• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bintang Sebagai Pelempar Setan

Dalam dokumen RAMALAN BINTANG MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR`AN (Halaman 84-131)

BAB III: RAMALAN BINTANG DALAM AL-QUR`AN

B. Ayat-ayat Fungsi Bintang

3. Bintang Sebagai Pelempar Setan

bintang sebagai indikator navigasi dalam pelayaran mereka yang jauh.35

72

dilangit terdekat dengan bumi, maka kata tersebut ( ) adalah lafal umum yang mencakup kata ( ) planet-planet. Jika yang dimaksud adalah yang ada di seluruh langit, maka ( ) yang ada dimaksud memiliki dua kemungkinan, yakni hanya planet yang dekat dengan bumi, atau seluruh planet dan bintang yang ada dilangit, meskipun sebagian darinya adalah bintang yang bersinar dan terhiasi dengan sendirinya. Barangsiapa yang memaksakan diri dalam menentukan posisi planet-planet dan berada di langit ke berapa, maka perkataannya tersebut bukanlah termasuk dari ajaran agama yang harus diyakini.36

( ) makna dari ayat tersebut adalah ( ) dan Kami jadikan sebagian dari bintang-bintang tersebut alat-alat pelempar setan. Takwil dengan kata (اهنم/sebagian darinya) merupakan keharusan, karena planet- planet yang diam dan rasi-rasi bintang serta segala yang dijadikan sebagai petunjuk di kegelapan malam baik di darat

36 Abu Muhammad Abdul Hayy bin Ghalib bin „Atiyyah al- Andalusi, Al-Muharrar al-Waziz fi Tafsir al-Kitab al-„Aziz,, jilid 15, h.7

dan lautan bukanlah alat-alat pelempar, ini adalah penafsiran dari Ibn Attiyah.37

Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf menafsirkan kata ( ) memiliki arti ( ) yang terdekat dengan bumi, karena dialah langit terdekat yang dapat disaksikan oleh manusia. Sehingga dapat diartikan dengan ( ) langit yang terdekat dari kalian. Kata ( ) memiliki arti ( ) lampu-lampu, dan bintang- bintang dinamakan juga dengan sebutan lampu-lampu, sebagimana halnya manusia menghiasi masjid dan rumah- rumah mereka dengan lampu-lampu yang digantung di tembok-tembok.38

Adapun makna dari ( ) adalah bintang berekor (komet) yang terlepas dari bintang-bintang yang mengejar setan-setan pencuri kabar langit, bukan dilempar dengan bintang-bintang itu sendiri, karena bintang-bintang tersebut benda yang tetap diam di posisinya. Hal ini ibarat

37 Abu Muhammad Abdul Hayy bin Ghalib bin „Atiyyah al- Andalusi, Al-Muharrar al-Waziz fi Tafsir al-Kitab al-„Aziz, jilid 15, h.7

38 Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf

„an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil, (Riyadh: Maktabah al-„Obeikan, 1998), cet. I, juz 6, h.171

74

kita mengambil satu percikan api dari sumbernya, api tersebut tidak berkurang dan tetap berada pada tempatnya.

Ada yang mengatakan bahwa diantara setan-setan pencuri berita ada yang dapat terbunuh dengan komet tersebut dan ada pula yang hanya pingsan. Sebagian ahli tafsir mengartikan ayat tersebut dengan (

) Kami jadikan bintang-bintang tersebut prasangka-prasangka terhadap hal-hal gaib bagi setan-setan dari golongan manusia yaitu para ahli nujum.39 Abu Hayyan memiliki pendapat yang mirip dengan Az- Zamakhsyari yaitu dengan mengomentari ayat (

) dengan menyatakan bahwa makna yang zhahir atau jelas dari ayat ini bahwa kata ganti atau dhamir yang terdapat dalam kata ( ) kembali pada kata ( ), karena komet yang mengejar setan adalah bagian yang terpisah dari bintang yang bersinar, sedangkan bintang itu sendiri tetap diam pada posisinya, ibarat seseorang megambil percikan api dari sumbernya. Dan makna yang

39 Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf

„an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil, juz 6, h.171

jelas dari kata ( ) adalah setan-setan pencuri berita, dan kata ( ) diartikan dengan makna yang sesunguhnnya yaitu dilempar dengan komet-komet. Ada yang menafsirkan kata ( ) sebagai ( ) yaitu perasangka-perasangka yang diberikan kepada setan-setan dari golongan manusia yaitu para ahli nujum yang menisbatkan kejadian berbagai hal kepada bintang tertentu atas dasar prasangka dan kebodohan mereka.40

Sedangkan dalam tafsir Al-Qurtubi kata ( ) bentuk jamak dari kata ( ) yang berarti ( ) lampu. Bintang- bintang dinamakan dengan sebutan lampu-lampu karena cahayanya yang bersinar dilangit. Dan kalimat (

) yakni ( ) Kami jadikan komet-kometnya sebagai alat-alat pelempar setan. Dengan makna ini maka bintang-bintang tidak hilang dan bukan alat pelempar.

Muhammad bin Ka‟ab berkata, “Demi Allah, tidak ada seorangpun dari penduduk bumi yang memiliki bintang

40 Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhit, (Beirut: Darul Kutub al-Islamiyah, 1993), cet, I, juz 8, h. 293.

76

tertentu di langit, namun yang ada hanyalah prasangka- prasangka yang diilhamkan oleh setan kepada para dukun dan menjadikan bintang sebagai perantara.”41

Disebutkan pula dalam surat Al-Hijr ayat 17













( /

51 : 53 )

“Dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk,(QS. Al-Hijr [16]: 17).

Ayat ini juga merupakan hikmah dari penciptaan bintang yaitu sebagai penjaga dari setan-setan pembangkang. Yang dimaksud dengan penjagaan tersebut adalah bahwasanya diantara bintang-bintang di langit terdapat bintang berekor (meteor) yang dilemparkan kepada setan-setan yang berusaha untuk mencuri kabar langit, sehingga membuat mereka kabur karena takut terkena meteor tersebut.42

Setan-setan itu berusaha mencari berita yang mungkin didengarnya dari para malaikat, maka setan-setan itu diburu oleh semburan api yang membakar, sehingga ia lari dan tidak sempat mendengar pembicaraan para malaikat itu, hal

41 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al- Qurtubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2006) cet. I, juz 21 h.117-118

42 Muhammad Thahir bin „Asyur, at-Tahrir wat-Tanwir,, juz 28. h.

87-89

ini pun diperkuat dengan surat As-Saffat ayat 8 “Mereka (setan-setan) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru”. Tetapi sebelum sempat ia mendengarkan pembicaraan para malaikat di langit, ia dikejar dan dibakar oleh semburan api yang panas.43

43 Departemen Agama RI, AlQuran dan Tafsirnya, (Edisi yang disempurnakan), Jilid. V, h. 220

79 BAB IV

RAMALAN BINTANG MENURUT AL-QUR’AN

A. Perspektif Al-Qur’an Tentang Ramalan Bintang

Pada penjelasan bab kedua, penulis telah sedikit menjelaskan tentang gambaran daripada ramalan bintang itu sendiri.

Ramalan bintang tidak diperbolehkan dalam islam, karena meyakini bintang mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib seseorang ataupun menentukan suatu keadaan, yang secra tidak langsung ini adalah perbuatan syirik, yakni menyakini ada kekuatan lain selain Allah swt. Maka pada bab ini penulis mencoba lebih dalam membahas ramalan bintang yang sering menjadi buah bibir ditengah masyarakat serta perspektif Al- Qur‟an menyikapi hal tersebut.

Berbicara tentang perspektif Al-Qur‟an sama saja dengan berbicara tentang perspektif Islam secara keseluruhan menyikapi ramalan bintang. Dan pastinya ketika berbicara Islam menyikapi ramalan bintang, kita akan mengerucut kepada hukum Islam yang mengatur itu semua. Meski Al- Qur‟an tidak menyebutkan hukum ramalan bintang secara

implisit di dalamnya, tapi secara eksplisit hal tersebut termasuk dalam hukum meramal secara keseluruhan.

Atas dasar ini pula penulis berkeyakinan bahwa ramalan bintang ada di dalam Al-Qur`an, akan tetapi tidak disebutkan secara langsung (ghairu sharih) di salah satu ayat-ayatnya.

Meskipun demikian, penulis dalam tulisan ini akan berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang menyatakan bahwa Al- Qur`an menyebutkan hakikat dari ramalan bintang dan hukumnya secara tidak langsung melalui pendekatan kaidah- kaidah Ushul Fiqh:

1. Ramalan bintang atau astrologi termasuk dari sesuatu yang tidak Allah lewatkan hukumnya dalam Al-Qur`an.

Allah Swt. berfirman

 …











 …



( /

6 : 83 )

…Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab…

(QS. Al-An‟am [6]: 38)

Yang dimaksud dengan kata ( ) dalam ayat di atas - sebagaimana dinyatakan oleh Al-Fakhrurrazi dalam tafsirnya- adalah Al-Qur`an. beliau berargumen bahwa apabila ( ) masuk kepada sebuah kata mufrad maka kata

81 yang dimaksud adalah kata yang dikenal dan terlintas dalam pikiran, dalam hal ini adalah kitab yang dikenal oleh umat muslim yaitu Al-Qur`an. Adapun kaitan ayat ini dengan astrologi dan ilmu-ilmu lainnya, hal tersebut dapat diketahui melalui maksud dari ayat tersebut yaitu bahwa Al-Qur`an berfungsi menjelaskan segala sesuatu yang harus diketahui dalam agama serta mencakup hal- hal tersebut termasuk hukum astrologi yang erat kaitannya dengan ilmu tauhid, karena kebanyakan dari ayat-ayat Al-Qur`an menunjukkan pada hal-hal di atas baik secara langsung atau tidak langsung, serta tujuan dari diturunkannya Al-Qur`an adalah menjelaskan perihal agama, hukum-hukum yang Allah tetapkan. 1

2. Ramalan bintang tercakup dalam segala sesuatu yang dijelaskan dalam Al-Qur`an. Hal tersebut berdasarkan firman Allah: QS. An-Nahl [16]: 89.

 …











 …

ةروس(

/ لحنلا 66 : 38 )

…dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu …(QS. An-Nahl [16]:

89)

1 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, jilid 12, h.226

Ayat di atas menunjukkan salah satu fungsi Al- Qur`an, yaitu penjelas segala sesuatu. 2 Adapun kaitannya dengan astrologi adalah dengan melihat keumuman lafaz yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ( ) segala sesuatu. Dalam ushul fiqh dinyatakan bahwa diantara bentuk (shigah) umum adalah kata ( ). 3 Menerangkan bahwa Al-Qur`an mencakup berbagai macam hal, termasuk ramalan bintang. Tidak ada perkara yang tidak diterangkan dalam Al-Qur`an.

3. Ramalan bintang adala upaya untuk mengetahui hal-hal gaib, maka Al-Qur`an menolak dan tidak membenarkan hal tersebut, karena hanya Dia-lah yang mengetahui akan hal gaib. Ini berdasarkan sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an, yaitu:

a. Dalam surat An-Naml ayat 65, yang berbunyi:





















 (

/ 62:56 )

2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, h.65.

3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h.52..

83

“Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah",”(QS. An-Naml [27]: 65)

Sebab turunnya ayat ini seperti yang dinukil oleh Al- Qurtubi dan Az-Zamakhsyari ialah ketika orang-orang musyrikin Mekkah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw perihal datangnya Hari Kiamat, maka turunlah ayat tersebut sebagai bantahan terhadap keyakinan mereka bahwa Nabi Muhammad mengetahui waktu terjadinya Kiamat. 4

Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib dijelaskan bahwa ketika Allah menjelaskan perihal kekuasaan-Nya yang tanpa batas, hanya diri-Nyalah yang mengetahui perihal gaib. Ini bertujuan untuk membuktikan hanya Dia Tuhan yang berhak untuk disembah.5 Adapun maksud dari disembunyikannya hal-hal gaib dari makhluk ciptaan- Nya, seperti yang disebutkan dalam tafsir Al-Qurtubi adalah supaya tidak ada seorangpun dari hamba-hamba- Nya yang merasa aman dari makar-Nya. 6

4 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, jilid 16, h.196.

5 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, jilid 24, h.211.

6 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurtubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, jilid 16, h.196.

Menurut hemat penulis ayat di atas merupakan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa ramalan bintang tidak dibenarkan oleh agama. Walaupun ayat ini khusus dalam pertanyaan tentang kapan datangnya Hari Kiamat berdasarkan sabab nuzul, namun dalam Ilmu Ushul Fiqh, dikenal sebuah kaidah (ببسلا صوصخب لا ظفللا مومعب ةربعلا) yang dianggap dalam menyikapi sebuah ayat adalah keumuman lafaznya, bukan kekhususan sebabnya. 7

Terdapat beberapa istidlal yang dapat ditempuh dalam menetapkan bahwa Al-Qur`an tidak menerima astrologi sebagai kebenaran, yaitu melalui pendekatan kaidah-kaidah Ushul sebagai berikut:

1) istidlal dengan kaidah „amm, yakni dengan keumuman lafal yang terdapat dalam ayat di atas. „Amm8 adalah suatu lafal yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlahnya. Dalam Ushul Fiqh disebutkan bahwa kata

7 Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Ushulil fiqh, (Jakarta: Percetakan Al-Haramain, 2004) h.189.

8 Kehujjahan „amm diakui dan dipakai dalam istidlal hukum, karena dalalah suatu lafaz „amm kepada asal makna adalah qat‟iyy, dan kepada setiap bagian dari makna tersebut secara individu adalah zhanniy.

Menggunakan dalil „amm dibenarkan meskipun setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw..( Zakaria Al-Ansari, Lubb al-Ushul,

85 ( ) merupakan salah satu bentuk (shigah) umum. 9 Sehingga jika diterapkan kaidah ‟amm terhadap ayat tersebut, makna ayat tersebut adalah bahwa Allah Swt.

menta‟mim ketidaktahuan terhadap hal gaib pada semua makhluk yang berakal, dan Allah mengecualikan diri- Nya dari ketidaktahuan tersebut.

Perlu diingat bahwa kata ( ) dalam ilmu nahwu adalah isim mausul yang digunakan untuk yang berakal („aqil), dan terkadang digunakan pula untuk yang tidak berakal (ghairu „aqil). 10 Jika kata ( ) diartikan dengan makhluk yang berakal, maka ayat tersebut hanya menetapkan ketidaktahuan terhadap hal gaib dari manusia, jin dan malaikat saja. Adapun makhluk- makhluk tidak berakal seperti bintang, bulan dan lain sebagainya, meskipun tidak termasuk dalam kategori makhluk berakal, ketidaktahuan makhluk-makhluk tidak berakal tersebut lebih utama ( ), karena apabila makhluk yang berakal dengan akalnya yang merupakan sarana ilmu dinafikan pengetahuannya akan hal gaib,

9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h. 48.

10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hl. 53.

maka sudah sepatutnya untuk dinafikan pengetahuan tersebut dari yang tidak berakal. Ini dikenal dengan mafhum muwafaqah. 11 Namun, jika kata ( ) diartikan dengan makhluk yang tidak berakal, maka ayat tersebut menetapkan bahwa bintang dan makhluk-makhluk yang tidak berakal lainnya tidak mengetahui hal-hal gaib.12 2) istidla dengan kaidah mafhum mukholafah13, yaitu

mafhum yang lafaz-nya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan, atau dengan kata lain hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. 14 Mafhum jenis ini

11 Kehujjahan mafhum muwafaqah yaitu mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Para ulama sependapat tentang sahnya berhujah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqah. (Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h. 156)

12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h. 157.

13 mafhum mukholafah yang mempunyai pengertian hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan yang disebutkan, mayoritas ulama mengatakan sah berhujah dengan mafhum jenis ini, karena nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktunya berlalu. (Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h. 162-163).

14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, h. 159.

87 mempunyai beberapa bentuk, dan yang dapat diterapkan pada ayat ini adalah dua jenis, yaitu (

) mafhum penafian dengan kata (la) dan (illa) dan ( ) mafhum bilangan.15

Jika diterapkan kaidah ( ) pada ayat di atas, maka makna yang diperolah adalah Allah menafikan pengetahuan terhadap hal gaib dari segala yang berakal, dan mengecualikan diri-Nya dari ketidaktahuan tersebut, ini berarti hanya Allah yang mengetahui hal gaib dan selainnya tidak mengetahui hal gaib termasuk bintang-bintang di langit. Adapun penerapan kaidah kedua, yaitu mafhum bilangan dalam kasus ini adalah bahwa Allah Swt. telah membatasi fungsi bintang dalam tiga fungsi seperti yang telah dijelaskan pada subbab di atas. Dari pembatasan fungsi tersebut dapat dipahami bahwa bintang sebagai sarana untuk meramal tidak termasuk dari fungsi bintang.

15 Zakaria Al-Ansari, Lubb al-Ushul, (Surabaya: Toko Hidayah), h.38-39

b. Dalam surat Al-An‟am ayat 59















 …



( /

6 : 28 )

“dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib;

tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,

…”(QS.Al-An‟am [6]: 59)

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar ra, yang berbunyi:

17

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al- Mundzir, telah menceritakan kepada kami Ma‟nun,

16 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhori,Kitab Tafsir Al-Qur`an, (Kairo: Jauhar-ad-Darosah, 2007), h. 46

17

89 berkata: telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Saw bersabda, “terdapat lima kunci-kunci gaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt, yaitu: Tidak ada yang mengetahui apa yang berkurang dari janin selain Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi selain Allah, tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan selain Allah, tidak ada seorangpun yang mengetahui di tanah mana dia akan mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat selain Allah.”(HR. Bukhari)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa dalam ayat ini terdapat idiom18 bagi perantara kepada hal gaib, seperti layaknya kunci yang digunakan untuk mengetahui apa yang ada dibalik pintu/kotak yang terkunci. Dengan kata lain, Allah memiliki pengetahuan terhadap hal-hal gaib dan juga mempunyai sarana yang dapat digunakan untuk sampai kepada pengetahuan tersebut, tidak ada yang mempunyai sarana-sarana tersebut selain diri-Nya. Namun jika Allah berkehendak untuk menyingkap tabir gaib tersebut kepada orang yang

18 Kata atau kelompok kata yang khusus yang mempunyai arti kiasan; ungkapan (Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:

PT Intergrafika, 1996), h. 525

Dia kehendaki maka hal tersebut adalah murni karena kehendak-Nya, dan hal ini tidak terjadi kecuali kepada para rasul utusan-Nya, seperti yang dinyatakan dalam QS. Ali Imran: 189 dan QS. Al-Jin: 26. 19

Menurut penulis ayat ini adalah ayat kedua yang sangat kuat dalam pernyataan bahwa Al-Qur‟an menolak adanya amalan bintang, hal ini dapat dilihat dari bentuk ungkapan ayat yang menggunakan (la) dan (illa).

c. Dalam surat Luqman ayat 34

























































/ نمقل ةروس ( 86

: 83 )

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [11] : 34

19 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, jld 8.h.401-402

91 Ayat ini erat kaitannya dengan ayat 59 dalam surat Al-An‟am, perihal kunci-kunci semua yang gaib dan kunci-kunci tersebut ada lima seperti yang ditegaskan dalam hadis, dan sesuai dengan ayat ini. Akan tetapi Ar- Razi mempunyai pendapat yang berbeda dengan kebanyakan ahli tafsir bahwa hal-hal gaib hanya terbatas pada lima hal. Menurutnya maksud dari ayat ini bukanlah pembatasan perkara gaib pada lima hal, karena Allah Swt mengetahui komponen terkecil yang ada pada hembusan angin yang membawa debu, jumlah hembusan angin dri Timur ke Barat, mengetahui dimana Dia berada dan tidak ada yang mengetahuinya, dan hal-hal lainnya yang tidak ada yang mengetahuinya selain diri-Nya, maka tidak ada makna bagi pembatasan perkara gaib pada lima hal saja.

20

d. Dalam surat Fusilat ayat 47









 

 ….

تلصف ةروس(

/ 36 : 36 )

kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang hari Kiamat.

20 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, ,jilid 25.h.165

Ayat ( ) kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang hari Kiamat, menunjukkan kepada al-hashr (pembatasan) sehingga makna dari ayat tersebut adalah tidak ada yang mengetahui perihal terjadinya hari Kiamat selain Allah Swt, sama halnya dengan pengetahuan akan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa depan dengan kepastian waktunya hanya dimiliki oleh Allah Swt. 21

Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan perihal ahli nujum yang terkadang menyebutkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi melalui perantara bintang-bintang, meramal nasib manusia dan ada diantara ramalan mereka yang sesuai dengan kenyataan, serta dijumpai pula ilmu tafsir mimpi yang juga menunjukkan kepada kejadian- kejadian yang belum terjadi atau gaib. Kemudian beliau memberikan solusi untuk menggabungkan antara fenomena-fenomena tersebut dengan ayat ini, yaitu bahwa para praktisi ilmu nujum, tafsir mimpi dan sejenisnya tidak dapat memberikan kepastian akan kebenaran terjadinya peristiwa-peristiwa di masa depan, hal tersebut dikarenakan semua hasil ramalan mereka

21 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, ,jilid 27.h.137

93 berdasarkan zhann (praduga), sedang pengetahuan tentang hari Kiamat hanya ada di sisi Allah adalah pengetahuan yang pasti. 22

e. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 33 yang menceritakan Kisah Adam dan Malaikat, serta ketidakmampuan para malaikat menjawab pertanyaan tentang nama-nama, kemudian Allah berfirman:

 …































/ ةرقبلا ةروس ( 5

:

88 )

"Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada cara untuk mengetahui hal-hal gaib kecuali melalui perantara pemberitaan dan pengajaran dari Allah Swt, serta tidak mungkin didapatkan melalui perantara ilmu nujum, perdukunan atau ramalan. 23

22 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, jilid 27.h.137

23 Fakhruddin Muhammad bin Umar Al-Razi, at-Tafsir al-Kabir, jilid 2.h.228

Dalam dokumen RAMALAN BINTANG MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR`AN (Halaman 84-131)

Dokumen terkait