• Tidak ada hasil yang ditemukan

George Berkeley (1685-1753) a. Riwayat Hidup Berkeley

BAB VI FILSAFAT ISLAM

B. Empirisme

3. George Berkeley (1685-1753) a. Riwayat Hidup Berkeley

3. George Berkeley (1685-1753)

yang berasal dari objek, sedangkan idea adalah pengalaman yang dicerna oleh subjek. Sedangkan Berkeley berpendapat bahwa pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman indrawi menurut Locke diartikan sebagai pengalaman batiniah oleh Berkeley yang disebabakan langsung oleh Tuhan. Dengan kata lain, persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman. (Zainabzilullah, 2013).

c. Karya Berkeley

Sekilas pandangan Berkeley tampak seperti rasionalisme karena memutlakkan subjek.

Namun jika diperhatikan lebih lanjut, pandangan ini termasuk empirisme, karena pengetahuan subjek diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman- pengalaman itu adalah pengalaman batin. Dengan menegaskan tentang adanya sesuatu sama dengan pengertiannya dalam diri subjek, Berkeley berpandangan idealistis, yang oleh dirinya sendiri disebut imaterialisme, sebab dia menyangakal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia. Dia tidak percaya adanya dunia luar, sebaliknya beranggapan bahwa dunia adalah idea-idea kita.

Keyakinan Berkeley yang asasi adalah ;

1) Segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran, 2) Tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi,

3) Tiada perbedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati,

4) Tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadi- pribadi atau tokoh-tokoh yang berfikir.

Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan.

Menurut dia segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan (observasi). Pengamatan identik dengan gagasan yang diamati. Pengamatan bukan terjadi karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain. Contoh, pengamatan jarak atau ukuran luas antara subjek dan objek yang diamati. Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan dan pengamatan raba (pengamatan saya hanya menunjukkan bahwa ada warna meja, peraba saya menunjukkan bentuk; kasar dan halusnya). Sebenarnya penglihatan saya tidak mengamati jarak atau ukuran keluasan antara meja itu dengan saya. Penglihatan tidak menceritakan berapa jauh jarak antara saya dan barang yang saya amati. Pengalaman dan kebiasaanlah yang menjadikan saya menduga bahwa ada jarak, ada ukuran keluasan, atau ada ruang di antara saya dan benda yang diamati.

Jika seseorang mengamati sesuatu, padanya ada gambaran tentang sesuatu, akan tetapi gambaran itu tidak menggambarkan suatu realitas yang ada di luar kita. Gambaran itu tidak mencerminkan sesuatu di luar pengamatan. Di luar pengamatan tiada benda yang konkrit, yang ada hanya pengamatan yang konkrit, yang ada adalah “hal diamati” itu. “berada” berarti “diamati”.

Realitas hal-hal yang diamati terletak hanya dalam hal ini, bahwa hal-hal itu diamati. “Hanya pengalamanlah yang adaObjek itu adalah gagasan-gagasan atau idea-idea., yaitu idea-idea yang disebababkan karena pengamatan indera yang langsung dan yang disebabkan karena pengamatan batiniah, serta pengamatan yang ditambahkan ingatan dan fantasia tau khayalan, dengan penggabungan-penggabungan bagian-bagian gambaran yang diamati.

Segala sesuatu yang kita amati adalah konkrit. Seperti; kita tidak dapat memikirkan keluasan (ruang) tanpa warna, bentuk, isi. Juga kita tidak dapat memikirkan gerak tanpa kecepatan dan kelambatan. Jadi, hanya gagasan-gagasan yang konkritlah, yang dapat dipakai untuk memikirkan gagasan-gagasan konkrit lainnya yang bermacam-macam itu. Apa yang berada secara umum hanya berada sebagai nama saja.

Pengertian Locke mengenai substansi, menurut Berkeley hanya merupakan hipotesa yang sewenang-wenang dan berlebihan. Substansi tidak lebih dari penggabungan yang tetap dari gagasan-gagasan. Seandainya kita meniadakan segala sifat yang ada pada sesuatu, maka tidak aka nada sesuatu lagi. Sebab sifat-sifatlah yang membentuk isi sesuatu tadi. Sesuatu yang kita kenal sebenarnya adalah kelompok sifat-sifat yang dapat diamati. Contoh, sebuah meja, terdiri dari bentuknya yang tampak, kerasnya yang dapat diraba, dan suaranya yang dapat didengar jika ditarik dari tempatnya. Sifat-sifat ini di dalam pengalaman memiliki sekedar hubungan yang menjadikan akal sehat menganggapnya sebagai dimiliki sesuatu. Akan tetapi konsep tentang sesuatu hal atau substansi tidak menambah apa-apa kepada sifat-sifat yang diamati, karena itu tidak perlu mutlak.

Realitas hal-hal yang diamati terletak dalam hal itu, bahwa ia diamati. Maka sifat-sifat yang dapat diamati itu tidak memiliki dasar yang objektif berada di luar kita. Dunia di luar kita adalah jumlah urut-urutan gagasan kita. Jika dunia itu kita terima sebagai berada, maka kita tersesat. Kebenaran pengetahuan kita tidak didukung oleh dunia di luar kita.

Realitasnya terdiri dari hal ini, bahwa ia “diamati”, jadi harus ada yang mengamatinya.

Yang mengamati adalah “aku” atau subjek pengamatan. Gagasan sebagai ketentuan semata-mata, tergantung kepada adanya “aku”. Pengenalan tentang “aku” yang diberikan dalam tiap pertimbangan itu sendiri bukanlah gagasan atau idea, melainkan suatu pengetahuan yang mempunyai macamnya sendiri, suatu pengertian. “Aku” ini adalah tunggal, tak berjasad, sesuatu yang berdiri sendiri dan bekerja sendiri, yang mempunyai kecakapan mengamati dan menghendaki.

Hanya pengamatan dan mengamatilah yang ada. Oleh karena itu, kausalitas dalam arti yang sebenarnya hanya dimiliki oleh substansi rohani. Kausalitas dalam dunia benda adalah ini, bahwa gagasan-gagasan tertentu diamati secara berturut-turut. Roh itulah sebab yang sebenarnya dari segala aktifitas sendiri.

Gagasan-gagasan atau idea-idea bukanlah hasil subjek yang mengamati sendiri.

Pengamatan yang sebenarnya didesakkan kepada roh dalam suatu tertib tertentu. Satu-satunya sebab yang menyebabkan pendesakan itu ialah substansi rohani yang tertinggi, yaitu Allah. Allah telah memberikan kepada roh manusia pertunjukkan tentang dunia benda sebagai suatu susunan

yang terdiri dari tanda-tanda, di dalamnya ia berfirman kepada kita tanpa memerlukan penghubung dari dunia yang nyata di luar kita. (Bertens menggambarkannya sebagai pemutaran film yang dilakukan Allah di dalam batin kita).

Ilmu pengetahuan Alam mengajar kita mengerti akan tanda-tanda itu, serta menemukan peraturan pertunjukannya. Bagi kesadaran kita segala sesuatu di dalam alam berjalan menurut hukum dan peraturan. Akan tetapi segala hukum itu tidak perlu mutlak, sebaba hukum-hukum hanya mendapat jaminannya dalam kehendak Allah, yang setiap kali dapat mendobraknya dengan suatu mukjizat.

Dunia sebagai gagasan bukan hanya diberikan kepada kesadaran saya tetapi juga kepada kesadaran orang lain. Oleh karena itu, dunia berlangsung ada, juga seandainya pengamatan saya atau pengamatan orang lain untuk sementara waktu atau untuk selamanya berhenti. Sekalipun realitas dunia ada pada pengamatan kita, namun realitas dunia itu tidak tergantung pada pengamatan kita. Juga lepas daripada segala pengamatan manusia, dunia tetap berada, yaitu di dalam kesadaran Allah yang kekal, Allah senantiasa mengamati segala sesuatu. Dipertahankannya dunia dalam adanya yang berlangsung mendukung aktifitas Allah sebagai pencipta yang berlangsung terus tiada hentinya. Oleh karena pengamatan Allahlah, maka pohon-pohon, gunung- gunung, batu-batu, dan lain-lainnya berada secara terus-menerus seperti didugakan oleh akal sehat.

Bagi Berkeley, keyakinan ini adalah suatu bukti yang kuat tentang adanya Allah. Seolah-olah Allah diminta pertolongannya untuk menyelamatkan kenyataan dunia ini, (Zainab, 2013).

1. Sumbangan Filsafat Empirisme terhadap Ilmu Pengetahuan, Kurikulum dan