BAB V HASIL, PEMBAHASAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN
5.2 Pembahasan
Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa sebanyak 30 anak (46,9%) yang obesitas dan 34 anak (53,1%) yang tidak obesitas, hasil tersebut di dapat dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Selain dari pengukuran tinggi badan dan berat badan, adapun ciri-ciri lain menurut Syarudin, dkk tahun 2011, yaitu secara klinis obesitas dapat mudah dikenali karena mempunyai tanda dan gejala yang khas antara lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, perut berlipat- lipat.
Kecenderungan terjadinya obesitas pada umumnya berhubungan erat dengan pola makan, status sosial, ketidakseimbangan antara aktivitas tubuh, kebiasaan makan dan konsumsi makanan. Walaupun berbagai faktor berperan dalam timbulnya obesitas, yang harus diperhatikan adalah bahwa timbulnya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya asupan energi, terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik (Misnadiarly, 2008).
Pada anak di SDN 01 Kalisari kejadian obesitas pada anak di SD tersebut masih ada yang obesitas. Pada anak yang mengalami obesitas sebaiknya lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah segar serta
mengurangi makanan siap saji dan lebih banyak minum air putih atau lebih baik membawa bekal dari rumah dan sering melakukan olahraga diluar sekolah.
5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Obesitas
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa jenis kelamin anak kelas V yang pada laki-laki sebanyak 14 anak (45,1%), sedangkan pada perempuan sebesar 16 anak (48,4%). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan obesitas anak kelas V dengan P- value 0,790. Diperoleh nilai OR= 0,875 (0,327-2,339), yang berarti responden yang perempuan memiliki peluang 0,875 kali memiliki obesitas dibanding responden laki-laki.
Penelitian ini juga sejalan dengan Santosa Erwin tahun 2017, yang menyatakan bahwa terdapat tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan obesitas dengan nilai (p value = 0,464) di SDN 1 Sleman, sebanyak 2 anak laki-laki (6,7%) dan sebanyak 4 anak perempuan (13,3%). Hasil OR menunjukkan bahwa anak perempuan resiko obesitasnta meningkat 2 kali lipat dibandingkan anak laki-laki.
Anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengalami obesitas sehingga jenis kelamin anak tidak mempengaruhi kejadian obesitas pada anak usia sekolah dasar. Prevalensi obesitas yang lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, yang berkaitan dengan perbedaan sifat hormonal (Hadi, dkk, 2015). Laki-laki memiliki metabolisme lebih tinggi daripada wanita.
Akibatnya, tubuh laki-laki akan lebih banyak membakar kalori sehingga tidak tertimbun jaringan lemak. Pada perempuan, metabolisme lebih sedikit sehingga mudah terjadi obesitas. Selain itu, laki-laki juga cenderung lebih aktif dan lebih banyak beraktivitas daripada perempuan (Yahya, 2017).
Anak laki-laki dan perempuan nafsu makannya akan meningkat, karena tubuhnya memerlukan persiapan menjelang usia remaja. Dengan
pertumbuhan anak laki-laki sedikit lebih meningkat dari pada perempuan (Bidjuni, 2013).
5.2.3 Hubungan Uang Jajan dengan Obesitas
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa uang jajan anak kelas V yang pada tinggi sebanyak 4 anak (66,6%), sedangkan uang jajan yang rendah sebesar 26 anak (44,4%). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara uang jajan dengan obesitas anak kelas V dengan P-value 0,307. Diperoleh nilai OR= 2,462 (0,417-14.517), yang berarti responden yang mempunyai uang jajan rendah memiliki peluang 2,462 kali memiliki obesitas dibanding responden yang mempunyai uang jajan tinggi.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rosyidah dan Andrias tahun 2015, yang menyatakan bahwa terdapat tidak ada hubungan antara uang jajan dengan obesitas dengan nilai (p value = 0,227) di SDN Ploso 1- 172 Kecamatan Tambaksari Surabaya.
Menurut Rosyidah dan Andrias Tahun 2015, besar uang saku yang dimiliki anak sekolah menentukan daya beli terhadap makanan selama anak berada di luar rumah. Semakin besar uang saku anak sekolah, maka akan semakin besar kemampuan membeli makanan dan mendorong konsumsi berlebih. Jumlah uang saku yang lebih besar membuat anak sekolah sering mengonsumsi makanan jajanan yang mereka sukai tanpa menghiraukan kandungan gizinya.
5.2.4 Hubungan Pola Makan dengan Obesitas
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa anak kelas V yang obesitas cenderung pola makan sering sebanyak 22 anak (57,9%), sedangkan pola makan jarang sebesar 8 anak (30,7%). Hal ini menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan obesitas anak kelas V dengan P-value 0,033. Diperoleh nilai OR= 3,094 (1,080-8,865), yang
berarti responden yang pola makan sering memiliki peluang 3,094 kali memiliki obesitas dibanding responden yang pola makan jarang.
Penelitian ini juga sejalan dengan Bidjuni dkk tahun 2013, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan obesitas dengan nilai (p value = 0,007) di SD Katolik 03 Frater Don Bosco Manado, sebanyak 27 anak dengan pola makan sering (67,5%) dan sebanyak 13 anak dengan pola makan jarang (32,5%).
Menurut Anzarkusuma, dkk tahun 2014 pola makan yang sehat dan bergizi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan motorik pada anak. Pola makan sehat yang dimaksud meliputi jenis makan yang bergizi, frekuensi makan yang diperhatikan, serta porsi makan yang dikonsumsi anak. Kebutuhan dan asupan gizi berasal dari konsumsi makanan sehari– hari.
Pola makan yang menyebabkan obesitas adalah makan tidak pada saat lapar dan makan sambil menonton televisi atau mengerjakan sesuatu seperti pekerjaan rumah atau membaca (Dannari, dkk, 2013).
5.2.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Obesitas
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa anak kelas V yang obesitas cenderung melakukan aktivitas fisik yang kurang sebanyak 19 anak (63,3%), sedangkan aktivitas fisik yang baik sebesar 11 anak (32,3%).
Hal ini menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan obesitas anak kelas V dengan P-value 0,013. Diperoleh nilai OR= 0,3612 (1,285-10,149), yang berarti responden yang aktivitasnya kurang memiliki peluang 0,3612 kali memiliki obesitas dibanding responden yang aktifitas fisik baik.
Penelitian ini juga sejalan dengan Dannari dkk tahun 2013, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan obesitas dengan nilai (p value = 0,004) di SD Kota Manado, responden yang melakukan aktivitas fisik kurang sebanyak 58 anak (85,3%), sedangkan
yang melakukan aktivitas fisik baik sebanyak 10 anak (14,7%). Besarnya pengaruh aktivitas fisik kurang terhadap obesitas anak ditunjukkan nilai OR= 3,59 (1,565-8,238), yang artinya anak yang mempunyai aktivitas fisik kurang memiliki risiko sebesar 3 kali menjadi obesitas dibandingan dengan anak yang memiliki aktivitas baik.
Hampir sebagian besar anak memiliki aktivitas fisik dalam kegiatan ringan, hal ini disebabkan faktor kemajuan teknologi dan kegiatan sehari- hari yang selalu dilakukan.kemajuan teknologi seperti televisi, komputer, dan internet juga mengakibatkan anak menjadi malas bergerak. Anak-anak lebih tertarik untuk menghabiskan sebagian besar waktunya dengan melakukan aktivitas pasif, dan berbagai aktivitas pasif tidak membutuhkan banyak energi sehingga anak pun beresiko mengalami obesitas (Maidartati.
2013).
5.2.6 Hubungan Konsumsi Fast Food dengan Obesitas
Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa anak kelas V yang obesitas cenderung konsumsi fast food yang sering sebanyak 23 anak (59%), sedangkan konsumsi fast food yang jarang sebesar 7 anak (28%).
Hal ini menyatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi fast food dengan obesitas anak kelas V dengan P-value 0,015. Diperoleh nilai OR= 3,696 (1,254-10,899), yang berarti responden yang mengkonsumsi fast food sering memiliki peluang 3,696 kali memiliki obesitas dibanding responden yang mengkonsumsi fast food jarang.
Penelitian ini juga sejalan dengan Junaidi dan Noviyanda tahun 2016, yang menyatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi fast food dengan obesitas dengan nilai (p value = 0,024) di SDN 67 Percontohan Banda Aceh, sebanyak 20 anak yang mengkonsumsi fast food sering (62,5%) dan sebanyak 12 anak yang mengkonsumsi fast food jarang (37,5%). Diperoleh nilai OR= 3,667, sehingga responden yang mengkonsumsi fast food berisiko 3,667 kali mengalami obesitas.
Distribusi frekuensi komsumsi anak berdasarkan jenis fast food yang sering dikonsumsi siswa adalah friend fries, fried chicken, burger, ice cream, sosis, cokelat, dan permen.
Makanan modern memiliki daya pikat karena selain praktis dan cepat dalam penyajian. Disebut makanan modern sebab selain tidak berasal dalam negeri, datangnya pun bersamaan dengan berkembangnya peradabaan modern di tengah masyarakat. Yang termasuk makanan fast food antara lain friend fries, fried chicken, burger, pizza, spaghetti, donat, ice cream. Hal ini juga diperkirakan menjadi penyebab timbulnya obesitas adalah seringnya mengkonsumsi cemilan (Suharsa & Sahnaz, 2016).
Komposisi bahan makanan cepat saji kurang memenuhi standar makanan sehat, misalnya kandungan lemak jenuh berlebihan, kurang serat, dan terlalu banyak sodium (Irianto, 2017). Kebiasaan mengkonsumsi makanan fast food yang berlebihan kurang baik. Konsumsi fast food yang baik jika frekuensi makanannya 1 kali dalam seminggu, jika lebih dari itu dikatakan tidak baik. Kebiasaan makan fast food yang berlebih dapat mengakibatkan obesitas pada anak (Maidartati, 2013). Fast food merupakan makanan siap saji yang mengandung tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat. Konsumsi fast food dapat menyebabkan penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan sebagainya (Allo, dkk, 2014).