• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi tentang penerapan tarekat Qodiriyah wa

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

B. Penyajian Data dan Analisis

1. Deskripsi tentang penerapan tarekat Qodiriyah wa

Pondok Pesantren Nurul Hikam Situbondo.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa dalam agama Islam ditawarkan suatu jalan yang dapat dilakukan untuk menumbuh kembangkan kembali kecerdasan spiritual yang semakin memudar dalam lingkungan kehidupan masyarakat muslim modern, cara tersebut yaitu tarekat. tarekat adalah jalan spiritual menuju Allah SWT, jalan mengenal Allah SWT dan adapun ajaran dari tarekat salah satunya adalah dzikir mengingat Allah SWT. Jalan spiritual inilah yang dipilih seorang anggota tarekat untuk menyepadankan antara kehidupan duniawi dan ukhrawinya.

Oleh karena itu, dengan adanya konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ) diharapkan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi tidaklah bertentangan namun mampu untuk berjalan bersama-sama dalam menghantarkan tujuan dan hakikat manusia yang sesungguhnya. Di pondok pesantren Nurul Hikam Situbondo menerapkan ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang berorientasi pada keridhoan Allah.

Ning Rahmatillah Zaini, putri dari almarhum guru mursyid KH.

Ahmad Zaini bin Abdul Aziz, ketika diwawancarai tentang penerapan tarekat dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ )santri di lembaganya mengatakan ;

“Penerapannya tidak bisa secara gamblang digambarkan, cuman apa-apa yang di ulang-ulang dalam kehidupan kita pasti ada dampak, kenapa sholat di ulang-ulang, dzikir di ulang-ulang, penerapan tarekat ini pada santri yang istiqomah akan berdampak pada emosi santri yaitu lebih mudah menerima hikmah, mesti berbeda emosi spiritual antara santri yang mondok dengan anak luaran yang hanya datang ke sekolah. Dengan melaksanakan dzikir setiap waktu seakan-akan kita merasakan the power of repetition kekuatan pengulangan sehingga menjadi terbiasa. Setiap saat kita melaksanakan dzikir hasanat, merasa dilihat Allah, merasa di pantau Allah, maka diri kita akan merasa malu jika melakukan hal yang tidak disukai Allah, kemudian dzikir darojat yang dilakukan setelah selesai sholat wajib,dan dzikir khawajakan setiap malam jum’at yang dilaksanakan secara istiqomah. Jika santri yang benar- benar istiqomah menjalankan dzikir maka kondisi sikologisnya, spiritualnya akan tumbuh, karena kenapa orang bertarekat itu secara sikologis disebut merdeka, merdeka karena tarekat itu tidak berorientasi pada makhluk akan tetapi pada sang khalik kepada yang menciptakan. selain melaksanakan dzikir secara istiqomah di dalam tarekat juga ada tingkatan yang disebut dengan system lathaif yaitu kelas-kelas dzikir sampai dengan 7 tingkatan yang apabila dilaksanakan dengan istiqomah maka akan tumbuhlah emosional spiritual santri. ”91

Dari apa yang dituturkan oleh Ning Rahmatilla Zaini, dapat di ambil kesimpulan bahwa penerapan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam meningkatkan emotional spiritual santri adalah dengan cara istiqomah melaksanakan ajaran tarekat tersebut, yaitu dengan dzikir darojat,dzikir hasanat dan khaujakan dengan tingkatan lathaif.

Hal serupa juga dikatakan oleh Ning Mutmainnah Zaini yang mengatakan;

91 Rahmatillah Zaini, Wawancara, Situbondo 16 Juli 2017

“Penerapan itu sebenarnya masing-masing pribadi. Cuman dawuhnya abah (KH. Ahmad Zaini ) tidak usah diniati bagaimana- bagaimana, biar saya ini punya ilmu tenaga dalam, kewibawaan, diniati saja karena Allah, karena untuk mengenal Allah dengan cara berdzikir, orientasi tarekat adalah hablumminallah, jika kita sudah baik membangun hubungan dengan Allah maka insya Allah urusan dunia akan terasa mudah bagi kita. Semuanya akan ikut mengarah ke hal positif, seperti akhlaq kita kalau kita itu melaksanakan dzikir secara istiqomah begitu juga kepada santri yang istiqomah melaksanakan dzikir. Dzikir dilaksanaan secara istiqomah itu ada 3 yaitu dzikir darojat yang dilaksanakan setelah selesai sholat wajib, dzikir khawajakan yang dilaksanakan setiap malam jumat, dan dzikir hasanat yang dilakukan setiap saat, kapanpun dan dimanapun selalu ingat allah. Didalam dzikir sudah ada maqom-maqomnya santri santri yang di baiat oleh guru mursyid disaat itu telah dijelaskan maqom dari dzikir tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah, ada 7 maqom yang ditempuh oleh seorang pengikut TQN untuk penjelasan dan letak maqom hanya guru mursyid yang berwewenang dalam hal itu, namun jika seorang santri sungguh-sungguh dan istiqomah menjalankan dzikirnya maka insya allah emosional dan spiritualnya akan tumbuh semakin meningkat, karena mereka mengetahui bagaimana hubungan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan Allah SWT”92

Luthfi Nawawi seorang Ustadz di Pondok Pesantren Nurul Hikam Situbondo mengatakan;

“Spiritual santri mau dihidupkan dengan pengajian tarekat. Santri dilatih dengan bacaan dzikir di dalam sholat dengan menyebut asma Allah dalam hati ketika sholat, hal ini bisa menjadikan sholat yang khusyu’ dan system lathaif, dengan 7 tingkatan latifah yang dijalankan dalam setiap dzikir secara khofi (dalam hati). Dalam tarekat ajaran dzikir ada 3 yaitu ada dzikir darojat yang dilaksanakan setelah sholat wajib, dzikir hasanat yang dikerjakan setiap saat dimanapun dan kapanpun menyebut asma Allah didalam hati, dan khawajakan yang salah satunya ada bacaan- bacaan aplikasinya adalah pada saat pengajian berlangsung diberikan nasehat-nasehat penerapan dari yang dibaca misalnya bacaan “hasbunallah wa ni’mal wakil” dijelaskan makna bacaan tersebut, yang dikehendaki itu kepasrahan kemudian penyerahan diri kepada Tuhan. Jadi cukup Allah sebagai penolong. Lalu penerapannya pada kehidupan sehari-hari itu ada musibah dan dia

92 Mutmainnah Zaini, Wawancara, Situbondo 20 Juli 2017

akan terasa ringan karena bacaan itu. Kemudian bacaan “la haula wa la kuata illa billa hil ali hil adzim”. Dijelaskan dulu makna dari bacaan tersebut, dijelaskan bahwa dengan bacaan tersebut dapat menghilangkan sikap sombong, takabur, takabur oleh ilmu, oleh dunia, takabbur oleh jabatan, hilang karena ada rasa bahwa yang membikin saya ini adalah Tuhan. Dan muncullah kesadaran spiritual disini. Penerapan ini kalau pada saat pengajian kita ingat, tapi kalau sudah lepas dari pengajian itu kadang-kadang kita lupa, nah inilah ada dzikir hasanat, dzikir yang diamalkan diluar sholat, diluar dzikir khawajakan, dan dzikir ini mempraktiskan praktek- praktek,dzikir ini menjadi hal yang fleksibel, kita merasa dilihat Allah, didengar Allah istilahnya dalam dunia tasawuf di sebut muraqabah, inilah yang sulit, kadang kita duduk belum tentu kita ingat Tuhan, ini berarti dzikir hasanatnya tidak jalan, padahal yang dikehendaki oleh KH. Zaini, dzikir hasanat Ini harus jalan.

Mengingat Allah dimanapun dan kapanpun, saat bekerja, saat sekolah, saat melakukan aktivitas sehari – hari. Ketika bekerja kemudian berdzikir merasa dilihat Allah, dipantau oleh Allah, diawasi oleh Allah berarti kan semangat, mestinya seperti itu. Jadi, anggapan orang semakin bagus dzikirnya semakin menghilangkan dunia itu salah. Mestinya semakin dia bagus dzikirnya semakin merasa dia dilihat oleh Tuhan semakin semangat dia bekerja, semakin semangat dia belajar. Begitupun juga dengan santri, Penerapan tarekat pada santri juga tidak jauh di dokrin seperti itu.”93

Santri juga mengungkapkan hal serupa mengenai penerapan tarekat dalam peningkatan emotional spiritual. Yaitu Alfin Ainun mengatakan ;

“Untuk penerapan tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah adalah dengan berdzikir, setelah saya di baiat oleh guru mursyid yaitu KH. Ahmad Zaini bin Abdul Aziz dan saya bisa menerima ajaran tarekat tersebut maka saya sebisa mungkin harus melaksanakan dzikir dengan istiqomah, guru mursyid telah menjelaskan tingkatan dzikir dari kelas 1-7 telah diterangkan bahwa disetiap kelas ada nama latifah dan tempat-tempatnya, dipondok juga menerapkan kegiatan-kegiatan yang wajib dilakukan santri termasuk saya yaitu melaksanakan dzikir darojat setelah sholat wajib, setiap malam jum’at ada khawajakan dan melaksanakan dzikir hasanat. Tidak hanya itu, untuk menjadikan sholat kita khusyu’ dianjurkan juga berdzikir”94

93 Luthfi Nawawi, Wawancara, Situbondo 28 Juli 2017

94 Alfin Ainun, Wawancara, Situbondo 16 Juli 2017

Tidak hanya saudara Alvin Ainun yang menyatakan penerapan tarekat qodiriyah wa naqsyabaniyah dengan dzikir yang istiqomah. Zulfa maulida seorang santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam juga menyatakan hal yang sama. Yaitu menyatakan ;

“Awal mondok di Pesantren Nurul Hikam saya di baiat oleh guru Mursyid KH. Zaini dan didalam ajaran tarekat adalah dzikrullah berdzikir kepada Allah, menyebut nama Allah di dalam hati yang dalam pelaksanaanya ada 7 latifah yang harus di isi dengan dzikir.

sesudah masuk tarekat saya merasakan hal yang berbeda yaitu hati bisa menjadi tenang karena saya terbiasa dengan berdzikir mengingat Allah. Di pondok juga sudah menerapkan aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh santri dan apabila santri melanggar atau tidak melaksanakan akan ada tindakan dari pengurus. Salah satunya adalah penerapan dzikir. dzikir rutin dilaksanakan setelah sholat berjama’ah lima waktu (dzikir darojat) dan dalam sholat juga berdzikir menyebut asma allah SWT dalam hati sehingga sholat bisa menjadi khusyu’ kemudian khawajakan yang dilakukan setiap malam jum’at dan dzikir hasanat yang dilakukan kapanpun dan dimanapun menyebut nama Allah di dalam hati.”95

Hal tersebut sesuai dengan hasil observasi pada asrama putri di Pondok Pesantren Nurul Hikam yang melaksanakan dzikir darojat setelah selesai Sholat wajib, khawajakan yang dilaksanakan setiap malam jum’at.96

Berdasarkan observasi dan wawancara informan diatas dapat di ketahui bahwa penerapan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di pondok pesantren Nurul Hikam Situbondo adalah dengan melaksanakan dzikir secara istiqomah, dan melalui pencapaian 7 tingkatan lathaif yang dilaksanakan seorang santri. Adapun dzikir yang dilakukan ada 3 yaitu

95 Zulfa maulida, Wawancara, Situbondo 4 Agustus 2017

96 Observasi, Penerapan Tarekat Di Pondok Pesantren Putri, Situbondo 3 Agustus 2017

dzikir hasanat yang dilakukan setiap saat, kapanpun dan dimanapun berdzikir menyebut asma Allah SWT didalam hati, dzikir darojat yang dilakukan setelah sholat lima waktu, dan dzikir khawajakan yang dilakukan setiap malam jum’at. pelaksanaan dzikir secara istiqomah akan menghidupkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri yaitu dengan penerapan bacaan-bacaan yang ada di dalam dzikir. Seorang santri akan merasa semangat dalam aktivitasnya karena dia merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT dan menjadikan seorang khusyu’ dalam sholatnya.

Apabila akan melakukan hal yang negatif santri akan merasa malu karena dia sudah terbiasa dengan berdzikir dan merasa diawasi Allah, maka dengan penerapan dzikir yang diulang-ulang akan menghidupan emotional dan spiritual santri.

2. Deskripsi tentang hambatan dari penerapan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam Situbondo.

Apapun jalan hidup yang telah kita pilih sebagai pendekatan kita kepada Allah tidak pernah luput dengan yang namanya hambatan atau kendala, baik kendala yang datang dari luar ataupun dari dalam diri kita sendiri. Kalaupun kendala itu tidak datang dari diri kita sendiri namun kendala juga bisa datang dari pihak lain. Begitupun dengan orang bertarekat dan santri yang menerapkan ajaran tarekat di pondok pesantren Nurul Hikam yang menghadapi kendala- kendala dari pihak luar. Hal ini di perjelas dengan pernyataan Ning Rahmatillah Zaini, yang menyatakan ;

“Untuk santri sendiri tidak ada hambatan karena santri telah menerima ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang telah di ajarkan oleh guru mursyid namun salah satu hambatan saat ini adalah KH. Ahmad Zaini sudah tidak ada, sudah tidak bersama dengan santri, maka pemantauannya tidak seintensif dulu ketika beliau masih ada. Namun, dengan segala upaya saya bersama dengan saudara-saudara saya dan ustadz, akan tetap memantau pelaksanakan dzikir dengan istiqomah, tetap menjalankan ajaran tarekat ini, guna untuk mencari ridho Allah SWT dan menghidupkan spiritual santri.”97

Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan dengan Ning Mutmainnah Zaini yang mengatakan ;

“Kalau santri menerima sepenuh hati akan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah namun kalau untuk tenaga pendidik yang kadang menolak, terutama tenaga pendidik Madrasah Diniyah, karena mereka telah membawa keyakinan ajaran tersendiri dari pondoknya dulu. Artinya mereka punya persepsi banyak jalan lah menuju Allah, tapi masak bisa mengenal Allah kalau kita tidak berdzikir kepada Allah SWT.” 98 yang menjadi hambatan juga setelah abah wafat, pada pengajian jum’at manis santri dan jamaah yang mengunjungi pengajian mulai berkurang.99

Dari pemaparan Ning Rahmatilla dan Ning Mutmainnah sudah cukup menjelaskan bahwasanya santri menerima dengan sepenuh hati akan ajaran tarekat tersebut. Adapun hambatannya adalah setelah KH.

Ahmad Zaini wafat pemantauan penerapan tarekat tidak seintensif ketika beliau masih ada dan pengunjung pengajian jum’at manis mulai berkurang. Yang menjadi salah satu hambatan lagi adalah bedanya jalan para Ustad diniyah yang di tempuh untuk mengenal Allah SWT yang tidak sejalan dengan tarekat. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ustadz Lutfi Nawawi selaku Ustadz di Pondok Pesantren Nurul Hikam

97 Rahmatillah Zaini, Wawancara, Situbondo 16 Juli 2017

98 Mutmainnah Zaini, Wawancara, Situbondo 20 Juli 2017

99 Mutmainnah Zaini, Wawancara, Situbondo 21 Oktober 2017

yang mengikuti tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau mengatakan ;

“Kalau hambatan karena pondok ini sudah di desain untuk santri, amalan juga santri menerima maka tidak ada hambatan untuk santri dalam penerapan tarekat ini. Namun setelah Kyai wafat jama’ah dan santri yang mengunjungi pengajian khawajakan pada saat jum’at manis mulai berkurang.100 hambatan juga muncul ketika santri berada di luar pondok. ketika santri pulang ke rumahnya itu pasti ada hambatan. Salah satu hambatannya adalah dari keluarga, kadang-kadang tidak seimbang, jadi tidak sejalan.

Walaupun ini harus kembali pada individu. Kalau individunya kuat tidak masalah namun kalau individunya lemah akhirnya amaliyah nya ditinggal akhirnya bergabung dengan lingkungan yang baru.

Tidak ada istigosah, tidak ada khawajakan, dzikir darojatnya di tinggal.”101

Paparan diatas di pertegas dengan pernyataan santri yaitu Alfin Ainun yang menyatakan ;

“Saya menerima dengan sepenuh hati ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah karena saat pembaiatan Kyai juga sudah memberikan nasehat-nasehat yang membuat hati saya merasa mantep dengan ajaran tarekat ini. Di pondok sendiri juga telah menerapkan aturan bahwa setelah sholat wajib melaksanakan dzikir darojat, dan khawajakan rutin setiap malam jum’at.”102 Namun setelah kyai wafat pengajian jum’at manis mulai sepi, tidak sama seperti saat kyai masih ada.103

Tidak hanya alfin Ainun yang menyatakan hal tersebut, Zulfa Maulida juga menyatakan ;

“Hambatan penerapan tarekat bagi saya sendiri tidak ada, karena dzikir bisa dilakukan kapan saja saat beraktifitas dan tidak ada halangan bagi seorang santri bahkan santri yang haid saja masih bisa untuk berdzikir. karena pada saat pelaksanaan dzikir saya sudah terbiasa melaksanakannya. Selama mondok di pesantren ini kegiatan-kegiatan tarekat telah menjadi kebiasaan santri dan telah

100 Luthfi Nawawi, Wawancara, Situbondo 21 Oktober 2017

101 Luthfi Nawawi, Wawancara, Situbondo 28 Juli 2017

102 Alfin Ainun, Wawancara, Situbondo 16 Juli 2017

103 Alfin Ainun, Wawancara, Situbondo 21 Oktober 2017

menjadi ciri khas dari pondok pesantren Nurul Hikam.”104namun saat ini jamaah dan santri yang datang saat jum’at manis mulai berkurang, hal ini terjadi karena Guru Mursyid telah wafat.105 Dari hasil wawancara yang penulis lakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa hambatan penerapan tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah dalam peningkatan emotional spiritual quotient santri itu muncul pada orang yang tidak sepaham dengan aliran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah. Seperti yang telah dikatakan oleh Ustadz Luthfi dan Neng Mutmainnah Zaini bahwasanya hambatan muncul dari pihak-pihak yang tidak sepaham seperti ustad-ustad yang mengajar di madrasah diniyah kebanyakan tidak sepaham dengan ajaran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah hal ini dikarenakan para ustadz yang mengajar di madrasah diniyah telah mempercayai dan membawa ajaran tersendiri dari pondokya dan dari pihak keluarga yang tidak sepaham dengan ajaran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah. Hambatan juga muncul setelah Kyai Zaini wafat, jama’ah dan santri yang mengunjungi pengajian khawajakan mulai berkurang dan tidak sebanyak pada saat Kyai masih ada.

C. Pembahasan Temuan

Setelah peneliti mengumpulkan data dari hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara/interview, observasi dan dokumentasi maka selanjutnya peneliti akan melakukan pembahasan temuan peneliti untuk menjelaskan lebih lanjut dari penelitian. Sesuai dengan analisa data

104 Zulfa Maulida, Wawancara, Situbondo 4 Agustus 2017

105 Zulfa Maulida, Wawancara, Situbondo 21 Oktober 2017

yang dipilih oleh peneliti yaitu peneliti menggunakan analisa deskriptif kualitatif (pemaparan) dengan menganalisis data yang telah peneliti kumpulkan dari wawancara, observasi dan dokumentasi selama peneliti mengadakan penelitian dengan lembaga terkait. Data yang diperoleh dan dipaparkan oleh peneliti akan dianalisis oleh peneliti sesuai dengan hasil penelitian yang mengacu pada rumusan masalah. Dibawah ini adalah hasil dari pembahasan temuan peneliti, yaitu:

1. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data telah diperoleh data tentang penerapan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam Situbondo.

Secara teoritik adapun formulasi dzikir dalam ajaran tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah meliputi dzikir lisan dan dzikir qalbu.

Dzikir lisan atau juga dzikir nafi itsbat yaitu ucapan la ilaha illa Allah.

Sedangkan dzikir qalbu atau dzikir ismu dzat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut Allah, Allah, Allah secara sirr atau khafi (dalam hati).

Dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dzikir nafi itsbat dan dzikir ismu dzat diajarkan secara bersamaan, karena keduanya saling melengkapi dalam kaitannya dengan metode pembersihan jiwa. Pelaksanaan kedua jenis dzikir ini di amalkan setiap selesai sholat wajib dengan cara memejamkan mata agar lebih menghayati arti dan makna kalimat yang diucapkan yaitu la ilaha illa allah. K.H Romli Tamim dalam buku Sururin, menjelaskan aktivitas dzikir ismu dzat atau dzikr lathaif minimal

5000x, sehingga bila dikerjakan setelah sholat fardlu, maka setiap majlis pengamal tarekat cukup berdzikir 1000x, dan dzikir ini dianjurkan sehari semalam sebanyak 5000x. pengamalan dzikir ini diterima oleh seorang murid dari mursyidnya pertama kali bersama dengan baiat dan talqin dzikir nafi isbat. Namun untuk selanjutnya pemindahan dzikir dari lathifah yang satu ke lathifah yang lain dilakukan oleh mursyid tanpa pembaiatan dzikir nafi isbat. Pembaiatan lanjutan ini sekaligus sebagai tanda kenaikan tingkatan dalam suluk seseorang, yaitu mulai dari lathifah al-qalbi, lathifah al-ruhi, lathifah al-sirri, lathifah al-khafi, lathifah al-akhfa, lathifah an-nafsi, dan lathifah al-qalab.106

Secara empirik menunjukkan bahwa penerapan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam adalah dengan melaksanakan dzikir secara istiqomah dan melalui pencapaian 7 tingkatan lathaif yang dilaksanakan seorang santri. Adapun dzikir yang dilaksanakan secara istiqomah dalam tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah di pondok pesantren nurul hikam adalah dengan melafadkan asma Allah SWT dalam hati dimanapun dan kapanpun itulah yang disebut dengan dzikir hasanat, kemudian setelah selesai sholat wajib berdzikir darojat, dan dzikir khawajakan yang didalamnya terdapat bacaan-bacaan yang ketika dibaca diharapkan dapat menghidupkan emotional spiritual santri.

106 Sururin, Perempuan Dalam Dunia, 98

Teori dan data hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ajaran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam adalah dengan istiqomah melaksanakan dzikir hasanat, darajat dan khawajakan.

Hal ini jika dilaksanakan dengan istiqomah maka akan menumbuhkan emotional spiritual santri. Dengan ajaran dzikir tarekat ini menjadikan hati seorang santri lebih tenang, hal ini berarti ketika kondisi emosional sedang kacau, bingung, dan stres maka jalan yang di ambil oleh santri adalah dengan berdzikir. Pencapaian peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) hal ini juga melalui penerapan 7 tingkatan dzikir lathaif. Karena dengan tingkatan dzikir ini santri dapat mengetahui bagaimana harus melakukan hubungan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya ataupun dengan Allah sebagai Penciptanya. Yang paling utama adalah hubungannya dengan Allah karena Tarekat ini berorientasi pada sang khalik.

2. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data telah diperoleh data tentang hambatan penerapan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dalam peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) santri di Pondok Pesantren Nurul Hikam Situbondo.

Secara teoritis Kata tarekat berarti “jalan” spiritual mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya)107, manusia bebas menentukan tujuan

107 Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, 15

hidupnya. Menurut Rivay Siregar di dalam pencapaian tujuan hidup mistik masing-masing menekankan pada pembebasan atau salvation.108

Seseorang memiliki pandangan dan tujuan hidup yang berbeda antara satu dan lainnya, kalaupun tujuan hidup sama yaitu menyembah Allah maka jalan yang diambil untuk mengenal Allah bisa berbeda.

manusia diciptakan dengan keistimewaan dalam berfikir dan bertindak, yakni dituntut untuk mempunyai pandangan hidup sehingga tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

Sementara data empirik menunjukkan bahwa santri yang memiliki tujuan hidup mengenal Allah dengan jalan tarekat sangat menerima sepenuh hati dan mengamalkan ajaran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah untuk menghidupkan kondisi emotional spiritualnya.

Adapun hambatan dalam penerapan tarekat ini adalah ketika santri berada diluar pondok, di rumah misalnya apabila kondisi hatinya goyah maka akan terpengaruh dari pihak-pihak lain yang tidak sejalan dengan aliran tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah. hal ini mengakibatkan ajaran tarekat ditinggal dan bergabung dengan lingkungan yang baru, para ustad yang mengajar diniyah juga tidak sejalan dengan tarekat, hambatan juga muncul setelah wafatnya Kyai Zaini yang dampaknya pada berkurangnya jama’ah dan santri yang hadir dalam pengajian khawajakan pada saat Jum’at manis.

108 Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik, 5

Dokumen terkait