• Tidak ada hasil yang ditemukan

BELLIGERENT

Dalam dokumen Buku Ajar Hukum Internasional (Halaman 177-182)

BAB V SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

D. BELLIGERENT

Belligerent atau kaum pemberontak dalam hukum internasional lebih difokuskan pada perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan bagi kaum pemberontak di suatu negara yang tertawan, kaum pemberontak seharusnya tidak diperlakukan seperti penjahat-penjahat kriminal, selain itu juga meletakkan kewajiban pada negara untuk memberikan pengakuan dalam rangka mengambil sikap netral dalam pertempuran-pertempuran yang sedang berlangsung antara kaum pemberontak dengan pemerintah yang sah. Pengakuan negara pada pemberontak bukan berarti secara otomatis memberi pengakuan pada kaum pemberontak tersebut.

Akan tetapi, apabila kaum pemberontak bertambah kuat kedudukannya, mampu menguasai secara de facto suatu wilayah yang cukup luas, telah mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam hukum internasional dikenal adanya pengakuan billigerent.

Walaupun penerapannya tidak mudah karena faktor politik lebih dominan, pada umumnya ada empat unsur yang harus dipenuhi kaum pemberontak untuk mendapat pengakuan sebagai belligerent, yaitu:

a. Terorganisir secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas

b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan identitasnya

c. Harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga tersbeut benar-benar telah di bawah kekuasannya d. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang

didudukinya.

Selain itu, dalam hukum internasional melalui Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal terjadi pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak penandatangan, tiap pihak yang bertikai harus memperhatikan aturan-aturan tentang kemanusiaan, antara lain larangan:

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga b. Penyanderaan

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur

e. Harus memiliki suatu komando yang bertanggungjawab

f. Harus dapat melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayah

g. Mampu melakukan operasi-operaso militer secara berkelnajutan dan bersama-sama

h. Mampu melaksanakan protocol

Selain itu, menurut Oppenheim-Lauterpacht mengemukakan empat syarat yaitu:

a. Adanya perng saudara disertai dengan pernyataan hubungan permusuhan antara negara yang bersangkutan dengan kau bilgerensi tersebut

b. Kaum bilgerensi itu harus menguasai atau menduduki sebagian dari wilayah negara itu

c. Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh kedua pihak yakni neara yang bersangkitan dan kuam bilgerensi itu sendiri

d. Adanya kebutuhan praktis bagi pihak atau negara-negara ketiga untuk menentukan sikapnya terhadap perang saudara tersebut

Sedangkan sarjana lainnya, Hurwitz mengemukakan kriteria yang hampir sama, meskipun ada sedikit perbedannya, yakni:

a. Kaum pemberontak itu harus tergorganisasikan secara teratur di bawah pimpinan yng bertanggung jawab

b. Mereka harus memakai tanda-tanda pengenal yang jelas dapat dilihat

c. Harus membawa senjata secara terang-terangan

d. Harus mengindahkan cara-cara berperang yang sudah lazim Apabila kaum pemberontak belum mampu memenuhi kualifikasi-kualifikasi di atas, maka kaum pemberontak semacam itu barulah dapat digolongkn sebagai kaum insurgensi. Kaum insurgensi akan terlalu premature jika negara-negara lain sudah mendukung dan mengakui eksistensinya, sebab peristiwa tersebut masih merupakan masalah dalam negeri. Negara tempat terjadinya pemberontakan akan memandang dukungan dan pengakuan yang diberikan tu sebagai campur tangan terhadap masalah dalam negerinya, sebab negara yag bersangkutan masih sanggup untuk mengatasi berdasarkan atas hukum nasionalnya, demi untuk memulihkan keamanan dan ketertiban rakyatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kaum pemberontak yang baru pada tahap insurgensi masih belum mantap dan mapan keberdaannya untuk diterima sebagao pribadi hukum internasional yang mandiri.

Dengan demikian, pemberontak muncul sebagi akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Sebagai contoh, pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara yang dilakukan oleh sekelompok orang melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Meskipun dimaklumi oleh semua negara bahwa dimanapun jika peristiwa pemberontakan bersenjata terjadi dalam suatu negara, apapun motif dan tujuanya sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Apabila ada negara lain yang mencampurinya, dengan jalan memberikan bantuan nateril ataupun memberikan dukungan politik dan moral kepada kaum pemberontak, akan dipandang sebagai intervensi atau campur

tangan terhadap masalah dalam negeri yang dilarang oleh hukum internasional.

Dengan demikian, hukum yang harus diberlakukan terhadap persitiwa pemberontakan dalam suatu negara adalah hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum internasional pada hakikatnya tidak mengaturnya oleh karena itu merupakan masalah dalam negeri suatu negara, kecuali dengan persetujuan negara yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, negara lain berkewajiban menghormati kedaulatan terirotoal negara yang bersangkutan termasuk menghormati kedaulatan hukum negara yang bersangkutan. Akan tetapi, apabila pemberontakan bersenjata dalam negara meningkat dan berkembang sedemikian rupa sehingga tampak seperti perang saudara (civil war) dengan akibat- akibat yang di luar batas-batas kemanusiaan dan bahkan meluas ke wilayah-wilayah negara lain sehingga mengganggu keamanan dan ketertiban negara yang bersangkutan bahkan mengganggu kawasan laut dan mengganggu lalu lintas pelayaran internasional. Sebagai contoh perang saudara yang terjadi di Ruwanda dan disusul di negara bekas Yugoslavia pada awal tahun 1990.

Dalam situasi seperti itu dimana gerakan bersenjata dalam negeri menimbulkan implikasi-implikasi nasional dan internasional, maka negara-negara yang secara langsung merasakan akibat dari peristiwa konflik bersenjata yang terjadi dalam wilayah suatu negara, tentu sulit jika negara tersebut akan bersikap diam. Salah satu sikap yang ditempuh adalah menerima atau mengakui eksistensi kaum pemberontak sebagai pribadi yang

mandiri walaupun sikap semacam ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat terjadinya peristiwa pemberontakan. Dengan pengakuan, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberomtak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.

Namun, yang perlu untuk diketahui bahwa pengakuan pada pemberontak sifatnya sementara, hanya berlaku pada waktu berlangsungnya peperangan. Bila kelompok billigerent berhasil dalam perjuangannya pengakuan terhadap mereka berubah menjadi pengakuan terhadap pemeintah baru bila mereka berhasil menggulingkan pemerintahan yang sah, atau pengakuan terhadap negara baru bila mereka berhasil memisaahkan diri dan membentuk negara baru.

Dalam dokumen Buku Ajar Hukum Internasional (Halaman 177-182)