BAB III: PROFIL IBN ‘ÂSYÛR DAN TAFSIR AT-TAHRÎR WA AT-
B. Profil Kitab Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr
5. Corak penafsiran
yang berfungsi sebagai alat bantu mufassir dalam menafsirkan Al- Qur‟an. Muqaddimah pertama membahas Tafsir dan Ta‟wil, Muqaddimah kedua pembahasan tentang ilmu bantu tafsir, muqaddimah ketiga mengenai keabsahan sekaligus makna tafsir bi al-Ra‟yi, muqaddimah keempat mengenai tujuan tafsir, muqaddimah kelima tentang asbab an-Nuzul, muqaddimah keenam tentang qirâ‟ât, muqaddimah ketujuh mengenai kisah-kisah dalam Al-Qur‟an, muqaddimah kedelapan tentang sesuatu yang berhubungan dengan nama-nama Al-Qur‟an beserta ayat-ayatnya, muqaddimah kesembilan tentang makna global Al-Qur‟an, dan muqaddimah kesepuluh tentang i‘jaz Al-Qur‟ân.36
Selanjutnya teknis penulisan yang diuraikan Ibn „Âsyûr dalam tafsirnya dimulai dengan menyebutkan beberapa riwayat tentang penamaan surat, jumlah ayat serta katagori surat makki-madani;
menjelaskan urutan setiap surat sesuai susunan turunnya surat dalam sabab an-Nuzûl dan menjelaskan sabab an-Nuzûl surat; menguraikan aghrad Al-Qur‟an yang terdapat dalam setiap surat, menjelaskan tanasub al-ayat dalam Al-Qur‟an, kemudian menjelaskan isi kandungan surat tersebut ayat perayat dalam poin-poin yang berbeda-beda sesuai dengan tema dan masalah yang dibahas.
Dalam menjelaskan isi kandungan ayat perayat Ibn „Âsyûr menjelaskannya secara rinci, beliau terlebih dahulu menganalisa makna kosa kata dengan i‘râb dan pemaparan i‘jâz lughawinya, bila perlu beliau menjelaskan syair-syair arab jahili sebagai penguat kebahasaannya, selanjutnya beliau menjelaskan tafsir suatu ayat dengan Al-Qur‟an, hadis ataupun perkataan ulama salaf kemudian
36 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1, h. 10-130
mengungkapkan perbedaan qirâ‟ât dan menguraikan penafsiran dari masing-masing qirâ‟ât serta men-tarjih salah satu yang paling kuat.
Setelah itu, beliau mengutip pendapat para Ulama dan terkadang membandingkannya serta memilih pendapat yang lebih kuat. Beliau juga menjelaskan keterkaitan dengan aspek sejarah, membentangkan kekeliruan Israiliyyat, menyatakan hal yang bersangkutan dengan fiqh dan usul, menguraikan berdasarkan ilmu yang lebih modern seperti fisika, falsafah dan mukjizat yang terdapat di alam ini serta mengutamakan perkataan dengan adab dan akhlak yang baik.37
7. Karakteristik Penafsiran
Karakteristik yang menonjol dalam tafsir Ibn „Âsyûr adalah sebagai berikut:38
1. Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap bahasa Arab.
2. Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap fiqh.
3. Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap qirâ‟ât.
C. Pandangan Ibn„Âsyûr Tentang Qirâ’ât
Dalam muqaddimah tafsirnya Ibn „Âsyûr memaparkan pandangannya terhadap qirâ‟ât yang dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, qirâ‟ât yang tidak berimplikasi pada penafsiran disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca, panjang dan pendeknya bacaan (mad), al-Imalah, at-Takhfif, at-Tashil, al-Jahr dan al-Ghunnah.
Perbedaan yang semacam ini memiliki kelebihan yaitu memelihara bangsa Arab dalam menentukan cara membaca huruf, baik dari segi
37 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1,
h. 24
38 Faizah Ali Syibromalisi dan Azizi Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik- Modern, h. 125-126
makharaj, sifat dan menjelaskan perbedaan lahjah Arab dengan meniru para qari‟ Al-Qur‟an dari kalangan sahabat dengan sanad yang shahih.
Memang tujuan ini penting, namun qirâ‟ât tersebut tidak sama sekali berkaitan dengan penafsiran karena tidak mempengaruhi perbedaan makna.39
Kedua adalah qirâ‟ât yang berimplikasi kepada penafsiran disebabkan karena perbedaan pada huruf dalam satu kata atau perbedaan harakat. Perbedaan qirâ‟ât pada lafazh Al-Qur‟an juga akan memperbanyak makna dalam suatu ayat hingga membuat makna yang beragam. Oleh karena itu, perbedaan lafazh dalam Al-Qur‟an terkadang mempengaruhi penafsiran karena penetapaan salah satu bacaan terkadang menjelaskan makna yang mirip atau bahkan makna yang berbeda dari bacaan yang lain. Perbedaan makna pada lafazh Al-Qur‟an juga akan memperbanyak makna dalam satu ayat.40
Selanjutnya beliau menyampaikan bahwa Al-Qur‟an diturunkan dengan dua bacaan atau lebih agar memperbanyak makna yang dimaksud dalam ayat tertentu, dan semuanya merupakan qirâ‟ât mutawâtirah dan ma‟tsurah dari Nabi Muhammad Saw dan ini merupakan apa yang dimaksud oleh Allah Swt agar setiap qari‟ dapat membaca dengan bacaan yang beragam. Maka, adanya cara bacaan yang lebih dari satu yang menyatukan dua ayat atau lebih pada satu ayat merupakan kelebihan dalam balaghah Al-Qur‟an.41
Perbedaan para qari‟ pada satu lafzh dalam Al-Qur‟an tidak dapat digabungkan dengan qirâ‟ât yang lain dan perbedaan itu kecil
39 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1, h. 51
40 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1, h. 55
41 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1, h. 55
sehingga sedikit sekali sada sebagian qirâ‟ât yang lebih unggul dari qirâ‟ât yang lain. Perbedaan sebuah qirâ‟ât merupakan rukhshah dari Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang terjadi pada hadis „Umar dan Hisyâm.42
Setelah Ibn „Âsyûr menjelaskan pandangannya tentang macam- macam qirâ‟ât, beliau juga menjelaskan tentang derajat qirâ‟ât shahih dan mentarjihnya. Dalam hal ini beliau mengutip pendapat Abû Bakar bin al-„Arabî dalam kitabnya al-„Awâshim yang menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa setiap qirâ‟ât yang sesuai dengan lafazh dan redaksi mushaf Al-Qur‟an merupakan qirâ‟ât mutawâtirah, walau masing-masing berbeda dalam cara membaca dan pengucapan.
Maksudnya, kemutawatiran sebuah qirâ‟ât itu harus sesuai dengan rasm
„Utsmani. Jadi, setiap qirâ‟ât yang tidak sesuai dengan mushaf „Utsmani menjadi qirâ‟ât maqbulah. Selain itu keshahihan sebuah qirâ‟ât harus memiliki kalitas sanad yang shahih. Namun tidak menutup kemungkinan sanad yang ahad juga masih bisa diterima.43
Selanjutnya derajat keshahihan sebuah qirâ‟ât adalah sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun ini masih diperselisihkan oleh ulama. Tetapi Ibn „Âsyûr sendiri menolak bahwa bahasa Arab yang fasih hanya berasal dari pakar nahu Bashrah dan Kuffah, karenanya beliau banyak menentang az-Zamkhsyarî yang menganggap sebuah qirâ‟ât tidak mutawatir karena ia mengikuti pendapat yang lemah dalam bahasa Arab apalagi qirâ‟ât tersebut sudah terkenal.44
42 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1, h. 55- 56
43 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1,
h. 60
44 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1,
h. 61
Terakhir beliau memaparkan bahwa penafsirannya merujuk pada qirâ‟ât „asyarah khusunya riwayat-riwayat yang terkenal dari dua rawi qirâ‟ât mutawâtirah. Beliau juga memulainya dengan qirâ‟ât Nâfi„
riwayat „Isa bin Mînâ al-Madanî yang biasa kita kenal dengan sebutan Qâlûn karena Imam dan dua perawinya merupakan qirâ‟ât madaniyah ditambah juga mayoritas masyarakat Tunis memakai qirâ‟ât dan riwayat tersebut. Qirâ‟ât ini juga dibaca di sebagian daerah Mesir. Beliau juga mengakui bahwa qirâ‟ât yang lain dipakai di daerah lain seperti qirâ‟ât Nâfi„ riwayat Warsy di sebagian daerah di Tunis, Libiya, Mesir seluruh daerah Al-Jazair, Maroko dan Sudan. Sedangkan negara-negara timur yaitu Irak, Syam, India, Pakistann, Turki, Afganistan memakai qirâ‟ât
„Âshim dengan riwayat Hafsh. Adapun qirâ‟ât Abî „Amr al-Bashrî digunakan di Sudan yang berdekatan dengan Mesir.45
45 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 1,
h. 63
89 BAB IV
ANALISIS QIRÂ’ÂT DALAM TAFSIR AT-TAHRÎR WA AT-TANWÎR KARYA IBN ‘ÂSYÛR DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENAFSIRAN AYAT-AYAT GENDER
A. Pengaruh Perbedaan Qirâ’ât Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Gender
Para mufassir klasik telah menggunakan ragam qirâ‟ât dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Tetapi, kecenderungan penggunaan qirâ‟ât lebih dominan dalam penafsiran ayat-ayat hukum, teologi dan fiqih.
Padahal dalam Al-Qur‟an isu gender cukup banyak disebutkan dalam beberapa surah. Hal ini yang kurang dieksplorasi dalam kitab-kitab tafsir. Oleh karenanya, pada sub-bagian selanjutnya akan membahas bagaimana pemahaman ayat gender dengan melihat ragam qirâ`ât yang melingkupinya. Pada poin ini, akan diuraikan analisis tentang penafsiran Ibn „Âsyûr terhadap ayat-ayat gender yang di dalamnya terdapat beberapa perbedaan qirâ‟ât.
1. Ayat-ayat Gender yang Terdapat Ragam Qirâ`ât dalam Tafsir At-Tahrîr Wa At-Tanwîr
Pada dasarnya ayat-ayat yang berkenaan dengan gender ini sangat banyak, namun yang memiliki keragaman qirâ‟ât dan berimplikasi terhadap hukum ada 13 ayat.1 Oleh karena itu, jika ada ayat-ayat yang berkaitan dengan gender tetapi tidak memiliki perbedaan qirâ‟ât atau ada ayat-ayat yang memiliki perbedaan qirâât namun Ibn
„Âsyûr tidak memaparkan qirâ‟ât, maka tidak dimasukkan dalam pembahasan ini. Berikut ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ini:
1 Ali Fakhrudin, “Relasi Gender Dalam Keragaman Qirâ`ât” dalam Shuhuf, Vol. 3, No. 1 2010, h. 35
pertama, asal usul penciptaan manusia QS. An-Nisâ‟ [4]: 1, kedua, peran perempuan dalam publik Q.S. Al-Ahzâb [33]: 33, ketiga, aurat perempuan QS. An-Nûr [24]: 31, keempat, hak cerai istri Q.S. Al- Baqarah [2]: 229, kelima, perceraian sebelum berhubungan Q.S. Al- Baqarah [2:] 236, keenam, zhihar Q.S. Al-Mujâdilah [58]: 2 dan ketujuh, larangan menyakiti perempuan Q.S. An-Nisâ`[4]: 19. Berikut penulis akan mengklasifikasikan perbedaan qirâ‟ât dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel Perbedaan Qirâ’ât Ayat-ayat Gender Dalam Tafsir At-Tahrîr Wa At-Tanwîr Karya Ibn ‘Âsyûr
تاءارق
ءارقلا تاملكلا
ةينأرقلا ةيلأاو ةروسلا مقرلا
سَت َنوُلَءا ديدشتب(
نوقابلا :)ينسلا فيفختب( َنوُلَءاَسَت
ةزحمو مصاع :)ينسلا
يئاسكلاو َنوُلَءاَسَت ءاسنلا
[
ٗ :]
ٔ
ٔ َمَاحْرَْلأاَو
صنب(
نوقابلا :)ميلما :)ميلما ربج( ِمَاحْرَْلأاَو
ةزحم مَاحْرَْلأاَو ٕ
ِقَو رسكب( َنْر
نوقابلا :)فاقلا :)فاقلا حتفب( َنْرَ قَو
رفعجوبأو مصاعو عفان َنْرقَو
بازحلأا [
ٖٖ
:]
ٖٖ
ٖ نُكِتْوُ يِب
رسكب(
نوقابلا :)ءابلا
نُكِتْوُ يُ ب :)ءابلا مضب(
ورمع وبأ و شرو
رفعج وبأو مصاعو نُكِتْوُ يب ٗ
ِْي َغ ُأ ِةَبْرِْْا ِلو
( بخ ضف ءارلا :)
نوقابلا
َغ ْ ي َر ُأ ِةَبْرِْْا ِلو
( ءارلا بصنب نبإ :)
وبأو ةبعشو رماع رفعج
َغ ْي ُأ
ِةَبْرِْْا ِلو رونلا
[
ٕ
ٗ ]:
ٖٔ ٘
حتفب( ًافَايخ ْنَأ لاِإ نوقابلا :)ءايلا
مضب( ًافَا ُيخ ْنَأ لاِإ رفعجوبأو ةزحم :)ءايلا
بوقعيو ًافَايخ ْنَأ لاِإ ةرقبلا
[
ٕ :]
ٕٕٜ ٙ
ءاتلا حتفب( نُىوُّسََتَ
لاو فلأ يغ نم :)دم نوقابلا
ءاتلا مضب( نُىوُّساَُتَ
ميلما دعب فلأ تابثإو ةزحم :)دميف فلخو يئاسكلاوو
نُىوُّسَتَ
ةرقبلا [
ٕ :]
ٕٖٙ
ٚ
َق ْد َر ُه ( نوكسب
لادلا
: ) نوقابلا
َرَدَق :)لادلا حتفب( ُه
و ناوكذ نبإ صفح
يئاسكلاو ةزحمو رفعجوبأو
ُهَردَق ٛ
َي ظ - ه ُر َنو ( حتفب ءالهاو ءاظلا ديدشتو ءايلا
وم حتف ينت فلأ يغ نم عفان :)ءاظلا دعب
بوقعيو ورمعوبأو يثك نبإ و َي ظ - ا َى ُر َنو ( ءاظلا ديدشتو ءايلا حتفب
اهحتفو ءالها فيفتخ عم اىدعب فلأو :)
رفعج وبأو يئاسكلاو ةزحمو رماع نبإ
نورهظي ةلدالمجا
ٕ:]٘ٛ[ ٜ
فلخو ُي َظ - ُر ا ِى َنو ( مضب ءاظلا فيفتخو ءايلا
ءاظلا دعب فلأو اىرسكو ءالهاو مصاع :)
:)فاكلا حتفب( ًاىْرَك نوقابلا
مضب( ًاىْرُك ةزحم :)فاكلا يئاسكلاو فلخو
ًاىْرك
ءاسنلا [
ٗ :]
ٜٔ ٔٓ
ءايلا رسكب( ٍةَنّ يَ بُم :)ةددشلما
نوقابلا حتفب( ٍةَن يَ بُم
:)ةددشلما ءايلا
نبا
يثك
فلخو ةبعشو
ٍةَنّ يَ بُم
ءاسنلا [
ٗ :]
ٜٔ ٔٔ
2. Penafsiran Ibn ‘Âsyûr dan Para Ulama Tafsir Tentang Ayat-ayat Gender
Sebelum menjelaskan lebih jauh penafsiran Ibn „Âsyûr terhadap pengaruh perbedaan qirâ‟ât dalam ayat-ayat gender, terlebih dahulu penulis sedikit menguraikan bahwa dalam pengungkapkan perbedaan qirâ‟ât dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qirâ‟ât beliau juga men-tarjih (mengunggulkan) salah satu yang paling kuat.
Setelah mengetahi ayat-ayat gender yang memiliki keragaman qirâ‟ât dalam tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr, selanjutnya penulis akan memaparkan penafsiran Ibn „Âsyûr sekaligus melihat bagaimana sikap beliau terhadap perbedaan qirâ‟ât dalam penafsiran. Penulis juga akan memaparkan penafsiran mufassir lainnya untuk mengetahui sejauhmana pengaruh perbedaan qirâ‟ât dalam menafsirkan ayat.
a) Asal Usul Penciptaan Manusia QS. An-Nisâ’ [4]: 1
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Allah), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” QS. An-Nisâ‟ [4]:1
Ibn „Âsyûr menjelaskan adanya dua perbedaan bacaan pada redaksi ayat di atas, yaitu: Pertama, lafal
َنوُلَءاَسَت
terdapat dua perbedaan bacaan di antaranya Imam Hamzah, „Âshim, Al-Kisâî dan Khalaf membaca dengan takhfîf sinَنوُلَءاَسَت
, sementara imam qirâ‟ât yang lain membaca tasydîd sinَنوُلَءا سَت
. Kedua, pada lafalمَاحْرَْلأاَو
jugaterdapat dua perbedaan bacaan yang dipaparkan Ibn „Âsyûr yaitu, Imam Hamzah membaca dengan jar
ِمَاحْرَْلأاَو
sementara Imam lainnya membaca dengan nasabَمَاحْرَْلأاَو.
Kata
َمَاحْرَْلأاَو
dengan membaca nasab berarti di-„athaf-kan kepadaوّللا .
Sedangkan qirâ‟ât yang membaca dengan jarِمَاحْرَْلأاَو
beratikata tersebut di-„athaf-kan kepada dhamîr yang ada pada kata
. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu sama lain denganmenyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi. Pendapat ini sesuai dengan pendapat ahli Nahwu.2
Sebagaimana hal ini tercantumkan dalam kitab qirâ‟ât:
َنوُلَءاَسَت ” َ ق َر َأ “
ُفَلَخ َو ،ىِئاَسِكْلا َو ،ُةَزَْحم َو ،ُمِصاَع ِب َت
ِف ْي ْخ سلا ِف ِْين
،
َو َ ق َر ْلا َب َأ ُ قا ْو ِب َت ُن ِد ْي ْش َىا ِد . َو ” َْلأا ْر َح َما َ ق َر “ َْحم َ َأ ز ُة َِبخ ْف ْلا ِض ِم ْي َو ، ِم َ ق َر ْلا َب َأ ُ قا ْو ُن
ِب َن ْص ِب َه.ا
3
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah dalam hal ini tidak menyebutkan secara kronologis tentang proses penciptaan perempuan pertama itu. Pernyataan Al-Qur‟an, yang menyebutkan bahwa
َقَلَخَو
اَهَجْوَز اَهْ نِم
“dari padanya, Dia menciptakan pasangannya”. Setidaknya,dalam konteks ini ada tiga hal penting yang memicu polemik di antara para mufassir ketika memahami beberapa ayat di atas, yaitu term
ٍسْفَ ن
ٍةَدِحاَو
(diri yang satu); objek yang ditunjuk dengan kataاَهْ نِم
(darinya);dan term
اَهَجْوَز
(pasangan). Kontroversi disekitar penciptaan perempuan pertama ini setidaknya telah melahirkan dua pola pemahaman yang berbeda secara diametral. Pertama, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pelopor pendapat ini antara lain Imam ath-Thabarî. Menurutnya, yang dimaksud dengan termٍسْفَ ن
2 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 4, h.
217-218
3 „Abd Fattâh „Abd al-Qâdhi Al-Ghanî, Al-Buduru az-Zâhirah fî al-Qirâ‟ât al-
„Asyr al-Mutawâtirah min Tharîq asy-Syâthibiyyah wa ad-Durrah, Jilid. 1, h. 261.
Lihat juga Abû Khair Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Ibn al-Jazarî, Taqrîb an-Nasyr fî al-Qirâ‟ât al-„Asyr, h. 499
ٍةَدِحاَو
yang terdapat dalam QS. An-Nisâ‟ [4]: 1, adalah Nabi Adam, sementara termاَهَجْوَز
diartikan sebagai Hawa.4Kedua, bahwa Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan sebagai makhluk yang diciptakan dari jenis (jins) yang sama dengan Adam. Artinya, Hawa juga diciptakan dari tanah yang merupakan unsur utama dalam penciptaan Adam. Pendapat ini, dikemukakan oleh ar-Râzî dengan mengutip pendapat Abû Muslim al- Isfahâni yang bahwa maksud kalimat
اَهَجْوَز اَهْ نِم َقَلَخَو
pada ayat tersebut adalah bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama dengan Adam.5Terlepas dari pendapat di atas, ayat ini menegaskan bahwa Al- Qur‟an telah menegakkan kemanusiaan perempuan dan memperjelas tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam segi kemanusian. Mereka sangat diperlukan dalam membangun masyarakat yang bersatu dalam solidaritas dan untuk membangun suatu bangsa yang berbudi luhur, di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak yang sama.
4 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl Al-Qur‟ân, (t.tp:
Muassisah ar-Risâah, 2000), Jilid. 4, h. 514-515
5 Fakhr ad-Dîn ar-Râzî, Mafâtih al-Ghâib (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ at-Turâts al-
„Arabî, 1420), Jilid. 4, h. 478
b) Peran Perempuan Dalam Publik Q.S. Al-Ahzâb [33]: 33
s
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” QS. Al-Ahzâb [33]:
33
Pada ayat ini beliau menjelaskan ada 2 lafal perbedaan qirâ‟ât.
Pertama, lafal
َنْرقَو
Imam Nâfi„, „Âshim, dan Abû Ja„far membaca lafal tersebut dengan cara mem-fathah-kan huruf qaf-nya, yakni,َن َ قَو ْر
sementara tujuh imam lainnya membacanya dengan cara meng-kasrah- kan huruf qâf-nya, yakni
َنْر . ِقَو
Kedua, lafalنُكِتْوُ يب
jumhur imam qirâ‟ât membacanya dengan meng-kasrah-kan huruf ba‟ yakniنُكِتْوُ ي ِب
sedangkan Warsy yang meriwayatkan dari Imam Nâfi„, Abû „Amr, Hafsh yang meriwayatkan dari Imam „Âshim dan Abû Ja„far membacanya dengan men-dhammah-kan huruf bâ‟ yakni,
نُكِتْوُ ي . ُ ب
6Adapun penjelasan di atas sesuai dengan pernyataan dalam kitab qirâ‟ât:
6 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 22, h. 10
َنْرَ قَو ” ِفاَن َأَرَ ق “
ٍرَفْغَج ْوُ بَأَو ،ُمِصاَعَو ،ُع َفِب
َو ، ِفاَقْلا ِحْت ُنْوُ قاَبْلا
ِرْسَكْلاِب .
نُكِتْوُ يُ ب ِفِ ” ٌشَرَو َأَرَ ق “
َمَع ْوُ بَأو ، ٌصْفَحَو ،و ٍر
ٍرَفْعَج ْوُ بَأَو ، ِءاَبْلا مَضِب
َو ،ِةَد حَوُمْلا ُنْوُ قاَبْلا
اَىِرْسَكِب
7
.
Dalam menjelaskan perbedan qirâ‟ât, tidak hanya memaparkan perbedaan qirâ‟âtnya saja, dalam hal ini beliau juga menguraikan pendapat para ahli dari segi kebahasaannya di antaranya teori Abu
„Ubaidah, Farrâ‟ dan az-Zujâj diambil dari bahasa ahli Hijaz bahwa kata
ْرَ ق
َن
berasal dari fi„ilُّرَقَ ي - رَ ق
yang bermaknaرَقَ تْساَو َمَاقَأ
(menetap), dan fi„il amr nya berasal dari kataَنْرَرْ قِا
. Huruf ra yang pertama dihilangkan karena berat diucapkan, lalu fathah-nya dipindah ke huruf qaf yang sudah berharakat, maka jadilahَنْرَ ق
.Beliau juga mengutip pendapat al-Mâzanî, Abû Hatim yang membantah teori ahli Hijaz bahwa
تْرِرَق
bermaknaِْينَعْلا ُة رُ ق.
Pendapat ini juga diamani oleh an-Nuhâs, di mana perempuan itu sebagai penyejuk mata sehingga mereka lazim berdiam di rumah.Selanjutnya beliau mengutip pendapat Ibn „Âthiyah bahwa kata
َنْر ِق
berasal dari fi„il amr dari kataُرِقَي – َر َ قَو
. Sedangkan fi„il amrnya berasal dari kataَنْرِرْق ِا
dimana huruf ra yang pertama berharakat kasrah dan dihilangkan setelah itu harakat huruf ra tersebut dipindah ke huruf
7 „Abd Fattâh „Abd al-Qâdhi Al-Ghanî, Al-Buduru az-Zâhirah fî al-Qirâ‟ât al-
„Asyr al-Mutawâtirah min Tharîq asy-Syâthibiyyah wa ad-Durrah, Jilid. 2, h. 201.
Lihat juga Abû Khair Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Ibn al-Jazarî, Taqrîb an-Nasyr fî al-Qirâ‟ât al-„Asyr, h. 645
qaf, maka jadilah
َنْر . ِق
Ini mengisyaratkan sebuah alasan untuk menjaga martabat perempuan.8Quraish shihab dalam tafsirnya memaparkan, jika
َنْرَ ق
ini berasal dari kataُّرَقَ ي - رَ ق
atauُّرَقَ ي - رَ ق
, maka makna ayat ialah:(1) Hendaklah kalian (kaum perempuan) menetap di rumahmu; atau (2) Hendaklah kalian (kaum perempuan) merasa senang di
rumahmu;
(3) Hendaklah kalian (kaum perempuan) dapat menentukan (kebijakan) di rumahmu (dalam urusan rumah tanggamu).
Dan jika
َنْر ِق
berasal dari kataُرِقَي - َرَ قَو
, maka makna ayat tersebut ialah dan hendaklah kalian (kaum perempuan) tinggal di rumahmu dengan terhormat dan penuh kewibawaan.9Para ulama salaf memandang bahwa ayat ini wajib dilakukan dan dilaksanakan oleh semua kaum muslimah. Sedangkan ulama kontemporer memandang ayat ini merupakan kekhususan bagi para istri Nabi Saw saja. Dan bagi kaum muslimah hukumnya sunnah untuk dilakukan. Maka jika perintah ini diberlakukan bagi kaum muslimah, tujuannya adalah agar mereka lebih menjaga kehormatan dirinya. Ini sesuai dengan maksud qirâ‟ât yang dibaca dengan cara meng-kasrah- kan huruf qaf-nya
َنْر ِق
.
8 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 22, h. 10
9 M. Qurash Shihab, Tafsīr al-Misbâh Pesan Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid.10, h. 465
Al-Qurthubî menjelaskan dalam tafsirnya, qirâ‟ât
َنْرَ ق
memberipemahaman bahwa perempuan harus senantiasa tinggal di rumah, memberi kenyamanan dalam keluarga dan menjadi penyejuk mata bagi suaminya, terutama ketika suaminya datang dirundung masalah. Dia juga harus memberikan keputusan terbaik dalam kehidupan rumah tangganya. Lebih lanjut Al-Qurthubî berkata bahwa qirâ‟ât
َنْرَ ق
lebihmenekankan perempuan untuk berada di rumah kecuali ada keperluan yang sangat mendesak.10
Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa perempuan tidak dihalangi untuk keluar rumah kecuali tujuannya maksiat. Karena untuk konteks sekarang ini perempuan banyak berkontribusi di luar rumah termasuk di sektor publik. Jika perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah maka perempuan tidak bisa melaksanakan tugas mulia ini.
c) Aurat Perempuan QS. An-Nûr [24]: 31
10 Abu „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Ansharî al- Khazrajî Syam ad-Dîn al-Qurthubî, al-Jâmi‘ al-Ahkam Al-Qur‟ân, Jilid. 14, h. 179
“Dan Katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra- putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara- saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
QS. An-Nur [24]: 31
Pada redaksi ayat ini Ibn „Âsyûr menyampaikan perbedaan qirâ‟ât pada lafal
ِةَبْرِْْا ِلو ُأ ْي َغ
yaitu Imam Ibn „Âmir, Syu„bah dan Abû Ja„far membaca dengan nasabَر َغ ْ ي
sedangkan albâqûn membaca dengan jarِْي . َغ
11
11 Muhammad ath-Thâhir ibn „Âsyûr, Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid. 18, h. 212