CH 4 Metan)
G. BAKU/STANDAR TINGKAT KEBISINGAN
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No.48 Tahun 1996)
Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas/NAB) peruntukan kawasan/lingkungan dapat dilihat pada tabel 2 (KepMenLH No.48 Tahun 1996) :
Tabel 2. Baku Tingkat Kebisingan (Kep Mentri LH No. 48 tahun 1996) Peruntukan kawasan /
lingkungan kegiatan
Tingkat kebisingan (A)
a. Peruntukan Kawasan 1. Perumahan dan pemukiman 2. Perdagangan dan jasa
3. Perkantoran dan perdagangan 4. Ruang terbuka hijau
5. Industri
6. Pemerintahan dan fasilitas umum
7. Rekreasi 8. Khusus : - Bandar udara - Stasiun Kereta Api - Pelabuhan Laut - Cagar Budaya b. Lingkungan Kegiatan 1. Rumah Sakit atau sejenisnya 2. Sekolah dan sejenisnya 3. Tempat ibadah dan sejenisnya
55 70 65 50 70 60 70
60
70
55 55 55
Dan kebisingan yang dapat diterima oleh tanaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (KepMenNaker No.51 Tahun 1999, KepMenKes No.1405 Tahun 2002). Pada lampiran 2 KepMenNaker No.51 Tahun 1999, NAB dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Intensitas Kebisingan dan Batas Waktu Pajanan Waktu pemajanan
per hari
Intensitas kebisingan
dB(A) 8 Jam
85
4 88
2 91
1 94
30 Menit
97
15 100
7.5 103
3.75 106
1.88 109
0.94 112
28.12 Detik
115
14.06 118
7.03 121
3.52 124
1.76 127
0.88 130
0.44 133
0.22 136
0.11 139
Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat
Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising, penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan bukit buatan ataupun pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan.
Sumber
1. Ambar,Pencemaran Udara, 1999 2. Kepmenkes Nomor 1405 /2002 3. Kepmenaker Nomor 51/1999
4. Nasri, Teknik Pengukuran dan Pemantauan Kebisingan di Tempat Kerja, 1997
5. Sastrowinoto, Penanggulangan Dampak Pencemaran Udara Dan Bising Dari Sarana Transportasi, 1985
6. Widyapura, Masalah Pencemaran Udara di Perkotaan, 1993
BAB VI
BAKU MUTU LINGKUNGAN
1. Fungsi Baku Mutu Lingkungan
Untuk mengatakan atau menilai bahwa lingkungan telah rusak atau tercemar dipakai mutu baku lingkungan.
Kemampuan lingkungan sering diistilahkan dengan daya dukung lingkungan, daya toleransi lingkungan dan daya tegang lingkungan yang dalam istilah asing : carrying capacity.
Gangguan terhadap lingkungan diukur menurut besar kecilnya penyimpangan dari batas-batas yang telah ditetapkan sesuai dengan kemampuan atau daya tenggang lingkungan.
Untuk mengetahui telah terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan digunakan ► baku mutu lingkungan.
Sehubungan dengan baku mutu lingkungan, dikenal adanya nilai ambang batas ► merupakan batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau kemampuan lingkungan.
Nilai ambang batas ► batas tertinggi dan terendah dari kandungan zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain dalam setiap interaksi yang
berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi mutu lingkungan.
Dapat dikatakan lingkungan tercemar apabila kondisi lingkungan telah melewati ambang batas (batas maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan baku mutu lingkungan.
2. Dasar Hukum
Dasar hukum baku mutu lingkungan terdapat dalam UU No.4 Thn 1982 pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Perlindungan lingkungan hidup dilakukan berdasarkan baku mutu lingkungan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Beberapa baku mutu lingkungan
Sehubungan dengan fungsi baku mutu lingkungan maka dalam hal menentukan apakah telah terjadi pencemaran dari kegiatan industri atau pabrik dipergunakan dua buah sistem baku mutu lingkungan, yaitu:
1. Effluent Standard, merupakan kadar maksimum limbah yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan
2. Stream Standard, merupakan batas kadar untuk sumberdaya tertentu, seperti sungai, waduk dan danau. Kadar yang ditetapkan berdasarkan pada kemampuan sumberdaya beserta sifat peruntukannya. Miasalnya batas kadar badan air untuk air minum akan berlainan dengan batas kadar bagi badan air untuk pertanian.
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam keputusannya No. KEP-03/MENKLH/II/1991 telah menetapkan baku mutu air pada sumber air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu air laut.
Dalam keputusan tersebut, yang dimaksud dengan:
1. Baku mutu air pada sumber air, adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam air, namun tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
2. Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga sehingga tidak meyebabkan dilampauinya baku mutu air.
3. Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda.
4. Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien
5. Baku mutu air laut adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada, dan zat atau bahan pencemar yang ditenggang adanya dalam air laut.
BAKU MUTU AIR DAN LIMBAH CAIR
Kriteria mutu air diterapkan untuk menentukan kebijakasanaan perlindungan sumberdaya air dalam jangka panjang.
Sedangkan baku mutu air limbah (effluent standar) dipergunakan untuk perencanaan, perizinan, dan pengawasan mutu air limbah dari pelbagai sektor, seperti pertambangan dll.
Kriteria kualitas sumber air di Indonesia ditetapkan berdasarkan
►pemanfaatan sumber-sumber air tersebut dan mutu yang diisyaratkan.
Sedangkan baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan karakteristik suatu sumber air penampungan tersebut dan pemanfaatannya.
Badan air dapat digolongkan menjadi 5 yaitu:
1) Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2) Golongan B, yaitu air baku yang baik untuk air minum dan rumah tangga dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk golongan A.
3) Golongan C, yaitu air yang baik untuk keperluan perikanan dan peternakan, dan dapat digunakan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk keperluan tersebut pada golongan A dan B.
4) Golongan D, yaitu air yang baik untuk keperluan pertanian dan dapat dipergunakan untuk perkantoran, industri, listrik tenaga air, dan untuk keperluan lainnya tetapi tidak sesuai untuk keperluan A, B, dan C.
5) Golongan E, yaitu air yang tidak sesuai untuk keperluan tersebut dalam golongan A, B, C, dan D.
Limbah cair harus memenuhi persyaratan:
1) mutu limbah cair yang dibuang ke dalam air pada sumber air tidak boleh melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan.
2) tidak mengakibatkan turunnya kualitas air pada sumber air penerima limbah.
Hal tersebut mengharuskan agar setiap pembuangan limbah cair ke dalam air pada sumber air ►mencantumkan kuantitas dan kualitas limbah.
KEP – 03/ MENKLH/II/1991 telah menentukan baku mutu limbah cair untuk beberapa industri, antara lain:
1) industri soda kaustik 2) industri pelapisan logam 3) industri penyamakan kulit 4) industri pengilangan minyak 5) industri minyak kelapa sawit 6) industri pulp dan kertas 7) industri karet
8) industri gula 9) industri tapioka 10) industri tekstil 11) industri pupuk urea 12) industri etanol
13) industri mono sodium glutamat 14) industri kayu lapis
BAKU MUTU UDARA
Banyaknya zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam udara (kondisi udara) dapat diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika Departemen Perhubungan.
Baku mutu udara ambien ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan kondisi udara setempat, dan berpedoman pada baku mutu udara ambien yang telah ditetapkan oleh Menteri. Demikian juga udara emisi.
Baku mutu udara ambien dan emisi ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi kualitas udara disuatu daerah.
Hal tersebut juga mengharuskan agar mutu emisi limbah gas yang dibuang ke udara harus mencantumkan secara jelas dalam ijin pembuangan gas limbah.
Setiap kegiatan pembuangan limbah gas ke udara di tetapkan mutu emisinya dengan pengertian:
1) mutu emisi dari limbah gas yang dibuang ke udara tidak melampaui baku mutu udara emisi yang telah ditetapkan
2) tidak menyebabkan turunnya kualitas udara.
Perlindungan terhadap lingkungan hidup yang lain termasuk perlindungan sumberdaya alam nonhayati, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sumberdaya buatan dan cagar budaya ditetapkan oleh UU.
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan
masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".
Dokumen AMDAL terdiri dari :
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA- ANDAL)
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) AMDAL digunakan untuk:
Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002
3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008
Dalam rangka pelaksanaan Undang – Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan tentang tata cara penyusunan dan penilaian AMDAL, telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Apa yang dimaksud UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan. Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
Identitas pemrakarsa
Rencana Usaha dan/atau kegiatan
Dampak Lingkungan yang akan terjadi
Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara.
Apa kaitan AMDAL dengan dokumen atau kajian lingkungan lainnya AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001).
UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat
"memperbaiki" ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL. Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.
Lampiran
Baku Mutu LingkungaLingkungan