• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Qirâ’ât

BAB II: DISKRSUS QIRÂ’ÂT DAN GENDER

2. Sejarah dan Perkembangan Qirâ’ât

Sebelum menguraikan sejarah ilmu ini perlu dikemukakan tentang latar belakang bangsa Arab. Jauh sebelum Al-Qur‘an diturunkan bangsa Arab terdiri dari berbagai macam kabilah. Secara garis besar mereka terdiri dari dua kelompok. Pertama, mereka yang berada di kawasan pedesaan atau badui yang selalu berpindah-pindah untuk mencari kehidupan. Kedua, mereka yang ada di perkotaan. Dua kelompok besar kabilah ini mempunyai dialek yang berbeda. Walaupun bahasa nasional mereka sama, yaitu bahasa Arab yang akhirnya digunakan oleh Al-Qur‘an.18

Qirâ‟ât ini sendiri dalam khazanah keilmuan Al-Qur‘an tidak muncul secara tiba-tiba. Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qirâ‟ât ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qirâ‟ât. Ada dua pendapat tentang hal ini;

Pertama, qirâ‟ât mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‘an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat Al-Qur‘an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qirâ‟ât sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini

18 Tim Tafsir Kemenag, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta:

Kementerian Agama RI, 2012), h. 314

menunjukkan bahwa qirâ‟ât itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.19

Kedua, qirâ‟ât mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir ath-Tabarî dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca Al-Qur‘an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar–yang disebutkan dalam hadis tersebut—terletak di dekat kota Madinah.20

Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat ini dapat kita kompromikan, bahwa qirâ‟ât memang mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‘an, akan tetapi ketika di Makkah qirâ‟ât belum begitu dibutuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy.

Qirâ‟ât mulai dipakai setelah Nabi Saw di Madinah, dimana mulai banyak orang masuk Islam dari berbagai kabilah yang bermacam- macam dan dialek yang berbeda.

Ulama membagi tahap proses perkembangan qirâ‟ât menjadi dua periode: pertama, periode riwayat syafawiyah (periwayatan melalui lisan) yaitu periode melalui talaqqi dengan cara hafalan dan tulisan melalui kodifikasi. Periode ini dimulai sejak diutusnya Nabi menjadi Rasul sampai masa penyempurnaan mushaf ‗Utsmani dengan pemberian tanda baca oleh Abû Aswad ad-Duâlî (w. 69 H/688 M) pada tahun 60

19 Muhammad Hidayat Noor ―Ilmu Qira‘at dan Al-Qur‘an‖ dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟a dan Hadis, Vol. 3, No. 1 Juli 2002, h. 3

20 Muhammad Hidayat Noor ―Ilmu Qira‘at dan Al-Qur‘an‖ dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟a dan Hadis, Vol. 3, No. 1 Juli 2002, h. 3

Hijriyah. Kedua, periode pembukuan qirâ‟ât yang dimulai sejak Abû Aswad melakukan upaya memberi tanda baca. Periode ini berlangsung dari tahun 60 sampai tahun 255 H.21

Dalam sub bab ini, penulis akan mencoba menjelaskan sejarah terbentuknya ilmu qirâ‟ât, yang dimulai dari periode awal sampai terbentuknya mazhab qirâ‟ât.

a. Qirâ’ât Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Pada masa Nabi, perselisihan qirâ‟ât hampir tidak terjadi, karena setiap terjadi perselisihan mereka langsung menemui Nabi kemudian Nabi mengoreksi qirâ‟ât tersebut. Nabi sangat memahami keberagaman atau perbedaan-perbedaan dialek tersebut. Akibat beragamnya dialek di tanah Arab, Nabi berusaha menjaga umatnya dari berbagai kesulitan dan memberikan kemudahan untuk memahami Al-Qur‘an. Hal ini tercermin ketika Jibril datang membawa perintah kepada Nabi untuk membacakan Al-Qur‘an kepada umatnya dengan satu huruf. Nabi dengan memohon ampun kepada Allah, melalui malaikat Jibril meminta agar hurufnya ditambah. Setelah itu, hurufnya di tambah hingga tujuh huruf. Dalam hadis berikut dijelaskan;

ِنْبا ِنَع ،ُسُنوُي ِنَِرَ بْخَأ ،ٍبْىَو ُنْبا اَنَرَ بْخَأ ، َيََْيَ ُنْب ُةَلَمْرَح ِنَِث دَحو

، ٍباَهِش س

،ُوَث دَح ٍسا بَع َنْبا نَأ ،َةَبْتُع ِنْب ِللا ِدْبَع ُنْب ِللا ُدْيَ بُع ِنَِث دَح ِللا َلوُسَر نَأ

: َلاَق ،َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا ى لَص

،ُوُتْعَجاَرَ ف ،ٍفْرَح ىَلَع ُم َل سلا ِوْيَلَع ُليِْبِْج ِنَِأَرْ قَأ

ِزَيَ ف ُهُديِزَتْسَأ ْلَزَأ ْمَلَ ف ِةَعْ بَس َلِإ ىَهَ تْ نا تََّح ِنُِدي

ٍفُرْحَأ )ملسم هاور(

22

21 Romlah Widyati dkk, Buku I Pembelajaran Qirâ‟ât, h. 22-23

22 Muslim bin al-Hajjâj, Shâhîh Muslim, Jilid. 1, (Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâts al-

‗Arabî, t.t), Kitâb Shâlat al-Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâb Bayân Al-Qur‘ân ‗ala Sab‗atu Ahruf, h. 561

“Telah bercerita kepadaku Harmalah bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Yûnus dari Ibn Syihâb, telah menceritakan kepadaku „Ubaidullah bin „Abdillah bin „Utbah bahwasannya Ibn „Abbas menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah bersabda “Malaikat Jibril telah membacakan (Al- Qur‟an) kepadaku atas beberapa huruf. Lalu, aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahkan bacaan tersebut. Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf (macam)”. (HR. Muslim)

Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur‘an diturunkan dalam tujuh huruf. Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan Sab‟atu Ahruf sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Imam Sayûthî menyebutkan bahwa ―ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh hurf menjadi tiga puluh lima pendapat‖. Dari tiga puluh lima pendapat tersebut kebanyakan tumpang tindih.23

Dalam pandangan penulis, pendapat yang lebih mendekati arti Sab‟atu Ahruf adalah pendapat Abû Fadl ar-Râzî. Beliau mengatakan di dalam al-Lawa‟ih bahwa pembicaraan Sabatu Ahruf tidak akan lepas dalam masalah perbedaan yaitu:24

1) Perbedaan isim dari segi bentuk mufrad, tastniyah, jama, mudzakkar dan mu‟annats seperti

ْمِهِت َنٰمَِل

(mufrad) dan

ْمِهِتٰنٰمَِل

(jama)

2) Perbedaan fiil seperti mâdhî, mudhâri‘ dan amr seperti

َدَعٰ ب اَن بَر

(mâdhî) dan

ْدِعٰب َان بَر

(amr)

23 Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mabâhits fi Ulum Al-Qur‟ân, h. 149

24 Muhammad ‗Abd al-‗Azhîm az-Zarqânî, Manâhil al-„Irfan fî „Ulûm Al- Qu‟an, Jilid. 1, h. 155

3) Perbedaan wajah irab seperti

ْمُكِلُجْرَأَو

(jarr) dan

ْمُكَلُجْرَأَو

(nashab)

4) Perbedaan karena penambahan atau pengurangan seperti

َذَ تااوُلاَق

(tanpa Wâw) dan

َذَ تااوُلاَقَو

(tambah Wâw)

5) Perbedaan dalam bentuk taqdîm (pendahuluan) dan ta‟khîr (pengakhiran) seperti

َنْوُلُ تْقَ يَو َنْوُلَ تْقُ يَ ف

dan

َنْوُلَ تْقُ يَو َنْوُلُ تْقَ يَ ف

6) Perbedaan karena penggantian seperti

اَىُرِشْنُ ن

dan

اَىُزِشْنُ ن

7) Perbedaan dialek seperti fath, imâlah, tarqîq, tafkhîm, idzhar, idgham dan lain-lain

Sejak Al-Qur‘an turun kepada Nabi, perhatian beliau tertuju sepenuhnya terhadap Al-Qur‘an. Rasulullah Saw senantiasa membacakan wahyu yang dibawa Jibril kepada para sahabat-sahabatnya.

Beliau membacakannya kepada mereka sedikit demi sedikit agar mereka juga mampu menghafalnya dengan baik. Pada masa ini hafalan dijadikan sandaran dalam penukilan Al-Qur‘an, bukan didasarkan pada tulisan dan kitab.25

Para sahabat berbeda-beda dalam tatap muka dan duduk bersama Nabi, diantara mereka ada yang mendengar, menulis dan menghafalkannya. Sebagian dari mereka dapat menghafal keseluruhan, separuh Al-Qur‘an atau kurang dari itu. Sebagaimana juga mereka mengambil satu huruf (satu macam bacaan), dua huruf (dua macam bacaan) atau lebih dari itu. Hal ini dapat ditemukan dari beberapa kutipan hadis yang dianggap representatif, yaitu hadis yang diriwayatkan dari ‗Umar bin al-Khaththâb ra:

25 Muhammad ‗Abd al-‗Azhîm az-Zarqânî, Manâhil al-„Irfan fî „Ulûm Al- Qur‟an, Jilid. 1, h. 29

َق ،ُثْي للا ِنَِث دَح :َلاَق ،ٍْيَفُع ُنْب ُديِعَس اَنَ ث دَح ِنَع ،ٌلْيَقُع ِنَِث دَح :َلا

ِنْبا

ُنْب ُةَوْرُع ِنَِث دَح :َلاَق ، ٍباَهِش ْسِلما نَأ ،ِْيَ ب زلا

َدْبَعَو ،َةَمَرَْم َنْب َرَو َنْب ِنَْحْ رلا

ُع اَعَِسَ اَمُه نَأ ُهاَث دَح ، يِراَقلا ٍدْبَع :ُلوُقَ ي ، ِبا طَلخا َنْب َرَم

َنْب َماَشِى ُتْعَِسَ

َةَروُس ُأَرْقَ ي ،ٍماَزِح ِنْب ِميِكَح ِلوُسَر ِةاَيَح ِف ِناَقْرُفلا

ِو للا ،َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا ى لَص

ِتَءاَرِقِل ُتْعَمَتْساَف ىَلَع ُأَرْقَ ي َوُى اَذِإَف ،ِو

ِو للا ُلوُسَر اَهيِنْئِرْقُ ي َْلَ ،ٍةَيِثَك ٍفوُرُح

ُللا ى لَص ُتْدِكَف ،َم لَسَو ِوْيَلَع

ُتْب بَلَ ف ،َم لَس تََّح ُتْر بَصَتَ ف ،ِةَل صلا ِف ُهُرِواَسُأ

ُو َأَرْ قَأ :َلاَق ؟ُأَرْقَ ت َكُتْعَِسَ ِتِ لا َةَرو سلا ِهِذَى َكَأَرْ قَأ ْنَم :ُتْلُقَ ف ،ِوِئاَدِرِب ُلوُسَر اَهيِن

ى لَص ِو للا ِو للا َلوُسَر نِإَف ،َتْبَذَك :ُتْلُقَ ف ،َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا

ِوْيَلَع ُللا ى لَص

َم لَسَو ِوِب ُتْقَلَطْناَف ،َتْأَرَ ق اَم ِْيَغ ىَلَع اَهيِنَأَرْ قَأ ْدَق ِو للا ِلوُسَر َلِإ ُهُدوُقَأ

ى لَص

َرْقَ ي اَذَى ُتْعَِسَ نِِإ :ُتْلُقَ ف ،َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا ىَلَع ِناَقْرُفلا ِةَروُسِب ُأ

َْلَ ٍفوُرُح

لَص ِو للا ُلوُسَر َلاَقَ ف ،اَهيِنْئِرْقُ ت َع ُللا ى

:َم لَسَو ِوْيَل

،ُوْلِسْرَأ « ُماَشِى اَي ْأَرْ قا

َأَرَقَ ف »

،ُأَرْقَ ي ُوُتْعَِسَ ِتِ لا َةَءاَرِقلا ِوْيَلَع ِو للا ُلوُسَر َلاَقَ ف

:َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا ى لَص َكِلَذَك «

ْتَلِزْنُأ ُث ، » : َلاَق ُرَمُع اَي ْأَرْ قا «

َءاَرِقلا ُتْأَرَقَ ف » ِو للا ُلوُسَر َلاَقَ ف ، ِنَِأَرْ قَأ ِتِ لا َة

:َم لَسَو ِوْيَلَع ُللا ى ل َص ِةَعْ بَس ىَلَع َلِزْنُأ َنآْرُقلا اَذَى نِإ ْتَلِزْنُأ َكِلَذَك «

َف ، ٍفُرْحَأ اَم اوُءَرْ قا

وْنِم َر سَيَ ت

» )يراخبلا هاور(

26

“Te1ah bercerita kepada kami Saî‟d bin „Ufair, dia berkata:

telah (bercerita kepada kami al-Laits, dia berkata: telah bercerita kepada kami „Uqail dari Ibn Syihâb, dia berkata: telah bercerita kepada kami „Urwah bin Zubair bahwa Miswar bin Makhzamah dan „Abdurrahmân bin „Abd al-Qâri‟ telah mengabarinya, bahwa keduanya mendengar „Umar bin Khaththâb berkata: “Aku mendengar Hisyâm bin Hakîm

26 Abû ‗Abdillâh Muhammad bin Ismâ‗î al-Bukharî, Shâhîh al-Bukharî, Jilid 6, (tt.p.:Dâr Thûq an-Najâh, 1422 H), Kitab Fadhâil Qur‘an, Bâb Unzila Al-Qur‘an ‗alâ Sab‘atu Ahrûf, h. 184

membaca surat al-Furqân pada masa hidup Rasulullah Saw. Aku dengarkan bacaannya secara seksama. Kemudian dia membaca banyak huruf yang Rasulullah Saw. tidak membacakannya kepadaku. Hampir saja aku serang dia dalam shalatnya, tapi aku bersabar sampai dia salam. Kemudian aku tarik dia dengan bajunya seraya bertanya: Siapa yang membacakan padamu surat yang baru saja aku dengar kamu membacanya? Jawab dia:

Rasulullah Saw-lah yang membacakannya kepadaku. Aku berkata: Bohong kamu. Sungguh Rasulullah Saw. Telah membacakannya padaku lain dari yang kamu baca. Lalu aku bawa dia pergi menemui Rasulullah Saw. Aku berkata sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat al- Furqân dalam huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan padaku. Rasulullah Saw. bersabda: Lepaskan dia, bacalah wahai Hishâm. Maka Hishâm pun membaca pada beliau bacaan yang aku dengar tadi dia membacanya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Demikianlah surat itu diturunkan, lanjut beliau:

Bacalah wahai „Umar, maka akupun membaca bacaan yang pernah dibacakan Rasulullah Saw. kepadaku. Rasulullah Saw.

bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al- Qur‟an ini diturunkan daIam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf tersebut”

(HR. Bukharî)

Abû ‗Ubaid (w. 224 H/838 M) menyebutkan dalam kitabnya al- Qirâ‟ât, sebagaimana yang telah dikutip oleh as-Suyûthi bahwa para sahabat yang hafal Al-Qur‘an pada masa Nabi Saw sangat banyak, namun sebagian mereka ada yang menyempurnakan hafalan Al- Qur‘annya setelah Rasulullah Saw wafat. Para sahabat tersebut antara lain kaum mhajirin, mereka adalah: khalifah empat; Abû Bakar (w. 13 H/634 M), ‗Umar bin al-Khaththâb (w. 23 H/643 M), ‗Utsmân bin

‗Affan (w. 35 H/655 M) dan Ali bin Abi Thâlib (40 H/660 M), Thalhah (w. 36 H/656 M), Sa‘ad bin Abi Waqqash (w. 51 H/671 M), ‗Abdullah bin Mas‘ûd (w. 32 H/652 M), Hudzaifah bin al-Yaman (w. 36 H/656 M), Salîm (w. 12 H/633 M), Abû Hurairah (w. 57 H/676 M), Abdullah binas-Sâib (w. 70/ H689 M), ‗Abdullah bin ‗Abbas (w. 68 H/687 M),

Abdullah bin ‗Amr bin ‗Ash (w. 65 H/684 M), ‗Abdullah bin ‗Umar (w.

74 H/693 M),‗Abdullah bin Zubair bin ‗Awwam (w. 73 H/692 M),

‗Aisyah (w. 57 H/676 M), Hafshah (w. 45 H/665 M) dan Ummu Salamah (w. 59 H/678 M). Sedangkan dari kaum Anshar adalah:

‗Ubadah bin ash-Shâmit (w. 37 H/657 M), Mu‘adz yang dijuluki Abû Halîmah (w. 63 H/682 M), Mujammi‘ bin Jâriyah (w. Sekitar 41-an H/661-an M), Fadhâlah bin ‗Ubaid (w. 53 H/672 M) dan Maslamah bin Mukhallad (w. 62 H/681 M). 27

Meskipun demikian, dari sekian banyak sahabt yang hafal Al- Qur‘an pada masa Nabi Saw tidak lebih dari tujuh orang yang dianggap masyhur sebagai pengajar atau narasumber Al-Qur‘an. Mereka itu adalah ‗Utsmân bin ‗Affan (w. 35 H/655 M) , ‗Ali bin Abi Thâlib (w. 40 H/660 M), Ubay bin Ka‘ab (w. 30 H/650 M), Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M), ‗Abdullah bin Mas‘ûd (w. 32 H/652 M), Abû Mûsâ al-

‗Asy‘ari (w. 44 H/664 M) dan Abû Darda‘ (w. 32 H/552 M).28

Akan tetapi perlu disadari, menurut pemahaman dan pentakwilan para ulama yang dapat diterima mengemukakan bahwa pembatasan tujuh orang huffazh seperti yang disebutkan di atas, tidak lain hanyalah kelompok sahabat yang menghimpun Al-Qur‘an di dadanya masing- masing dan menghafalnya secara baik. Bahkan mereka itu telah menguji pembacaan dan ketepatan hafalannya masing-masing di hadapan Nabi serta isnad-nyasampai kepada kita.29

Upaya pelestarian Al-Qur‘an pada masa Nabi Saw tidak sebatas hanya menghafal saja. Perhatian untuk menghafalnya tidak memalingkan mereka untuk menulis dan menggoreskannya. Mereka

27 Imam Jalâluddin as-Suyûthî, Al-Itqon fi „Ulûm Al-Qur‟ân ,h. 158

28 Imam Jalâluddin as-Suyûthî, Al-Itqon fi „Ulûm Al-Qur‟ân ,h. 159

29 Anshori, Ulumul Qur‟an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. 1, h. 84

menuliskannya pada sarana yang mudah mereka dapatkan, seperti pelepah kurma, bebatuan, lembaran yang terbuat dari kulit, tulang belulang. Jadi, penulisan Al-Qur‘an pada masa Nabi sudah dikenal secara umum. Beberapa sahabat dikenal sebagai penulis wahyu, antara lain; Abu Bakar as-Shiddîq (w. 13 H/634 M), ‗Umar bin Khaththâb (w.

23 H/ 643 M) , ‗Utsman bin ‗Affan (w. 35 H/655 M), ‗Alî bin Abî Thâlib (w. 40 H/660 M), Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M), Tsabit bin Qais, ‗Amir bin Fuhairah, Amr bin ‗Ash, Abu Musa al-Asy‘arî(w. 44 H/644 M) dan Abû Darda‘(w. 32 H/652 M).30

Selain yang disebutkan di atas, masih banyak lagi para penulis wahyu dari kalangan sahabat yang menuliskan Al-Qur‘an atas kemauan sendiri tanpa diperintah Nabi. Dengan demikian, penulisan Al-Qur‘an pada masa Nabi itu tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seorang belum tentu ada pada orang lain. Akan tetapi yang jelas, setelah Rasulullah Saw wafat, Al-Qur‘an telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan sususnan ayat-ayat Al-Qur‘an langsung oleh Nabi Saw sendiri berdasarkan bimbingan Jibril as yang menjadi pesuruh Allah. Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Qur‘an yang demikian itu adalah tauqifi, artinya susunan surah-surah dan ayat- ayat Al-Qur‘an seperti yang kita saksikan diberbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang diberikan Rasulullah Saw sesuai perintah dari wahyu Allah Swt., maka tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penerbitan dan penyusunannya.31

30 Azyumardi Azra, (ed.), Sejarah & „Ulûm Al-Qur‟ân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. 4, h. 27-28

31 Anshori, Ulumul Qur‟an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 87- 88

b. Qirâ’ât Pada Masa Sahabat

Setelah Rasulullah wafat, Abû Bakar menjabat sebagai Khalifah dalam Islam. Beliau dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad dan enggan membayar zakat. Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya perang Yamâmah di mana 70 sahabat penghafal Al-Qur‘an gugur dalam peperangan tersebut. ‗Umar bin al-Khathâthab merasa khawatir dengan keadaan ini sehingga beliau mengusulkan kepada Abû Bakar agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur‘an. Mula-mula Abû Bakar merasa ragu, akan tetapi setelah melakukan dialog yang sangat serius diantara keduanya, Abû Bakar bisa menerima hal itu dengan pertimbangan kemaslahatan yang telah dia ketahui dengan jelas. Babak kodifikasipun dimulai dengan ditunjuknya Zaid bin Tsâbit sebagai ketua penghimpun Al-Qur‘an. Pada awalnya Zaid menolak seperti halnya Abû bakar. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Al-Qur‘an tersebut.32

Zaid sangat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

Pengumpulan Al-Qur‘an yang dilakukan oleh Zaid pada periode ini dilakukan dengan berpijak pada tiga hal; pertama, ayat-ayat Al-Qur‘an yang ditulis di hadapan Nabi dan yang disimpan di rumah beliau. Kedua, ayat-ayat Al-Qur‘an yang ditulis adalah yang dihafal para sahabat yang hafal Al-Qur‘an. Ketiga, penulisan dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar ditulis di hadapan Nabi pada saat masa hidupnya. Tugas ini dapat dilaksanakan Zaid dalam waktu satu tahun.33 Ciri penulisan Al-Qur‘an pada masa Abû Bakar

32 Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mabâhits fi Ulum Al-Qur`ân, h. 120-121

33 Anshori, Ulumul Qur‟an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 90- 91

adalah seluruh ayat Al-Qur‘an dikumpulkan dan ditulis menjadi sebuah Mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat teliti.34

Mushaf hasil kodifikasi pertama ini merupakan Mushaf standar yang keabsahannya disepakati. Meskipun demikian sahabat membaca Al-Quran sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari Nabi dan sesuai naskah yang berada ditangan mereka masing-masing. Perbedaan bacaan dikalangan sahabat tidak menimbulkan persoalan karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qirâ‟âttersebut bukan hasil rekayasa dan hasil ijtihad mereka.35

Mushaf masa ini disimpan oleh Abû Bakar hingga beliau wafat dan kemudian disimpan ‗Umar. Setelah ‗Umar wafat Mushaf disimpan Hafshah binti ‗Umar.36 Keputusan ‗Umar untuk menyerahkan Mushaf tersebut kepada Hafshah harus diberi penghargaan yang luar biasa.

Sebab beliau telah memilih seorang yang kompeten untuk urusan tersebut. Selain sebagai Ummul Mu‘minîn, beliau juga penghafal Al- Qur‘an dan sekaligus mahir dalam tulis-menulis. Dengan diserahkan kepada orang seperti itu, maka Mushaf Al-Qur‘an bisa dijamin keberadaannya.37

Kelonggaran untuk menggunakan qirâ‟ât yang berkembang di kalangan sahabat berjalan hingga masa ‗Umar. Para sahabat dengan qirâ‟ât masing-masing membuka halaqoh pembelajaran Al-Qur‘an sesuai dengan qirâ‟ât yang dikuasainya. Karena itu, masyarakat menisbatkan bacaannya kepada masing-masing sahabat, seperti qirâ‟ât Ibn Mas‘ûd, qirâ‟ât Ubay, qirâ‟ât Ibn ‗Abbas, qirâ‟ât Zaid bin Tsabit,

34 Azyumardi Azra, (ed.),Sejarah & „Ulûm Al-Qur‟ân, h. 29

35 Romlah Widyati dkk, Buku I Pembelajaran Qirâ`ât, h. 26

36 Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mabâhis fi Ulum Al-Qur`ân, h. 122

37 Subhi as-Shâlâh, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, ter. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 88

qirâ‟ât Mu‘adz bin Jabal, qirâ‟ât Abû Mûsâ al-Asy‘arî dan sebagainya.38

Pada masa Khalifah ‗Ustmân bin ‗Affan, Islam telah menyebar luas ke seluruh Jazirah Arab. Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas, mendapatkan pelajaran dan menerima bacaan Al- Qur‘an dari masing-masing sahabat yang ditugaskan di daerah masing- masing. Versi qirâ‟ât yang dimiliki dan diajarkan para sahabat berbeda satu sama lain. Hal ini menimbulkan dampak negatif dikalangan kaum Muslimin. Di antara mereka saling membanggakan versi qirâ‟ât masing- masing, dan saling mengklaim bahwa versi qirâ‟ât merekalah yang paling baik dan benar. Bahkan sampai mengarah kepada sikap mengkafirkan dikalangan umat Islam. 39

Kasus ini pernah disaksikan oleh Hudzaifah bin al-Yaman.

Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak. Hal ini membuat Hudzaifah kaget dan langsung meaporkannya kepada Khalifah

‗Utsmân apa yang telah dilihatnya. Situasi ini mencemaskan Khalifah

‗Utsmân dan beliau segera mengundang para sahabat dan memecahkan masalah tersebut. Akhirnya mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang ditulis pada masa AbûBakar dan menyatukan umat Islam. Selanjutnya ‗Utsmân meminta Hafshah agar mengirim Mushaf yang ditulis pada masa Abû Bakar. Lalu ‗Utsmân membentuk satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsâbit, ‗Abdullah bin Zubair, Said bin ‗Ash dan Abdurrahman bin Hârits bin Hisyam untuk membukukan ke dalam beberapa Mushaf dan sebelumnya ‗Utsman memberikan arahan agar berpedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur‘an dengan baik dan benar dan bila ada perbedaan pendapat antara mereka

38 Romlah Widyati dkk, Buku I Pembelajaran Qirâ‟ât, h. 26

39 Azyumardi Azra, (ed.), Sejarah & „Ulûm Al-Qur‟ân, h. 29

tentang bahasa(bacaan) maka harus ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur‘an diturunkan menurut dialek mereka. Akhirnya tugas tersebut dikerjakan oleh panitia.40

Mushaf pada kodifiakasi masa ‗Utsmân ini menjadi Mushaf standar dan rujukan umat Islam hingga kini. Khalifah berharap agar Mushaf pribadi diserahkan untuk kemudian dimusnahkan demi menjaga ketuhan umat. Kendatipun dokumen tertulis pribadi sudah tidak ada, namun periwayatan qirâ‟ât tetap berlangsung melalui jalur lisan termasuk qirâ‟ât sahabat yang telah dibakar mushafnya.41

Setelah selesai melakukan kodifikasi Al-Qur‘an, sejumlah Mushaf „Utsmâni dikirim ke berbagai kota metropolitan Islam. Di samping pengiriman Mushaf, ‗Utsmân juga mengirimkan delegasi yang mengiringi pengiriman Mushaf. Dengan pengiriman delegasi ini,

‗Utsmân telah berbuat bijaksana, karena anggota delegasi inilah yang akan menjelaskan segala persoalan yang berkaitan dengan salinan Mushaf atau cara membaca Al-Qur‘an sesuai dengan Mushaf yang dikirimkan. Riwayat-riwayat tentang jumlah Mushaf yang dikirim ke kota-kota sangat beragam. Menurut pandangan yang diterima secara luas menyebutkan ada 4 buah yaitu Mushaf yang dikirimkan ke penduduk Bashrah, Kufah, Syam dan Madinah sendiri. Ada yang mengatakan 5 buah, ditambah dengan mushaf penduduk Makkah. Ada yang mengatakan 6 buah dengan menambahkan Mushaf untuk penduduk Bahrain. Ada yang mengatakan 7 dan 8 buah dengan menambahkan

40 Anshori, Ulumul Qur‟an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, h. 92- 93

41 Romlah Widyati dkk, Buku I Pembelajaran Qirâ‟ât, h. 28-29

Mushaf untuk penduduk Yaman dan Mushaf yang ditulis untuk sahabat

‗Utsmân sendiri yang disebut dengan sebutan Mushaf al-Imâm (induk).42 Perlu diketahui, bahwa para sahabat berbeda-beda ketika menerima qirâ‟ât dari Rasulullah Saw. Hal ini menyebabkan berbeda- beda juga ketika Tabi‘in mengambil qirâ‟ât dari para Sahabat. Di antara sahabat ada yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al- Qur‘an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka‗ab (w.

30 H), ‗Utsmân bin ‗Affân (w. 35 H/655 M), Zaid bin Tsâbit (w.

45 H/665 M), Abû Hurairah (w. 59 H), ‗Abdullâh bin ‗Ayyâsy (w.

64 H), ‗Abdullâh bin ‗Abbâs (w. 68 H),‗Abdullâh bin al-Saib al- Makhzumi (w. 68 H). Namun diantara sahabat Nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain. Karena Islam sudah berkembang ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan ‗Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.

Di antara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur‘an di negeri lain seperti negeri Iraq adalah

‗Abdullah bin Mas‘ûd (w. 32 H/652 M) yang diperintahkan oleh sahabat ‗Umar bin Khaththâb (w. 23 H/643 M) untuk mengajar Al- Qur‘an di negeri Kufah. Di Iraq juga ada sahabat ‗Alî bin Abî THâlib (w. 40 H/660 M), Abû Mûsâ al-Asy‗arî (w. 44 H/664 M) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mua‗dz bin Jabal (w. 18 H/639 M) yang mengajarkan Al-Qur‘an di Palestina. ‗Ubadah bin Shâmit al-Anshârî (w 34 H/654 M) mengajarkan Al-Qur‘an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda‘ (w. 32 H/652 M) mengajarkan di Damaskus.

42 Muh. Kailani dkk, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al- Qur‟an dengan Rasm Usmani, (Jakarta: Depertemen Agama RI, 1999), Cet. 1, h. 6-7

Dokumen terkait