Segitiga epidemiologi yang disampaikan Gordon dan La Richt pada tahun 1950 mengatakan bila muncul atau tidaknya sebuah penyakit pada manusia terpengaruh oleh tiga faktor, yaitu host (pejamu), agent, dan environment (lingkungan). Terdapat tiga pendapat sesuai penjelasan Gordon: (Rajab, 2009), meliputi:
1. Kemunculan penyakit akibat tidak seimbangnya host (pejamu) dan agent.
2. Keseimbangan ditentukan oleh sifat alami dan kriteria agent dan pejamu.
3. Kriteria agent dan pejamu hendak berinteraksi dan berhubungan langsung dengan keadaan alami dari lingkungan
2.3.1 Host (Pejamu)
Faktor pejamu sebagai semua karakteristik yang ada di manusia sehingga memberi pengaruh kemunculan suatu penyakit. Karakteristik tersebut di antaranya usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
1. Usia
Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang semua kalangan usia. Akan tetapi, usia yang lebih muda memiliki risiko DBD yang lebih tinggi karena faktor daya tahan tubuh yang belum sempurna dibanding usia dewasa
15
(Pertiwi & Anwar, 2018). Penelitian oleh Ernyasih (2020) membuktikan jika variabel usia menjadi faktor yang memengaruhi kejadian DBD. Hal tersebut dijelaskan bahwa usia <15 tahun lebih berisiko tertular DBD karena memiliki daya tahan tubuh yang rentan (Ernyasih, Zulfa, Andriyani, & Fauziah, 2020a).
2. Jenis Kelamin
Permatasari (2015) menemukan keterkaitan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Jenis kelamin perempuan berpeluang 3,3 kali lebih besar mengalami DBD dibanding jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut dikarenakan perempuan berkecenderungan mempunyai berat badan yang kurang dan ketahanan tubuhnya rendah sehingga cukup rentan terhadap penyakit (Permatasari, Ramaningrum, & Novitasari, 2015).
2.3.2 Agent
Penyakit menular pun bisa berasal dari binatang (reservoir), yaitu binatang tempat perkembangbiakan agen penyakit. Sumber penyakit binatang lainnya seperti nyamuk yang terinfeksi virus dengue yang menggigit manusia (Amalia, 2016). DBD diakibatkan jenis virus, yaitu tipe Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4 dari kelompok Arthropod-Borne viruses. Vektor utama pada penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes Aegypti pada daerah kota sedangkan namuk Aedes Albopictus di wilayah desa (Kunoli, 2013).
Angka Bebas Jentik (ABJ) menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan dalam hal kepadatan jentik di suatu wilayah. Penelitian yang dilakukan Kurniawati (2016) bahwa ABJ menjadi faktor terjadinya DBD dengan hubungan yang lemah dan arah hubungan yang positif (r=0,078). Menurut Kemenkes RI bahwa ABJ
≥95% maka harus dikurangi sehingga penularan DBD di wilayah itu bisa berkurang (Kemenkes RI, 2010a).
16 2.3.3 Environment
Kejadian suatu penyakit ialah adanya interaksi antara manusia dengan perilaku maupun lingkungan yang berpotensi menyebabkan penyakit. Variabel pada perilaku penduduk yaitu pendidikan, kepadatan penduduk, budaya dan lain- lain, oleh karena itu kejadian penyakit dapat timbul sebab adanya pengaruh variabel perilaku dan variabel lingkungan seperti variabilitas iklim (Achmadi, 2009).
1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk ialah jumlah penduduk per satuan unit wilayah (km2). Menurut Badan Standarisasi Nasional bahwa kepadatan penduduk dikategorikan berdasarkan jumlah penduduk di suatu wilayah, yaitu <150 jiwa/ha, 151-200 jiwa/ha, 200-400 jiwa/ha, dan >400 jiwa/ha (Badan Standardisasi Nasional, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2016) memperlihatkan kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Penelitian ini pun sama seperti Penelitian yang dilakukan oleh Apriyandika (2015) menunjukan bila kepadatan penduduk berhubungan bagi kejadian DBD. Hal ini dikarenakan faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan atau memindahkan penyakit dari masing-masing orang tanpa ada usaha mencegah. Makin padatnya penduduk, maka mengakibatkan makin kondusifnya perkembangbiakan virus sehingga bisa memicu kasus (Achmadi, 2009;
Apriyandika, Yulianto, & Feriandi, 2015; Kusuma & Sukendra, 2016a).
2. Curah Hujan
Curah hujan merupakan tingkat rata-rata hujan pada waktu tertentu sehingga menjadi faktor kejadian DBD. Hal ini diperjelas oleh Wirayoga
17
(2013) yang membuktikan bila curah hujan berhubungan bagi kejadian DBD.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian milik Ridha (2019) bila curah hujan tidak terbukti memengaruhi kejadian DBD. Curah hujan menjadi faktor kejadian DBD dikarenakan curah hujan yang cukup tinggi selama musim penghujan sebagai media perkembangbiakan nyamuk yang cukup potensial (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).
3. Kelembapan Udara
Kelembapan udara merupakan tingkat kelembapan udara pada suatu wilayah pada waktu tertentu. Wirayoga (2013) membuktikan hubungan antara kelembapan dengan kejadian DBD. Penelitian ini sama seperti penelitian milik Ridha (2019), membuktikan hubungan antara kelembapan udara dengan kejadian DBD. Kelembapan udara bisa memengaruhi kejadian DBD karena kelembapan yang rendah dapat menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga cairan yang ada dalam tubuh mengering. Kelembapan juga memengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, dan lainnya (Ridha dkk., 2019a; Wirayoga, 2013a).
4. Suhu
Tingkat suhu udara di suatu wilayah menjadi hal yang perlu diperhatikan terhadap penularan DBD. Penelitian yang dilakukan oleh Komaling (2020) membuktikan suhu udara tidak berhubungan terhadap kejadian DBD. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridha (2019) bahwa suhu relatif memiliki pengaruh dan berhubungan dengan kejadian DBD. Suhu udara menjadi faktor kejadian DBD karena ketika pergantian musim penghujan ke musim kemarau kondisi suhu berada dikisaran 23 hingga
18
31°C, yaitu kisaran suhu optimum untuk nyamuk berkembang biak (Komaling, Sumampouw, & Sondakh, 2020a; Ridha dkk., 2019a).
5. Ketinggian
Virus memerlukan tempat berkondisi yang sesuai supaya bisa bertahan hidup. Virus dengue bisa berkembang dengan baik berdasar wilayah kecuali wilayah yang berketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut sebab adanya ketinggian sehingga suhu pada wilayah tersebut rendah dan perkembangbiakan nyamuk tidak sempurna. Hal ini dibuktikan penelitian yang dilakukan oleh Tamengkel (2020) bila ketinggian wilayah berhubungan dengan kejadian DBD (Tamengkel, Sumampouw, & Pinontoan, 2020).
6. Kecepatan Angin
Kecepatan angin pada suatu wilayah menjadi faktor terjadinya DBD.
Semakin tinggi kecepatan angin maka semakin berkurang kejadian DBD. Hal ini dijelaskan karena kecepatan angin cenderung menghambat terbang nyamuk dan memengaruhi oviposisi nyamuk. Kecepatan angin dengan 1-4 m/s membuat nyamuk terhambat saat terbang. Hal tersebut dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Daswito (2019) bahwa kecepatan angin berhubungan dengan kejadian DBD (Daswito dkk., 2019a; Lu dkk., 2009a).
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)