RAAMHOUT
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisika Kayu
Sifaf fisika sampel kayu meranti merah disajikan di dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Sifat fisika kayu meranti merah
Sampel Kadar air (%) Berat Jenis
1 53,10 0,61
2 49,53 0,61
3 52,49 0,60
Rata-rata 51,71 0,61
Tabel 1 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai kadar air rata-rata adalah 51,71 %. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,61. Berdasarkan nilai kadar airnya, kayu ini dapat dinyatakan masih dalam kondisi basah, tetapi bukan dalam kondisi segar. Berdasarkan berat jenisnya, kayu ini tergolong dalam kayu meranti merah berat, karena berat jenisnya lebih dari 0,60.
Pengujian Pengeringan secara Cepat
Hasil penelitian mengenai pengeringan secara cepat disajikan sebagai berikut:
Status dan klasifikasi cacat
Jenis dan peringkat cacat pada sampel pengujian pengeringan, baik berupa retak - pecah - terbelah ujung, deformasi dan retak-dalam disajika pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Intensitas cacat pengeringan dan peringkatnya Sampel Retak awal (retak-pecah-
terbelah ujung-permukaan) Deformasi Retak-dalam
Jumlah Peringkat Dimensi (mm) Peringkat Jumlah Peringkat 1 Terbelah 1
Pecah 4 7 0,76 4 utama 2 3
2 Retak >10
Pecah 3 7 0,85 5 utama 1,
minor 5 4
3 Retak 8
Pecah 6 7 0,73 4 minor 8 4
Rata-rata 7 0,78 4,33 3,67
Berdasarkan keberadaan cacat tersebut, maka sampel pengujian pengeringan diklasifikasikan sebagai peringkat 7 dalam hal retak awal, peringkat 4,33 (5) dalam hal deformasi dan peringkat 3,67 (4) dalam hal retak-dalam.
Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir
Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal dan akhir proses pengeringan. Penentuan dilakukan mengikuti acuan dibuat Terazawa (1965) sebagaimana tersaji pada Tabel 3 berikut.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 175 Tabel 3. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir
Variasi cacat Kondisi pengeringan (oC) Tingkat cacat
1 2 3 4 5 6 7 8
Retak awal Suhu awal 70 65 60 55 53 50 47 45
Depresi suhu bola basah 6,5 5,5 4,3 3,6 3,0 2,3 2,0 1,8
Suhu akhir 95 90 85 83 82 81 80 79
Deformasi Suhu awal 70 66 58 54 50 49 48 47
Depresi suhu bola basah 6,5 6,0 4,7 4,0 3,6 3,3 2,8 2,5
Suhu akhir 93 88 83 80 77 75 73 70
Retak-dalam Suhu awal 70 55 50 49 48 45 - -
Depresi suhu bola basah 6,5 4,5 3,8 3,3 3,0 2,5 - -
Suhu akhir 95 83 77 73 71 70 - -
Berdasarkan Tabel 3 di atas, dengan retak awal yang tergolong kelas 7, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 47oC dan 2,0oC serta 80oC. Berdasarkan deformasi yang tergolong kelas 5, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 50 oC dan 3,6oC serta 77oC. Berdasarkan retak-dalam yang tergolong kelas 4, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 49oC dan 3,3oC serta 73oC.
Dengan memperbandingkan kelompok angka pada masing-masing peringkat itu, maka aspek cacat retak-awal merupakan angka yang paling aman karena kondisi pengeringan yang paling ringan. Dengan alasan itu, aspek cacat retak-awal dipilih sebagai penentu. Oleh karena itu, maka suhu awal 47oC dan depresi suhu bola basah 2,0oC serta suhu akhir 80oC dipilih sebagai kondisi proses pengeringan.
Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan.
Nilai kadar air awal rata-rata sampel adalah 51,71%. Berdasarkan klasifikasi kadar air pada Tabel 4 (Terazawa, 1965), kadar air awal 51,71% berkonsekuensi terpilihnya kolom B sebagai penyusun skedul suhu dan kelembaban, dengan langkah penurunan adalah: 50-35; 35-32; 32-29; 29-26; 26-23; 23-20; 20-18; 18- 16; 16-14; 14-12; dan < 12%.
Tabel 4. Klasifikasi kadar air dan langkah perubahannya
Langkah Klasifikasi kadar air berdasarkan kadar air awal (%)
A B C D E F G H I
1 40-30 50-35 60-40 80-50 100-60 120-68 140-75 170-90 220-110
2 30-28 35-32 40-35 50-43 60-47 68-55 75-60 90-70 110-80
3 28-26 32-29 35-31 43-36 47-40 55-45 60-45 70-55 80-65
4 26-24 29-26 31-27 36-30 40-34 45-38 45-38 55-45 65-50
5 24-22 26-23 27-24 30-25 34-29 38-32 38-32 45-35 50-40
6 22-20 23-20 24-21 25-21 29-24 32-27 32-27 35-27 40-32
7 20-18 20-18 21-18 21-18 24-20 27-22 27-22 27-22 32-25
8 18-16 18-16 18-16 18-16 20-16 22-18 22-18 22-18 25-20
9 16-14 16-14 16-14 16-14 16-14 18-14 18-14 18-14 20-15
10 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 15-12
11 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 Penentuan depresi suhu bola basah
Berdasarkan tebalnya sebesar 4,8 cm, maka kayu tergolong papan tebal, sehingga dipilih Bagan D diantara bagan A, B dan C. Bagan A diperuntukkan bagi kayu daun berkerapatan sedang yang berupa papan tipis, Bagan B bagi kayu daun berkerapatan tinggi berupa papan tipis, dan Bagan C diperuntukkan bagi kayu jarum, sedangkan Bagan D bagi kayu daun berupa papan tebal (Terazawa, 1965). Menurut Terazawa (1965), Bagan D sebagai acuan memilih depresi suhu bola basah disajikan pada Tabel 5 berikut.
176 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Tabel 5. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah perubahannya
Langkah Klasifikasi depresi duhu bola basah (oC)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 5 7
2 2 2,5 3 3,5 4,5 5,5 6,5 9
3 2,5 3 3,5 4,5 6 7 8,5 11
4 3 3,5 4,5 6 8 9 11 13
5 3,5 4,5 6 8 10 11 13 16
6 4,5 6 8 10 12 13 16 20
7 6 8 10 12 14 16 20 25
8 8 10 13 15 17 20 25 25
9 10 12 18 20 20 20-25 25-30 25-30
10 12 15 20 20 20-25 20-25 25-30 25-30
11 15 20 20-25 20-25 20-25 25-30 25-30 25-30
Depresi suhu bola basah pada tahap awal adalah 2,0 oC, sehingga Bagan D pada kolom 2 terpilih sebagai jalur perubahan depresi. Penampilan langkah-langkah perubahan depresi suhu bola basah pada kolom 2 sebagai berikut: 2, 2,5; 3, 3,5, 4,5, 6, 8; 10; 12, 15, 20; masing-masing dalam satuan oC.
Penentuan perubahan suhu selama proses pengeringan.
Berdasarkan sampel pengeringan, diperoleh suhu awal pada termometer bola kering adalah 47 oC dan suhu akhir adalah 80 oC. Untuk menentukan perubahan suhu selama proses pengeringan, diperlukan klasifikasi suhu awal dan perubahannya selama pengeringan yang dibuat oleh Terazawa (1965) sebagaimana disajikan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Klasifikasi suhu awal dan langkah perubahannya.
Perubahan
kadar air (%) Klasifikasi suhu awal (oC) dan perubahannya selama pengeringan
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10
Segar-40 35 40 45 50 55 60 65 70 80 85
40-35 35 40 45 50 55 60 65 70 85 90
35-30 35 40 45 50 58 65 70 75 90 100
30-25 35 43 48 55 63 70 75 80 95 110
25-20 38 48 53 60 68 75 80 85 100 120
20-15 40 53 58 65 70 80 85 95 110 120
15-12 45 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120
< 12 55 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120
Berdasarkan klasifikasi suhu pada Tabel 6 di atas, maka wilayah suhu antara suhu awal 47 oCdan akhir 80oC ini berkonsekuensi pada pemilihan kolom suhu T4 untuk mengekspresikan perubahan suhu selama proses pengeringan. Dengan sedikit modifikasi, Langkah-langkah perubahan suhu ini sebagai berikut: 47, 50, 50, 55, 60, 65, 70, 75, 80, 80.
Perumusan skedul suhu dan kelembaban.
Berdasarkan beberapa kriteria sebagaimana disajikan di atas, skedul suhu dan kelembaban dasar bagi kayu meranti merah yang berdimensi tebal 4,8 cm dan lebar 14 cm dapat dirumuskan dengan kode T4D2. Dibantu dengan tabel kelembaban relatif yang disajikan oleh Bollmann (1977), penampilan skedul suhu dan kelembaban T4D2 ini disajikan pada Tabel 7 berikut.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 177 Tabel 7. Skedul suhu dan kelembaban berkode T4D2
Langkah Kadar air (%)
Suhu termometer bola kering (oC)
Depresi suhu termometer bola basah (oC)
Suhu termometer bola basah (oC)
Kelemban relatif (%)
1 80-50 47 2 45 90
2 50-43 47 2,5 44 87
3 43-36 47 3 44 84
4 36-30 47 3,5 43 81
5 30-25 50 4,5 46 76
6 25-21 58 6 52 73
7 21-18 64 8 56 66
8 18-16 66 10 56 61
9 16-14 71 12 59 55
10 14-12 76 15 61 48
11 < 12 80 20 60 39
Pembandingan Karakteristik Pengeringan Kayu dan Analisis Hasil
Pembandingan karakter pengeringan kayu dilakukan dengan mengkomparasikan hasil pengeringan skedul suhu dan kelembaban menurut Terazawa tersaji pada Tabel 7 dan skedul suhu dan kelembaban industri yang tersaji pada Tabel 8. Ada 23 parameter untuk mengamati Karakter pengeringan. Hasil pengamatana dianalisis dengan menggunakan Uji Eka Arah. Hasilnya disajikan pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 8. Skedul suhu dan kelembaban milik industri kayu Langkah Kadar air
(%)
Suhu termometer bola kering (oC)
Depresi suhu termometer bola basah (oC)
Suhu termometer bola basah (oC)
Kelemban relatif (%)
1 > 50 48,9 3,9 45 80
2 50 – 40 48,9 5,6 43,3 72
3 40 – 35 48,9 8,3 40,6 61
4 35 – 30 48,9 13,9 35 41
5 30 – 25 54,4 22,2 32,2 22
6 25 – 20 60 27,8 32,2 15
7 20 – 15 65,6 27,8 37,8 19
8 < 15 82,2 27,8 54,4 26
Dari Tabel 9 terlihat empat fakta karakteristik peneringan sebagai berikut. Pertama, laju pengeringan pada skedul terazawa (13,88 %/jam) lebih tinggi secara sangat signifikan daripada pada skedul industri (12,06 %/jam), sehingga pengeringan dengan skedul Terazawa berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan skedul industri. Dengan demikian, pengeringan berbasis terazawa sudah tentu lebih berhemat dalam hal durasi waktu pengeringan, energi dan beaya pengeringan. Kedua, kadar air akhir pengeringan pada skedul terazawa (8,03%) lebih rendah secara signifikan daripada pada skedul industri (8,30%). Meskipun demikian, keduanya masih memenuhi kriteria baku mutu karena nilainya kurang dari ketentuan 12%. Ketiga, parameter penyusutan tebal lebih rendah secara sangat signifikan dan penyusutan arah lebar kayu lebih rendah secara signifikan pada pengeringan skedul terazawa dibandingkan pada skedul industri, sedangkan penyusutan arah panjang tidak berbeda secara nyata. Dengan demikian, volume kayu kering pengeringan skedul terazawa lebih tinggi daripada skedul industri. Keempat, semua parameter tentang tingkat kerusakan kayu akibat proses pengeringan dengan skedul Terazawa lebih rendah daripada skedul industri, baik kerusakan dalam bentuk deformasi, retak, pecah maupun terbelah. Dengan demikian, kualitas kayu kering hasil pengeringan skedul terazawa lebih tinggi daripada skedul industri.
Berdasarkan keempat fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengeringan dengan skedul Terazawa menghasilkan pengeringan dengan: durasi waktu yang lebih pendek, lebih hemat energi dan beaya pengeringan, penyusutan yang lebih rendah, dan intensitas cacat kayu kering yang lebih rendah pula dibandingkan dengan pengeringan dengan skedul industri. Dengan demikian, karakterisitik pengeringan kayu meranti merah yang dilakukan dengan penerapan skedul Terazawa lebih baik dibandingkan dengan penerapan skedul industri.
178 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Tabel 9. Karakteristik proses pengeringan dan hasil analisis
No. Parameter Skedul suhu dan kelembaban Industri Terazawa Hasil analisis
1 Laju pengeringan (%/jam) 12,06 13,88 SS
2 Kadar air akhir (%) 8,30 8,03 S
3 Penyusutan tebal (%) 4,343 4,243 SS
4 Penyusutan lebar (%) 3,536 3,245 S
5 Penyusutan panjang (%) 0,302 0,324 NS
6 Jumlah cacat membusur 13 10 NS
7 Besar pembusuran 0,0071 0,0041 S
8 Jumlah cacat memangkok 15 16 NS
9 Besar pemangkokan 0,0111 0,00119 S
10 Jumlah cacat melekuk 11 9 NS
11 Besar pelekukan 0,0013 0,0009 NS
12 Jumlah cacat mengintan (o) 11 10 NS
13 Besar cacat mengintan 0,86 0,67 NS
14 Jumlah retak ujung 1,81 1,00 SS
15 Rata-rata panjang retak ujung (mm) 26,4 13,17 SS
16 Retak terpanjang retak ujung (mm) 30,30 14,76 SS
17 Total panjang retak ujung (mm) 56,64 23,47 SS
18 Jumlah retak permukaan 1,19 0,81 S
19 Rata-rata panjang retak permukaan (mm) 13,31 10,48 S
20 Retak terpanjang retak permukaan (mm) 15,73 14,13 NS
21 Total panjang retak permukaan (mm) 26,59 23,92 S
22 Jumlah retak dalam 1,86 1,14 S
23 Rata-rata panjang retak dalam (mm) 16,82 11,14 S
IV. KESIMPULAN
Beberapa butir kesimpulan disjaikan sebagai berikut. Pertama, kayu meranti merah berkadar air awal 51,71 % dan berat jenis 0,61. Kedua, skedul suhu dan kelembaban berbasis Terazawa dirumuskan dengan kode T4D2, dengan wilayah suhu 47- 80oC, dan kelembaban 90 – 39%. Ketiga, laju pengeringan pada skedul terazawa (13,88 %/jam) lebih tinggi secara signifikan daripada pada skedul industri (12,06 %/jam). Keempat, penyusutan tebal (4,243%) dan lebar (3,245%) pada pengeringan skedul terazawa lebih rendah daripada skedul industri, yakni penyusutan tebal 4,343% dan lebar 3,536%. Kelima, kualitas kayu kering pengeringan Terazawa lebih tinggi daripada kualitas pengeringan skedul industri. Keenam, karakteristik pengeringan dengan skedul terazawa lebih baik daripada pengeringan dengan skedul industri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber, London.
Anonimus, 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diunduh pada 15 September 2011.
Anonimus, 2011a. Degradasi Hutan Tropis di Indonesia. http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf. Diunduh pada 15 September 2011.
Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg. Maschinenfabrik. Rielasingen.
West Germany.
Gorisek, Z. dan Straze A., 2007. Influence of wood Drying Technique and Process Condition on Drying Quality of Beech Wood (Fagus silvatica L). Conference on Quality Control For Competitivenes of Wood Industries. Warsaw, 15 – 17 Oktober 2010. Diunduh pada 13 Agustus 2012 dari http://www.coste53.net/downloads/Warsaw/Warsaw-presentation/COSTE53-ConferenceWarsaw- Presentation-Gorisek.pdf.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 179 Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Direktur Jenderal Kehutanan. Bogor.
Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operator’s Manual. U.S. Department of Agriculture Handbook, 188.
Soerianegara I dan A. Indrawan. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood Industry Japan.
Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest of Far- East. Oxford Univ. Press. New York.
180 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar