BAB IV PEMBAHASAN
2. Biografi Hamka dan Profil Tafsir al-Azhar a. Kelahiran dan Wafatnya
Hamka lahir di Sungai batang, Maninjau, Sumatera Barat.
Pada tanggal 17 Februari 1908 M/ 14 Muharram 1326 H,44 beliau wafat umur 73 tahun di hari Jumat tanggal 24 Juli 1981 M bertepatan dengan 22 Ramadhan 1401 H, beliau menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit sentra Pertamina.45 Ayahnya adalah ulama islam terkenal Dr.
H. Abdul Karim bin Muhammad Amrullah bin tuanku Abdullah Saleh, alias Haji Rasul.46 Pembawa faham-faham pembaharuan Islam di Minangkabau khususnya dan di Sumatra yang dikenal pada waktu itu dengan sebutan kaum muda.
Hamka adalah sebuah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.47 Nama asli Hamka yang diberikan oleh ayahnya adalah Abdul Malik, proses penambahan nama hajinya selesainya pulang dari menunaikan rukun Islam yang kelima, waktu itu dikenal dengan nama Haji Abdul Malik, sementara penambahan nama pada belakangnya dilakukan dengan mengambil nama ayahnya Karim Amrullah. Proses penyingkatan namanya dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim
44 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 17.
45Tim Wartawan Panjimas, Perjalanan Terakhir Buya Hamka, (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981), hlm. 1.
46 Hamka, Ayahku, riwayat Hidup: Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Muda di Sumatra Barat, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 38.
47 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 51.
Amrullah sebagai Hamka berkaitan dengan kegiatan beliau dalam bidang penulisannya.48
Ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria yang memiliki gelar Bagindo Nan Batuah. Saat mudanya populer sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Pada perkawinannya Shafiyah di karuniai empat orang anak yaitu: Hamka, Abdul kudus, Asman serta Abdul Muthi.49 Beliau lahir dalam struktur warga Minangkabau yang menganut sistem matrilineal oleh sebab itu, dalam silsilah Minangkabau beliau berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.50
b. Pendidikan Hamka
Pada usia 6 tahun (1914) Hamka dibawa ayahnya ke Padang Panjang, sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa serta malamnya belajar mengaji dengan ayahnya sendiri. Dari tahun 1916 hingga tahun 1923 beliau telah belajar agama di sekolah-sekolah Diniyah School serta Sumatera Thawalib di Padang Panjang, yang pada saat itu pimpin oleh ayahnya sendiri.51 Pendidikan yang beliau dapat dari keluarganya sendiri tidak begitu menyerap kepada Hamka, hal ini dekarenakan Hamka deperlakukan dengan disiplin yang keras, metode ini yang membuat Hamka merasa tertekan dalam melakukan pelajaran.52
48 Sarwan, Sejarah Dan Perjuangan Buya Hamka Diatas Api Di Bawah Api, (Padang:
The Minangkabau Foundation, 2001), hlm. 71.
49 Hamka, Ayahku, riwayat Hidup: Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Muda di Sumatra Barat, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 224.
50Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran Hamka Tentang Dinamika Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 17-18.
51 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 9.
52 Sarwan, Sejarah Dan Perjuangan Buya Hamka Diatas Api Di Bawah Api, hlm. 100.
Di usia tujuh hingga sepuluh tahun, Hamka populer dengan sebutan anak nakal. masyarakat sangat mengenalnya, selain menjadi seorang anak ulama beliau juga “anak yang nakal”. Hamka senang mengganggu temannya beliau juga senang menonton film di panggung secara sembunyi-sembunyi, yaitu dengan mengintip tanpa membayar.
Hamka menjadi anak yang nakal dibenarkan oleh A.R Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka menjadi seseorang Muballigh.53
Haji Rasul tidak merasa puas dengan sistem pendidikan yang tidak menyediakan pendidikan agama Islam di sekolah. oleh sebab itu Hamka dimasukkan belajar agama pada sore hari ke sekolah Diniyah yang berada di Pasar usang, Padang Panjang, yang didirikan oleh Zainuddin Lebay El-Yunisi. Meskipun Hamka telah dimasukkan belajar agama di sore hari, ternyata Haji Rasul belum merasa puas. Untuk merealisasikan asa membentuk anaknya menjadi seorang ulama maka Hamka di masukkan ayahnya ke Madrasah Thawalib yang didirikannya sendiri. Sekolah ini pada mulanya ialah lembaga pendidikan tradisional yang dikenal dengan nama Surau Jembatan Besi sebelum diperbaharui tahun 1918.54
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi, hanya sampai kelas 3 pada sekolah desa, kemudian sekolah agama
53 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al- Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 40.
54 Sarwan, Sejarah Dan Perjuangan Buya Hamka Diatas Api Di Bawah Api, (Padang:
The Minangkabau Foundation, 2001), hlm. 101-103.
yang ia jalani di Padang Panjang serta Parabek juga tidak lama, hanya selama tiga tahun.55 Walaupun pernah duduk dikelas VII, akan tetapi beliau tidak memiliki ijazah, Dari sekolah yang pernah diikutinya tidak satupun sekolah yang dapat diselesaikannya.
Pada usia yang sangat muda Hamka sudah melalangbuana.
ketika usianya masih enam belas tahun (di tahun 1924), beliau telah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa.56Pada awalnya, kunjungannya ke Jawa hanya ingin mengunjungi kakak iparnya A.R. St.
Mansur serta kakaknya Fatimah yang tinggal di Pekalongan. Namun, ayahnya melarang buat berangkat, sebab khawatir akan dampak paham komunis yang mulai berkembang pada waktu itu, tetapi karena melihat begitu besar keinginan anaknya untuk menambah ilmu pengetahuan dan yakin anaknya tidak akan terpengaruh, maka akhirnya beliau berangkat ke Yogyakarta dan Pekalongan.
Sesampainya di Yogyakarta, beliau tidak langsung ke Pekalongan, beliau tinggal bersama adik ayahnya Ja’far Abdullah di desa Ngampilan. Bersama dengan pamannya, ia diajak mempelajari kitab- kitab klasik dengan beberapa ulama pada saat itu.57 Beliau belajar banyak perihal Islam, akan tetapi Islam yang hadir di pulau Jawa ini jauh berbeda dari apa yang dipelajarinya ketika di Padang Panjang. di pulau Jawa
55 Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 60.
56 Herry Muhammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, hlm. 61.
57 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual Dan Pemikiran Hamka Tentang Dinamika Islam, (Jakarta: Kencana, 2008),hlm. 23.
beliau juga mengetahui bagaimana sebenarnya ajaran komunis yang ada di Sumatera Barat.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Hamka hingga akhir hayatnya tak pernah tamat sekolah, oleh karena itulah beliau tidak pernah mendapat diploma atau ijazah dari sekolah yang diikutinya.
Kegagalan Hamka pada sekolah, ternyata tidaklah menghalanginya untuk maju, beliau berusaha menyerap ilmu pengetahuan sebesar mungkin, baik melalui kursus-kursus ataupun dengan otodidak. Karena bakat dan otodidaknya beliau bisa mencapai ketenaran dalam berbagai bidang dunia secara luas, baik pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke bahasa Arab. Lewat bahasa juga Hamka mampu menulis dalam bentuk puisi, cerpen, novel, tafsir dan artikel-artikel tentang dakwah. Bakat tulis menulis tampaknya memang telah dibawanya sejak mungil, yang diwarisi dari ayahnya, yang selain tokoh ulama juga penulis.58
c. Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang berfikiran maju, Hamka memberikan ide serta inspirasi cemerlang tidak hanya melalui ceramah, pidato, tetapi juga melalui dalam bentuk tulisan. Di antara karya-karyanya tersebut adalah:
1) Adat Minangkabau Menghadapi Repoeloesi. (Padang Panjang Rasjid, 1946).
58 Sarwan, Sejarah Dan Perjuangan Buya Hamka Diatas Api Di Bawah Api, (Padang:
The Minangkabau Foundation, 2001), hlm. 85.
2) Ajahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera. ed. ke-3. (Jakarta:
Djajamurni, 1967).
3) Arkanoel iman. Makassar, 1933.
4) Dari hati ke hati. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
5) Di bawah lindungan Ka’bah. edisi ke-10, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1975.
6) Tafsir Al-Azhar. 30 jilid. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1967-1981.
7) Tasawuf Modern. Edisi Malaysia ke-2. Melaka: Penerbitan Abbas Bandung, 1976. Pertama kali terbit pada tahun 1939.
8) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Panjimas, 1976.
Pertama kali terbit tah87652Pun 1939. Tindjauan di Lembah Nijl. Jakarta: Gapura, 1951.
9) Tjahaya Baru Medan: Pustaka Nasional Medan, 1950.
10) Merdeka. Padang Panjang: Peostaka Baroe, 1946.
11) Repoloesi Pikiran. Padang Panjang: Poestaka Baroe, 1946.
Seluruh karya-karya yang di hasilkan Hamka masih banyak yang terdapat dalam majalah-majalah dan berupa artikel-artikel lainnya tidak terkumpulkan, namun keterangan dari salah seorang putra Hamka yaitu rusydi Hamka sebagai berikut: Keseluruhan karya
Hamka sebanyak 118 jilid tulisan yang telah dibukukan, namun masih ada yang belum terkumpul dan dibukukan.59
d. Profil Tafsir al-Azhar
Kitab Tafsir al-Azhar ialah salah satu karya Hamka dari sekian banyak karya-karyanya, Tafsir al-Azhar berasal dari ceramah atau kuliah Subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar Dari tahun 1959. Hamka menulis ini tiap-tiap pagi ketika subuh sejak akhir tahun 1958, namun sampai Januari 1964 belum juga tamat. Diberi nama Tafsir al-Azhar, karena tafsir ini ada didalam Masjid Agung al-Azhar, nama al-Azhar sendiri diberikan oleh Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.60 Metode penafsiran yang digunakan dalam kitab Tafsir al- Azhar ini adalah metode tahlili (metode analisis). Buku-buku tafsir yang menggunakan metode tahlili pada umumnya menggunakan urutan penafsiran sesuai dengan urutan surah dan ayat sebagaimana yang tercantum dalam mushaf al-Qur’an. Tafsir al-Azhar ini juga disusun berurutan dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Walaupun menggunakan metode tahlili, dalam Tafsir al- Azhar tampaknya Hamka tidak banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Hamka banyak memberi penekanan pada pemahaman ayat-ayat al-Qur’an secara menyeluruh. Setelah
59Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Pustaka Panjimas: Jakarta, 1983), hlm.
335-339.
60 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz I. (Jakarta: Panjimas, 1982), hlm. 66.
mengemukakan terjemahan ayat, Hamka biasanya langsung menyampaikan makna dan petunjuk yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, tanpa banyak menguraikan kosa kata.61
Dalam menguraikan penafsiran, sistematika yang digunakan Hamka yaitu khusus pada awal surah, sebelum menguraikan penafsiran terlebih dahulu beliau menulis pendahuluan yang isinya sedikit penjelasan mengenai surah tersebut antara lain arti nama surah, sebab surah tersebut diberi nama demikian, asbabun nuzul ayat termasuk mengenai perdebatan berbagai pendapat para ulama menyangkut sebab turun surah tersebut. Barulah beliau menafsirkan ayat-ayat tersebut dahulu kemudian memberikan judul pada pokok bahasan sesuai dengan pokok kelompok ayat yang ditulis sebelumnya.62
Jika dilihat dari berbagai macam corak tafsir yang ada dan berkembang hingga kini, Tafsir al-Azhar dapat dimasukkan kedalam corak tafsir adab ijtima’i sebaimana tafsir as-Sya’rawi yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada waktu itu agar petunjuk-petunjuk dari al- Qur’an tersebut mudah dipahami serta diamalkan oleh semua kalangan masyarakat.
Ketika dinyatakan bahwa tafsir al-Azhar memiliki corak adab ijtima’i atau budaya kemasayarakatan, bukan berarti bahwa
61 M.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. II, (Jakarta, Pena Madani, 2003), hlm. 23-24
62 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Panjimas, 1982), hlm. 73.
kitab tafsir ini tidak membahas tentang hal-hal lain yang biasanya terdapat dalam tafsir-tafsir lain, seperti fiqih, tasawuf, sains, filsafat dan sebagainya. Dalam tafsir al-Azhar, Hamka juga mengemukakan pembahasan mengenai fiqih akan tetapi lebih kepada menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan, dan untuk menunjang tujuan pokok yang ingin dicapainya, yaitu menyampaikan petunjuk-petunjuk al- Qur’an yang berguna bagi kehidupan masyarakat.
B. Penafsiran QS. Yusuf ayat 43-49 dalam Tafsir Ibn Kathîr dan Tafsir Al- Azhar