BAB II. PEMBAHASAN A. Pengertian Kearifan Lokal
C. Contoh Implementasi Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan
2013 lm,59
C. Contoh Implementasi Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan
1). Di Dunia
a. Komunitas Atayal di Taiwan
Komunitas Atayal Semangus adalah komunitas yang bermukim di wilayah pedalaman dari pegunungan Hsin-Chu County, di Taiwan bagian utara, dekat dengan hutan purba cedar merah Taiwan. Komunitas ini memiliki kearifan lokal, yakni aturan kelompok yang disebut “Gaga”. Sistem ini mengatur pembagian tugas dalam berpatroli, baik dalam situasi damai maupun perang. Gaga juga mengatur sistem kepercayaan mereka, yang bersumber dari sistem kepercayaan terhadap roh leluhur. Mereka meyakini bahwa roh leluhur melindungi keselamatan diri maupun komunitas mereka, sehingga wajib untuk dihormati. Selain itu, roh leluhur juga mereka yakini sebagai kekuatan yang melindungi hutan yang mereka tempati. Sistem kepercayaan inilah yang mendasari Komunitas Atayal dalam mengelola hutannya, terutama dalam
275 Suntana & Sugih, A. (2000). Agenda 21 Sektoral, Agenda Kehutanan Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri KLH
kegiatan berburu maupun memanfaatkan sumberdaya hutan lainnya276.
b. Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than di Thailand
Suku Ban Nong Hua Khon, dan Tambon Nong Muen Than, adalah dua dari sejumlah suku di Thailand yang masih mengelola hutannya berdasarkan kearifan lokal yang mereka miliki. Kedua suku tersebut terletak di Kabupaten Samat, Provinsi Roi-Et, Thailand. Seperti halnya suku-suku yang hidup di daerah pedalaman lainnya, kedua suku ini juga mengelola hutannya berdasarkan pengetahuan yang diwarisi dari leluhurnya. Bagi mereka, hutan tidak saja sebagai tempat untuk bermukim, tetapi juga sebagai sumber air, pangan, dan tempat bersemayamnya roh leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka senantiasa menjaga kelestariannya, dengan tidak melakukan tindakan yang bersifat eksploitatif277.
c. Komunitas Berber di Maroko
Komunitas Berber adalah suatu komunitas di Maroko, yang bermukim di wilayah tengah dari daerah pegunungan dataran tinggi Atlas dan yang lainnya tersebar di sekitar wilayah barat daya pantai Atlantik. Mereka mengelola suatu
276 Tang, C. & Tang, S. (2010), Op.cit..
277 Burirat, S., Thamsenamupop, P., & Kounbuntoam, S. (2010), Op.cit...
wilayah hutan dengan aturan yang dibuat oleh kelompok mereka, yang dikenal dengan istilah Agdal. Pengelolaan hutan dengan sistem Agdal ini mereka lakukan berdasarkan kearifan lokal yang diwarisi dari leluhur mereka. Penerapan sistem Agdal mereka lakukan berdasarkan tingkatan pohonnya, sebagai berikut: 1) pada tingkat individu pohon, pemotongan atau pemangkasan dilakukan secara berbeda, disesuaikan dengan kondisi pohonnya; 2) pada tingkat tegakan, pemotongan disesuaikan dengan jenis, struktur, dan tingkat ketersediaan jenisnya; dan 3) pada tingkat lanskap, pemotongan disesuaikan dengan jalur, agar tidak mengganggu fungsi hutan terhadap wilayah secara keseluruhan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, pola pemanfaatan dan konservasi mereka padukan dengan aspek sosial, politik, dan spiritual278.
d. Suku Mapuche di Chile
Suku Mapuche, adalah salah satu suku asli di Chile yang mendiami Pegunungan Andes di bagian selatan Chile. Suku ini memperlakukan tanaman jenis Araucaria araucana (Mol.) C.
Koeh., dengan cara yang unik. Bagi suku Mapuche jenis tanaman ini sangat berharga. Alasanya, selain endemik karena hanya tumbuh di bagian selatan tengah Chile, juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jenis tanaman ini sangat mereka lindungi
278 Genin, D., & Simenel, R. (2011), Op.cit
dan sakralkan, bahkan mereka persepsikan sebagai manusia.
Jika ada diantara anggotanya yang mengambil tanaman tersebut, walaupun hanya pucuk daunnya sekalipun, maka yang bersangkutan langsung dikucilkan oleh masyarakatnya. Suku Mapuche sudah menerapkan agroforestry untuk menjaga pohon ini, yaitu dengan menanam tanaman kina dan jagung di sela-selanya. Jenis tanaman ini telah terdaftar sebagai tanaman yang terancam punah pada IUCN semenjak 1985, dan pada tahun 1996 juga dinyatakan sebagai tanaman monument Chile.
Oleh karena itu volume perdagangannya pun sudah harus melalui kuota, yang diatur oleh negara. Dengan adanya upaya konservasi dari masyarakat lokal dan perlindungan dari negara, maka kelestarian dari jenis tanaman ini diharapkan dapat terjaga279.
2). Di Indonesia a. Di Jawa
1). Jawa Timur
Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas terkait sistem pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan dan memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Ngadas terdapat
279 Herrmann, T.M. (2006). Indigenous knowledge and management of Araucaria araucana forest in the Chilean Andes:
Implications for native forest conservation. Biodiversity and Conservation, 15(2), 647-662.
kawasan hutan lindung yang dikelola oleh pihak Perhutani, tujuannya untuk menjaga keseimbangan struktur tanah dan melestarikan tanah. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan, yang dibuktikan dengan ikut serta memelihara hutan dengan tidak menebang hutan secara sembarangan. Masyarakat di desa Ngadas memberlakukan suatu ketentuan adat mengenai pelanggaran lingkungan, yaitu apabila seseorang menebang lima batang pohon non komersial di dalam kawasan TNBTS, maka ia diharuskan membayar dengan 50 sak semen dan menanam 300 batang pohon cemara pada bekas lokasi tebangan280.
2). Baduy
Menurut Permana et al., (2011) dan Senoaji (2011) masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku mereka harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk aturan adat. Tabu bagi seseorang, baik itu dari kalangan masyarakat adat, maupun masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy, untuk melanggar dan mengubah aturan kehidupan yang telah digariskan secara turun temurun. Ada berbagai aturan adat yang diberlakukan, dengan tujuan untuk melindungi alam Baduy, terutama kawasan hutan dari kerusakan. Aturan-aturan tersebut di antaranya adalah: a) tabu untuk memasuki hutan larangan, b) larangan menebang pohon
280 Sayektiningsih, T., Meilani, R., & Muntasib, E. H. (2008), Op.cit
sembarangan, c) larangan menggunakan teknologi kimia, termasuk pupuk dan pestisida, dan d) tata cara berladang281,282. b. Di Sulawesi
1). Komunitas Suku Wana (Sulawesi Tengah)
Hasil penelitian Sahlan (2012) pada komunitas masyarakat Tau Taa Wana Bulang, Suku Wana di tiga kabupaten, yaitu Tojo Una-Una, Banggai, dan Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa mereka mengembangkan berbagai tradisi untuk mempertahankan kearifan lokalnya dalam menjaga kelestarian hutan. Beberapa di antara tradisi tersebut, misalnya adanya larangan menangkap ikan di sungai, larangan menangkap satwa dan menebang pohon di hutan tertentu. Bagi mereka, hutan tidak hanya sebagai tempat mencari nafkah, tetapi juga sebagai tempat pemakaman dan bersemayamnya roh leluhurnya. Dengan mengembangkan tradisi seperti ini, maka ikan, satwa, dan
281 Permana, C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2012).
Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy. MAKARA of Social Sciences and Humanities Series, 15(1), 67-76.
282 Senoaji, G. (2011). Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan, dan lingkungan di daerah Banten Selatan.
Humaniora, 23(1), 14-25.
pepohonan menjadi aman dari penangkapan, perburuan, dan penebangan liar283.
2). Suku Kajang (Sulawesi Selatan)
Hasil penelitian Murdiati (2013) pada masyarakat Kajang (kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa mereka memilik 3 jenis hutan, yaitu: 1) Borong Karamaka (hutan keramat), hutan ini tidak boleh dimasuki, kecuali untuk keperluan upacara adat; 2) Borong Battasaya (hutan perbatasan), hutan ini boleh dimasuki atas seizin Ammatoa (pemimpin adat); dan 3) Borong Luarayya (hutan luar). Hutan perbatasan dan hutan luar boleh dimasuki dan dimanfaatkan kayunya, tetapi harus seizin Ammatoa.
Mereka menggunakan pasang (pesan atau petuah leluhur) sebagai aturan dalam mengelola hutan284.
c. Di Sumatera
Masyarakat Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara mempunyai kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hutan mangrove yang ada di desanya. Mereka memberlakukan kearifan lokal dengan ketentuan sebagai berikut: a) batang dan ranting kayu yang
283Sahlan, M. (2012), Op.cit
284 Murdiati, C.W.R. (2013). Rekonstruksi Kearifan Lokal sebagai Fondasi Pembangunan Hukum Kehutanan yang Berkelanjutan:
studi terhadap masyarakat adat Kajang. Prosiding The 5th International Conference on Indonesian Studies: Ethnicity and Globazations. Yogyakarta, 13-14 Juni 2013. pp. 82-99.
sudah mati boleh dimanfaatkan untuk kayu bakar atau keperluan lainnya, b) diperbolehkan mengambil kayu untuk perlengkapan nelayan, pacak tiang rumah, dan kayu bakar untuk pesta perkawinan atau kematian, tetapi harus seizin pemerintah desa dan pawang desa, c) tidak diperbolehkan mengambil kayu mangrove untuk tujuan komersil, jika dilanggar, akan dikenakan sanksi mulai dari teguran keras sampai denda jutaan rupiah285.
d. Di Kalimantan
Suku Dayak Merap dan Suku Dayak Punan, di kabupaten Malinau, Kaltim, mengembangkan kearifan lokal dalam mengelola hutan adat, melalui peraturan adat yang melarang untuk berladang atau mengambil sumberdaya pokok di tempat tertentu agar hutan dapat digunakan terus menerus. Contohnya, pada tempat tempat khusus diberlakukan peraturan adat, di antaranya: a) Hutan Lindung (lokasi di Sungai Seturan dan Rian dilindungi karena menghasilkan sarang burung yang sangat bernilai terutama bagi masyarakat desa Langap), b) Kuburan, tidak boleh diganggu atau dijadikan tempat berladang atau berkebun), c) larangan mengambil beberapa binatang dan tumbuhan karena memiliki fungsi khusus, misalnya: pohon menggris (Koompasia sp.) sebagai sarang lebah, burung rangkong (Buceros sp) dan monyet (Macaca sp.), karena
285 Sanudin & Harianja, A.H. (2009). Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan Mangrove di Desa Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara, Info Sosial Ekonomi, 9(1), 37-45.
membantu menyebarkan benih, pohon beringin (Ficus sp) karena buahnya digemari oleh burung, atau pohon ulin (Eusideroxylon sp.) karena buahnya digemari oleh landak (Hystrix sp.). Binatang-binatang tersebut berperan penting dalam memelihara fungsi hutan, karena membantu penyebaran benih286.