BAB II LANDASAN TEORI
B. Pinangan Dalam Hukum Islam
2. Dasar Hukum Pinangan
Garis besar hukum peminangan terinci dalam pasal 12 ayat 1 kompilasi hukum Islam yang mengatur syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan kepada wanita yang masih perawan atau
31 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.73-74.
32 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 113-116.
33 Musa Aripin, “Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam”, (padangsidimpuan: Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan), No. 1/2016, h. 214.
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Dalam pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) disebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Ayat (2): wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah haram dan dilarang untuk dipinang.
b. Ayat (3): dilarang meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
c. Ayat (4): putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan/atau meninggalkan wanita yang dipinang.34
Khitbah di syariatkan Islam berdasarkan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 235:
34 Abdurrahman, Kompilasi Hukum..., h.116.
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginanmu) dalam hati.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka.
Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun”.35
Berikut adalah penafsiran surat al-Baqarah ayat 235:
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran”
Abu Ja’far berkata: Maknanya yaitu, tidak ada dosa bagi kamu, wahai para lelaki, meminang wanita-wanita yang beriddah dari suami yang meninggal dunia dengan kata sindiran serta belum mengadakan akad nikah.
Sindiran yang dibolehkan adalah seperti riwayat Ibnu Humaid menceritakan kepada kami hal tersebut, dia berkata: Jarir menceritakan kepada kami dari Manshur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran,” dia berkata, “sindiran yaitu berkata ‘aku ingin kawin’ dan ‘aku sesungguhnya suka perempuan yang begini dan begitu’ mengatakan dengan sindiran yang baik.”
Penakwilan firman Allah SWT:
“atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”
Abu Ja’far berkata: makna “atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu” atau yang kalian sembunyikan dalam diri kalian lantas kalian rahasiakan tentang
35 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 48.
keinginan meminang mereka dan berteguh hati untuk menikahinya sedangkan mereka beriddah, maka tidak ada dosa juga atas kalian tentang hal tersebut jika kalian tidak berteguh hati untuk mengadakan akad nikah sehingga habis masa iddahnya.
Para ahli tafsir berpendapat seperti yang telah kami kemukakan, berdasarkan riwayat Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, dia berkata: Isa menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, tentang firman Allah “atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”, dia berkata “merahasiakan maksudnya adalah menyebutkan untuk meminangnya di dalam dirinya, tidak menampakkannya kepadanya.
Ini semua halal”.36
Penakwilan firman Allah SWT:
“Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka”
Abu Ja’far berkata: maksud ayat tersebut adalah, Allah SWT mengetahui kalian yang menyebut-nyebut mereka yang sedang beriddah dengan meminang dalam hati dan lisan kalian. Ibnu Waki menceritakan kepada kami, dia berkata: Bapakku menceritakan kepada kami dari Yazid bin Ibrahim, dari Al Hasan, tentang firman Allah, “Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka” dia berkata, “itu adalah khitbah”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”
Abu Ja’far berkata: para ahli tafsir berselisih pendapat tentang makna
َِ ِسلا
yang dilarang Allah SWT kepada hamba-Nya untuk mengadakan janji nikah kepada orang yang beriddah. Sebagian berkata “itu adalah zina”, berdasarkan riwayat Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, dia berkata: Hamam menceritakan36 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, diterjemahkan oleh Ahsan Askan, dari judul asli Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 85- 96.
kepada kami dari Shalih bin Ad-Dahan, dari Jabir bin Zaid, tentang firman-Nya “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”, dia berkata, “maksudnya adalah zina”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf”
Abu Ja’far berkata: Allah berfirman “kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf”, mengecualikannya dengan perkataan yang baikdari yang telah dilarang, seperti seseorang mengadakan janji nikah dengan seorang wanita secara rahasia, pengecualian ini tidak termasuk dalam jenisnya, akan tetapi masuk dalam pengecualian ayat sebelumnya, yaitu mempunyai makna berbeda dengan sebelumnya tentang sifat secara khusus, maka
لَ ا
disini mengandung artiنكلو
, sehingga ayat“kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf” maknanya yaitu akan tetapi sekedar mengucapkan perkataan yang baik. Jadi, Allah membolehkan berkata kepadanya dengan perkataan yang baik ketika dalam masa iddahnya.
Berdasar riwayat Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, dia berkata: Abdurrahman menceritakan kepada kami, dia berkata:
Sufyan menceritakan kepada kami dari Salamah bin Kuhail, dari Muslim Al Bathin, dari Said bin Jubair, tentang firman-Nya “kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf”, dia berkata, “seperti perkataan, ‘aku sungguh suka padamu, maka aku berharap kita bisa bersama’.”
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya”
Abu Ja’far berkata: maknanya yaitu, janganlah kamu bertetap hati untuk berakad nikah, dan janganlah kamu membenarkan akad tersebut dalam masa iddah mereka kemudian kamu mengharuskannya di antara kalian dan mengadakan akad sebelum
habis iddahnya. Berdasarkan riwayat, Musa menceritakan kepadaku, dia berkata: Amr menceritakan kepada kami, dia berkata: Asbath menceritakan kepada kami dari As-Suddi, tentang firman Allah
َ َّتََّح
ََُلََجَأَ ُبَتِكْلُاَ َغُلْبَي
“sebelum habis iddahnya”, dia berkata, “ hinggamelewati masa iddah empat bulan sepuluh hari”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
Abu Ja’far berkata: maksudnya yaitu, wahai manusia, Allah mengetahui apa yang ada dalam diri kalian, yaitu mencintai dan menikahinya, maka takutlah kepada Allah dari mengerjakan apa yang dilarang-Nya, yaitu keinginan menikahinya dan hal-hal lain yang berkenan dengannya selama masa iddah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun atas segala kesalahan yang diperbuat hamba-Nya, termasuk yang disembunyikan oleh kaum laki- laki, yaitu keinginan mereka melamar wanita ketika iddah.
Sesungguhnya Allah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya dan tidak tergesa-gesa menimpakan siksa atas mereka.37
Berdasarkan penjelasan tafsir di atas, dapat dipahami bahwa seorang laki-laki diperbolehkan untuk meminang seorang wanita yang beriddah dengan kata-kata sindiran yaitu dengan kata-kata yang baik, diperbolehkan pula seorang laki-laki memendam keinginannya untuk meminang wanita yang beriddah di dalam hatinya sampai masa iddahnya selesai, akan tetapi Allah melarang hambanya melakukan janji nikah selama wanita tersebut masih dalam masa iddahnya kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang makruf.
37 Ibid., h. 98-120.
Al-Qur’an menyebutkan di dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.38 Asbabun nuzul surat an-Nisa’ ayat 4:
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Shahih, ia berkata,
“Seseorang apabila menikahkan seorang jandanya, ia mengambil maskawinnya. Selanjutnya Allah melarang mereka melakukan hal itu lalu menurunkan ayat berikut, “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.39