BAB IV DIKSI DAN GAYA BAHASA
B. Kajian struktural terhadap sajak pendahuluan Ath-
6. Persajakan
Jika berpijak pada pengertian qâfiyah sebagai bunyi kata terakhir dari suatu baris dalam bait puisi, maka terdapat qâfiyah- qâfiyah berupa satu kata terakhir sebagaimana tertera pada tabel 4 kolom kedua tersebut di atas. Misalnya, qâfiyah pada bait ke-1 adalah ataitu, masyaitu, abîtu, dan adrî. Jika berpijak pada pengertian qâfiyah sebagai bunyi dua konsonan dan vokal yang ada di antara keduanya serta vokal sebelum konsonan yang pertama, maka qâfiyah pada bait ke-1 adalah ataitu, asyaitu, abîtu, dan adrî. Jika qâfiyah dipandang sebagai satu bunyi terakhir yang sama pada setiap akhir baris dalam bait, maka pada sajak pendahuluan ini terdapat variasi qâfiyah pada setiap baris ke-1 sampai ke-3 pada setiap bait, yaitu ta`iyyah (bait ke-1), daliyyah (bait ke-2), ra`iyyah (bait ke-3), nuniyyah (bait ke-4), dan ya`iyyah dan hamzahiyyah (bait ke-5).
Jika berpijak pada pengertian qâfiyah sebagai tiga huruf terakhir pada setiap baris puisi, dalam sajak ini terdapat qâfiyahtaitu, syaitu, dan bîtu (bait ke-1). Jika berpijak pada rima akhir sebagai pola persajakan (ulangan suara) di akhir (tiap-tiap) baris, maka pada sajak pendahuluan ini terdapat rima akhir tu (bait ke-1), ud (bait ke-2), ir (bait ke-3), in (bait ke-4), dan ya (bait ke- 5). Untuk memudahkan pendeteksian sajak akhir berdasarkan pengertiannya, maka pada kolom 4 ditulis satu kata terakhir dari masing-masing bait secara utuh.
Adapun berdasarkan susunannya dan berpijak pada bunyi akhir, rima masing-masing bait sajak pendahuluan ini termasuk kategori rima berangkai dengan susunan a-a-a-b. Misalnya, pada bait ke-1 terdapat rima akhir ataitu (a), masyaitu (a) abîtu (a) dan adrî (b). Penyair membuat variasi bunyi pada bait ke-4, yaitu terdapat bunyi vokal usebelum bunyi konsonan n (sa`akûn). Jika berpijak pada huruf akhirnya, rima akhir sajak pendahuluan ini juga merupakan rima berangkai, yaitu a-a-a-b.
Puisi Arab pramodern (sebelum abad ke-19), pada umumnya masih terpaku pada aturan qâfiyah yang baku, yaitu penggunaan
1. Ji‟tu lâ a‟lamu min aina walâkinnî ataitu
Wa laqad abshartu qadamai tharîqan famasyaitu Wa sa`abqâ sâ`iran in syi`tu hâdzâ am abîtu Kaifa ji`tu? Kaifa abshartu tharîqî
Lastu adrî 2. A jadîdun am qadîmun anâ fî hâdzâl-wujûd
Hal anâ churrun thalîqun am asîrun fî quyûd Hal anâ qâ‟idu nafsî fî chayâtî am maqûd Atamannâ annanî adrî walâkin..
Lastu adrî 3. Wa tharîqî mâ tharîqî? A thawîl am qashîr?
Hal anâ as‟adu am ahbithu fîhi wa aghûr A anâs-sâ`iru fîd-darbi amid-darbu yasîr Am kilânâ wâqifun wad-dahru yajrî?
Lastu adrî 4. Laita syi`rî wa anâ fî „âlamil-ghaibil- amîn
A tarânî kuntu adrî annanî fîhi dafîn Wa biannî saufa abdû wa biannî sa`akûn Am tarânî kuntu lâ udriku syai`an
Lastu adrî 5. A tarânî qablamâ ashbahtu insânan sawiyya
Kuntu mahwan au muhâlan am tarânî kuntu syai`a A lihâdzâl-lughzi challun? Am sayabqâ abadiyyâ Lastu adrî ...wa limâdzâ lastu adrî?…
Lastu adrî
Bentuk-bentuk perbedaan sajak Ath-Thalâsim dengan sajak Arab pramodern adalah sebagai berikut.
1. Sajak “Ath-Thalâsim” berbentuk ruba‟iyat, yaitu terdiri atas 4 baris dalam setiap baitnya. Secara umum, sajak Arab pramodern berupa satu bait panjang.
2. Baris-baris pada setiap bait sajak “Ath-Thalâsim” hanya terdiri atas satu baris saja, sedangkan pada sajak Arab pramodern, setiap baris terdiri atas dua bagian yang sama panjangnya dengan tipografi sebagai berikut:
Sajak Arab pramodern: ________ _________
Sajak Arab modern (mahjar): __________
3. Qâfiyah pada sajak Arab pramodern secara umum adalah sama, yaitu a-a-a-a, sedangkan pada sajak mahjar berbeda-beda. Hal ini misalnya tampak pada sajak pendahuluan dari sajak “Ath- Thalâsim” tersebut di atas, yaitu berupa sajak berangkai a-a-a- b.
4. Charakat atau pemarkah pada sajak pramodern secara umum sama, sedangkan pada sajak modern terdapat variasi. Misalnya tampak pada bait ke-3 baris kedua dan bait ke-4 baris ketiga dari sajak ini. Bahkan, terdapat pula perbedaan bunyi akhir pada setiap baris ke-4 dari masing-masing bait. Namun, perbedaan bunyi tersebut justru yang menyatukan bait satu dengan bait yang lain. Hal ini terjadi karena masing-masing bait memiliki qâfiyah yang sama pada setiap akhir baris ke empat, yaitu kalimat „lastu adrî‟.
5. Huruf akhir tiap baris dalam satu bait pada sajak pramodern biasanya sama, tetapi pada sajak modern (mahjar) terjadi perbedaan. Misalnya pada akhir baris ke-4 setiap bait, sebelum kalimat „lastu adrî‟ terdapat bunyi qî (bait 1), kin (bait 2), rî (bait 3), an (bait 4), dan rî (bait 51).
6. Tipografi pada sajak Arab pramodern secara umum adalah kotak
Ke enam perbedaan tersebut di atas, tidak hanya terdapat pada sajak pendahuluan dari sajak “Ath-Thalâsim”, tetapi berlaku pula bagi keseluruhan bait-bait sajak ini. Dengan demikian, bentuk- bentuk pembaruan yang ada pada sajak modern dan khususnya sajak “Ath-Thalâsim” ini tidak akan dibahas ulang pada pembahasan persajakan pada sajak “Ath-Thalâsim” berikutnya.
Dari paparan tersebut di atas, diketahui bahwa sajak Arab mahjar, khususnya sajak “Ath-Thalâsim” tidak mengikuti aturan qâfiyah yang biasa berlaku di Arab, yaitu memiliki kesamaan huruf dan charakatnya pada huruf kata terakhir dari suatu baris dalam keseluruhan bait. Para penyair mahjar, termasuk Abû Mâdhi, telah menciptakan variasi sesuai dengan tuntutan ritmik atau tuntutan musikal suatu baris puisi. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa para penyair mahjar lebih bebas dalam berekspresi melalui bahasa.
Pembaruan ini bukan berarti penyair mahjar ingin meninggalkan qâfiyah, tetapi mereka memberi nuansa baru pada qâfiyah tersebut. Modifikasi qâfiyah dari para penyair mahjar ini tidak terlepas dari persinggungan mereka dengan sastra Barat ketika mereka berada di negeri Amerika.