BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.6 Informan Penelitian
Menjelaskan informan penelitian yang mana yang memberikan berbagai macam informasi yang dibutuhkan sesuai dengan penelitian
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian. Adapun Analisis data yaitu penyederhanaan data ke dalam formula yang sederhana dan mudah dibaca serta mudah diinterpretasikan 3.8 Jadwal Penelitian
Menjelaskan tentang waktu penelitian secara rinci dari awal sampai akhir penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Dekripsi Obyek penelitian
Pada sub bab ini menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas dan hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
4.2 Deskripsi Data
Menjelaskan data penelitian dengan menggunakan teori yang relevan yang sesuai dengan kondisi dilapangan.
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
Mendeskripsikan hasil temuan-temuan dari penelitian.
4.3 Pembahasan
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan mempergunakan teknik analisa data kualitatif.
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat 5.2 Saran
Berisi tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi daftar referensi yang digunakan dalam penyusunan skripsi.
LAMPIRAN
Berisi mengenai daftar dokumen yang menunjang data penelitian.
24 2.1 Landasan Teori
Penggunaan teori dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena. Peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang peneliti gunakan sebagai acuan dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan masalah penelitian
2.1.1 Organisasi Publik
Organisasi menurut Oliver Schldon (1923) dalam Sutarto (2006:22) :
“Organization is the process of so combining the work which individuals or groups have to perform with the faculties necessary for it execution that the duties, so formed, provide the best channels for the efficient, systematic, positive, and co-ordinated application of the available effort” (Organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan yang para individu atau kelompok- kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia).
Dalam dimensi lingkungan yang dikenai kebijakan, pengertian publik disini adalah masyarakat (Said Zainal, 2012:7). Substansi yang perlu dilihat sebelum memahami konsep organisasi publik secara utuh adalah kata
“publik” itu sendiri. banyak makna yang melekat di dalam pengertian dari kata publik. Di sisi lain, publik diartikan sebagai pelanggan, yaitu seluruh masyarakat yang dilayani melalui lembaga atau instansi pemerintah yang bergerak di bidang pelayanan publik. Berikutnya dalam konteks negara, lebih tepat diartikan sebagai warga negara, yaitu semua penduduk yang bertempat
tinggal di suatu negara yang secara sah terdaftar sebagai warga negara suatu negara tertentu, yang karena statusnya, perlu mendapatkan perlindungan, pelayanan dan jaminan (Sedarmayanti, 2016: 373-374).
Pada organisasi publik dicirikan oleh faktor lingkungan yang rendah tingkat relasinya dengan pasar, ada kendala formalitas dan hukum, serta pengaruh politik sangat menonjol. Sedangkan transaksi organisasi lingkungan ditandai oleh paksaan dan desakan, dampak bersifat luas, tidak luas, tidak luput dari penilaian publik, serta harapan masyarakat terlalu besar. Karakter lain berupa proses dan struktur internal terkait dengan tujuan yang sangat kompleks, otoritas, dominan, peran administrator dan sistem pendelegasian lemah, penampilan operasional tampak kurang inovatif (Sedarmayanti, 2016:
374).
Organisasi publik sebagai lembaga negara, instansi pemerintah yang memiliki legalitas formal, difasilitasi oleh negara untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat di segala bidang, yang sifatnya sangat kompleks.
Organisasi publik sebagai tempat menyandarkan berbagai harapan yang ideal dari masyarakat, tentang pemenuhan sejumlah kepentingan (Sedarmayanti, 2016: 374).
2.1.2 Konsep Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan
pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara (Suharto, 2013:3).
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti dari kebijakan publik. Eystone (1971:18) dalam Wahab (2012:13) merumuskan dengan pendek bahwa kebijakan publik ialah:
“the relationship of governmental unit to its environment” (antara hubungan yang berlangsung diantara unit/ satuan pemerintahan dengan lingkungannya).
Adapun definisi oleh Wilson (2006:154) dalam Wahab (2012:13) yang merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:
“the actions, objectives, and pronouncements of governments on particular matters, the steps they take (or fail to take) to implement them, and the explanations they give for what happens (or does not happen)” (tindakan- tindakan, tujuan-tujuan dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).
Definisi lain yang tak kalah luasnya, dikemukakan oleh Thomas R.
Dye (1978; 1987: 1) dalam Wahab (2012:14) yang menyatakan bahwa kebijakan publik ialah:
“whatever governments choose to do or not to do” (pilihan tindakan apapun yag dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah).
Pakar Inggris, W.I. Jenkins (1978:15) dalam Wahab (2012:15), merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:
“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of archievieng them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).”
Dalam melaksanakan agenda dari suatu pemerintahan, maka diperlukan sebuah program yang mampu diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Agenda tersebut dapat menghasilkan sebuah gagasan yang kemudian menjadi sebuah program yang dapat dilaksanakan oleh para stakeholder. Pada akhirnya program itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dimaksud dengan agenda publik tersebut adalah kebijakan publik.
2.1.3 Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Studi implementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan secara sederhana dapat diartikan sebagai proses menerjemahkan peraturan kedalam bentuk tindakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis karena wujudnya intervensi berbagai kepentingan.
Pelaksanaan keputusan biasanya dalam bentuk undang-undang, tapi dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau pun keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara
tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya.
Van Meter & Van Horn (1975:65) dalam Agustino (2016:128) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai:
Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat- pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.
Dari beberapa takrifan seperti tertuang diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan tiga hal, yakni: (i) adanya tujuan atau sasaran, (ii) adanya aktivitas atau, dan (iii) adanya hasil. Namun ini saja belum cukup. Ini karena implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan sesuatu aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Sementara itu, keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Grindle (1980:5) dalam Agustino (2016:129):
“Pengukuran keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari prosesnya dengan mempetanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan, yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang penting didalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur inilah suatu masalah publik dapat diselesaikan atau tidak.
2.1.3.1 Model Implementasi Kebijakan Publik
Untuk dapat melihat hasil pencapaian dari sebuah kebijakan yang telah dibuat, maka harus ada suatu pengukuran. Pengukuran dari hasil sebuah kebijakan dapat diketahui dari berbagai model implementasi yang telah banyak disampaikan oleh para ahli. Berikut adalah model-model implementasi kebijakan.
A. Implementasi Kebijakan Model dari Donald van Meter dan Carl van Horn
Ada enam variabel, menurut Van Meter dan Van Horn dalam buku Agustino (2016: 133) yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, adalah:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan.
Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopsi) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber Daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika
kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumbernya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: Sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena mau tidak mau, ketika sumber daya manusia yang berkompeten dan kapabel telah tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya dengan sumber daya waktu. Saat sumber daya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hali ini pun menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum.
Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas gambaran yang pertama. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (disposisi) para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang dilaksanakan bukanlah akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya
kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan.
Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
B. Implementasi Kebijakan Model George C.Edward III
Model implementasi kebijakan yang selanjutnya bersperspektif top-down dikembangkan oleh George C. Edward III. Edward III menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan istilah Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan dalam (Agustino, 2016:136-141), yaitu: (i) komunikasi; (ii) sumber daya;
(iii) disposisi; (iv) struktur birokrasi.
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, menurut Edward III, adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu:
a. Transmisi: penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula.
b. Kejelasan: komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu).
c. Konsisitensi: perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten (untuk diterapkan dan dijalankan).
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III, dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf: sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau sumber daya manusi. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya di sebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya.
b. Informasi: dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: (i) informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan di saat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Dan (ii) informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
c. Wewenang: pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagipara pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
d. Fasilitas: fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik, bagi George C. Edward III, adalah disposisi. Disposisi atau „sikap dari pelaksana kebijakan‟ adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu
kebijakan publik. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi menurut Edward III, adalah:
a. Efek Disposisi: disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat- pejabat tinggi.
b. Melakukan Pegaturan Birokrasi (staffing the bureaucracy): dalam konteks ini Edward III mensyaratkan bahwa implementasi kebijakan harus dilihat juga dalam hal pengaturan birokrasi.
c. Insentif: Edward III menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif.
Variabel keempat menurut George C. Edward III, yang mempengaruhi tingkat kebrhasilan implementasi kebijakan adalah struktur birokrasi. Dua karakteristik, menurut Edward III yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi atau organisasi kearah yang lebih baik:
a. Membuat Standar Operating Procedures (SOPs) yang lebih fleksibel. SOPs adalah suatu prosedur atau aktivitas terencana rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan seperti aparatur, administratur, atau birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pada setiap harinya (days-to- days politics) sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga).
b. Melaksanakan fragmentasi, tujuannya untuk menyebar tanggungjawab pelbagai aktivitas, kegiatan, atau program pada
beberapa unit kerja yang sesuai dengan bidangnya masing- masing.
C. Implementasi Kebijakan Model Merilee S. Grindle
Pendekatan implemetasi kebijakan yang dikembangkan oleh Grindle dalam Agustino (2016:142) yang dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
1) Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
2) Apakah tujuan kebijakan tercapai? Dimensi diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:
a. Impak atau efeknya pada masyarakat secara individu atau kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.
Selanjutnya menurut Grindle, keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh tingkat implementability itu
sendiri, yaitu yang terdiri dari isi kebijakan (Content of Policy) dan lingkungan kebijakan (Context of Policy). Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Content of Poli cy (Isi kebijakan) menurut Grindle adalah:
a. Interest affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.
b. Type of Benefit (Tipe Manfaat )
Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Extent of change Envision (Derajat perubahan yang ingin dicapai )
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Site of Decision Making (Letak pengambilan keputusan ) Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan di mana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e. Program Implementer (Pelaksana Program )
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f. Resources Committed (Sumber-sumber daya yang digunakan) Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2. Context of Policy (Lingkungan kebijakan)
a. Power, interest and strategy of actor involved (Kekuasaan, kepentingan – kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang sangat besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh arang dari api.
b. Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)
Lingkungan di mana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c. Compliance and Responsiveness (Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana)
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang terjadi.
Sedangkan pendekatan bottom up, memandang implementasi kebijakan dirumuskan tidak oleh lembaga yang tersentralisasi dari pusat. Pendekatan bottom up berpangkal dari keputusan-keputusan yang ditetapkan di level warga atau masyarakat yang merasakan sendiri persoalan dan permasalahan yang mereka alami. Jadi intinya pendekatan bottom up adalah model implementasi kebijakan di mana kebijakan berada di tingkat warga, sehingga mereka dapat lebih
memahami dan mampu menganalisis kebijakan-kebijakan apa yang cocok dengan sumber daya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio kultur yang ada agar kebijakan tidak bersifat kontraproduktif, yang dapat menunjang keberhasilan kebijakan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam dalam mengimplementasikan suatu kebijakan harus dilihat dari isi kebijakan itu sendiri, sehingga akan dapat terlihat bagaimana impak atau efek yang dialami oleh pelaksana dan penerima kebijakan.
D. Implementasi Kebijakan Model Daniel H. Mazmanian & Paul A. Sabtier
Implementasi Kebijakan Model Daniel H. Mazmanian & Paul A. Sabtier dalam (Agustino, 2016: 146-151) bahwa model implementasi yang ditawarkan mereka disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dan variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:
1. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi:
a. Kesukaran-kesukaran Teknis.
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya:
kemampuan untuk mengembangkan indikator-indikator