BAB IV DIKSI DAN GAYA BAHASA
B. Kajian struktural terhadap sajak pendahuluan Ath-
4. Asonansi dan Aliterasi
4. Asonansi dan Aliterasi dalam Sajak Pendahuluan Ath-Thalâsim
Bunyi yang berperan dalam sajak adalah bunyi yang teratur atau terpola. Bunyi yang terpola itu bukan saja bunyi yang sama, tetapi juga pertentangan bunyi (Atmazaki, 1993: 77-78). Sajak pendahuluan (bait 1-5) “A`th-Thalâsim” didominasi oleh asonansi (perulangan bunyi vokal) a. Adapun vokal udan i hanya sebagai variasi saja. Vokal a merupakan vokal berat dan rendah diucapkan (Pradopo, 2002a: 33; Sangidu, 1987: 30). Variasi asonansi vokal u dan i tampak pada baris keempat bait pertama (aia-u-aia-u), baris pertama bait kedua (a-aiu-a-aiu-a), baris pertama bait keempat (aîî-aîî-a-aî-a-aî), dan baris keempat bait kelima (au-aî-au-aî-au- aî). Variasi asonansi a, u, dan i dengan variasi panjang pendek tersebut tentu saja menimbulkan irama dan orkestrasi yang indah seperti bunyi musik. Dominasi asonansi berupa vokal a serta variasinya yang terpola secara teratur tersebut tidak hanya muncul begitu saja, tetapi sengaja diciptakan penyair untuk mengintensifkan arti sajak. Dominasi asonansi berupa bunyi vokal a tersebut berkombinasi dengan aliterasi yang berupa perulangan bunyi-bunyi konsonan.
Tabel 3: Aliterasi dalam Sajak Pendahuluan Ath-Thalâsim
Bait Teks sajak Aliter
asi 1. Ji‟tu lâ a‟lamu min aina walâkinnî ataitu
Wa laqad abshartu qadamai tharîqan famasyaitu
Wa sa`abqâ sâ`iran in syi`tu hâdzâ am abîtu
Kaifa ji`tu? Kaifa abshartu tharîqî Lastu adrî
t-n-n-nn-tt qd-t-qd-q-t s-s-t-t kf-t- Kf-t Lst-dr
2. A jadîdun am qadîmun anâ fî hâdzâ`l- wujûd
Hal anâ churrun thalîqun am asîrun fî quyûd
Hal anâ qâ‟idu nafsî fî chayâtî ammaqûd Atamannâ annanî adrî walâkin..
dd-d-d rr-q-r-q n-qd-n-f-f-m-
m-qd nn-nn-n..
Lst-dr
3. Wa tharîqî mâ tharîqî? A thawîl am qashîr?
Hal anâ as‟adu am ahbithu fîhi wa aghûr A anâ`s-sâ`iru fî`d-darbi ami`d-darbu
yasîr
Am kilânâ wâqifun wa`d-dahru yajrî?
Lastu adrî
thrq-thrq- th- qr
h-h-h s-sr-d-drb-d-
drb-sr w-w-r-r Lst-
dr 4. Laita syi`rî wa anâ fî „âlami`l-ghaibi`l-
amîn
A tarânî kuntu adrî annanî fîhi dafîn Wa biannî saufa abdû wa biannî sa`akûn Am tarânî kuntu lâ udriku syai`an
Lastu adrî
l-ll-l n-n-nnn-n bnn-b-bnn-n tr-t-r
Lst- dr
5. A tarânî qablamâ ashbahtu insânan sawiyya
Kuntu mahwan au muhâlan amtarânî kuntu syai`a
A lihâdzâ`l-lughzi challun? Am sayabqâ abadiyyâ
Lastu adrî ...wa limâdzâ lastu adrî?…
Lastu adrî
tn-b-bt-nsn-s nt-m–m-m-tn-
nt
ll-l-ll-yb-byy lst-dr-lst-dr Lst-dr
Aliterasi (perulangan bunyi konsonan) yang muncul pada kelima bait sajak pendahuluan tersebut adalah bunyi hambatt, n, q, d, k, th, b, sengaum,dann; bunyi unvoicedt, q, s, k, f, th,danh;
bunyi berat(mufakh-khamah) qdanth; bunyi getar r; bunyi lateral ldan bunyi semi vokalw dany.Asonansi bunyi a yang rendah dan berat yang berkombinasi dengan bunyi-bunyi konsonan hambat, berat, unvoiced, getar, lateral dengan sedikit bunyi semi vokal ini menimbulkan suasana yang tidak menyenangkan yang sedang dialami oleh si aku lirik pada sajak pendahuluan ini. Suasana yang
Pada bait ke-1 sampai ke-5, si aku-lirik mempertanyakan keberadaan dirinya di dunia ini, bagaimana awal mula dirinya sehingga ia tiba-tiba ada di dunia ini dan bagaimanakah kelanjutan hidupnya. Keingintahuan si aku-lirik yang belum terpenuhi melalui kalimatnya “lastuadrî” (aku tak tahu) inilah yang membuat hati dan perasaannya diliputi ketidakpastian, kegundahan dan kegelisahan.
Dengan demikian, asonansi bunyi vokal a yang rendah dan berat yang dikombinasi oleh konsonan hambat, unvoiced, berat, getar dan geletar serta bunyi semi vokal tersebut berfungsi untuk mengintensifkan arti dan menimbulkan citraan pada benak pembaca.
Pada sajak pendahuluan ini, penyair tidak hanya membuat perulangan bunyi asonansi, tetapi juga mampu membuat perulangan bunyi vokal antarbaris dan antarbait. Pada bait ke-1 terdapat bunyi terpola aia yang bervariasi panjang pendeknya, seperti kata tharîqan, sâ`iran. Pada bait kedua, baris ke-1 sampai ke-3 terdapat bunyi berpola aiu, sepertijadîdun, qadîmun, thalîqun, asîrun, dan qâ`idu.. adapun perulangan bunyi vokal dan konsonan yang menunjukkan adanya hubungan antarbait yang satu dengan yang lain adalah perulangan vokal au-ai dan konsonan lst-dr yang terdapat pada setiap akhir bait ke- 1 sampai bait ke-71.
Munculnya aliterasi dan asonansi dalam satu baris sajak dan perulangan bunyi vokal dan konsonan antarbaris dan antarbait ini menunjukkan bahwa penyair memanfaatkan potensi bunyi secara maksimal untuk mendukung keestetikan sajak yang diciptakan. Hal ini juga didukung oleh rima yang sama dan bervariasi secara terpola yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. Adanya asonansi dan aliterasi serta persamaan bunyi vokal antarbaris dan antarbait itu, di samping menunjukkan kepiawaian penyair dalam mengolah bunyi, juga menunjukkan adanya hubungan antara bait yang satu dengan yang lain.
Dalam sajak pendahuluan dan juga dalam keseluruhan sajak
“A`th-Thalâsim” yang berbahasa Arab, irama yang indah tidak hanya ditimbulkan oleh penggunaan asonansi dan aliterasi, tetapi juga ditimbulkan oleh bunyi-bunyi panjang dan pendek yang bervariasi. Dominasi bunyi panjang yang ditimbulkan oleh vokal panjang (long vowels) dan bunyi pendek yang ditimbulkan oleh vokal pendek (short vowels) yang divariasikan dengan asonansi dan aliterasi itu mampu menimbulkan irama yang bersifat musikal.
Irama yang demikian itu dapat mengintensifkan arti sajak dan menimbulkan imaji pada benak pembaca.
Bunyi panjang dalam bahasa Arab tidak dapat dibaca pendek.
Sebaliknya, bunyi pendek dalam bahasa Arab tidak dapat dibaca panjang karena panjang dan pendeknya bunyi tersebut akan berpengaruh terhadap arti suatu kosa kata. Misalnya, kata „barîd‟
(bunyi vokal a pendek dan bunyi vokal î panjang) memiliki arti „pos‟
dan kata „bârid‟ (bunyi vokal â panjang dan bunyi vokal i pendek) memiliki arti „dingin‟.
Adapun dalam bahasa Indonesia, suatu kata yang dibaca panjang ataupun pendek tidak akan berpengaruh terhadap arti linguistiknya karena bahasa Indonesia tidak memiliki jenis vokal panjang sebagaimana dalam bahasa Arab. Misalnya, kata „aku‟ akan memiliki arti linguistik yang sama ketika di baca „aku‟ dengan bunyi vokal a yang dipanjangkan dan u dipendekkan atau vokal u dipanjangkan dan a dibaca pendek. Begitu pula jika kedua bunyi vokal itu sama-sama dibaca pendek atau panjang, tetap tidak berpengaruh terhadap arti linguistik. Semuanya akan tetap berarti
menimbulkan kesan perasaan yang tidak menyenangkan. Bunyi yang berat ini ternyata mendukung suasana gundah dan gelisah yang ingin disampaikan oleh si aku-lirik dalam sajak ini.
Pada bait pertama sampai ketiga, si aku-lirik dengan struktur penceritaan monologis ingin tahu bagaimana ia muncul di dunia ini, kapan dan bagaimana jalan yang akan ditempuh dalam hidup ini.
Kemudian, struktur penceritaan beralih ke bentuk dialog. Pada bait keempat, si aku-lirik bertanya kepada engkau-lirik mengenai keberadaannya dalam rahim ibu. Pada bait kelima, si aku-lirik mempertanyakan keberadaan dirinya sebelum menjadi manusia yang sempurna, apakah dia hanyalah merupakan kehampaan yang tak berarti apa-apa ataukah dia itu dianggap ada keberadaannya. Si aku-lirik kembali gundah dan gelisah, apakah teka-teki si aku-lirik ini kan terpecahkan ataukah akan tetap menjadi teka-teki saja. Si aku-lirik kemudian menjawab teka-teki ini dengan kalimat “aku tidak tahu”.
Ketidaktahuan si aku-lirik bukan berarti si aku-lirik benar- benar tidak mengetahui jawaban dari kegalauan hatinya.
Pertanyaan ini merupakan sebuah teka-teki yang hendaknya dijawab oleh mitra tutur si aku-lirik, yaitu si engkau-lirik. Jawaban tentunya terkait dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh si engkau-lirik yang berada dalam konteksnya masing- masing.
Dengan demikian, bunyi asonansi dan aliterasi yang berat dan panjang pendek bunyi yang bervariasi dalam kelima bait pendahuluan dari sajak “A`th-Thalâsim” ini mendukung makna sajak yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu berupa pertanyaan si aku-lirik kepada si engkau- lirik mengenai keberadaan dirinya dalam dunia. Si aku-lirik tentunya merasa bahwa pertanyaan ini sebenarnya juga merupakan pertanyaan bagi diri si engkau-lirik. Si
aku-lirik mengajak si engkau-lirik untuk ikut merenungkan jati dirinya sesuai dengan konteks masing-masing.
5. Fungsi Asonansi dan Aliterasi dalam Sajak “Ath-