BAB III: PROFIL WAHBAH AL-ZUHAILÎ DAN KITAB
B. Profil Kitab Tafsir al-Munîr
5. Corak Penafsiran
Corak tafsir yang sudah dideteksi oleh pakar-pakar tafsir dari buku-buku tafsir yang sudah terbit sampai saat ini memang banyak dan beragam, diantaranya corak tafsir lughowi, corak tafsir al-Sufi, corak tafsir al-Fiqh, corak tafsir al-Falsafi, corak tafsir al-„ilmi dan tafsir adabi ijtima‟i. Namun kalau kita cermati definisi corak atau tafsir,
yaitu kecenderungan mufassir yang dilatar belakangi oleh pendidikannya, lingkungan hidupnya, baik itu situasi sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, buku-buku yang di bacanya, maka corak tafsir al-Munîr bisa kita kelompokkan dalam corak tafsir al-Fiqh atau mungkin corak itulah yang paling dominan dalam tafsirnya.
Kesimpulan ini dilandasi tidak hanya oleh latar belakang pendidikan Wahbah yang memang seorang pakar dalam disiplin ilmu syariah dan al-Qonun. Tetapi tafsir al-Munîr ini juga di pengaruhi oleh karya monumentalnya yang lain, yang ditulis sebelumnya, yaitu kitab
“Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adilatuh”, diterbitkan oleh Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1984.
Karena sebuah kitab bisa saja berafilisasi kepada corak tafsir, tergantung keilmuan dan kecenderungan mufasirnya. Maka corak lain yang bisa dideteksi dari tafsir al-Munîr selain corak fiqh adalah corak tafsir adabi ijtima‟i, yaitu disamping mengutamakan fokus pembahasannya pada persoalan sosial kemasyarakatan, atau dengan kata lain mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan situasi sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena Wahbah selain memiliki kepakaran dalam bidang ilmu syari‟ah dan al-Qonun, ia juga memiliki basic kebahasaan yang memadai, mengingat ia juga lulusan fakultas bahasa dan sastra Arab. Dengan keilmuan sepeti ini Wahbah mampu mengulas dan menyajikan tafsirnya dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat lugas, teliti dan mudah di mengerti.98
98 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
173-174
6. Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir al-Munîr
Menurut „Ali Iyazî, Tafsir al-Munîr membahas seluruh ayat Al- Qur`an dari awal surat Al-Fâtihah sampai akhir surat An-Nâs.
Pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara corak tafsîr bi al-Ma‟tsȗr dengan tafsîr bi al-ra‟yu, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, Wahbah membagi ayat-ayaty berdasarkan topik untuk memelihara bahsa dan penjelasan di dalamnya.99
Tafsir al-Munîr ini bahasanya mudah dicerna dan mudah dimengerti, selain itu penafsiran tersebut tidak meninggalkan pendapat para mufassir klasik akan tetapi ia mengkomparasikan pendapat para mufassir klasik dan modern, serta Wahbah sendiri pun ikut andil dalam penafsiran tersebut. Kitab ini sangat cocok bagi siapapun yang ingin memahami tafsir, karena tafsir ini tidak mengandung unsur fanatisme mazhab.100
Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitab Tafsir al-Munîr ini. Dalam Pengantar Penerjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah menjelaskan, “Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam as-Suyuthi. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti al-Fiqh al-Islamî wa
99 Syafaat, “Telaah terhadap Tafsîr al-Munîr Karya Wahbah az-Zuhailî tentang Konsep Poligami dalam Konsep Keadilan Gender”, dalam Jurnal Penelitian Kependidikan, Vol. 18 No. 1 April 2008, h. 23
100 Ainol, “Metode Penafsiran az-Zuhailî dalam al-Tafsîr al-Munîr”, dalam Mutâwatir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Vol. 1 No. 2 Desember 2011, h. 152
Adillatuhu, at-Tafsir al-Munîr, dan Ushȗl al-Fiqh, sehingga layak disamakan dengan karya-karya al-Imam an-Nawâwi. Prestasi dan keberhasilan yang langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah SWT, serta kesungguhan beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.”
Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira‟at di Syam sangat memuji tafsir al-Munîr, dia berkata “Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan, baik yang berilmu maupun orang awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.” Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995 M” dalam kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam Iran. Kitab ini juga disambut oleh berbagai negara dengan cara menerjemahkannya dalam berbagai bahasa, seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan Indonesia.101
101 Andika Maulana, “Wahbah az-Zuhailî dan Tafsir al-Munîr”, dalam Studi Kitab Tafsir, Jakarta, 15 Februari 2016, h. 11
66
“YÂ BUNAYYA” DALAM AL-QUR`AN
A. Penafsiran Wahbah az-Zuhailî terhadap Lafaz Yâ Bunayya
Panggilan seorang ayah terhadap anak di dalam Al-Qur`an terdapat dua jenis panggilan yaitu pertama,
يَنُ باَي
seperti dalam QS. Luqmân [31]:13-17, QS. Ash-Shâffât [37]: 102, QS. Yûsuf [12]: 4-6 dan QS. Hûd [11]:
42. Kedua,
يِنَباَي
seperti dalam QS. Al-Baqarah [1]: 132, QS. Yûsuf [12]:67 dan QS. Yûsuf [12]: 87.
Dalam hal ini penulis hanya fokus pada jenis panggilan pertama yaitu
يَنُ باَي
dengan mengambil penafsiran Wahbah az-Zuhailî dalam Kitab Tafsiral-Munîr.
1. Peran Ayah dalam Menanamkan Nilai Akidah terhadap Anak (QS. Luqmân [31]: 13-17)
Al-Qur`an memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang ayah menanamkan nilai akidah kepada anaknya, sebagaimana firman Allah swt. sebagai berikut:
13. dan (ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
14. dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqmân berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqmân [31]: 13-17)
Pada ayat di atas terdapat tiga panggilan yâ bunayya yaitu tentang nilai akidah, larangan menyekutukan Allah swt., perintah berbakti kepada orang tua, perintah mendirikan shalat dan mengerjakan amar ma‟ruf dan menjauhi kemunkaran.
Asbâb an-Nuzûl dari ayat di atas adalah bahwa ketika itu ada orang Quraisy datang kepada Rasulullah yang meminta agar dijelaskan kepadanya berkaitan dengan kisah Luqmân. Sedangkan pokok-pokok ajaran yang telah disebbutkan di atas. kisah ini merupakan potret orang tua dalam mendidik anaknya dengan ajaran keimanan. Dengan pendidikan persuasif, Luqmân dianggap sebagai pendidik bijaksana, sehingga Allah mengabadikannya dalam Al- Qur`an dengan tujuan agar menjadi ibrah atau pelajaran bagi para pembacanya. Kemudian Allah menjelaskan tipe manusia pembangkang terhadap perintah-Nya, hingga pada akhirnya mereka tidak mau mendengarkan Al-Qur`an.102
Wahbah az-Zuhailî dalam menafsirkan lafaz
للهااب كرشت لا نبي
dengan penafsiran bahwa kata
نبي
yâ bunayya yang dimaksud disini adalah menggunakan bentuk kata tasghîr (diminutif) untuk memperlihatkan rasa kasih sayang.103Beliau menjelaskan bahwa Luqmân menyampaikan wasiat, pesan dan nasihat kepada putranya, sebagai bentuk kasih sayang kepada- Nya. Hal yang pertama di perintahkan adalah tentang akidah yaitu
102 Nurwadjah Ahmad dan Roni Nugraha, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan Menyingkap Pesan-Pesan Pendidikan dalam Al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Marja, 2018), Cet. ke-4, h.
155
103 Wahbah Al-Zuhailî, Tafsir al-Munir. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2015), Cet. ke-1, h. 164
dengan tidak menyekutukan Allah swt. Dalam hal ini perbuatan syirik merupakan sebuah kezaliman karena syirik berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, syirik adalah kezaliman yang besar karena itu merupakan perbuatan yang berkaitan dengan pokok aqidah, menyamakan dan mensetarakan antara sang Khaliq dengan makhluk.104
Kemudian wasiat Luqmân kepada anaknya adalah sesungguhnya suatu kebaikan, kejelekan, kezaliman, pelanggaran hak dan kesalahan, sekalipun seberat ukuran sebutir biji sawi dan berada di tempat yang paling tersembunyi sekalipun seperti dalam perut batu, atau di tempat yang paling tinggi rendah dan dalam seperti di dalam perut bumi, niscaya Allah swt. pasti akan menghadirkan dan menampilkannya kelak pada hari kiamat ketika proses hisab dan penimbangan amal perbuatan, dan akan membalasnya baik atau buruk.
Secara garis besar bahwasanya Luqmân memerintahkan untuk ihsan, yaitu berbuat baik kepada kedua orang tua dan lingkungan sekitar. Ayat ini menjelaskan tentang keilmuan, bahwa Allah swt.
mengetahui segala yang gaib dan yang tampak, dan mengetahui segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya untuk memenuhi yang berhak mereka terima pada hari kiamat.105
Luqmân al-Hakîm melarang anaknya dari perbuatan syirik serta menumbuhkan rasa takut dengan menumbuhkan kesadaran dan keindahan akan ilmu dan kuasa Allah swt., Luqmân al-Hakîm memerintahkan anaknya untuk mengerjakan amal-amal shaleh yang
104 Wahbah Al-Zuhailî, Tafsir al-Munir. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h. 167
105 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h. 170
menjadi tuntutan tauhid, yaitu shalat, beribadah hanya kepada Allah swt. Semata dengan tulus ikhlas dan murni semata-mata hanya untuk- Nya. Menegakkan shalat maksudnya adalah menunaikan shalat secara sempurna, baik, benar dan tepat dengan segenap aturan-aturan, batasan-batasan, syarat rukun dan waktunya. Shalat adalah tiang agama, bukti dan manifestasi keimanan dan keyakinan, serta wasilah mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan menanggapi keridhaan-Nya.
Disamping itu, shalat juga efektif dalam membantu perbuatan keji dan munkar, serta untuk membersihkan dan memurnikan jiwa.
Wasiat dan pesan Luqmân al-Hakîm diawali dengan shalat merupakan tiang agama, dan ditutup dengan perintah bersabar, tabah dan tegar karena sabar merupakan pondasi keteguhan, persistensi dan konsistensi Allah swt. 106 sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang- orang yang khusyu',” (QS. Al-Baqarah [1]: 45)
2. Menyampaikan Pendapat kepada Anak (QS. Ash-Shâffât [37]:
102)
Komunikasi antara ayah dan anak memiliki beragam macam cara, dalam hal ini Al-Qur`an menjelaskan tentang bagaimana seorang ayah meminta pendapat pendapat terhadap anaknya yaitu sebagai berikut
106 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h. 170-171
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahîm, Ibrahîm berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash- Shâffât [37]: 102).
Pada ayat di atas panggilan yâ bunayya digunakan oleh Nabi Ibrahîm kepada Isma‟îl ketika menanyakan pendapat tentang bagaimana tanggapan Nabi Isma‟îl terhadap perintah Allah yang disampaikan melalui mimpi ayahnya.
Wahbah az-Zuhailî dalam ayat ini tidak menjelaskan Asbâb an- Nuzûl. Pada penafsirannya dalam lafaz yâ bunayya pada ayat ini tidak disebutkan secara rinci akan tetapi penafsiran lafaz ini sudah ada dalam surat Luqmân ayat 13 yaitu yâ bunayya disini menggunakan bentuk tasghîr untuk memperlihatkan rasa kasih sayang. Namun kemudian dalam ayat ini pada lafaz
يعسلا هعم غلب اّملف
dijelaskan bahwasanya ketika itu Nabi Isma‟îl sudah mencapai usia produktif, dalam hal ini ada yang mengatakan tujuh tahun dan juga ada yang mengatakan 13 tahun.107 Hal ini menunjukkan panggilan yâ bunayya
107 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk., h. 119
tersebut tidak digunakan hanya kepada anak yang berusia balita saja, akan tetapi anak yang sudah berusia dewasa.
Beliau menjelaskan bahwa ketika Isma‟îl a.s. tumbuh besar menjadi remaja dan mencapai usia produktif untuk bekerja, berusia 13 tahun, Ibrahîm as. berkata kepada putranya, “Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?” Beliau menyampaikannya kepada Isma‟îl agar ia mempersiapkan diri menjalankan perintah Allah swt. dan mengharapkan pahala dengan ketundukan kepada perintah-Nya. Dan untuk mengetahui kesabarannya terhadap perintah Allah swt. karena mimpi para nabi adalah wahyu yang harus dilaksanakan.
Adz-dzabîh di sini adalah Isma‟îl a.s. karena Allah SWT menyebutkan berita gembira tentang kelahiran seorang anak penyabar dan anak itulah adz-dzabîh. Setelah itu, Allah SWT menyebutkan ayat, (
َْي ِِلايصلا َنِّم اًّيِبَن َقاَحْسِإِب ُهاَنْريشَبَو
).Kemudian Isma‟îl as. menjawab perintah ayahnya “Jalankanlah perintah Allah swt. untuk menyembelihku dan lakukanlah sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepadamu. Aku akan sabar menjalani ketetapan ilahi dan mengharapkan pahala di sisi-Nya.” Ini adalah sifat yang disematkan kepadanya, halîm (sangat penyabar dan penyantun) dan sesuai dengan yang ada dalam firman Allah swt.:
"dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma‟îl (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi. dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya. (QS. Maryam [19]:
54-55).108
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi dalam tafsirnya as-Sya‟rawi mengatakan dalam dialog terdapat kemesraan antara Ibrahîm dan anaknya Ismail dengan menggunakan kata wahai ananda
يَنُ بَ ي
danwahai ayahanda
ِتَبَأَي
wahai. Kata wahai ayahanda menunjukkan betapa Ibrahîm sangat mencintai Ismâ‟îl.1093. Menanggapi Masalah Anak (QS. Yȗsuf [12]: 4-6)
Komunikasi antara ayah dan anak ada juga yang berupa bagaimana seorang ayah memberi tanggapan terhadap permasalahan yang di alami oleh sang anak, seperti dalam firman Allah sebagai berikut
108 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h. 121-122
109 Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir Sya‟rawi, terj. Safir al-Azhar, (Medan: Duta Azhar, 2011), Cet. Ke-1, h. 389-390
4. (ingatlah), ketika Yȗsuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
5. Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
6. dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qȗb, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu[743] sebelum itu, (yaitu) Ibrahîm dan Ishâq. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Yȗsuf [12]: 4-6).
Pada ayat di atas terdapat panggilan yâ bunayya yang digunakan oleh Nabi Ya‟qûb ketika menanggapi pernyataan Nabi Yûsuf perihal mimpinya. Wahbah az-Zuhalî tidak menjelaskan secara rinci pada Lafaz yâ bunayya akan tetapi pada surat Luqmân ayat 13 sudah dijelaskan bahwasanya yâ bunayya menggunakan bentuk tasghîr untuk menunjukkan kasih sayang.
Asbâb an-Nuzûl dari ayat di atas ketika masa-masa sulit dan situasi saat itu serupa dengan situasi saat turunnya surat Yȗnus, yakni sangat kritis, khususnya terkait setelah peristiwa isra‟ dan mi‟raj dimana banyak orang meragukan pengalaman Rasulullah saw.
tersebut, dan ada pula sebagian umat yang lemah imannya menjadi murtad. Pada saat itu juga Nabi sedang dirundung duka atas kematian
dua orang yang dicintainya, yakni istri beliau, sayyidah Khadîjah dan paman beliau Abu Tahlib baru saja wafat. Atas kesedihan yang Nabi dan umat muslim alami saat itu, maka kemudian masa itu dikenal sebagai „Am al hazn. 110
Pada waktu Rasulullah bersama umat muslim lainnya mengalami kesedihan, Allah mewahyukan cerita tentang Nabi Yȗsuf ibn Ishaq ibn Ibrahîm. Cerita itu menerangkan bahwa Nabi Yȗsuf juga pernah merasakan kesedihan, mengalami ujian dan cobaan. Berbagai ujian dan cobaan dihadapi Nabi Yȗsuf dengan penuh kesabaran, dan dicelah-celah kesempatan ia terus mendakwahkan Islam. Oleh karena itu tidaklah heran bila surat ini turun pada masa sedih dan masa sulit Rasulullah. Tujuannya adalah untuk menghibur, menyenangkan dan menenangkan hati yang terisolir, berduka, terusir dan menderita. Dan itulah isyarat berlakunya sunnatullah, bahwa suatu ujian dan cobaan apabila dihadapi dengan kesabaran maka pastilah akan ditemukan jalan keluar, hingga terwujudnya kegembiraan dan kebahagiaan.111 Wahbah az-Zuhailî menjelaskan bahwa ayat “Sesungguhnya aku bermimpi dalam tidurku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan semuanya bersujud kepadaku.” Sujud di sini adalah sujud penghormatan, menundukkan kepala dan tunduk tawadhu‟, bukan sujud sebagai ibadah. Disandarkan sifat fi‟il yang tidak berakal dengan sifat yang berakal (sujud) untuk menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan mimpi ilham dan bukan mimpi buah tidur belaka.
Ibnu Abbas berkata bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Ar-ru‟yah
110 Muhammad Alî al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir; Tafsir-Tafsir Pilihan, terj. KH.
Yasin, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 749-750.
111 Sayyid Quthb, Fî Zhilal al-Qur`an, terj. As‟ad Yasin, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2003.), h. 302-303
ash-shâlihah (mimpi yang sebenarnya) terjadi apabila yang bermimpi adalah orang yang shalih dan ditakwilkan oleh orang yang shalih serta berilmu, itu semua merupakan bagian dari kenabian dan ciri dari suatu pemberitahuan tentang hal yang gaib. Hal ini tentu dengan menjunjung tinggi kejadian-kejadian yang terjadi dalam ruh yang suci dan biasanya merupakan sikap dari hadits an-nafs (bisikan jiwa).
Maksud dari sebelas bintang adalah saudara-saudara Yusuf yang berjumlah sebelas orang. Arti bintang adalah saudara-saudaranya.
Sedangkan matahari dan bulan adalah ayah dan ibunya.112
Kemudian Ya‟qȗb berkata kepada anaknya (Yȗsuf) ketika dia menceritakan tentang mimpi yang terkandung di dalamnya bahwa saudara-saudaranya akan tunduk, menghormati, memuliakan dan membesarkannya, “Jangan kamu ceritakan tentang mimpimu kepada saudara-saudaramu agar mereka tidak dengki kepadamu dan berencana untuk menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan, karena sesungguhnya setan musuh bagi Adam dan anak cucunya dan selalu membuat fitnah di antara manusia.”
Quraish Shihâb dalam tafsirnya al-Misbâh mengatakan bahwasanya pada suatu malam, seorang anak bermimpi, tidak jelas berapa usianya ketika ia bermimpi. Mimpinya sungguh aneh. Karena itu, ia segera menyampaikan kepada ayahnya. Dalam ayat ini terdapat renungan yang bisa di ambil pelajaran, yaitu ketika Yȗsuf putra Nabi Ya‟qȗb as., berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku sesungguhnya aku telah bermimpi melihat sebelas bintang yang sangat jelas cahayanya serta matahari dan bulan; telah kulihat semuanya bersama-sama mengarah kepadaku tidak ada selain aku dan semua
112 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munir. Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., h. 499
mereka benda-benda langit itu dalam keadaan sujud kepadaku seorang. Demikian Yȗsuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya.
Rupanya, tulis Muhammad al-Ghazali dalam bukunya, Nahwa Tafsîr Maudhu‟iy Li Suwar al-Qur`an al-Karim, sewaktu kecilnya Yȗsuf merasa bahwa dia mempunyai peranan yang disiapkan Allah swt.
boleh jadi dia pun akan termasuk mereka yang dipilih Allah swt.
benar juga dugaan Yȗsuf, Allah swt. menyampaikan isyarat berupa berita gembira kepadanya yang mendukung kebenaran bisikan hatinya melalui mimpi yang diceritakannya itu.113
Berita yang disampaikan oleh Ya‟qȗb itu merupakan suatu hal yang besar apalagi bagi seorang anak yang sejak kecil hatinya diliputi oleh kesucian kasih sayang ayah. Kasih sayang ayahnya disambut pula dengan penghormatan kepada beliau. Ia memanggil ayahnya dengan panggilan yang mengesankan kejauhan dan ketinggian kedudukan sang ayah dengan memulai memanggilnya dengan kata wahai (
اَي
) yâ. Lalu, dengan kata abati/ayahku dia menggambarkan kedekatannya kepada beliau. Kedekatannya kepada ayahnya diakui oleh ayat ini, tetapi kedudukannya sebagai orangtua. Ayat ini tidak berkata ingatlah ketika Yusuf berkata kepada Ya‟qub, tetapi ketika Yusuf berkata kepada ayahnya.114Kata bunayya (
ُ ب يَن
) adalah bentuk tasghîr/perkecilan dari kata anakku/ibnî (ِن ا ْب
). Bentuk ini antara lain digunakan untuk menggambarkan kasih sayang karena kasih sayang biasanya tercurah113 Quraish Shihâb, Tafsîr Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 13 114 Quraish Shihâb, Tafsîr Al-Misbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 14