• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan

Dalam dokumen UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR (Halaman 47-51)

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

masa itu. Laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Sang Bendoro bebas mengambil gadis manapun, siapapun dari kelas bawah dan menjadikannya Mas Nganten, Bendoro pun berkuasa mencampakkannya begitu saja dan mencari gadis lain untuk dijadikannya Mas Nganten, selama itu pula Bendoro dianggap masih perjaka sebelum ia menikahi gadis yang sederajat atau sekelas dengannya. Dan perilaku itu terus berlangsung hingga ia menikahi seorang gadis yang sederajat dengannya.

Pada akhirnya pula, ketika para Mas Nganten melahirkan seorang anak, ia langsung menceraikannya dan mengambil anaknya itu. Ia memisahkan ibu dengan anak. Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap seorang Bendoro ketika ia tahu bahwa Gadis Pantaimelahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia. roman ini cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior di hadapan laki- kali.Tentu saja, dari situ, roman ini mengandung banyak gagasan mengenai emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya yang patriarkis.

Jadi secara keseluruhan gambaran fenomena feodalisme terhadap perempuan yang ditampilkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam hasil karyanya yakni Gadis Pantai bila dirunut dari aspek kepriyayian, penindasan dan pengekangan hak ibu terhadap anaknya secara totalitas dapat penulis gambarkan 16 kali kutipan berdasarkan halamannya yang mana satu sama lain kutipan

tersebut membentuk terstrukturnya roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

Tidak dapat dipungkiri, dalam roman ini Pramoedya Ananta Toer mampu bertutur dengan lancar. Bahasanya yang relatif sederhana dapat dengan mudah dimengerti oleh siapa saja. Meskipun pada dasarnya gaya sastra Pramoedya adalah gaya sastra konvensional, tapi di tangan Pramoedya, gaya yang biasa itu menjadi luar biasa.

Ketelitiannya menggarap detail dan menghidupkan tokoh-tokohnya membuat pembaca berhasil dipikat oleh nasib dan perjalanan hidup tokoh- tokohnya. Meski mengangkat masalah pertentangan kelas akibat adanya pelapisan sosial dalam masyarakat tradisional, roman ini tidak menghadirkan perlawanan massal. Tokoh yang dihadirkan mewakili dirinya sendiri, bahkan di akhir cerita sang tokoh utama tidak muncul sebagai pemenang. Pelajaran yang paling mudah diambil adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak boleh membeda-bedakan sesama manusia, sebab manusia memiliki derajat yang sama di mata Tuhan.

Roman Gadis Pantai ini memang bukanlah sebuah dokumen sejarah, tetapi paling tidak ia dapat menjadi saksi atas peristiwa sejarah dan sosial, serta perkembangan masyarakat Jawa pada awal abad ke-20. Akhirnya, tanpa mempersoalkan kontroversi mengenai diri pengarangnya, roman ini telah berusaha memberikan kesadaran kepada masyarakat akan tanggung jawabnya sebagai manusia untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan dalam usahanya memperbaiki kehidupan.

Dari penganalisaan secara mendalam maka penulis dapat pula menyimpulkan bahwa karya Pramoedya Ananta Toer dalam roman Gadis Pantai merupakan gambaran dari kehidupan nyata yang melekat pada diri sebagian orang yang selalu melihat orang dari strata sosialnya.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Roman ini berkisah mengenai relasi antara Mas Nganten dengan seorang pembesar yang disebut dengan Bendoro, ia merupakan pembesar Jawa. Roman Gadis Pantai dilihat dari aspek fenomena feodalisme terhadap perempuan dapat diketahui melalui tiga kriteria yaitu : penindasan, pengekangan hak ibu terhadap anaknya dan kepriyayian. Sosok Gadis Pantai anak seorang nelayan yang mewakili rakyat biasa, mendapatkan perlakuan semena-mena dari seorang Bendoro, yang mewakili golongan bangsawan yang tidak lain adalah suaminya.

Sistem feodalisme pada saat itu mengantarkan pada kesengsaraan rakyat.

Kedudukan wanita dalam sebuah keresidenan yang megah dan terpandang dengan panggilan “Bendoro”, ternyata hanyalah sebuah ironi. Secara struktur genetik, roman Gadis Pantai menyiratkan ide atau gagasan pengarang terhadap keterikatan yang dialami tokoh perempuan.

Roman ini mungkin mewakilkan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat memilukan, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu.

B. Saran

Dengan hasil penelitian ini, dikemukakan beberapa saran diantaranya:

1. Sepatutnya hasil penelitian ini tidak hanya dijadikan bahan bacaan semata, tetapi juga dapat dijadikan pelajaran kepada kita semua untuk senantiasa tidak memandang seseorang dari strata sosialnya.

2. Kiranya dalam penelitian ini dapat memberikan motivasi begi penikmat sastra lainnya untuk senantiasa mengkaji aspek-aspek lainnya dalam sebuah novel ataupun roman, karya sastrawan berbakat lainnya, bagi para mahasiswa-mahasiswa calon sarjana jurusan Bahasa dans sastra Indonesia untuk senantiasa melakukan pengkajian semacam ini karena itu merupakan suatu bentuk apresiasi dalam menghargai suatau karya sastra.

44

DAFTAR PUSTAKA

Aryanti, Nur Kamri Kasim. 2011. “Unsur intrinsik novel Padang Bulan karya Andrea Hirata (Pendekatan Strukturalisme Murni). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar : Universitas Muhammadiyah Makassar

Azis, Siti Aida. 2012. Apresiasi prosa fiksi. Surabaya : Bintang Surabaya.

Damono, Supardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.

Debdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai pustaka Dialogkamboja.blogspot.com/2014/04/strukturalisme-genetik-goldmann.html Endraswara. 2003.Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,Teori, dan

Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Faruk. 1999 (a).Pengantar Sosiologi Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____ 1999 (b).Strukturalisme – Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.

http://www.scribd.com/doc/28949521/Skripsi-Analisis-Roman-Tenggelamnya- Kapal-Van-Der-Wijck-Karya-Hamka-Sebuah-Kajian-Religius (Diakses, 5/09/2014)

Iswanto. 2001. Teori Penelitian Sastra dalam perspektif srukturalisme genetik : Pustaka Pelajar

ml.scribd.com.doc/51204447/Analisis-Strukturalisme-Genetik-Roman-Namaku- Teweraut-Karya-Ani-Sekarningsih (Diakses, 7/06/2014)

Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press.

Rosdiyani, Yahya. 2011. Analisis fenomena sosial dalam novel Bassam karya Nashita Zain. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar : Universitas Muhammadiyah Makassar.

S. Sulistyowati. 1993. Novel “Sekayu” karya NH. Dini Suatu Tinjauan Struktural. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar : UNHAS.

Soedjiman, 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Universitas Indoenesia Soetarno. 1981. Peristiwa sastra indonesia. Widya Duta : Surakarta

Sosbud.kompasiana.com/2011/06/20/teori-struktural-genetik-dalam-penelitian- sastra-374543.html.(Diakses, 7/06/2014)

Stevi. 2013. Fenomena Sosial dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (suatu tinjauan sosiologi). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar : UNHAS.

Suyitno. 1986. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Gadis Pantai. Lentera Dipantara : Jakarta.

Yudha, 2008 http://www.geogle.ec.id. (Diakses, 10/05/2014) 46

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung pulau Jawa, pada tahun 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada pada sekolah kejuruan radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran Budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota lekra, organisasi sayap kiri Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karya korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menceritakan fiksi antara dia dan pemerintah Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di Cina. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang menbicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa- sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara

Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau disebelah Timur Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 desember 1979 dan mendaptkan surat pembebasan secara hokum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan Negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke kodim Jakrta Timur selama kurang lebih dua tahun. Selama masa itu dia menulis gadis pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri.

Ia juga menulis nyanyi sunyi seorang bisu (1995), dan arus balik (1995

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award tahun 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan ramon magsasay. mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai “jubir sekaligs algojo lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang” di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut ‘pencabutan’, tatapi mengingatkan

‘siapa Pramoedya itu’. Katanya. Banyak yang tidak mengetahui ‘reputasi gelap’

Pram dulu, pemberian penghargaan tersebut dikatakan sebagai suatu kcerobohan.

Tetapi dipihak lain, Mochtar lubis malah mengancam mengembalikan hadiah

pra-1965 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang ‘kelewat jauh’.

Semenjak orde baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di Koran.

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku perawan remaja dalam cengkeraman militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang, Semuanya di bawa kepulau Buru dimana mereka mengalami kekerasan seksual,. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik dipulau buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antar budaya; antara Belanda, Kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak juga dari tulisannya semi-otobiografi, dimana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit dirumahnya di Bojeng gede, Bogor, dan sedang dirawat dirumah sakit. Menurut laporan Pramoedya menderita

Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, buku dan angkatan muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan dimancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Dalam karyanya Pram banyak menceritakan tentang wanita yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaanan keadilan. Dalam Roman Gadis Pantai, Pram terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain adalah neneknya dari ibu, ia bernama Satimah.

Satimah adalah wanita yang dijadikan selir oleh kakeknya, Penghulu Rembang.Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah dienyahkan dari gedung tuannya.Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak kenal putus asa, rajin, dan seorang pekerja sejati.Ia dari keluarga miskin, meskipun miskin dia tetap menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan hadiah kecil.

Meskipun Pram tidak tahu banyak tentang neneknya namun dari situ, nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.

Judul Buku : Gadis Pantai

Penulis : Pramoedya Ananta Toer Penerbit : Lentera Dipantara Tahun terbit : Cetakan 1, Juli 2003

Cetakan 2, Maret 2005 Cetakan 3, Juni 2006 Cetakan 4, Maret 2007 Cetakan 5, Januari 2009 Cetakan 6, Februari 2010 Cetakan 7, September 2011 Tebal buku : 270 halaman

Desain buku : M. Bakkar dan Ong hari wahyu

Fenomena Feodalisme dalam Roman Gadis Pantai

“Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut dia lebih pemurah dari hati priyayi.” (Gadis Pantai: 266)

Kau harus ingat, ingat mBok,” pemuda yang tergarang di antara semuanya menghantam, “kami adalah kerabat terdekat (Bendoro=priyayi). Orang-orang kampung yang tinggal di sini, kapan saja bisa pergi buat mati kelaparan di luar sana. Kami tinggal di sini. Tinggal tetap di sini, biar seribu orang kampung keluar dari sini setiap hari, mengerti?” (Gadis Pantai, hlm : 113)

“Aku tak lihat orang membuat trasi lagi,” tutur Gadis Pantai.

“Trasi kita tak laku. Sedikit sekali pedagang datang kemari cari trasi kita,”

“Bukan salah kita. Kata orang-orang trasi kita dibawa ke kota sudah dicampur dengan lempung. Ya, banyak trasi penuh lempung di kota, bukan kita yang mencampuri.” tutur Bapak. (Gadis Pantai, hlm : 181)

“Tentu saja bukan kita. Kita bukan keturunan penipu, bapak. Di kota kudengar itu buatan seorang pedagang. Dia punya istri kedua dan ketiga di kampung nelayan dekat kota. Pedagang itu mengaku diri haji. Dia rusak trasi kita biar kampung istri-istrinya saja dapat laku.”tutur Gadis Pantai.

(Gadis Pantai, hlm : 181)

“Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya: beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya laki kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurag baik pada dia?”…(Gadis Pantai, hlm : 14)

“apakah semua keturunan pembesar begitu ?”

“begitu bagaimana mas Nganten ?”

“ya, begitu, seperti iblis.” (Gadis Pantai, hlm)

Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu : kini ia bukan anak bapaknya lagi, ia bukan anak emaknya lagi. Kini istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.”

“Ah, hanya orang kebanyakan dikawini dengan keris.”

(Gadis Pantai, hlm : 12)

“Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampong-kampung sepanjang pantai sini. Sama saja sepuluh tahun yang lalu, aku juga pernah datang ke kampungmu.

Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama, dimana terdapat banyak kotoran, orang-orang disitu kena murka Tuhan, rejeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (Gadis Pantai : 47)

“Kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan kepadamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri, ini….,” Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang… pesangon.”

Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” (Gadis Pantai, hlm : 257)

“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an.”

“Dia pembesar, nak, orang berkuasa. Sering dipanggil Bendoro bupati. Tuan besar residen juga pernah datang kerumahnya, nak. Semua orang tahu.” (Gadis Pantai, hlm : 14)

Pada aku ini, Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.” (Gadis Pantai, hal. 27)

”Apa salahku?”

”Salah Mas Nganten seperti sahaya, salah kita, berasal dari orang kebanyakan.”

”Lantas Mbok, lantas?”

”Kita sudah ditakdirkan oleh orang yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan orang rendahan. Kalau tidak ada orang-orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan.”

”Aku ini, Mbok, aku ini orang apa? rendahan? atasan?”

”Rendahan Mas Nganten, maafkan sahaya, tapi menumpang di tempat atasan.”

”Jadi apa yang mesti aku perbuat?”

”Ah, beberapa kali sudah sahaya katakan. Mengabdi, Mas Nganten. Sujud, takluk sampai tanah pada Bendoro...” (Gadis Pantai, Hlm. 99).

orang-orang jelas berubah terhadap aku. Bahkan bapak sendiri. Seakan mereka pada menuding padaku : pergilah lekas, pulang kau ke kota.”

“tidak benar. Tidak benar.” Bapak mengulang-ulang dengan jerit tertahan.

“aku datang dan tak seorang pun turun ke laut.”

(Gadis Pantai, hal : 175-177)

“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak pernah lihat duit?”

“Apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang.

“Kami bukan bermaksud menghina agus-agus. Bukan, ada kesulitan bersama, agus-agus. Siapa yang tahu uang itu dipindahkan? Siapa bakal tidak kena murka besok kalau bendoro mengetahui? Semua kena!”

“Persetan!” seorang lain lagi mendesis.”dikiranya kami ini malingkelaparan dari kampung nelayan?”

Gadis pantai tersedan-sedan.

“Kami ini anak sekolahan, tahu pengajaran.”

“Dituduh bandit.”

“Kalau air mata bisa tebus hinaan ini, betapa murahnya itu!” (Gadis Pantai, hlm : 111-112)

”Tidak mungkin orang kampung memerintah anak priyayi. Tidak bisa. Tidak mungkin.” (Gadis Pantai, Hlm. 127).

“Jadi mas nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari bendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya bendoro kawin benar-benar bangswan juga. Di Demak sudah banyak gadis bangsawan menunggu.siapa saja boleh bendoro ambil, sekalipun sampai empat.” (Gadis Pantai,hlm : 132)

Lalu :

”Perjaka? jadi aku ini apanya?”

”Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.” (Gadis Pantai, hlm : 155).

membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri ini…,” bendoro mengulurkan kantong berat brisikan mata uang… pesangon.

“carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” (Gadis Pantai, hlm : 257)

“Anak ini tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai Memekik rintihan.

“anak itu? Apa guna kau pikirkan ? banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”

“mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”

“lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.”

Gadis Pantai tersedan-sedan.

“sahaya harus berangkat, bendoro, tanpa anak sahaya sendiri?”

“aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya anak.” (Gadis Pantai hlm : 258)

“kau bijaksana, nak. Memang tak patut seorang ibu dibatalkan haknya sebagai ibu. Tidak patut! Tapi cucuku itu, nak, dia bisa jadi priyayi, tidak seperti kita”

(Gadis Pantai, hlm : 260)

“Murkailah sahaya ini, Bendoro. Bayi bukan perhiasan, bukan cincn, bukan kalung yang bisa dilemparkanpada setiap orang.”

“Ayampun bisa membela anaknya, Bendoro, dan dengan bayi dalam gendongannya ia melangkah cepat menuju pintu.

“Tinggalkan anak itu! (Gadis Pantai, hlm ; 263)

“semua kutinggalkan di kamar. Aku Cuma bawa anakku sendiri. Cuma anakku sendiri,” kakinya menyepak tapi bujang-bujang lain mendesak.

“Maling!” bentak Bendoro.”Ayoh. lepaskan bayi itu dari gendongannya. Kau mau kupanggil polisi? Marsose?”

“Aku Cuma bawa bayiku sendiri. Bayiku! Bayi yang kulahirkan sendiri. Dia anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Lepaskan!” (Gadis Pantai, hlm : 264)

1

Roman ‘Gadis Pantai’ menceritakan tentang seorang Gadis Pantai (namanya memang demikian, karena ia tidak memiliki nama) sebagai tokoh utama. Ia adalah gadis belia dari pesisir pantai utara Jawa Tengah, di sebuah kampung nelayan yang miskin, berlokasi di Rembang. Tak seperti perempuan pesisir pada umumnya yang berkulit hitam, Gadis Pantai ini berkulit putih bersih dengan mata sipit. Kecantikanya memikat hati seorang pembesar santri setempat yang tinggal di kota, yaitu seorang yang bekerja pada administrasi Belanda. Pembesar yang disebut ‘Bendoro’ itu tinggal di sebuah Gedung Besar di kota Rembang. Gadis Pantai yang baru berusia 14 tahun itu, dipaksa oleh Emak dan Bapaknya untuk menikah dengan Bendoro dengan harapan ia akan bahagia sekaligus mengangkat derajat Emak dan Bapaknya jika bersedia diboyong ke Keresidena atau Gedung Besar tempat tinggal Bendoro.

Pernikahan antara Gadis Pantai dengan Bendoro hanya diwakili oleh sebilah keris. Hal ini dikarenakan Gadis Pantai hanya dijadikan istri sementaranya, teman seranjang, dan bukan sebagai teman hidupnya.Pernikahan yang sesungguhnya bagi Bendoro adalah pernikahan dengan wanita priyayi yang sederajat dengan dia.

Setelah Gadis Pantai menikah dengan Bendoro, kemudian ia dibawa ke Gedung Besar tempat tinggal Bendoro. Mula-mula Ia merasa seperti dalam

“penjara”, ia hanya bisa berkomunikasi dengan seorang pelayan tua atau biasa

2

mengerti apa yang harus dilakukan yaitu mengabdi dan taat kepada Bendoro yang tak lain adalah Suaminya.

Gadis Pantai juga mulai mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang berguna, seperti menyulam, membatik dan belajar mengaji yang tentunya semuanya diajarkan oleh gurunya. Ditahun kedua pernikahanya dengan Bendoro, ia mulai lebih mengakrabkan diri dengan Bendoro. Apabila ditinggal pergi Bendoro, ia merasa kesepian dan menjadi pencemburu, karena ia telah memahami kedudukanya sebagai ‘Wanita Utama’ walaupun hanya sementara. Ditahun kedua itu juga pelayan tuanya diusir oleh Bendoro dari Gedung Besar, karena suatu masalah yang tidak begitu besar.Hal ini membuat Gadis Pantai merasa kesepian dan merasa tak ada lagi pembimbing bagi dirinya ketika ada suatu masalah.

Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama dari keluarga besar si Bendoro sendiri.Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri yang sederajat. Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan Mardinah akan diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis Pantai pulang ke rumahnya di pinggir pantai, namun gagal.

Gadis Pantai kemudian hamil dan kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan. Menurut suaminya, anak perempuan tidak ada gunanya dan tidak

Dalam dokumen UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR (Halaman 47-51)

Dokumen terkait