• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Penyimpangan Sosial Pelecehan Cacat Mental

Dalam dokumen penyimpangan sosial pelecehan cacat mental (Halaman 88-92)

B. Pembahasan

1. Bentuk Penyimpangan Sosial Pelecehan Cacat Mental

1. Penyiksaan 14

2. Penghinaan 8

Sumber data: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Mundan

Dari tabel tentang bentuk penyimpangan sosial pelecehan yaitu serjumlah 22 orang, yang mengalami bentuk penyiksaan yaitu 14 korban dan penghinaan yaitu 8. Jadi yang paling yang tertinggi yaitu penyimpangan sosial pelecehan bentuk penyiksaan sejumlah 14 korban.

Menurut Penulis, dalam ilmu sosiologi, kita mempelajari tentang korban dalam suatu penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, dalam hal ini pelecehan sangat penting karena korban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyimpangan. Berkaitan dengan hal ingin mengetahui masalah terjadinya penyimpangan sosial pelecehan maka harus pula memahami sampai sejauh mana peranan korban terhadap terjadinya penyimpangan sosial pelecehan tersebut.

Dari hasil wawancara yang telah saya lakukan terkait dengan pelecehan terhadap cacat mental di Dusun Siga , Dusun Batu Lo’po, Dusun Lombok, Dusun Marusa Utara, Dusun Ratte Awo, dan Dusun Marusa Selatan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan di Dusun Siga bahwa:

“ Kekerasan pernah terjadi disini yaitu tunarungu yang diperkosa oleh seorang tetangganya sendiri, karena diancam korban takut memberitahu keluarganya tapi saat kejadian ada orang lain yang melihat maka orang tersebut memberitahu keluarganya” Hasil wawancara dengan SS, 23 Agustus 2017).

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh salah satu informan bahwa:

“Disini itu orang melakukan pelecehan ketika korban pergi ke kebun sendirian dan biasa juga di jalan kalau mereka lagi sendirian” (Hasil wawancara dengan BS, 25 Agustus 2017).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa teryanta pelecehan di Dusun Siga, dimana satu korban perkosaan yang dialami perempan tunarungu, dia diperkosa oleh seorang disekitar tempat tinggalnya, karena korban diancam maka korban tersebut tidak memberitahu

keluarganya. Dan kasus lainnya yaitu orang mudah melakukan pelecehan ketika korban lagi sendirian.

Dari pernyataan informan di Dusun Siga hampir sama dengan pendapat informan di Dusun Batu Lo’po bahwa:

“ Pernah ada pelaku disini yang tertangkap melakukan pelecehan, saat ditanya kenapa melakukan seperti itu, pelaku mengatakan bahwa saya melakukannya karena atas dasar kemauan saya sendiri dan pelampiasan rasa mara saya kepada seseorang” (Hasil wawancara dengan AY, 27 Agustus 2017).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa alasan orang melakukan penyimpangan sosial pelecehan karena atas dasar kemauan sendiri dan pelampiasan rasa kecewa.

Selain informan di Dusun Batu Lo’po hal yang sama pula diasampaikan informan di Dusun Lombok bahwa:

“ Dulunya orang disini tidak ada perhatiannya dengan keluarganya yang cacat, apa lagi yang dikatakan mentalnya kurang atau orang disini menyebutnya tomaro. Sehingga orang atau peleku yang dulunya tidak berniat melecehkan akan tetapi karena ada kesempatan maka mereka melekukannya” (Hasil wawancara TA, 30 Agustus 2017).

Hal yang senada juga dikemukakan oleh salah satu informan bahwa:

“ Menurut saya ya, secara cacat mental itu dianggap lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Sehingga memungkingkan mereka menjadi sasaran perbuatan jahat dan kurangnya perhatian dari keluarga yang membuat korban mudah mendapatkan pelecehan” (Hasil wawancara AS, 2 September 2017).

Dari hasil wawancara informan di atas dapat diketahui bahwa karena di anggap lemah, tidak berdaya melekukan perlawanan dan kurangnya

perhatian dari keluarga sehinngga membuat cacat mental menjadi sasaran perbuatan jahat. Adapun pemaparan informan di Dusun Marusa Utara bahwa:

“ Sejauh yang saya lihat, cacat mental disini orangnya baik-baik dan tidak perna juga saya dengar mereka bikin masalah dengan warga disekitar sini.

Tetapi hidup mereka susah karena diganggu terus yang menurut saya itu tidak bisa didiamkan terus-menerus, yang seharusnya mereka itu dilindungi” (Hasil wawancara dengan NE, 5 Agustus 2017).

Dari hasil wawancara informan di atas dapat disimpulkan bahwa cacat mental tidak pernah membuat masalah dan mereka perlu mendapatkan perlindungan bukannya di susahkan atau diganggu hidupnya.

Ada juga pendapat informan di Dusun Ratte Awo bahwa:

“Kalau soal menjaga atau melindungi cacat mental disini, kita semua yang ada disini baik keluarga, masyarakat maupun pemerintah setempat. Sedangkan dalam memberikan perlindungan terhadap cacat mental, bukan hanya orang tua atau keluarga saja yang berperan tetapi masyarakat dan pemerintah juga ikut membantu “ (Hasil wawancara dengan SR, 10 September 2017).

Dari hasil wawancara informan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam menjaga atau melindungi cacat mental bukan hanya keluarga saja yang berperan tapi masyarakat dan pemerintah juga ikut membantu.

Hal yang serupa juga dikemukakan oleh salah satu informan di Dusun Marusa Selatan bahwa:

“ Dibutuhkan kerjasma dari semua pihak, keluarga , masyarakat dan pemerintah untuk memberikan bantuan dan perlindungan yang ketat. Dalam hal ini orang yang terbukti melakukan penyimpangan sosial pelecehan terhadap cacat mental ataupun orang normal maka akan di berikan sangsi dan dihukum seberat-beratnya. Dengan demikian kita tidak akan pernah takut lagi akan terjadinya penyimpangan sosial pelecehan terhadap cacat mental seperti yang

selama ini sering terjadi di dalam masyarakat khususnya di Desa Mundan ini”

(Hasil wawancara dengan DM, 15 September 2017).

Dari hasil wawancara informan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk memberikan dan perlindungan kepeda cacat mental maupun dibutuhkan kerjasma dari semua pihak baik keluarga, masyarakat dan pemerintah. Orang yang terbukti melekukan pelecehan akan dihukum dan diberi sangsi seberat- beratnya. Agar tidak ada lagi penyimpangan sosial yang terjadi didalam masyarakat khususnya di Desa Mundan.

Dari hasil wawancara di atas maka di simpulkan bahwa korban mengalami penyimpangan sosial pelecehan karena situasi dan kondisi yang ada pada dirinyalah yang merangsang, mendorong pihak pelaku melakukan pelecehan serta karena korban tidak berdaya untuk melawan karena korban merasa dirinya golongan lemah mental, fisik, dan sosial yang tidak dapat atau tidak berani melakukan perlawanan, sering di manfaatkan sesukanya oleh pihak pelaku yang merasa dirinya lebih kuat dari pihak korban contohnya : Seperti yang di alami Perempuan Penyandang Tunarungu tidak bisa berteriak dan sangat ketakutan ketika di ancam untuk diam oleh pelaku. Mereka yang terasing dan yang di anggap lemah oleh masyarakat, berada di daerah yang rawan yang memungkingkan pihak korban menjadi sasaran perbuatan jahat dan kurangnya perhatian dari keluarga yang membuat korban mudah mendapatkan pelecehan.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Sosial Pelecehan

Dalam dokumen penyimpangan sosial pelecehan cacat mental (Halaman 88-92)

Dokumen terkait