III. PARADIGMA DAN UNSUR-UNSURNYA
6. Hasil Analisis
Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan tepat, maka tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikata- kan sebagai “kesimpulan” kita. Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-re- lasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala yang kita teliti. Jika hasil
analisis kita tidak berhasil mencapai ini maka hal itu bisa berarti tiga hal. Perta- ma, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar. Ke- dua, analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan ini mungkin juga disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki.
Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hubungan antarvariabel atau antargejala inilah yang kemudian biasa disebut sebagai
“teori”. Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis ber- asal dari banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan yang berlaku umum, universal, melampaui ba- tas-batas ruang dan waktu, maka dia akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia lebih tepat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory). Bilamana teori yang ki- ta sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarva- riabel tersebut kecil atau terbatas cakupannya.
Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar pada dasar- nya pasti akan menghasilkan satu atau beberapa teori. Sebuah tesis master yang dihasilkan dari sebuah penelitian yang dikerjakan secara baik dan benar juga akan dapat menghasilkan ‘teori’ tertentu. Hanya mungkin di sini cakupan teori tersebut relatif kecil dibandingkan dengan cakupan dari teori yang ada da- lam sebuah disertasi misalnya.
Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan menggunakan metode-metode tertentu kita akan memperoleh suatu kesimpul- an tertentu, suatu pendapat tertentu, dan inilah yang seringkali juga disebut sebagai ‘teori’. Di sini biasanya kita mengemukakan pendapat kita berkenaan dengan suatu gejala. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-pernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variable dengan variable yang lain, atau per- nyataan yang menunjukkan “hakekat” (the nature), keadaan dari gejala yang ki- ta teliti. Jadi setiap penelitian yang baik pada dasarnya pasti akan dapat meng- hasilkan sebuah teori baru atau menguatkan teori tertentu yang sudah ada.
Ciri, sifat atau karakter dari teori ini sama antara teori satu dengan yang lain, yang berbeda adalah cakupannya, sehingga dikenal istilah grand theory, mid- dle-range theory dan small theories. Grand theory atau teori besar adalah te- ori yang penjelasannya dapat mencakup banyak gejala, dan karena itu biasa- nya juga lebih abstrak daripada dua jenis teori yang lain. Middle-range theory atau teori menengah adalah teori-teori yang cakupan penjelasannya lebih sem- pit daripada teori besar, namun karena itu terasa lebih “membumi”, lebih kong- krit. Small theory atau teori-teori kecil adalah penjelasan-penjelasan mengenai gejala-gejala yang diteliti dengan cakupan yang lebih sempit lagi daripada teori
menengah. Teori-teori kecil inilah yang boleh dikatakan paling membumi, pa- ling dapat menjelaskan sejumlah gejala empiris dengan ketepatan yang tinggi, karena dihasilkan “secara langsung” dari data yang diperoleh. Teori-teori sema- cam inilah yang biasanya terdapat dalam disertasi, tesis, skripsi dan hasil pe- nelitian tertentu.
Atas dasar uraian di atas kita dapat menggambarkan urutan atau jenjang unsur-unsur paradigma seperti berikut.
Hasil Analisis (Teori)
^
|
Metode Analisis
^
|
Metode Penelitian
^
|
Konsep-konsep
^
|
Model-model
^
|
Asumsi-asumsi Dasar
Skema ini disusun dengan anggapan bahwa dalam sebuah paradigma un- sur ‘asumsi dasar’ merupakan dasar dari unsur-unsur yang lain, dan sudah ada sebelum adanya unsur-unsur yang lain. Oleh karena itu, asumsi-asumsi dasar ditempatkan paling bawah. Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir muncul dalam sebuah paradigma, sehingga unsur ini ditempatkan di atas.
Sebaliknya, bilamana kita mengatakan bahwa unsur-unsur paradigma ditu- runkan dari asumsi-asumsi dasar, maka skema yang akan kita peroleh adalah sebagai berikut (lihat hal. berikut). Skema ini juga disusun atas dasar tingkat keabstrakan dan keimplisitan dari unsur-unsur paradigma.
Asumsi-asumsi Dasar
| v
Model-model
| v
Konsep-konsep
| v
Metode Penelitian
| v
Metode Analisis
| v
Hasil Analisis (Teori)
Asumsi-asumsi dasar dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma yang paling abstrak, paling implisit dan karena itu biasanya juga paling tidak disadari.
Oleh karena itu berada di tempat yang teratas. Model-model merupakan unsur paradigma yang sudah lebih jelas atau agak kongkrit dibanding dengan asumsi-asumsi dasar, walaupun tingkat keabstrakan dan keimplisitannya se- ringkali sama dengan asumsi dasar, namun unsur ini lebih sederhana diban- ding asumsi dasar. Konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang sudah kongkrit, karena dalam setiap penelitian makna konsep-konsep ini sudah harus dipaparkan dengan jelas. Jadi, konsep-konsep ini sudah tidak lagi bersifat im- plisit atau tersembunyi sebagaimana halnya asumsi dan model. Konsep-kon- sep ini sudah bersifat eksplisit dan disadari, diketahui, walaupun tidak selalu di- mengerti dengan baik segala implikasinya.
Metode penelitian dan metode analisis merupakan tahap-tahap pewujudan dari asumsi-asumsi dasar, model dan konsep yang digunakan. Metode-metode ini pelaksanaannya didasarkan pada apa-apa yang ada dalam asumsi dasar, model dan konsep. Dengan kata lain metode-metode ini merupakan tahap pe- laksanaan penelitian yang dibimbing oleh unsur-unsur paradigma sebelumnya.
Penelitian dengan menggunakan konsep-konsep tertentu akan memerlukan metode yang berbeda dengan penelitian yang menggunakan konsep-konsep yang lain.
Hasil analisis merupakan unsur yang terakhir muncul setelah dilakukannya analisis atas data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Hasil analisis ini juga dinyatakan secara eksplisit, dan karena itu pula terasa sangat kongkrit. Oleh karena itu pula, tempatnya berada di paling ba- wah.
IV. MASALAH PENELITIAN, ASUMSI DASAR DAN MODEL
Pertanyaan yang muncul setelah melihat paparan di atas adalah adakah ka- itannya itu semua dengan masalah penelitian? Kalau ada, di mana terletak ke- terkaitan tersebut? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masalah pene- litian sebenarnya secara implisit terkait dengan asumsi-asumsi dasar dan mo- del yang dianut oleh seorang peneliti. Benarkah demikian?
Ada berbagai pendapat mengenai makna „masalah penelitian“, demikian pula dalam menyatakannya. Ada yang menggunakan istilah „masalah peneliti- an“, ada yang menggunakan „permasalahan penelitian“, ada juga yang meng- gunakan istilah „pertanyaan penelitian“. Akan tetapi, itu semua sebenarnya ti- dak sangat penting. Yang jelas suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebu- tuhan, keperluan, untuk (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau keinginan (b) membuktikan kebenaran dugaan-dugaan atau per- nyataan-pernyataan tertentu secara empiris.
Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejum- lah pertanyaan (questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing, menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterus- nya, sedang penelitian kedua selalu berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya (hypothesis) atau hipote- sa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Peneliti- an yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipo- tesa, demikian pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipo- tesa hal itu juga tidak dilarang, tetapi ini mungkin justru malah akan membe- ratkan penelitinya.
Pada dasarnya setiap pertanyaan atau hipotesa secara implisit menyimpan asumsi-asumsi dasar berkenaan dengan gejala yang diteliti, tujuan meneliti, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Jika kita perhatikan dan analisis dengan seksama pertanyaan-pertanyaan atau hipotesa-hipotesa yang kita rumuskan, maka kita akan dapat menemukan asumsi-asumsi dasar yang -sadar atau ti- dak- kita anut, yang membimbing atau mengarahkan kita dalam kita bertanya dan membuat hipotesa. Telaah yang lebih seksama juga akan memungkinkan kita mengetahui model-model atau perumpamaan-perumpamaan apa yang kita gunakan dalam dalam kita mempelajari suatu gejala sosial-budaya tertentu.
1. Pertanyaan Penelitian
Penelitian yang berawal dari pertanyaan-pertanyaan biasanya pasti meng- gunakan satu atau beberapa kata tanya yang ada dalam suatu bahasa, seperti misalnya: apa, siapa, mengapa, dimana, bagaimana, kapan, dan sebagainya.
Beberapa pertanyaan dianggap tidak menarik dan tidak layak untuk dicari ja- wabannya lewat penelitian bilamana jawabannya dianggap akan mudah dicari atau sudah dapat ditebak sebelumnya.
Sebuah penelitian dianggap akan banyak manfaatnya bilamana dapat mem- berikan keterangan atau jawaban yang tidak biasa, yang baru, atas pertanya- an-pertanyaan mengenai hal-hal yang dipandang penting dalam suatu masya- rakat. Ini terlihat misalnya di Indonesia pada masa-masa terjadinya konflik me-
luas dalam masyarakat. Berbagai penelitian yang dianggap akan dapat mem- berikan keterangan yang penting, menarik, bermanfaat, berkenaan dengan ber-bagai konflik yang terjadi akan mudah untuk mendapatkan dukungan dana dari berbagai departemen pemerintah.
Tidak semua orang dapat menyatakan pertanyaan dengan bahasa yang ba- ik atau dengan menggunakan kata-kata yang tepat, namun bahasa yang baik, kata-kata yang tepat, konsep yang jelas maknanya, merupakan syarat-syarat pokok dalam penelitian. Tanpa itu semua pertanyaan-pertanyaan penelitian akan menjadi membingungkan, dan ini membuat penelitian tidak terarah atau tidak dapat dilakukan sama sekali. Dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian juga harus diperhatikan apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut pa- da akhirnya akan dapat dijawab dan untuk menjawabnya diperlukan yang se- perti apa, serta bagaimana data tersebut dapat dikumpulkan
Pendeknya beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam meru- muskan pertanyaan-pertanyaan penelitian antara lain adalah: (a) penggunaan kata-kata yang tepat; (b) penggunaan bahasa yang baik; (c) bisa-tidaknya per- tanyaan tersebut dijawab; (d) jenis data yang diperlukan untuk menjawabnya;
(e) bisa-tidaknya data diperoleh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan penelitian biasanya menyimpan di dalamnya asum- si-asumsi dan model-model mengenai gejala yang akan atau sedang dipelajari.
Sebagai contoh misalnya, kalau kita mengemukakan pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Faktor-faktor apa yang menyebabkan penduduk melakukan migrasi besar-be- saran dari Jawa?
- Bagaimana proses munculnya sistem politik berupa kerajaan dalam suatu masyarakat?
- Bagaimana terjadinya konflik antarsuku di Kalimantan Barat?
- Apa yang membuat masyarakat di daerah X kurang menyukai musik?
Pola-pola pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan pola-pola pertanyaan yang paling sering muncul dalam berbagai penelitian. Hal ini menunjukkan bah- wa kerangka pemikiran atau paradigma yang digunakan dalam berbagai pene- litian sebenarnya tidak banyak bedanya satu dengan yang lain, bahkan sama.
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan asumsi-asumsi dasar yang sama, dan ini dapat diketahui dengan mudah jika kita dapat membayangkan atau memperkirakan jawaban-jawaban seperti apa yang akan diberikan nantinya.
Misalnya saja, empat pertanyaan di atas dapat dijawab dengan mengemu- kakan berbagai faktor yang menyebabkan gejala yang diteliti terjadi, entah itu migrasi besar-besaran dari Jawa, munculnya kerajaan, konflik antarsuku, atau ketidak-sukaan pada musik. Biasanya inilah yang terjadi dalam banyak peneli- tian. Walaupun rumusan pertanyaan berbeda, namun pola jawabannya ternya- ta sama. Ini menunjukkan bahwa pola pikir peneliti-penelitinya juga sama.
Jika pola jawaban yang diberikan mengacu pada sebab-sebab atau faktor- faktor penyebab terjadinya suatu fenomena, maka paradigma yang digunakan sebenarnya adalah “kausal-historis”. Sadar atau tidak para peneliti di situ ber- asumsi bahwa gejala-gejala sosial-budaya yang diteliti berhubungan secara ka- usal, atau berada dalam relasi sebab-akibat (cause and effect relationship) dan ini berarti hubungan tersebut juga bersifat diakronis, dan itu berarti juga histo- ris, karena dalam kerangka berfikir yang kausalistis, cause (sebab) mendahului effect (akibat). Lebih lanjut, kerangka berfikir sebab-akibat ini juga menunjuk- kan adanya asumsi pada peneliti bahwa gejala-gejala sosial-budaya sama de- ngan gejala-gejala alam, dan ini berarti bahwa peneliti menggunakan model atau analogi dari ilmu alam. Gejala sosial budaya di sini diumpamakan seperti gejala alam.
Dalam pertanyaan penelitian juga terkandung konsep-konsep penting untuk penelitian. Pada pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas misalnya terdapat konsep-konsep seperti: faktor penyebab; migrasi; sistem politik; kerajaan; kon- flik antarsuku; menyukai; musik, dan sebagainya. Konsep-konsep ini umumnya merupakan istilah-istilah sehari-hari dan sering sekali digunakan. Meskipun de- mikian maknanya tidak selalu jelas, dan orang dapat memberikan makna yang berbeda pada satu konsep tertentu. Oleh karena itu peneliti harus mengemuka- kan makna atau definisi konsep tersebut agar peneliti lain mengetahui apa se- benarnya makna yang dianut oleh peneliti, sehingga tidak terjadi perdebatan yang tidak perlu.
Dari uraian ini kita dapat mengatakan bahwa dalam praktek penelitian peru- musan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam suatu penelitian me- rupakan tahap yang paling penting. Di sini peneliti harus sadar dan memahami betul-betul pentingnya konsep-konsep yang digunakannya dalam pertanyaan, asumsi-asumsi dan model yang dianutnya, yang tersembunyi di balik pertanya- an-pertanyaan yang dibuatnya. Selanjutnya peneliti juga harus dapat memba- yangkan seperti apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan- nya, data yang akan diperlukannya untuk sampai pada jawaban seperti itu, dan metode apa yang akan digunakannya untuk mendapatkan data tersebut.
2. Hipotesa
Sebagaimana halnya dengan pertanyaan, hipotesis sebenarnya juga sudah menyimpan sejumlah asumsi dasar dan model tertentu, dan dibandingkan
dengan pertanyaan, hipotesis ini lebih jelas memperlihatkan asumsi dan model tersebut. Oleh karena itu, kita akan lebih mudah mengenali asumsi dasar dan model dibalik sebuah hipotesis daripada asumsi dasar dan model di balik se- buah pertanyaan.
Salah satu pandangan yang cukup umum di Indonesia, namun menurut he- mat saya agak keliru, mengenai hipotesis dan kaitannya dengan penelitian adalah bahwa penelitian yang berangkat dari satu atau beberapa hipotesa ha- rus atau selalu memerlukan data kuantitatif. Pandangan ini tidak selalu benar.
Apakah suatu penelitian memerlukan data kuantitatif atau kualitatif tidak selalu ada kaitannya dengan ada tidaknya hipotesa. Banyak sekali penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa namun ternyata sama sekali tidak mengguna- kan data kuantitatif untuk membuktikan hipotesa tersebut. Jenis penelitian dan data yang diperlukan lebih ditentukan oleh rumusan hipotesa itu sendiri, dan bukan oleh ada-tidaknya hipotesa.
Seperti halnya pertanyaan penelitian, hipotesa pada dasarnya juga sudah menyimpan asumsi-asumsi dasar, model dan konsep-konsep. Jika demikian, di mana tempat pertanyaan penelitian jika kita akan menempatkannya dalam hi- rarkhi unsur-unsur paradigma di atas? Oleh karena asumsi dasar dan model merupakan elemen-elemen yang mendasari sebuah paradigma, dan tidak se- lalu eksplisit, sedang konsep-konsep merupakan unsur paradigma yang ekspli- sit namun belum tersusun dalam suatu kerangka berfikir tertentu, sementara pertanyaan penelitian adalah rangkaian konsep-konsep yang menyiratkan ang- gapan dasar dan model tertentu, maka pertanyaan penelitian tentunya lebih te- at ditempatkan di antara konsep-konsep dan metode penelitian. Posisi perta- nyaan penelitian yang mendahului metode penelitian juga tepat karena metode penelitian baru dapat ditentukan setelah pertanyaan penelitian dirumuskan terlebih dahulu.
Susunan unsur-unsur paradigma tersebut adalah sebagai berikut.
Asumsi-asumsi Dasar
| Model-model
||
Pertanyaan Penelitian / Hipotesa
|
Konsep-konsep
|
Metode Penelitian
|
Metode Analisis
|
Hasil Analisis (Teori)
Dalam hipotesa juga terdapat berbagai macam konsep penting yang kemu- dia harus didefinisikan dengan baik. Definisi-definisi seringkali disebut sebagai definisi operasional, dan upaya untuk merumuskannya disebut operasionali- sasi definisi. Pendefinisian konsep-konsep yang ada dalam hipotesa harus di- lakukan sedemikian rupa sehingga definisi tersebut kemudian dapat diwujud- kan, dioperasionalkan, menjadi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang kemudi- an disusun menjadi sebuah kuesioner, atau menjadi sejumlah konsep-konsep yang lebih jelas acuannya pada realitas empiris. Dengan begitu data yang di- perlukan untuk membuktikan wujud konsep tersebut dalam kenyataan empiris dapat diketahui, dan metode pengumpulannya dapat ditentukan.
Dengan demikian perumusan hipotesa -seperti halnya perumusan pertanya- an penelitian- juga menduduki posisi sangat penting dalam penelitian. Dalam hal ini seorang peneliti dapat memilih apakah dia akan memulai penelitiannya dari sejumlah pertanyaan atau dari sejumlah hipotesa. Bisa saja dia memulai dari dua-duanya, namun hal itu tidak begitu dianjurkan, karena hanya akan membebani diri peneliti sendiri.
V. PARADIGMA, EPISTEMOLOGI DAN JENIS PENELITIAN
Atas dasar paparan di atas kita bisa mengemukakan beberapa pendapat berikut. Pertama, bahwa suatu paradigma merupakan suatu perangkat konsep yang digunakan untuk memandang, mempelajari dan menjelaskan gejala-geja- la empiris. Konsep-konsep ini sebagian berupa atau memuat asumsi-asumsi dasar, model, istilah-istilah tertentu, metode penelitian, metode analisis dan ha- sil analisis.
Kedua, asumsi dasar merupakan unsur paradigma yang mendasari unsur- unsur lainnya. Kehadirannya mendahului unsur-unsur paradigma yang lain. Da- lam asumsi-asumsi dasar inilah terkandung pandangan-pandangan filosofis da- ri suatu paradigma. Pandangan-pandangan filosofis inilah yang biasa disebut
“epistemologi”.
Ketiga, berbagai jenis metode penelitian sebenarnya merupakan bagian dari sebuah paradigma. Suatu metode penelitian tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari unsur paradigma yang lain. Oleh karena itu, nama suatu metode penelitian sebenarnya harus sesuai dengan nama paradigmanya. Dengan demikian, istilah “penelitian kualitatif” dan “penelitian kuantitatif” sebenarnya kurang tepat, kecuali jika “penelitian” di situ diartikan sebagai “pengumpulan data”. Sebagai bagian dari sebuah paradigma, nama sebuah kegiatan penelitian akan lebih te- pat jika disebut sebagai penelitian evolusioner, penelitian difusi, penelitian
struktural, penelitian fungsional, penelitian fenomenologis, penelitian interpretif, dan seterusnya.
Oleh karena landasan dari sebuah paradigma adalah asumsi-asumsi dasar yang berupa pandangan-pandangan filosofis, yang disebut „epistemologi“ ma- ka pemahaman yang baik dan tepat mengenai epistemologi yang ada dalam ilmu-ilmu sosial-budaya ini menjadi sangat penting untuk penelitian masalah- masalah sosial-budaya.
1. Epistemologi dan Paradigma Ilmu Sosial-Budaya (Antropologi)
Apa yang dimaksud dengan epistemologi? Secara sederhana epistemologi dapat didefinisikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge).
Dalam epistemologi dibicarakan antara lain asal-usul pengetahuan, sumber pe- ngetahuan, kriteria pengetahuan, dan sebagainya, serta perbedaan-perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan (science).
Epistemologi atau epistemology berasal dari kata episteme, “pengetahuan”
dan logos, ilmu pengetahuan, sehingga secara harafiah ‘epistemologi’ dapat di- artikan sebagai ‘ilmu tentang pengetahuan’ atau ‘teori tentang pengetahuan’.
Epistemologi juga diartikan sebagai “the philosophical examination of human knowledge” (Cornman, 1973: 517), atau “telaah filosofis atas pengetahuan ma- nusia”, atau “that branch of philosophy which studies the source, limits, me- thods, and validity of knowledge” (The World University Encyclopedia, vol.4 , 1965), yaitu “cabang filsafat yang mempelajari sumber, batas-batas, metode dan validitas pengetahuan”. Dengan demikian telaah epistemologi pada dasar- nya merupakan telaah yang lebih filosofis sifatnya.
H.P.Rickman (19 ) mengatakan bahwa epistemologi pada dasarnya membi- carakan tentang: (a) “what principles and presuppositions are involved in know- ing something” (prinsip-prinsip dan presuposisi-presuposisi seperti apa yang terlibat ketika orang mengetahui sesuatu); (b) “how these may very according to the subject of inquiry” (bagaimana variasi berbagai prinsip dan presuposisi tersebut sejalan dengan variasi subyek telaahnya) serta apa implikasinya ter- hadap metode-metode yang ada dalam pendekatan yang digunakan; (c) kon- sep-konsep umum yang mengacu pada gejala yang dipelajari atau pada gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia; (d) bagaimana mengaitkan kon-sep-konsep umum yang penting ini satu sama lain dengan cara yang sistema-tis.
Untuk apa kita memperhatikan elemen-elemen yang ada dalam pembicara- an tentang epistemologi? Agar kita dapat membahas berbagai macam episte- mologi yang ada dalam ilmu sosial-budaya dengan cara yang sistematis, leng- kap dan konsisten. Tanpa pengetahuan mengenai hal-hal yang dibicarakan da- lam epistemologi, pembicaraan tentang berbagai epistemologi ilmu sosial-bu-