BAB I PENDAHULUAN
A. Kemampuan Membaca Al Qur‟an
4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca
Telah dikatakan prinsip belajar bahwa keberhasilan belajar itu dipengaruhi oleh banyak faktor, begitu juga dengan membaca Al Qur‟an.
Agar dalam mmbaca Al Qur‟an mencapai keberhasilan yang maksimal,
maka harus dipahami juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara umum faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam membaca Al Qur‟an dapat dipengaruhi olrh dua hal, yaitu yang berasal dari siswa (internal) dan faktor yang berasal dari luar siswa (eksternal).
Menurut Muhibbin Syah, faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
1) Faktor internal, meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis
2) Faktor eksternal, meliputi faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.21
Sehubungan dengan faktor-faktor ditas, ubtuk lebih jelasnya faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a) Faktor Internal
Faktor ini bearsal dari diri individu itu sendiri. Faktor internal terdiri dari dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan faktor psikologis.
(1) Faktor Fisiologis (jasmaniah)
Faktor fisiologis adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan fisik atau jasmani individu yang bersangkutan Diantara keadaan fisik yang perlu diperhatikan antara lain:
(a) Kondisi fisik yang normal
Kondisi fisik yang normal atau tidak memiliki cacat sejak kandungan sejak lahir sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang, contoh seseorang yang sumbing tentu akan mengganggu
21Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. 5, .132-138
keaktifan membaca dalam hal itu juga akan menjadi hambatan yang paling utama apalagi dengan membaca Al Qur‟an.
(b) Kondisi kesehatan fisik
Kesehatan fisik yang sehat dan segar (fit) sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Sebaliknya apabila kondisi fisik yang lemah dan sakit-sakitan maka akan mengurangi semangat belajar. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al Qur‟an membutuhkan konsentrasi yang penuh, karena apabila ada kekeliruan dalam membaca Al Qur‟an baik tajwid ataupun yang lainnya, maka akan mengubah arti dari kata itu sendiri dan pada akhirnya akan mempengaruhi kalimat. Sehingga kondisi kesehatan fisik yang baik diperlukan daam rangka mencapai kemampuan membaca Al Qur‟an. Hal ini dapat terwujud dengan jalan menjaga kesehatan tubuh dengan cara makan minum secara teratur, olahraga secukupnya dan istirahat secukupnya.22
(2) Faktor Psikologis (rohaniah)
Faktor psikologis ini berkaitan dengan kondisi mental seseorang yang dapat mendorong untuk lebih tekun dan rajin.
Diantaranya meliputi:
a) Intelegensi
Intelegensi ialah kemampuan untuk memudahkan penyesuaian secara tepat terhadap berbagai segi dari keseluruhan
22 Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif: Panduan menemukan teknik Belajar, Memilih Jurusan dan menentukan Cita-cita, (Jakarta: Puspa Swara, 2010), 11- 12
lingkungan seseorang.23 Intelegensi atau kecerdasan seseorang ini dapat dilihat adanya beberapa hal yaitu :
- Cepat menangkap isi pelajaran
- Tahan lama memusatkan perhatian pada pelajaran dan kegiatan - Dorongan ingin tahu kuat, banyak inisiatif
- Cepat memahami prinsip-prinsip dan pengertian-pengertian - Memiliki minat yang luas
Intelegensi sangat dibutuhkan sekali dalam belajar membaca Al Qur‟an, karena dengan tingginya intelegensi seseorang maka akan lebih mudah dan cepat menerima pelajaran- pelajaran yang telah diberikan. Sehigga pada saat membaca Al Qur‟an dapat melakukan dengan mudah dan lancar dan hasilnya pun akan mencapai nilai yang maksimal.
b) Minat
Minat ialah kecenderungan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.24 Minat besar pengaruhnyaterhadap pencapaian prestasi belajar seseorang. Apabila seseorang mempunyai minat belajar yang besar, maka cenderung akan menghasilkan prestasi yang tinggi. Sebaliknya apabila minat belajar seseorang kurang, akan menghasilkan prestasi yang rendah.
23 Farida Rahim, Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 16-19
24 Noer Rahmah, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2012), 196.
Demikian minat memiliki peran penting dalam semua ktivitas manusia, begitu pula aktivitas siswa belajar Al Qur‟an.
Sebab dari sini akan muncul perasaan senang atau tidak senang, perasaan tertarik atau tidak tertarik pada sesuatu yang akhirnya mempengaruhi untuk belajar atau tidak belajar. Tidak adanya minat seorang anak terhadap suatu pelajaran akan menimbulkan suatu kesulitan dalam belajar.
c) Motivasi
Menurut Crawley dan Mountain sebagaimana dikutip oleh Farida Rahim menjelaskan bahwa motivasi ialah sesuatu yang mendorong seseorang belajar atau melakukan sesuatu kegiatan.
Motivasi dapat menentukan baik tidaknya menentukan tujuan seseorang, sehingga semakin besar motivasi seseorang maka akan semakin besar kesuksesan belajarnya.25
Dalam kemampuan membaca Al-Quran, motivasi akan sangat menentukan besar kecilnya tingkat pencapaian prestasi seseorang. Adanya usaha yang tekun dan terutama didasarkan adanya motivasi yang tinggi dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik.
25 Farida Rahim, Op.Cit., 20
b) Faktor Eksternal
Faktor eksternal berasal dari luar diri individu. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.
(1) Faktor Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi orang tua dan keluarga, masyarakat dan tetangga, para guru dan teman sepermainan.26 Lingkungan siswa yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Misalkan, Seorang pelajar yang apabila lingkungan keluarga atau masyarakatnya agamis, maka anak tersebut akan termotivasi untuk mengikuti kegiatan itu. Begitu pula sebaliknya.
(2) Faktor lingkungan non Sosial
Faktor lingkungan non sosial meliputi gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alatalat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan oleh siswa.27 Semua faktor ini dipandang turut menentukan kemampuan siswa dalam membaca Al-Quran. Misalkan, rumahyang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tidak memiliki sarana umum untuk kegiatan belajar siswa (seperti Masjid dan Mushalla) akan mendorong siswa untuk belajar ke tempat-tempat yang lain, yang pantas
26 Muhibbun Syah, Op.Cit., 137
27 Ibid, h. 138
dikunjungi.Kondisi rumah-rumah perkampungan seperti itu jelas berpengaruhburuk terhadap kegiatan belajar siswa. Letak sekolah yang terlalu dekat dengan jalan raya dimana suasana ramai menyelimutinya yang dapat mengganggu aktivitas belajar siswa.
B. Pendidikan pada MA
Karakteristik yang dimiliki oleh Madrasah mempunyai karakter yang sangat spesifik, tidak hanya melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran agama, tetapi juga memberikan bimbingan hidup kepada masyarakat. Madrasah mengandung arti tempat atau wahana dalam mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah di Madrasah ini anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin dan terkendali.
Dengan demikian, secara teknis madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan kepada agama.
Madrasah dalam perkembangannya tak lepas dari peran Departemen Agama sebagai lembaga yang secara politis telah mengubah posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari pengambil kebijakan. Walau tak lepas dari usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh agama seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy‟ari dan Mahmud Yunus. Dengan perkembangan politis dan zaman, Departemen Agama secara bertahap terus menerus mengembangkan program-
program peningkatan dan perluasan ases serta peningkatan mutu madrasah. Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang – undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.
Dengan persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang memenuhi syarat. Jenjang pendidikan pada sistem madrasah pada masa itu terdiri dari tiga jenjang.
1. Pertama Madrasah Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun 2. Kedua Madrasah Tsanawiyah Pertama untuk 3 tahun
3. Ketiga Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 3 tahun
Sejarah dan perkembangan madrasah di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode yaitu: periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan.
a. Periode sebelum kemerdekaan
Pada dasarnya, Madrasah-madrasah selama pra-kemerdekaan belum menunjukkan keseragaman dalam berbagai banyak hal seperti masa belajar, penjenjang, dan kurikulum perbandingan antara kualitas mata pelajaran agama dan umumjuga berbeda-beda antara satu madrasah dengan madrasah yang lainnya.
Pada dasarnya madrasah dan pondok pesantren tidak terlalu berbeda, masing-masing mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren, atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses belajarnya. Pertumbuhan madrasah pada periode ini dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Islam, yaitu: keinginan untuk kepada Al Qur‟an dan hadis, semangat nasionalisme dalam melawan penajajah, memperkuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik, serta pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Faktor lain yang menjadi pendorong utama pendidikan Islam pada masa ini adalah kebangkitan dan pembaruan Islam. Kelompok modernis yang terdiri atas para tokoh organisasi massa, sosial keagamaan, sosial politik, dan sosial ekonomi pada umumnya menyerukan pemurnian ajaran agama Islam dengan kembali kepada Al Qur‟an dan Sunnah. Di sisi lain mereka melakukan pembaharuan di bidang pendidikan Islam.
Kemunculan Serikat Islam di Solo (1911 M), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912 M), Nahdlatul Ulama di Jawa Timur (1923 M), Persatuan Islam di Bandung (1926 M), Perserikatan Ulama di Majalengka (1911 M), dan Al Irsyad di Jakarta (1913 M). Organisasi tersebut di atas melahirkan lembaga pendidikan Islam model pesantren dan madrasah.28
28Marjuni dan Suddin Bani, 2014 “Prestasi Belajar Mahasiswa Antara Lulusan Madrasah
b. Periode sesudah kemerdekaan
Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946 sangat terkait dengan perkembangan madrasah sejak awal.
Departemen Agama dalam perkembangannya menyamakan nama, jenis, dan tingkatan madrasah sebagaimana yanag ada sekarang. Madrasah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah. Pada periode ini pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional.
Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 penyebutan madrasah secara nomenklatur telah tertuang dalam batang tubuh undang-undang tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 17 ayat (2), yang berbunyi : Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS), atau bentuk lain yang sederajat. Dan pada pasal 18 ayat (3), yang berbunyi: Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Ijazah antara madrasah dengan sekolah umum mempunyai nilai yang sama, dan lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
Aliyah Dan Lulusan Sekolah Umum (Studi Komparasi pada Prodi PAI Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar)”, Jurnal Auladuna, Vol 1, Nomor 2.
sekolah umum setingkat lebih atas dan peserta didik madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan ke perguruan tinggi umum dan gama, begitupun sebaliknya.
1. Non Pondok Pesantren (Rumah) a) Santri Kalong
Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa- desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk pelajarannya doi pesantren, mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong.
Semakin besar sebuah pesantren akan semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan lain perkataan, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri mukim.29
Jadi dapat disimpulkan bahwa santri kalong atau santri yang tidak tinggal di pesantren yaitu dimana santri tersebut tingal di desa yang tidak jauh dari pesantren bahkan jaraknya pun bisa ditempuh antara rumah dan pesantren tersebut dengan berjalan kaki untuk menuju sekolah atau santri yang kalong mengikuti kegiatan yang ada di pondok pesantren.
29 Choirun Niswah, Sejarah Pendidikan Islam, (Palembang: Noer Fikri Offset, 2016), 12
b) Orang Tua
Orang tua adalah orang dewasa pertama yang memikul tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak pada masa- masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ibu dan ayahnya. Dari kedua orang tuanya lah anak mulai mengenal pendidikannya.30
Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah:31
(1) Memelihara dan membesarkan anak
(2) Melindungi dan menjamin keselamatan jasmaniah dan rohaniah anak
(3) Memberi pelajaran dalam arti luas
(4) Membahagiakan anak di dunia dan di akhirat
Tanggung jawab orang tua memelihara dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab alami. Orang tua harus melindungi dan menjamin anak secara fisik dan rohani, dengan jalan member anak makan bergizi, memberi pakaian yang layak bagi anak untuk dapat berkembang dan bertumbuh. Orang tua juga bertanggung jawab mendidik anak dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupan masa depannya, sehingga bila dewasa anak mampu mandiri dan saling membantu.
Kemudian selain orang tua, anggota keluarga yang tinggal di tempat sama dengan seseorang juga mempunyai pengaruh yang besar.
30Rusmaini, Ilmu Pendidikan, (Palembang: Grafika Telendo Press, 2011), 100
31 Ibid., 100
Besar atau kecilnya penaruh masing-masing tergantung pada kadar komunikasi dan kualitas pengaruh yang diberikan kepada peserta didik.32
c) Masyarakat
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Daud Ali seperti dikutip Rusmaini mengemukakan bahwa masyarakat adalah pergaulan hidup manusia yang berinteraksi terus menerus menurut sistem ahli atau norma tertentu yang terkait pada identitas bersama. Dengan demikian berarti antara masyarakat dengan sistem nilai mempunyai hubungan yang erat, karena sistem nilai yang dianut masyarakat akan menentukan corak suatu masyarakat, kalau sistem nilainya berlandaskan pada ajaran Islam, maka masyarakat tersebut dinamakan masyarakat Islam.33
Kemudian masyarakat awal mulanya terbentuk dari masyarakat kecil yang arrtinya sekumpulan orang. Misalnya sebuah keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga, kemudian dari kelompok keluarga akan membentuk sebuah RT dan RW hingga akhirnya membentuk sebuah dusun. Dusun pun akan membentuk Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Negara
d) Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena makin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawabnya sebagian kepada lembaga sekolah.
32Bukhari Umar, Hadis Tarbawi(Pendidikan dalam Perpektif Hadis), (Jakarta: Amzah, 2015), 169
33 Rusmaini, Op.Cit., 106
Sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam bentuk mendidik anak. Tugas guru dan pemimpin sekolah di samping memberikan Ilmu Pengetahuan, keterampilan juga memberikan bimbingan yang sesuai dengan tuntutan Agama.34
Jadi dapat disimpulkan bahwa santri yang menetap di rumah atau santri yang kalong ini yaitu mereka bertempat tinggal di desa-desa atau rumah yang tidak jauh dari pesantren dan mereka tinggal di lingkungan keluarga (orang tua), masyarakat dan sekolah. Sedangkan mahasiswa yang bertempat tinggal di pondok pesantren ini yaitu dimana mahasiswa tersebut bertempat tinggal di lingkungan pesantren yang dikelilingi rumah kiyai, ustadz/ustadzah, asrama, dan masjid.
2. Pondok Pesantren
a) Pengertian Pondok Pesantren
Sebelum membahas pesantren atau pondok pesantren secara panjang lebar dan lebih jauh, terlebih dahulu akan dibahas apa itu pondok pesantren.
Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya Tradisi Pesantren, menjelaskan bahwa perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri, dan istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.35
34 Akhwal Hawi, Op.Cit. 4
35 Zamakhsyari Dhoefier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2012), 139.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pesantren atau pondok pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. Dengan sistem pengajaran yang tradisional dan non-formal, pesantren telah memberikan kontribusi yang besar atas penanaman nilai-nilai dan ajaran Islam ke dalam benak masyarakat Muslim.36
Dari beberapa pengertian atau batasan pesantren tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki unsur-unsur: 1) kyai sebagai pengasuh, 2) santri yang belajar agama Islam, 3) kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu dan berbahasa arab, 4) sistem pengajaran dengan pengajian atau madrasah, dan 5) pondok atau asrama untuk tempat tinggal para santri.
b) Unsur- Unsur Pesantren
Menurut Mahmud dalam buku Model-Model Pembelajaran di Pesantren, sebuah lembaga dapat di katakan sebagai pondok pesantren apabila didalamnya terdapat sedikitnya lima unsur:
36 Siti Ma‟rifah dan Muhamad Mustaqim, Pesantren Sebagai Habitus Peradaban Islam Indonesia, Jurnal Pendidikan, (Vol. 9, No. 2, tahun 2015), 349.
1) Kyai/Ajengan/Tuan Guru/Abu/Buya/Tengku
Kyai adalah “komponen penting yang amat menentukan keberhasilan pendidikan pesantren.37 Kemasyhuran perkembangan dan kelangsungan hidup suatu pesantren banyak tergantung pada kyai, atau dengan kata lain keahlian dan kedalaman ilmu serta kharisma kyai sangat berpengaruh pada pesantren.38
2) Santri
Menurut Abdurrahman Wahid, santri adalah siswa yang tinggal di pesantren untuk menyerahkan diri. Santri dalam pondok pesantren pada umumnya dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
(a) Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah daerah yang jauh dan menetap dalam pesantren.
(b) Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap di pesantren untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak balik dari rumahnya.
3) Masjid / Musholla
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pendidikan di pesantren. Masjid juga dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri terutama
37 Mahmud, Model-Model Pembelajaran Di Pesantren, (Jakarta: Media Nusantara, 2015), 5
38 Mahfud Junaedi, Ilmu Pendidikan Islam Filsafat dan Pengembangan, (Semarang:
Rasail Media Group, 2010), 191
dalam praktek ibadah seperti shalat berjamaah, khutbah dan praktek ibadah lainnya. Di pesantren masjid tidak semata difungsikan sebagai tempat mengajar kebutuhan akhirat melainkan juga untuk mengembangkan daya intelektual dan kepribadian santri. 39
4) Pondok
Sistem pondok bukan saja merupakan elemen yang paling penting dari tradisi pesantren, tetapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. Dengan sistem pondok, kyai dapat memberikan pengawasan kepada santrinya selama 24 jam. Selain itu di dalam pondok, para santri belajar mengatur kehidupannya dan menjalin solidaritas diantara santri-santri lainnya. 40
5) Pengajaran kitab kuning
Unsur pokok membedakan pesantren salaf dengan pesantren modern diantaranya adalah ditunjukkan dengan pengajaran kitab-kitab klasik yang biasa disebut dengan kitab kuning yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan, dengan penyajian yang khas pesantren salafi. 41
Jadi, dapat disimpulkan bahwasannya dari kelima elemen tersebut merupakan bagian dari pesantren yang tidak bisa
39Ibid, 189.
40Ibid, 188.
41 Ibid,194.
dipisahkan, karena kelima elemen tersebut selalunya ada dalam lingkungan pondok pesantren. Semuanya akan berjalan dengan baik apabila semuanya saling melengkapi satu sama lainnya.
C. Studi Komparasi Kemampuan Membaca Al Qur’an Mahasiswa Lulusan MA dan Pondok Pesantren Pada Program BBTQ IAIN METRO
Dewasa ini sudah banyak diketahui bahwa banyak sekali pengaruh yang dihasilkan apabila orang tua memilih me mondokkan anaknya di pondok pesantren. Disamping pembelajaran agamanya yang mendalam, kemampuan membaca Al Qur‟an biasanya lebih baik dari yang tinggal di rumah. Materi pelajaran di pesantren pada awalnya hanya mengajarkan membaca al-Qur‟an dan praktik ibadah kemudian berkembang pada mata pelajaran yang lain. Materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain: tauhid, tafsir, hadist, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, bahasa arab, mantiq, akhlaq, dan tajwid.42
Dengan begitu sangat besar pengaruhnya antara mahasiswa yang tinggal di pondok pesantren dengan pembelajaran agama di sekolah, karena pengetahuan agamanya lebih mendalam dari pada mahasiswa yang tidak tinggal di pondok pesantren. Sehingga dalam pembelajaran agama di sekolah, mahasiswa yang tinggal di pondok pesantren akan lebih siap
42Umar Sidiq, Pengembangan Standarisasi Pondok Pesantren, Jurnal Pendidikan Islam, (Vol. 7, No. 1, tahun 2013), 72.
dalam menerima pelajaran dan lebih mudah memahami penjelasan tentang materi yang dijelaskan oleh guru.43
Kemampuan membaca Al-Qur‟ān yang paling penting bagi mahasiswa, terutama pada kelancaran membaca Al-Qur‟ān dengan menerapkan tajwid yang di dalamnya terdapat makhārij al-ḥurūf, hukum madd, hukum bacaan qalqalah dan waqaf. Lebih sempurna jika dibaca dengan tartil. Kompetensi dalam membaca Al-Qur‟ān merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari dan dipraktikkan ketika membaca Al- Qur‟ān, karena dengan memperhatiakn kompetensi tersebut, maka kita akan mudah untuk membaca Al-Qur‟ān dengan fasih dan benar.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalah sebagian jawaban sementara terhadap rumusan yang telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang akan diuji sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Ha: Ada perbedaan kemampuan membaca Al Qur‟an antara mahasiswa lulusan MA dan mahasiwa lulusan pondok pesantren pada program BBTQ IAIN Metro, Ho: Tidak ada perbedaan kemampuan membaca Al Qur‟an antara mahasiswa lulusan MA dan mahasiwa lulusan pondok pesantren pada program BBTQ IAIN Metro.
Adapun rumusan hipotesis yang penulis ajukan yaitu: “Apakah ada perbedaan kemampuan membaca Al Qur‟an antara mahasiswa lulusan MA dan pondok pesantren pada program BBTQ IAIN Metro”.
43Srijatun, Implementasi Model Pendidikan Pondok Pesantren Di Panti Asuhan Puteri Aisyiyah Slawi Kabupaten Tegal, Jurnal Pendidikan Islam, (Vol. 10, No. 1, tahun 2016), 122.