BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Hasil analisis data
Pada bab ini penulis akan menguraikan secara mendetail hasil penelitian roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Tentang Fenomena Feodalisme Terhadap Perempuan yang terdapat di dalamnya, juga membuktikan secara kongkrit hasil penelitian yang menjadi target penelitian.
1. Gambaran Fenomena Feodalisme Terhadap Perempuan dalam Roman Gadis PantaiKarya Pramoedya Ananta Toer.
Roman Gadis Pantai merupakan roman keluarga. Dalam roman ini terdapat sejumlah gambaran fenomena feodalisme terhadap perempuan dalam kehidupan tokoh utama yaitu Gadis Pantai. fenomena tersebut antara lain : fenomena kepriyayian / kebangsawanan yang merupakan sifat yang melekat pada Bendoro, sebagai seorang dari kaum bangsawan ia merasa bisa melakukan apa saja terhadap kaum rakyat jelata, termasuk dengan menjadikan Gadis Pantaiyang saat itu masih berumur 14 tahun sebagai istri percobaan bukan istri yang sah.
Selain itu gambaran fenomena penindasan yang dialami oleh Gadis Pantai juga terlihat setelah ia menikah dan hidup di dalam rumah Bendoro.
Manusia ditakdirkan dengan keberadaan yang telah ditentukan adanya, walau ikhtiar merupakan jalan penengah. Namun, apakah yang harus dilakukan jika ikhtiar telah mencapai puncaknya, hanya kepasrahanlah menjadi pengembali semuanya.
29
Dalam roman tersebut digambarkan pula tentang pengekangan hak Ibu terhadap anaknya yang terjadi terhadap Gadis Pantai, yang dipisahkan secara paksa dengan anaknya yang baru dilahirkannya. Ketiga fenomena di atas adalah yang menjadi fokus pembahasan dari roman Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer.
a. Fenomena kepriyayian
Cerita Gadis Pantai, saat ia belum menikah ia memiliki kelas sosial yang rendah, kemudian setelah ia menikah dengan sosokBendoroPriyayi, ia seolah naik derajat menjadi kelas sosial yang terpandang di kampungnya. Namun, kelas sosial tersebut hanya berlaku ketika ia ada di lingkungan yang lebih rendah, lain lagi jika ia tengah berhadapan denganBendoro, maka ia menyebutkan diri sebagai Sahaya. Kata-kata “Sayaha Bendoro” “Sahaya Mas Nganten”sering muncul saat sosokmbokyaitu wanita paruh baya yang menjadi bujang di rumahnya saat berbicara denganBendoroatauMas Nganten. Maka, kata-kata itu pula lah yang dipakai oleh Gadis Pantai saat ia berhadapan dengan suaminya. Hal seperti itu bisa dikatakan betapa kelas sosial sangat kental dalam kehidupan yang diuraikan oleh Pram dalamGadis Pantai. berikut kutipan fenomena kepriyayian dalam Roman Gadis Pantai:
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an.”
“Dia pembesar, nak, orang berkuasa. Sering dipanggil Bendoro bupati.
Tuan besar residen juga pernah datang kerumahnya, nak. Semua orang tahu.” (Gadis Pantai, hlm : 14)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa bangganya orang tua Gadis Pantai karena anaknya akan menikah dengan seorang Bendoro bupati seorang dari kaum bangsawan itu terlihat dari dua kali ia pernah naik haji entah berapa kali ia khatam Qur’an selain itu tuan besar residen pernah datang kerumahnya, hal itu menunjukkan pada zaman itu hanya orang-orang dari kaum bangsawan yang dapat naik haji dan khatam Qur’an.
Para priyayi harus dihormati dan diperlakukan seolah-olah raja oleh para kelas yang lebih rendah, hal ini tercermin dalam kutipan berikut :
”Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, hal. 27)
“Kau harus ingat, ingat mBok,” pemuda yang tergarang di antara semuanya menghantam, “kami adalah kerabat terdekat
(Bendoro=priyayi). Orang-orang kampung yang tinggal di sini, kapan saja bisa pergi buat mati kelaparan di luar sana. Kami tinggal di sini. Tinggal tetap di sini, biar seribu orang kampung keluar dari sini setiap hari, mengerti?” (Gadis Pantai, hal. 113)
Kutipan di atas sebenarnya hanya salah satu dari beberapa hal yang dilukiskan oleh penulis dalam romannya ini. Sebuah bentuk hubungan dominasi sosial yang dipegang oleh kelompok priyayi dan keluarganya. bentuk dominasi kelompok priyayi yang dilukiskan oleh penulis di atas, diartikan sebagai sebuah kelas yang mengontrol cara produksi, dalam kekuasaan. Keberadaan tersebut yang dalam roman ini digambarkan dalam bentuk kelompok priyayi ataupun marsosé sebagai institusi kepolisian di masa kolonial yang mengontrol kehidupan masyarakat, semakin membelenggu dan memunculkan kelompok yang tersubordinasi, yang dalam roman ini dilukiskan dalam kelompok nelayan dan
para bujang yang setia menjadi pembantu Bendoro (priyayi) di rumahnya dengan upah yang minim.
Dan tugas bagi orang yang kedudukannya lebih rendah adalah mengabdi kapada para priyayi, seperti dalam kutipan berikut:
”Apa salahku?”
”Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”
”Lantas Mbok, lantas?”
”Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat
jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”
”Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?”
”Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”
”Jadi apa yang mesti aku perbuat?”
”Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada Bendoro...” (Gadis Pantai, Hlm. 99).
Para priyayi menganggap, orang dengan kelas lebih rendah dari dirinya adalah miliknya sepenuhnya. Oleh karena itu, ia berhak mengatur kehidupan mereka. Seperti dalam kutipan berikut:
”Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti kau kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.”
“Sahaya Bendoro” (Gadis Pantai, Hlm. 136).
“Mengapa bapak selalu dibelakangku? Bukankah bapak masih bapakku?”
“tapi orang-orang jelas berubah terhadap aku. Bahkan bapak sendiri.
Seakan mereka pada menuding padaku : pergilah lekas, pulang kau ke kota.”
“tidak benar. Tidak benar.” Bapak mengulang-ulang dengan jerit tertahan.
“aku datang dan tak seorang pun turun ke laut.”
(Gadis Pantai, hal : 175-177)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa bapak Gadis Pantai pun merasa enggan terhadapa anaknya yang sudah menjadi bagian dari keluarga bangsawan namun sebaliknya gadis pantai merasa risih dengan keadaan tersebut setelah dua tahun ia meninggalkan kampungnya dan tinggal di kota menjadi istri seorang bangsawan ia merasa semua orang telah berubah terhadapanya. Ia merasa sangat dihormati dan dihargai sampai-sampai tidak ada yang turun ke laut untuk mencari ikan, mereka semua merayakan kedatangan Gadis Pantai yang telah menjadi bagian dari keluarga Bendoro, hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa kaum bangsawan sangat dihormati dan dihargai siapapun itu dan bagaimananpun asal usulnya, begitupun yang terjadi pada Gadis Pantai. ini menunjukkan status social sangatlah penting.
Gadis Pantai bukan lagi anak kecil yang sering berlari-larian di pinggir pantai kini ia sudah menjadi istri pembesar, saat pulang ke kampung halamannya iapun sangat dihormati iapun dipanggil dengan sebutan Bendoro putri.
b. Fenomena penindasan
Penindasa adalah suatu hasrat yang disengaja dan disadari untuk menyakiti seseorang dan membuatnya mengalami tekanan. Tekanan itu diciptakan bukan hanya melalui apa yang benar-benar terjadi melainkan juga melalui rasa takut akan apa yang bisa terjadi. Taktik yang dipakai bisa mencakup ejekan kasar, kritikan tanpa henti, penghinaan, gosip, dan tuntutan yang tidak masuk akal.
DalamGadis Pantai, seorang perempuan yang kedudukannya sebagai seorang istri dan berasal dari keluarga yang tradisional, ia menempati kedudukan yang inferior atau memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki,
karena tradisi, dia berperan sebagai orang yang mengurus rumah tangga, meskipun ia sendiri memiliki pelayan. Bentuk penindasan yang terjadi Seperti terlihat pada kutipan berikut :
“kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?”
“apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang.
“kami bukan bermaksud menghina agus-agus. Bukan, ada kesulitan bersama, agus-agus. Siapa yang tahu uang itu dipindahkan? Siapa bakal tidak kena murka besok kalau bendoro mengetahui? Semua kena!”
“persetan!” seorang lain lagi mendesis.”dikiranya kami ini malingkelaparan dari kampung nelayan?”
Gadis pantai teresdan-sedan.
“kami ini anak sekolahan, tahu pengajaran.”
“dituduh bandit.”
“kalau air mata bisa tebus hinaan ini, betapa murahnya itu!” (Gadis Pantai, hlm : 111-112).
Kutipan di atas menunjukkan penindasan yang dilakukan para agus-agus kerabat Bendoro dengan menggunakan kata-kata yang menyakiti dan merendahkan Gadis Pantai dan pelayan tua melalui penghinaan, bahwa sebagai seorang yang berasal dari kaum bangsawan tidak mungkin mereka mencuri uang belanja yang telah diberikan Bendoro kepada gadis pantai dan secara tidak langsung mereka telah menuduh Gadis Pantai dan pelayannya yang merupakan orang kampung, orang pantai yang tidak bersekolah yang telah mencuri uang tersebut.
Dan pada dialog berikut :
”Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa.
Tidak mungkin.” (Gadis Pantai, Hlm. 127).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hanya anak priyayi yang dapat memerintah dan melakukan apapun sesukanya, sedagkan orang kampung hanya untuk diperintah.
“Jadi mas nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar bangswan juga. Di Demak sudah banyak gadis bangsawan menunggu. siapa saja boleh bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Gadis Pantai, hlm : 132)
Lalu :
”Perjaka? jadi aku ini apanya?”
”Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” (Gadis Pantai, hlm : 155).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa selama ini Gadis Pantai yang merupakan kaum rakyat jelata hanya dijadikan istri percobaan oleh Bendoro, dan pernikahan Bendoro yang sebenarnya adalah menikah dengan gadis yang sederajat dengannya yaitu dengan wanita yang berasal dari kaum bangsawan.
Disini menunjukkan bahwa wanita dari kaum bangsawan hanya bisa menikah secara sah dengan sesamanya begitupun sebaliknya dan kehadiran Mardinah membuat Gadis Pantai merasa tertekan apalagi Mardinah sama sekali tidak menghargai dirinya.
“Setelah pelayan tua diusir Bendoro, ia mulai kerjakan sendiri segala- galanya di dalam gedung ini.” (Gadis Pantai, hlm : 242)
Hal tersebut membuktikan bahwa kedudukan seorang istri tidak akan jauh dari mengurus rumah tangga. Ini menunjukkan bentuk penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan. Namun jika kita melihat perkembangan saat ini, tentu jauh berbeda karena perempuan dan laki-laki saat ini kedudukannya adalah sama.
Penindasan terhadap perempuan juga terlihat pada kutipan berikut :
“kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan padamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya.
Kau sendiri ini…,” Bendoro mengulurkan kantong berat brisikan mata uang… pesangon. “carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” (Gadis Pantai, hlm : 257)
Kutipan tersebut menunjukkan bentuk penindasan dengan penghinaan yang dilakukan oleh Bendoro terhadap Gadis Pantai dan bapaknya, hal itu terlihat saat Bendoro memberikan uang kerugian kepada bapak Gadis Pantaidan menyuruhnya untuk melupakan segala yang pernah Gadis Pantaialami dirumah Bendoro. Sifat feudal jelas terlihat jelas pada diri Bendoro yang sombong dan selalu merendahkan orang yang tidak sederajat dengannya.
c. Fenomena pengekangan hak ibu terhadap anaknya
Pengekangan hak ibu terhadap anaknya terlihat pada kutipan berikut:
“Anak ini tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai Memekik rintihan.
“anak itu? Apa guna kau pikirkan ? banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”
“mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”
“lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.”
Gadis Pantaitersedan-sedan.
“sahaya harus berangkat, bendoro, tanpa anak sahaya sendiri?”
“aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya anak.” (Gadis Pantaihlm : 258)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Gadis Pantai tidak diberi hak untuk merawat anaknya dan menganggap ia tidak pernah menikah dan memiliki seorang anak hal ini menunjukkan bahwa Gadis Pantaihanyalah salah satu dari beberapa ibu yang telah diceraikan oleh Bendoro dan dipisahkan dari anak mereka.
“kau bijaksana, nak. Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu. Tidak patut! Tapi cucuku itu, nak, dia bisa jadi priyayi, tidak seperti kita” (Gadis Pantai, hlm : 260)
Hal di atas menunjukkan bahwa walaupun Gadis Pantai dipisahkan dari anaknya, tapi ada kesenangan tersendiri yang dirasakan oleh bapaknya Karena setidaknya cucunya tidak menjadi orang kebanyakan sepertinya.
“Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhiasan, bukan cincin, bukan kalung yang bisa dilemparkan pada setiap orang.”
“Ayampun bisa membela anaknya, Bendoro, dan dengan bayi dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu.
“Tinggalkan anak itu! (Gadis Pantai, hlm ; 263)
Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana Gadis Pantai begitu menginginkan anaknya, ia tidak sedikitpun merasa takut terhadap Bendoro dengan mengangkat muka, menantang mata Bendoro, ia menggendong anaknya.
Kutipan yang menunjukkan keberanian Gadis Pantai yang tidak ingin dipisahkan dengan anaknya terlihat dalam dialog berikut :
“semua kutinggalkan di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri,” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak.
“Maling!” bentak Bendoro.”Ayoh. lepaskan bayi itu dari gendongannya.
Kau mau kupanggil polisi? Marsose?”
“Aku Cuma bawa bayiku sendiri. Bayiku! Bayi yang kulahirkan sendiri.
Dia anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Lepaskan!” (Gadis Pantai, hlm : 264
“Ia tak tahu kepala tongkat Bendoro mengucurkan darah pada bibirnya.
Bayi itu tahu-tahu telah lepas dari tubuhnya, dan selendang itu tergantung kosong di depan perutnya.” (Gadis Pantai, hlm : 264)
Kutipan di atas menunjukkan betapa Bendoro dengan ganasnya memisahkan antara Gadis Pantaidan anaknya.
Ketidakmampuan Gadis Pantaimelawan Bendoro untuk mempertahankan bayinya membuat dirinya sangat terpukul dan terkekang karena tidak bisa mendapatkan haknya sebagai seorang ibu untuk mengasuh dan membesarkan anaknya kandungnya.
Ketidakberdayaanya membuat ia tidak dapat melakukan apa-apa dan sebaliknya karena kekuasaan Bendoro ia dapat melakukan apa saja termasuk memisahkan Gadis Pantai dengan bayi yang baru dilahirkannya. Kekuasaan memang selalu membuat seseorang untuk melakukan apa saja yang diinginkan tetapi kita juga harus menyadari bahwa kekuasaan tertinggi adalah milik Allah SWT.
2. Struktur Genetik Roman “Gadis Pantai”
Roman Gadis Pantai mengungkapkan pandangan pengarang yang masih melihat penindasan dan pengekangan yang dilakukan oleh kaum bangsawan / priyayi terhadap perempuan yang berasal dari kaum rakyat biasa. Gadis Pantai tidak sempat menikmati kebebasannya diumurnya yang masih belia ia terpaksa harus menuruti keinginan orang tuannya untuk dipersunting dengan seorang Bendoro. Mulanya, perkawinan itu memberi prestise baginya dikampung halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya, menjadi Bendoro putri. Disini pengarang menunjukkan bagaimana kehidupan para kaum bangsawan
yang dipenuhi dengan kemewahan dan kekuasaan, Gadis Pantai yang dulunya hidup dipinggiran pantai dan hidup alakadarnya, kini bisa merasakan menjadi seorang istri pembesar. Tapi ternyata itu tidak berlangsung lama. Ia terperosok kembali ketanah. Orang yang telah memilikinya, tega membuangnya setelah ia melahirkan bayi perempuan.
Dalam roman ini pengarang sengaja menyinnggung para penguasa saat itu dengan terang-terangan pengarang menunjukkan bagaimana sifat feodal yang melekat pada diri mereka, perempuan sebagai makhluk yang lemah dijadikan sebagai sasaran mereka, perempuan yang pada saat itu hanya sebagai pengurus rumah tangga yang derajatnya tentu jauh lebih rendah dengan kaum laki-laki.
Roman ini menyiratkan ide atau gagasan pengarang terhadap keterikatan yang dialami tokoh perempuan. Perempuan perlu mendapatkan tempat yang sejajar sehingga kesetaraaannya dapat terwujud.
NO
Aspek feodalisme terhadap perempuan
Halaman Frekuensi
Kutipan Dialog 1.
2.
3.
Fenomena kepriyayian
Fenomena penindasan
Fenomena pengekangan hak ibu terhadap anaknya
Hlm : 14, 27, 99, 136, 169, 175.
Hlm : 111-112, 127, 132, 155, 242, 252
Hlm : 258, 260, 263, 264
6
6
4