BAB II. PEMBAHASAN A. Pengertian Kearifan Lokal
D. Kendala dalam Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal
2. Rendahnya tingkat pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya kemampuan manajerial, baik dalam mengelola konflik internal maupun dalam menghadapi intervensi ekonomi dan politik yang muncul dari pihak eksternal. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik tokoh adat maupun masyarakat adatnya. Hal ini menjadi krusial, agar elite adat yang merasa tahu jangan sampai menjual “adat” dan memarjinalisasi masyarakatnya atas nama konservasi.
Peningkatan sumberdaya manusia ini penting agar tokoh adat dan masyarakat adat memiliki perspektif yang sama tentang hutan adat, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat adat/desa harus berbarengan dengan terwujudnya pengelolaan kawasan hutan secara lestari.
Pemahaman tentang pengelolaan hutan adat sebagai wujud dari simbiosis mutualisme, pada tokoh adat dan masyarakat adat harus terus diperkuat. Karena sesungguhnya, konsep tentang hutan adat/desa sangat menarik, yakni saling menguntungkan antara komunitas adat atau desa dengan lahan hutan. Masyarakat mendapatkan manfaat langsung atau tak
langsung dari pengelolaan hutan tersebut, sedangkan hutan mendapatkan penanganan yang konservatif karena adanya aktivitas terukur dalam perspektif masyarakat adat atau desa.
3. Bertambahnya jumlah penduduk
Pertambahan jumlah penduduk merupakan salah satu pemicu terjadinya konversi hutan. Hal ini terjadi karena pertambahan penduduk menuntut terpenuhinya berbagai kebutuhan, mulai dari kebutuhan pangan, kebutuhan kayu bakar, kebutuhan kayu pertukangan, hingga tempat pemukiman. Di lain pihak, lahan pertanian sebagai penghasil pangan luasnya terbatas, sehingga alternatif utama untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian287. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06 % dari desa desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar hutan akan berakibat pada kondisi hutan di sekekilingnya. Mereka akan menggantungkan hidupnya pada hutan yang ada di sekeliling pemukimannya guna memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Tanpa pengelolaan yang tepat, hal seperti ini merupakan ancaman bagi keberadaan
287 Simon, H. (2001). Pengelolaan Hutan bersama rakyat (Cooperative Forest Management), teori dan aplikasi pada hutan jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing
dan kelestarian hutan, serta dapat menurunkan fungsi dari peruntukan hutan tersebut288.
4. Taraf sosial ekonomi masyarakat yang rendah
Dalam pengelolaan hutan adat, ada dua perspektif yang harus diakomodasi. Pertama, peningkatan kesejahteraan masyarakat adat/desa. Kedua, terwujudnya pengelolaan kawasan hutan secara lestari. Namun, dalam kenyataannya, perspektif pertama yang lebih diutamakan, sedangkan perspektif kedua seringkali diabaikan. Hal ini terjadi karena taraf sosial ekonomi masyarakat yang masih relatif rendah.
Desakan pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek menyebabkan munculnya aktivitas pemanfaatan hutan adat yang bersifat eksploitatif.
Secara umum, masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa di dalam dan sekitar hutan baik yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat atau masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan. CIFOR (2006) dalam Gusliana
& Hanifah (2016) menyebutkan bahwa 15% dari 48,8 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan masyarakat miskin289.
288 Gusliana, H. B., & Hanifah, M. (2016). Pola Perlindungan Hutan Adat terhadap Masyarakat Adat di Provinsi Riau Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Jurnal Hukum Respublica, 16(1).
289 Ibid
Kemiskinan bukan hanya dimaknai sebagai persoalan deprivasi ekonomi semata, namun menyentuh krisis multidimensi. Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dikategorikan miskin, dan 71,06% menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan. Kondisi sosial ekonomi ini ditambah sulitnya masyarakat dalam mengakses hutan sering memercikkan dan menyalakan konflik kawasan hutan (konflik tenurial). Kebanyakan masyarakat sekitar hutan tidak memiliki perlindungan hukum baik terhadap legalitas maupun akses sumber daya hutan290.
Kehidupan di era global saat ini juga telah mengubah tatanan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Jarang sekali masyarakat adat yang masih homogen dan tidak terintegrasi ekonomi pasar. Dampaknya, kebermaknaan sumber daya alam seringkali dinilai dalam uang yang dapat dihasilkan baik dari menjual atau uang kompensasi. Untuk itu, diperlukan fasilitasi pemerintah maupun pihak-pihak lain, terutama lembaga keuangan yang dapat menyediakan akses pendanaan yang bertujuan untuk penguatan sosial ekonomi masyarakat adat.
5
. Lemahnya dukungan pemerintahPenduduk miskin pedesaan mempunyai banyak aset mata pencaharian, termasuk keterikatan sosial, sumberdaya fisik, kelembagaan tradisional, dan lahan serta alam. Masyarakat
290 Ibid
sekitar hutan adalah masyarakat yang secara umum lebih berkekurangan, baik dalam hal ekonomi, maupun wawasannya. Posisi dilematis, di satu sisi merupakan masyarakat yang paling berperan dan bersentuhan langsung dalam konteks pelestarian hutan, sebaliknya di sisi lain, digolongkan rata-rata miskin dan sangat membutuhkan penopang untuk memenuhi beragam kebutuhan hidupnya.
Akses terhadap hutan yang kurang dan bahkan sering dikatakan melakukan aktivitas illegal memicu dan merebakkan konflik dari waktu ke waktu. Hak pemilikan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat seringkali tidak diakui, atau aturannya sendiri mungkin berlawanan atau tidak sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap lahan di kawasan hutan merupakan permasalahan kronis yang berpotensi gawat291. Peran pemerintah penting dalam mengatur pengelolaan hutan adat oleh masyarakat. Dukungan pemerintah dibutuhkan dalam upaya penguatan kembali kemampuan masyarakat, baik dalam penguatan sumberdaya manusia, modal sosial, modal budaya, maupun modal ekonomi). Justru di lapangan, peran penting pemerintah ini belum maksimal. Kesiapan Pemda, Penyuluh Kehutanan Lapangan, dan dinas-dinas lainnya untuk memfasilitasi masyarakat masih belum memadai.
291 Murti, H. A. (2018). Perhutanan sosial bagi akses keadilan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Jurnal Analis Kebijakan, 2(2). 62-75
6
. Masih terjadi kesenjangan informasiKesenjangan informasi antar pihak-pihak yang terkait, merupakan salah satu hambatan dalam pengelolaan hutan adat.
Kesenjangan informasi yang terjadi, misalnya antara unsur pemerintah level pusat/provinsi dengan seksi wilayah. Filosofi restorasi justice seringkali tidak dipahami oleh petugas/aparat di level bawah. Kesenjangan informasi juga terjadi antara masyarakat adat dan luar adat. Hal ini terjadi karena perbedaan persepsi tentang makna konservasi. Ada yang memahami konservasi sebagai perlindungan kawasan hutan dari kerusakan dan kepunahan (artinya tidak boleh disentuh). Namun, ada juga pemahaman lain, yakni ada kawasan hutan tutupan (memang tidak boleh diolah), dan kawasan titipan (yang boleh dimanfaatkan).