemain sepak bola usai mencetak gol. g. Science and technology photo

Jenis foto yang diambil dari kejadian yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya seperti foto beberapa siswa SMK di Solo yang memamerkan mobi hasill karya mereka sendiri.

h. Art and culture photo

Jenis foto yang diambil dari peristiwa seni dan budaya. Contohnya seperti foto pertunjukan dari Teater Koma di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. i. Social and environment photo

Jenis foto yang diambil dari kehidupan sosial masyarakat serta lingkungannya. Contohnya foto kehidupan masyarakat pesisir Utara Jakarta. j. Feature photo

Foto feature menurut Yuniadhi Agung dalam

(48)

sekadar didikte oleh peristiwa itu sendiri, sehingga memberi makna lebih dalam terhadap sebuah peristiwa. Sebagai contoh, saat terjadi kebakaran, wartawan tidak hanya memotret api yang menyala dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menjinakkan api, tapi juga memotret ekspresi pemilik rumah yang sedih. kehilangan tempat tinggal.54

k. Essay photo

Jenis foto yang merupakan kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang menyertainya.55 Jenis foto ini sering disebut sebagai ‘otaknya’ foto jurnalistik.

3. Foto Essay dan Foto Cerita

Bercerita dengan cahaya adalah salah satu pilihan penyampaian informasi yang diminati. Selain narasi, foto jurnalistik mampu menampilkan realitas yang diinginkan pembaca dengan apa adanya. Foto jurnalistik terbagi dalam foto tunggal (single picture), foto seri (story photo) dan foto esai (essay photo). Esai foto bisa juga dibuat dengan jalan menggabungkan beberapa foto tunggal, yang penting satu sama

(49)

lain harus mampu memberi kekuatan sehingga secara keseluruhan foto-foto tersebut jadi lebih kuat.56

Foto-foto ini lazimnya terdapat di koran mingguan atau majalah. Foto jenis ini pembuatannya memakan waktu yang cukup lama, sehingga jarang dilakoni fotografer jurnalis. Namun, keduanya memudahkan fotografer untuk menjelaskan suatu peristiwa dalam beberapa foto, tidak hanya foto tunggal.

Akan tetapi foto seri dan foto esai memiliki pengertian yang berbeda. Gerald D. Hurley dan Angus McDougall berpendapat, seperti yang dikutip Alwi dalam Foto Jurnalistik. Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa, bahwa foto esai lebih mengutamakan penyampaian argumentasi daripada narasi. Argumentasi disini tidak hanya menceritakan peristiwa yang terekam namun menguatkan maksud berita. Foto esai lebih mengandung unsur pendidikan dan menganalisis peristiwa secara kedua belah pihak. Penggambarannya juga berbeda dengan foto seri, yaitu tiap-tiap foto esai tidak bergantung satu sama lain. Foto seri biasanya menggambarkan peristiwa secara urut.57

Menururt Soeprapto Soedjono dalam bukunya Pot-Pourri Fotografi, karya foto jurnalistik berupa esai foto bernilai sebagai suatu narrative-text karena cara menampilkannya yang disusun berurutan secara serial sehingga memberikan kesan sebuah cerita

56 Atok Sugiarto, Indah itu Mudah. Buku Panduan Fotografi, (Jakarta: PTGramedia

Pustaka Utama, 2006), h.82

57 Audy MirzaAlwi, Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media

(50)

yang berkesinambungan antara gambar yang satu dengan yang lain. Bahasa gambar yang tertuang dalam karya fotografi tersebut menyiratkannya sebagai media komunikasi pictorial dalam mengisahkan sebuah kejadian atau peristiwa secara visual dengan teknik fotografi.58

4. Proses Teknik Foto Jurnalistik

Seorang fotografer jurnalistik harus mengetahui beberapa proses teknik foto jurnalistik yang baik, yang dimaksud dengan proses teknik foto jurnalistik yaitu urutan atau tahapan pengambilan objek yang dilakukan oleh fotografer sehingga menghasilkan sebuah karya foto yang dapat dinikmati, melibatkan perasaan dan menggugah emosi pembaca.

Foto jurnalistik yang baik tidak hanya sekadar fokus secara teknis, namun juga fokus secara cerita. Fokus dengan teknis adalah gambar mengandung tajam dan kekaburan yang beralasan.59 Ini dalam artian memenuhi syarat secara teknis fotografi. Fokus secara cerita, kesan, pesan dan misi yang akan disampaikan kepada pembaca mudah dimengerti dan dipahami.

Sementara dari konsep pemaknaan sudut pengambilan gambar yang dikutip dari konvensi menurut Berger Teknik-teknik Analisis Media, sebagai berikut:60

58 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,

2006),h.41

59 SK Patmono, Teknik Jurnalistik Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan, (Jakarta:

PT BPK Gunung Mulia, 1996), h.109

60 Arthur Asa Berger, Tehnik-teknik Analisis Media, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

(51)

Tabel 5

Medium Shoot (MS) Hampir seluruh tubuh

Full Shoot (FS) Keseluruhan Hubungan sosial

Low Angle (LA) Kamera melihat ke bawah

Kekuasaan, kekuatan

High Level (HL) Kamera melihat ke atas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata patriotisme adalah kata sifat yang memiliki arti sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air.61 Suprapto dan kawan-kawan dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA/MA 1 menyatakan bahwa patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.62 Patriotisme merupakan jiwa dan semangat cinta tanah air yang melengkapi eksistensi nasionalisme.63

Sekelompok manusia yang menghuni bumi Indonesia wajib bersatu, mencintai dengan sungguh-sungguh, dan rela berkorban membela tanah

61 http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Patriotisme (diakses pada 27 Januari 2017)

62 Suprapto dan kawan-kawan, Pendidikan Kewarganegaraan Kelas X SMA/MA1,

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h.38

(52)

air Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.64 Lebih jauh lagi, Bakry dalam Pendidikan Pancasila menyatakan bahwa patriotisme adalah bagian dari paham kebangsaan dalam nasionalisme Indonesia.65

Patriotisme meliputi sikap-sikap bangga akan pencapaian bangsa, bangga akan budaya bangsa, adanya keinginan untuk memelihara ciri-ciri bangsa dan latar belakang budaya bangsa. Rashid dalam bukunya

Patriotisme menyebutkan beberapa nilai patriotisme, yaitu: kesetiaan, keberanian, rela berkorban, serta kecintaan pada bangsa dan negara.66

Staub membagi patriotisme dalam dua bagian yaitu blind patriotisme atau patriotisme buta dan constructive patriotism atau patriotisme konstruktif. Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah keterikatan pada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu , loyal dan tidak toleran terhadap kritik.67

Sementara patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan pada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya pertanyaan dan kritik dari anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan atau terjadi sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama.68

64 Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, h.144 65 Noor Ms Bakry, Pendidikan Pancasila, h. 145

66 Abdul Rahim Abdul Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, (Kuala Lumpur:

Utusan, 2004), h.5

67 Jurnal Andita Trias Nur Azizah, PERBANDINGAN NILAI-NILAI PATRIOTISME

DALAM FILM (Analisis Isi Perbandingan Nilai-Nilai Patriotisme dalam Film Sang Pencerah (2010) dan Film Sang Kiai (2013)), h.7

68 Jurnal Andita Trias Nur Azizah, PERBANDINGAN NILAI-NILAI PATRIOTISME

(53)

Eyal Lewin kemudian membagi lagi patriotisme konstruktif menjadi dua bagian yaitu patriotisme konstruktif politik dan patriotisme konstruktif moral.69 Patriotisme konstruktif politik didefinisikan sebagai patriotisme yang tetap menerima kritikan namun berdasar pada motivasi dasar bahwa tidak ada yang bisa dilakukan pada isu-isu susila dan moralitas. Sedangkan patriotisme konstruktif moral diartikan sebagai patriotisme yang menerima kritikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan

Berdasarkan pemaparan di atas penulis menarik beberapa poin nilai-nilai patriotisme yakni:

1. Keberanian

Menurut Peter Irons keberanian adalah suatu tindakan memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting dan mampu menghadapi segala sesuatu yang dapat menghalanginya karena percaya kebenarannya. Sedangkan menurut Paul Findley keberanian adalah suatu sifat mempertahankan dan memperjuangkan apa yang dianggap benar dengan menghadapi segala bentuk bahaya, kesulitan, kesakitan, dan lain-lain.70 2. Rela Berkorban

Anis Matta dalam Mencari Pahlawan Indonesia

menjelaskan sikap rela berkorban adalah sikap yang mencerminkan adanya kesediaan dan keikhlasan memberikan

69 Jurnal Andita Trias Nur Azizah, PERBANDINGAN NILAI-NILAI PATRIOTISME

DALAM FILM (Analisis Isi Perbandingan Nilai-Nilai Patriotisme dalam Film Sang Pencerah (2010) dan Film Sang Kiai (2013)), h.8

(54)

sesuatu yang dimiliki untuk orang lain, walaupun akan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri. Sesuatu yang dimiliki tersebut dapat berupa hartanya, keluarganya, orang yang dicintainya maupun badan dan nyawanya sendiri. Rela berkorban artinya kesediaan untuk mengalami penderitaan atau siksaan demi kepentingan atau kebahagiaan orang lain maupun orang banyak.71 Keke T. Aritonang memaparkan dalam

Menghidupkan Kembali Semangat Nasionalisme Soe Hok Gie, nilai-nilai kerelaan berkorban demi negara dapat dilihat dari nilai-nilai : 72

a. Mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri.

b. Berupaya menghindari sikap egois, apatis, dan masa bodoh.

c. Memberikan sesuatu yang dimilikinya untuk membantu orang lain.

d. Mempunyai kesetiaan terhadap bangsa dan negara dengan memberi perhatian pada kepentingan umum.

3. Pantang Menyerah.

Masih dalam Mencari Pahlawan Indonesia Anis juga menjelaskan bahwa pantang menyerah adalah sebuah wujud

71 Anis Matta, Mancari Pahlawan Indonesia, (Jakarta: Tarbawi Center, 2004), h. 61 72 Keke T. Aritonang, Menghidupkan Kembali Semangat Nasionalisme Soe Hok Gie,

(55)

kepribadian seseorang yang gigih, tanpa bosan bangkit dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain dan akhirnya mencapai keberhasilan. Seseorang yang pantang menyerah akan melakukan hal yang sama walaupun telah gagal sebelumnya. Seseorang yang pantang menyerah senantiasa berusaha memberi jawaban atas tantangan yang dihadapi.73

4. Kesetiakawanan Sosial

Kesetiakawanan sosial mengandung aspek-aspek solidaritas, empati dan bukan sebaliknya tak acuh, masa bodoh dengan orang lain atau egois.74 Solidaritas adalah kata lain dari kasih, yang menggerakkan kaki, tangan, hati dan seluruh kepribadian manusia. Tujuan dari solidaritas adalah berbagi kehidupan dengan sesama yang menderita,dan menolong kebangkitannya untuk memperoleh kebebasan, keadilan, dan hak serta martabatnya.75

5. Toleransi

Toleransi berasal dari bahasa latin yaitu tollerare yang artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain dan berhati lapang terhadap orang-orang yang mempunyai pendapat yang berbeda.76

73 Anis Matta, Mancari Pahlawan Indonesia,, h. 61

74 Darmadi, Kesetiakawanan Tetap Diperlukan. http : //www.suaramerdeka.com edisi 20

Desember 2004, (diakses 25 Maret 2017)

75 I. Sandyawan Sumardi, Melawan Stigma Melalui Pendidikan Alternatif, (Jakarta: PT.

Grasindo, 2005), h. 87

76Ahmad Masykur, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, www.elcom.umy.ac.id,

(56)
(57)

46 BAB III

A. Gambaran Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA

1. Profil LKBN ANTARA

a. Sejarah Singkat LKBN ANTARA1

Kantor Berita ANTARA didirikan pada 13 Desember 1937 oleh Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahoetar dan Pandoe Kartawagoena, ketika semangat kemerdekaan nasional digerakkan oleh para pemuda pejuang. Keberhasilan ANTARA menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia adalah wujud kecintaan dan baktinya yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Akhirnya pada 1962, ANTARA resmi menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional yang berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia.

Selama lebih dari setengah abad, ANTARA sebagai salah satu kantor berita terbesar di dunia bertekad untuk selalu menghadirkan berita dan foto mengenai peristiwa-peristiwa penting dan mutakhir secara cepat dan lengkap ke seluruh dunia.

Didukung teknologi informasi terkini, ANTARA memiliki jaringan komunikasi yang menjangkau berbagai pelosok tanah air dan dunia. ANTARA memiliki biro di setiap propinsi serta

1

(58)

perwakilan di beberapa kotamadya/kabupaten. Agar dapat menyajikan berita luar negeri dengan persepsi nasional, ANTARA mengendalikan biro atau perwakilan di New York, Canberra,

Kuala Lumpur, Kairo dan Sana’a.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap informasi global, ANTARA juga menjalin kerjasama, baik secara komersial maupun non-komersial, dengan kantor-kantor berita di seluruh dunia, seperti AAP (Australia), Reuters (Inggris), AFP (Perancis), DPA (Jerman), Kyodo (Jepang), Bernama (Malaysia), Xinhua (PR China), CIC (Columbia), NAMPA (Namibia) dan lain-lainnya. ANTARA aktif dalam berbagai organisasi regional dan international, seperti ANEX (ASEAN News Exchange), OANA (Organization of Asia Pacific News Agencies) dan NANAP ( Non-Aligned News Agencies Pool).

Gambar

gambar kepada khalayak mengenai realita yang terjadi di sekitar. Portal online
Signifier Tabel 1 Signifiet
Tabel 2 10
Tabel 3 Konotasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam alat peraga tersebut masih terdapat kelemahan yang mungkin kurang maksimal da- lam mendukung atau menunjang pembelajaran. Karena dalam alat peraga tersebut telah dijelas-

• Setiap sel anak mengandung n kromosom sehingga pada akhir meiosis I terbentuk dua sel anak yang haploid... Profase II Metafase II Anafase II Telofase II

– Speedup adalah perbandingan antara waktu yang diperlukan algoritma sekuensial yang paling efisien untuk melakukan komputasi dengan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

TIME-BASED CONFLICT Ketika tekanan dari salah satu peran individu dari dua domain yang berbeda bersaing terhadap waktu individu.. Ketika tekanan dari salah satu peran

(1) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan minat belajar IPA materi Struktur Bumi dan Matahari pada siswa kelas V SD Negeri Pesayangan 01 antara pembelajaran

Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol buah mengkudu dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia Coli memperlihatkan bahwa

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan yang telah lengkap dan diterima secara baik ( in complete application ) serta telah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang tercantum

Berdasarkan kasus penyakit Tuberkulosis diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Penyakit tuberculosis (TBC) termasuk salah satu penyakit infeksi menular