1. Pengaturan dusia
Pengaturan tentang Fidusia merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU 42/1999 atau UU Fidusia). Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 30 September 1999 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889.
Dalam konsideran menimbang huruf a sampai dengan huruf c Undang- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, disebutkan alasan-alasan membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia ini, yaitu:
a. Bahwa kebutuhan yang yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan;
b. Bahwa Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif;
c. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut perlu dida arkan pada Kantor Penda aran Fidusia.
Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pada bagian Umum ditegaskan kembali alasan
membentuk Undang-Undang Fidusia, yaitu: Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik masyarakat perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam. Selama ini, kegiatan pinjam meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undang-Undang yang berkaitan dengan Jaminan Fidusia adalah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani dusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum.
Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para Pemberi Fidusia untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya, Benda yang menjadi objek dusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, Benda yang menjadi objek dusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak. Undang-Undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan
151 Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.
Seperti telah dijelaskan bahwa Jaminan Fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi Pemberi Fidusia. Namun sebaliknya karena Jaminan Fidusia tidak dida arkan, kurang menjamin kepentingan pihak yang menerima dusia. Pemberi Fidusia mungkin saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan dusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia. Sebelum Undang-Undang ini dibentuk, pada umumnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tak berwujud, dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud ditentukam dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam Undang-Undang ini, diatur tentang penda aran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan penda aran Jaminan Fidusia memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lain. Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak Pemberi Fidusia untuk menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan, maka diharapkan sistem penda aran yang diatur dalam Undang- Undang ini dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima Fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap Benda tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini yang dimaksud dengan:
a. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
b. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
c. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.
d. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terda ar maupun yang tidak terda ar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.
e. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
f. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
g. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontijen.
h. Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
i. Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang.
j. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini terdiri dari 8 bab dan 41 pasal, dengan struktur sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1);
Bab II : Ruang Lingkup (Pasal 2 dan Pasal 3);
Bab III : Pembebanan, Penda aran, Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia (Pasal 4 – Pasal 26);
Bab IV : Hak Mendahulu (Pasal 27 dan Pasal 28);
Bab V : Eksekusi Jaminan Fidusia (Pasal 29 – Pasal 34);
Bab VI : Ketentuan Pidana (Pasal 35 dan Pasal 36);
Bab VII : Ketentuan Peralihan (Pasal 37 dan Pasal 38);
Bab VIII : Ketentuan Penutup (Pasal 39 – Pasal 41).
2. Pengertian dusia dan jaminan dusia
Undang-Undang Fidusia membedakan pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia sebagaimana terdapat pada Pasal 1 angka 1 dan angka 2. Pasal 1 angka
153 1 Undang-Undang Fidusia memberikan pengertian Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.74 Sedangkan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Fidusia memberikan pengertian Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dari bunyi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Fidusia tersebut dapatlah dijelaskan bahwa Fidusia merupakan lembaga jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Fidusia merupakan suatu perjanjian tambahan atau ikutan dari perjanjian pokok utang-piutang antara kreditor dan debitor dimana antara debitor dan kreditor terdapat kesepakatan bahwa debitor menyerahkan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak milik debitor kepada kreditor dengan ketentuan benda-benda tersebut tetap dikuasai oleh debitor sebagai peminjam pakai, dan hanya bertujuan untuk memberikan jaminan bagi pelunasan atau pembayaran hutang debitor kepada kreditor.
Dengan demikian perjanjian Jaminan Fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan bagi pembayaran utang debitor kepada kreditor.
Utang debitor yang pelunasannya dijamin dengan dusia itu dapat berupa: a.
utang yang telah ada; b. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;75 dan c. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.76
74Istilah Fidusia asal dari Fiduciare Eigendom Overdrach atau yang lazim disebut Fiducia. Fiducia berasal dari kata des yang berarti kepercayaan.
75Utang yang akan timbul di kemudian hari yang dikenal dengan istilah kontijen , misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank (Penjelasan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Fidusia).
76Utang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian (Penjelasan Pasal 7 huruf c Undang-Undang Fidusia).
Menurut Ny. Frieda Husni Hasbullah, dalam perjanjian dengan jaminan Fidusia terjadi suatu perjanjian dengan dua perbuatan sekaligus dalam satu momen, yaitu pertama, perbuatan pihak debitor menyerahkan hak milik atas benda-bendanya secara kepercayaan kepada kreditor (yang diserahkan hanya hak miliknya saja, sedangkan sik benda tidak diserahkan/tetap dikuasai debitor) dan kedua, perbuatan kreditor sebagai pemilik baru benda-benda itu meminjamkan benda-benda itu secara kepercayaan kepada debitor untuk dipakai/digunakan (kreditor tidak menyerahkan secara sik benda-benda itu, karena benda-benda itu masih dalam penguasaan debitor).77
3. Ciri, sifat, dan asas jaminan dusia
Prof. Mariam Darus Badrulzaman mengemukan sifat-sifat hukum dusia sebagai berikut:78
a. Accessoir;
Penyerahan hak milik secara dusia sebagai jaminan mempunyai sifat accessoir karena melekat pada perjanjian pokok yaitu berupa perjanjian peminjaman uang.79
b. Luas hak milik dusia;
Perjanjian dusia bukan menciptakan hak milik, akan tetapi sebagai jaminan saja.80
77Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan Fidusia seperti: bezitloos pand (pand tanpa bezit); zakerheids eigendom (hak milik sebagai jaminan); bezitloos zekerheidsrecht (hak jaminan tanpa penguasaan); veruimd pandbegrip (gadai yang diperluas); eigendom overdracht tot zekerheid (penyerahan hak milik sebagai jaminan) ( Ny. Frieda Husni Hasbullah 2, Op.Cit., h. 46).
78Mariam Darus Badrulzaman 1, Op.Cit., h. 113 – 115.
79Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, terdapat dua pendapat tentang sifat accessoir dari dusia ini, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa dusia memiliki sifat accessoir sesuai dengan sifat yang melekat pada hukum jaminan (gadai dan hipotek); kedua, pendapat yang menyatakan bahwa penyerahan hak milik secara dusia tidak memiliki sifat accessoir, akan tetapi berdiri sendiri. Artinya lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik secara dusia tidak tergantung pada perikatan pokok. Jika penyerahan hak milik secara dusia akan diakhiri , maka harus diadakan perbuatan hukum sendiri, yang menyatakan bahwa penyerahan hak milik secara dusia itu telah berakhir (Mariam Daris Badrulzaman 1,Ibid., h. 113).
80Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, terdapat dua perdapat tentang penyerahan hak milik secara dusia sebagai jaminan, apakah merupakan hak milik sempurna (volwaardig eigendomsrecht) atau terbatas ( beperkt eigendomsrecht), yaitu: pertama, pendapat yang kuno, yang mengemukakan bahwa hak milik dusia adalah sempurna, berdasarkan perjanjian dusia itu merupakan perjanjian obligatoir.
Pendapat ini dianut pada zaman Romawi dan disebut ducia cum creditore. Ada yang menerima pendapat ini dengan catatan bahwa hak milik dalam hal ini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Bagi pemilik dusia, hak milik digantungkan pada syarat putus. Hak milik sempurna baru lahir jika pemberi dusia tidak memenuhi kewajiban (wanprestasi). Sedangkan bagi
155 c. Parate eksekusi;
Pemilik dusia mempunyai hak melakukan parate eksekusi, artinya berhak menagih piutangnya dari hasil penjualan benda dusia tanpa executoriale titel.
d. Hak preferen;
Pemilik dusia mempunyai hak preferen, artinya jika pemberi jaminan dusia pailit, maka benda dusia tidak jatuh ke dalam boedel pailit. Pemilik jaminan dusia mempunyai kedudukan separatis , artinya berhak menjual benda dusia untuk pelunasan piutangnya.
Ny. Frieda Husni Hasbullah membedakan ciri-ciri dusia secara umum dan ciri-ciri dan sifat-sifat jaminan dusia berdasarkan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurutnya ciri-ciri dusia adalah:81
a. Accessoir;
Timbulnya dusia didahului dengan perjanjian pinjam meminjam uang atau perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian pokok.
Perjanjian pokok ini dilanjutkan dengan mengadakan perjanjian tambahan atau ikutan berupa perjanjian dengan jaminan dusia tersebut sebagai jaminan pelunasan hutang. Jika perjanjian pokok (perjanjian pinjam meminjam uang/hutang piutang) lunas, maka dengan sendirinya perjanjian jaminan dusia juga berakhir. Jadi, lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan ( dusia) tergantung pada perjanjian pokoknya.
b. Sebagai jaminan pelunasan hutang;
Dalam penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan ( dusia), meski terjadi pemindahan hak milik, tetapi tidak menciptakan hak milik sebenarnya melainkan hanya merupakan hak milik terbatas sampai debitor melunasi hutangnya kepada kreditor. Jadi penyerahan/
pemindahan hak milik kepada kreditor hanya sebagai jaminan pelunasan hutang dalam perjanjian pokok saja. Jika debitor melunasi hutangnya, maka hak milik atas benda (penguasaannya masih ada
pemberi dusia, hak milik sempurna digantungkan pada syarat tangguh. Jika pemberi dusia memenuhi kewajibannya melunasi hutang, maka demi hukum benda dusia kembali menjadi hak miliknya; kedua, pendapat yang modern, yang mengemukakan bahwa perjanjian penyerahan hak milik secara dusia sebagai jaminan, merupakan hak milik terbatas. Perjanjian ini hanya melahirkan hak jaminan dan bukan hak milik (Mariam Darus Badrulzaman I, Ibid., h. 114).
81Ny. Frieda Husni Hasbullah 2, Op.Cit., h. 61 – 63.
pada debitor) akan kembali kepada debitor sebagai pemilik asli dari benda dusia tersebut.
c. Constitutum Possessorium;
Dalam perjanjian dusia benda dusia tetap dikuasai oleh debitor meskipun hak milik atas benda tersebut telah berpindah kepada kreditor. Keadaan seperti ini dikonstruksikan sebagai penyerahan hak milik dengan melanjutkan penguasaan atas benda jaminan, yaitu yang dikenal dengan sebutan constitutum poccessorium.
d. Droit de Preference;
Penerima dusia (kreditor) mempunyai hak preferen karena mempunyai kedudukan separatis, artinya ia berhak menjual benda dusia sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepadanya lebih dulu dari kreditor-kreditor lainnya.
e. Parate Executie (Eigenmachtige Verkoop);
Karena dusia merupakan jaminan kebendaan, sehingga kreditor memiliki kedudukan separatis dan mempunyai hak preferen, maka kreditor sebagai pemegang atau penerima dusia berhak melakukan parate eksekusi (eigenmachtige verkoop) dan menagih piutangnya dari hasil penjualan benda yang dijaminankan tanpa suatu executoriale titel.
Sedangkan ciri-ciri dan sifat-sifat Jaminan Fidusia berdasarkan Undang- Undang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:82
a. Jaminan Kebendaan (Zakelijkezekerheid/security right in rem);
Jaminan Fidusia merupakan jaminan kebendaan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu Pasal 1 angka 2; Pasal 11; Pasal 12; dan Pasal 20. Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa jaminan dusia merupakan hak jaminan atas benda yang dikaitkan dengan hak yang didahulukan atau diutamakan yang dimiliki oleh penerima dusia terhadap kreditor lainnya.83 Kemudian dalam Pasal 11 dan Pasal 12 ditentukan
82Ibid.,h. 74 – 82.
83Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia).
157 tentang kewajiban penda aran benda yang dibebani dengan jaminan
dusia pada Kantor Penda aran Fidusia.84 Selanjutnya dalam Pasal 20 ditegaskan bahwa jaminan dusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan dusia dalam tangan siapapun.85 Dari ketetuan pasal-pasal tersebut yang mengkaitkan jaminan dusia dengan hak yang didahulukan/diutamakan, kewajiban menda arkan benda yang dibebani dengan jaminan dusia pada Kantor Penda aran Fidusia, serta adanya sifat hak jaminan dusia yang mengikuti benda yang dijaminkan di tangan siapapun benda tersebut berada (sifat droit de suite), maka dapat disimpulkan bahwa jaminan dusia merupakan jaminan kebendaan.
b. Accessoir;
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian tambahan atau ikutan dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian utang piutang, ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.86 Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a disebutkan akibat dari kedudukan Jaminan Fidusia sebagai perjanjian ikutan dari perjanjian pokok adalah hapusnya Jaminan Fidusia karena hapusnya perjanjian pokok.87
84Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib dida arkan {Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia}. Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku {Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia}. Penda aran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Penda aran Fidusia {Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia}.
Untuk pertama kali, Kantor Penda aran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia {Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia}. Kantor Penda aran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman {Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia}. Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Penda aran Fidusia untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan Presiden {Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Jaminan Fidusia}.
85Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia).
86Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi (Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia).
87Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. hapusnya utang yang dijamin dengan dusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia {Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia}. Sesuai dengan ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan Fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan,
c. Droit de Suite/Zaaksgevolg;
Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Penjelasannya. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia ditegaskan bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Kemudian dalam Penjelasannya ditegaskan bahwa ketentuan Pasal 20 ini merupakan pengakuan prinsip droit de suite
88
d. Droit de Preference;
Penerima Fidusia mempunyai kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lainnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.89 Selanjutnya dalam Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak yang didahulukan tersebut adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan
maka dengan sendirinya Jaminan Fidusia yang bersangkutan menjadi hapus. Yang dimaksud dengan hapusnya utang antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat kreditor {Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia}.
88Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia (Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia). Ketentuan ini mencakup prinsip droit de suite yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem) (Penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia).
89Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia).