Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai uji aktifitas antimikroba ekstrak segar Sikaduduak (Melastoma malabathricum Linn.) terhadap bakteri uji Candida albicans ATCC 10231, Escherichia coli ATCC 25922 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta uji aktifitas antioksidannya, di dapatkan hasil sebagai berikut :
4.1 Diameter Daerah Bebas Mikroba dari Ekstrak Segar Sikaduduak (Melastoma malabathricum Linn.) terhadap S. aureus, E. coli dan C. albicans
Berdasarkan hasil uji aktifitas antimikroba dari ekstrak segar Sikaduduak dengan metode difusi menggunakan kertas cakram yang di inkubasi selama 24 jam pada medium Sabouraud Dextrose Agar (SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA), di dapatkan hasil seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Diameter Daerah Bebas Mikroba Ekstrak Segar Sikaduduak terhadap Mikroba Uji
No Jenis Ekstrak Diameter Bebas Mikroba (mm) C. albicans S. aureus E. coli 1. Buah matang 11,67 a 11,33 b 10,00 b
2. Daun 6,67 b 17,33 a 14,67 a
3. Bunga 6,00 b 10,67 b 11,00 b
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama pada kolom yang sama adalah berbeda nyata pada uji taraf 5%
Semua jenis ekstrak (bunga, buah matang dan daun) dari tumbuhan Sikaduduak memberikan pengaruh terhadap ketiga mikroba uji. Pada ekstrak segar buah matang di dapati zona bebas mikroba uji terbesar yaitu pada C. albicans (11,67 mm), di ikuti zona hambat pada S. aureus (11,33 mm) dan E. coli (10,00 mm). Pengaruh ekstrak buah matang terhadap bakteri uji C. albicans memperlihatkan hasil yang berbeda nyata pada E. coli dan S. aureus. Besarnya daerah bebas mikroba pada pengujian C.
albicans dari perlakuan ekstrak buah dapat di sebabkan oleh kandungan bioaktif antosianin. Kong et al. (2003) melaporkan bahwa buah matang dari Sikaduduak
23
berwarna ungu gelap di sebabkan adanya pigmen antosianin yang merupakan turunan dari golongan flavonoid. Antosianin merupakan senyawa yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba (Majiene et al., 2014).
Selanjutnya, pada ekstrak segar daun pada pengujian mikroba uji S. aureus memperlihatkan zona hambat terbesar yaitu 17,33 mm, diikuti zona hambat pada E.
coli (14,67 mm) dan C. albicans (6,67 mm). Pengaruh ekstrak daun terhadap E. coli dan S. aureus memperlihatkan hasil yang berbeda tidak nyata, tetapi berbeda nyata terhadap C. albicans. Besarnya daerah bebas mikroba pada pengujian S. aureus dari perlakuan ekstrak daun dapat disebabkan oleh senyawa aktif yang dapat menghambat atau membunuh mikroba uji tersebut seperti flavonoid. Wulandari (2012) menyatakan bahwa ekstrak daun Sikaduduak mempunyai senyawa kimia antara lain tanin, alkaloid, saponin, flavonoid dan phenol.
Pada ekstrak segar bunga didapati zona bebas mikroba uji terbesar yaitu pada E. coli (11,00 mm), diikuti zona hambat pada S. aureus (10,67 mm) dan C. albicans (6,00 mm). Pengaruh ekstrak bunga terhadap ketiga bakteri uji memperlihatkan hasil yang berbeda tidak nyata. Besarnya daerah bebas mikroba pada pengujian E. coli dari perlakuan ekstrak bunga disebabkan oleh keberadaan senyawa aktif antosianin dan flavonoid yang bersifat sebagai antimikroba. Lowry (1976) menyatakan bahwa ekstrak bunga Sikaduduak mengandung kaempferol-3-O-β-D-glucoside, kaempferol dan naringenin (Chen, 2013) yang tergolong ke dalam senyawa flavonoid yang dapat bersifat sebagai antimikroba.
24
Gambar 2. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Sikaduduak terhadap pertumbuhan C. albicans (a) Buah matang (b) Bunga (c) Daun
Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa zona bening yang dihasilkan dari ekstrak segar Sikaduduak terhadap C. albicans tidak terlalu besar, zona bening terbesar dari ekstrak buah Sikaduduak dengan diameter rata-rata 11,67 mm dan tergolong kuat (K) menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) (Lampiran 2), kemudian diikuti dengan zona hambat terhadap ekstrak daun (6,67 mm), sedangkan zona hambat terkecil yaitu dari ekstrak bunga dengan diameter 6 mm yang tidak berbeda nyata dengan daun. Potensi antimikroba dari ekstrak bunga dan daun Sikaduduak terhadap C. albicans di kategorikan sedang (S) menurut Davis and Stout (1971) (Lampiran 2).
Zona bening yang terbentuk merupakan zona yang bebas bakteri atau lebih dikenal dengan zona hambat. Zona bebas bakteri terbentuk dikarenakan tidak adanya koloni bakteri yang hidup disekitaran daerah tersebut. Zona bening terbentuk karena adanya daya hambat selama masa inkubasi, karena terjadinya proses difusi larutan uji ke dalam agar yang menandakan bahwa sampel tersebut efektif terhadap mikroba uji (Anonymous a, 2011).
25
Besarnya daya hambat yang terbentuk pada buah Sikaduduak dikarenakan senyawa kimia aktif yang terkandung pada ekstrak buah. Buah matang dari Sikaduduak berwarna ungu gelap disebabkan adanya pigmen antosianin yang merupakan turunan dari senyawa flavonoid (Kong et al., 2003) yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba (Majiene et al., 2014). Lowry (1976) melaporkan bahwa buah Sikaduduak mengandung cyanidin- (Cy-) 3-glucoside dan Cy-3,5-diglucoside yang merupakan turunan antosianin. Selain itu, Sari (2016) menyatakan bahwa pada buah terdapat flavonoid dan saponin. Saponin dapat membentuk kompleks dengan sterol dan mempengaruhi permeabilitas membran sel C. albicans dengan menurunkan tegangan permukaan sel sehingga merusak membran sel dan meningkatkan enzim sel serta merusak protein sel (Yang et al., 2006). Selanjutnya Wulandari (2012) juga menyatakan bahwa flavonoid mempunyai aktifitas anti-kapang dan -khamir pada C. albicans dengan menganggu pembentukan pseudohifa selama proses patogenesis. Koay (2008) menyatakan bahwa ekstrak etil asetat dari buah Sikaduduak menghasilkan asam betulinat. Asam betulinat merupakan senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antimikroba (Tene, 2009).
Asam betulinat dapat merusak permeabilitas membran dan mengganggu aktifitas enzim (Sathya, 2012).
Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa zona hambat yang dibentuk ekstrak segar daun Sikaduduak hanya sebesar 6,67 mm, namun hal ini mengindikasikan bahwa daun berpotensi untuk menekan pertumbuhan dari C. albicans. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun Sikaduduak, maka semakin besar zona halo yang terbentuk terhadap C. albicans pada metode difusi (Junaedi, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Penelitian dan Konsultasi Industri (2012), ekstrak daun Sikaduduak mempunyai senyawa kimia yang diduga mempunyai efek antifungal antara lain: tanin, alkaloid, saponin, flavonoid, dan phenol. Wulandari (2012) pada dasarnya alkaloid menghambat biosintesis asam nukleat jamur sehingga jamur tidak
26
dapat berkembang dan akhirnya mati. Tanin dengan golongan hydrosable tanin dilaporkan mempunyai aktifitas antimikrobial terhadap C. albicans secara in vitro, senyawa ini bekerja dengan cara menghambat sintesis kitin, yang merupakan komponen penting dalam pembentukan dinding sel jamur (Preedy dan Watson, 2008). Phenol atau phenolic juga dilaporkan mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan jamur (Papadopoulou, Soulti dan Roussis, 2005).
Pada perlakuan ekstrak bunga dan daun dari Sikaduduak tidak terbentuknya zona hambat terhadap C. albicans. Sama halnya dengan (Gholib, 2009; Noveriza dan Khurohmah, 2010) yang melaporkan bahwa, apabila pertumbuhan C. albicans pada setiap replikasi yaitu sama dengan diameter cakram, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi tersebut tidak mempunyai daya antifungi, yang mungkin disebabkan oleh konsentrasi yang terlalu kecil sehingga belum dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sistem siologis sel jamur uji dan jamur tersebut masih dapat tumbuh pada media.
Gambar 3. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Sikaduduak terhadap pertumbuhan E. coli (a) Buah (b) Bunga (c) Daun
Pada Gambar 3. dapat diketahui bahwa ekstrak daun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bunga dan buah dalam menghambat pertumbuhan E. coli.
27
Ekstrak daun Sikaduduak menghasilkan diameter zona hambat terbesar yaitu 14,67 mm, kemudian ekstrak bunga dengan diameter zona hambatnya sebesar 11 mm.
Ekstrak daun dan bunga Sikaduduak dikategorikan kuat (K) berdasarkan daya hambat antimikroba menurut Davis and Stout (1971), sedangkan diameter zona hambat dari buah merupakan zona hambat terkecil yaitu 10 mm dan dikategorikan sedang (S) menurut Davis and Stout (1971).
Potensi antibakteri diukur dengan diameter zona hambat yang dikelompokkan sebagai berikut: diameter zona hambat < 5 mm dikategorikan lemah, diameter zona hambat 5–10 mm dikategorikan sedang, diameter zona hambat 10–20 mm dikategorikan kuat, dan diameter zona hambat >20 mm dikategorikan sangat kuat.
Konsentrasi efektif suatu zat aktif yang nantinya akan menjadi patokan dalam mengambil nilai minimum untuk uji antibakteri bila diameter zona hambatnya > 10 mm (Davis dan Stout, 1971).
Terbentuknya zona bebas mikroba ini dikarenakan terdapatnya kandungan senyawa aktif pada masing-masing ekstrak. Setiap bagian dari tumbuhan Sikaduduak ini memiliki potensi yang berbeda dan kegunaan yang berbeda (Joffry, 2011).
Besarnya zona halo yang terbentuk dengan ekstrak daun, dikarenakan tingginya kandungan fenol di daun Sikaduduak tersebut. Hal ini sesuai dengan Wulandari (2012) yang menyatakan bahwa ekstrak daun Sikaduduak mempunyai senyawa kimia antara lain tanin, alkaloid, saponin, flavonoid, dan phenol. Ditambahkan oleh Zakaria et al. (2006) bahwa triterpen dan steroid juga merupakan kandungan dari daun Sikaduduak. Dinda dan Saha (1985); Yeoh et al. (1992) juga melaporkan adanya kandungan asam amino di daun Sikaduduak. Pada studi Wiart et al. (2004) daun dari M. malabathricum dapat menyerang Bacillus cereus, B. subtilis, E. coli, Pseudomonas aeruginosa dan C. albicans meggunakan metode difusi dengan kisaran diameter antara 11 – 20 mm.
28
Kandungan fenol dapat merusak selaput sel bakteri dan kemudian menyebabkan denaturasi protein. Berfungsinya suatu sel bergantung pada keadaan koloidal protein didalam sitoplasma. Bahan kimia yang dapat merubah keadaan ini dapat menyebabkan koagulasi atau presipitasi yang akan mengganggu pekerjaan enzim. Bila nukleoprotein ikut mengalami denaturasi maka sel akan mati (Sanusi et al., 1979). Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya zona bening pada medium dikarenakan terjadinya kematian sel disekitaran kertas cakram.
Besarya zona hambat terhadap E. coli pada ekstrak daun dipengaruhi oleh membran sel bakteri. Menurut Pelzcar dan Chan (1988) bakteri gram negatif memiliki dinding sel dengan kandungan peptidoglikan yang tipis, selain itu pada dinding sel E. coli juga terdapat lipid yang dapat memperbesar permeabilitas dinding sel. Sunatmo (2009) menambahkan bahwa membran luar dinding sel E. coli mengandung protein purin yang berfungsi sebagai saluran keluar masuknya senyawa aktif, sehingga senyawa kimia aktif yang terkandung didalam Sikaduduak akan mudah masuk dan merusak aktifitas enzim sel yang menyebabkan kerusakan sel E.
coli.
Gambar 4. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Sikaduduak terhadap pertumbuhan S. aureus (a) Buah (b) Bunga (c) Daun
29
Pada Gambar 4. dapat diketahui bahwa ekstrak daun memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bunga dan buah dalam menghambat pertumbuhan S. aureus.
Ekstrak daun Sikaduduak menghasilkan diameter zona hambat terbesar yaitu 17,33 mm, kemudian ekstrak buah dengan diameter zona hambatnya sebesar 11,33 mm dan diameter zona hambat dari ekstrak bunga yaitu 10,67 mm. Ketiga ekstrak segar dari Sikaduduak ini dikategorikan kuat berdasarkan daya hambat antimikroba menurut Davis and Stout (1971) (Lampiran 2).
Uji antimikroba ini juga dilakukan oleh Grosvenor et al. (1995) dengan ekstrak methanol 70% dengan mengombinasikan ekstrak dari daun, buah dan bunga Sikaduduak, ketiga ekstrak ini efektif terhadap S. aureus, S.cerevisiae dan F.oxysporum. Brock et al. (1988) mengatakan besaran diameter zona hambat yang terbentuk dipengaruhi oleh tinggi rendahnya senyawa atau zat aktif yang terkandung di dalam fraksi tersebut. Tinggi rendahnya suatu konsentrasi yang digunakan tergantung pada jumlah kandungan bahan aktif yang terdapat di dalam bahan penelitian tersebut.
Ekstrak segar daun dari Sikaduduak dapat membentuk zona halo pada perlakuan bakteri uji S. aureus dan E. coli. Hal ini dikarenakan kandungan dari daun Sikaduduak ini yang mengandung flavonoid, saponin dan tanin (Simanjuntak, 2008).
Turunan fenol mempunyai efek antiseptik, anthelmintik, aestetik, keratolitik, kaustik dan bekerja dengan mengendapkan protein sel bakteri. Turunan fenol akan berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami penguraian, di ikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Siswandono dan Soekardjo, 2000)
30
Daun dari M. malabathricum ini bisa dimanfaatkan sebagai obat jerawat, dan bintik hitam pada wajah yang disebabkan oleh S. aureus (Lohézic, 2002). Hal ini dipertegas dengan hasil uji aktifitas antimikroba yang dilakukan, yang mana zona halo terbesar dengan bakteri uji S. aureus yang tertinggi adalah pada daun.
Sihombing (2014) menyatakan bahwa ekstrak etanol daun Sikaduduak memiliki aktifitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Hasil uji aktifitas antibakteri ekstrak etanol daun Sikaduduak terhadap S. aureus diperoleh KHM 9 mg/ml dengan diameter 8,16 mm dan E. coli diperoleh KHM 9 mg/ml dengan diameter 8,0 mm. Ini membuktikan bahwa ekstrak etanol daun Sikaduduak mempunyai aktifitas antibakteri terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Perbedaan zona hambat yang dihasilkan antara bakteri S. aureus dan E. coli disebabkan karena diameter zona hambat yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain toksisitas bahan uji, kemampuan difusi bahan uji pada media, interaksi antar komponen medium, dan kondisi lingkungan mikro in vitro (Candrasari, 2012). Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) konsentrasi suatu bahan yang berfungsi sebagai antibakteri merupakan salah satu faktor penentu besar kecil kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan mikroba yang diuji.
Selanjutnya, ukuran zona hambat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mikroorganisme uji (strain dan siologi uji bakteri), medium kultur , metode uji serta kecepatan difusi zat.
Selain itu, perbedaan zona hambat juga dikarenakan adanya perbedaan struktur dinding sel antara kedua bakteri yang mempengaruhi kerja ekstrak tumbuhan sebagai senyawa antibakteri. Struktur dinding sel bakteri gram positif lebih sederhana, yaitu berlapis dengan kandungan lipid yang rendah (1-4 %) sehingga memudahkan bahan bioaktif masuk ke dalam sel (Hawley, 2003). S. aureus sebagai bakteri gram positif memiliki 3 lapisan yaitu selaput sitoplasma, lapisan peptidoglikan yang tebal dan simpai. (Jawetz et al., 2001). Struktur dinding sel
31
bakteri gram negatif lebih kompleks, berlapis tiga, yaitu lapisan luar lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida yang berperan sebagai penghalang masuknya bahan bioaktif antibakteri dan lapisan dalam berupa peptidoglikan dengan kandungan lipid tinggi (11-12%) (Hawley, 2003). E. coli sebagai gram negatif memiliki lapisan yang lebih kompleks dan berlapis-lapis yaitu selaput sitoplasma, lapisan tunggal peptidoglikan dan selaput luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida.
Dinding sel bakteri gram negatif berisi tiga komponen yaitu lipoprotein membran terluar yang mengandung molekul protein yang disebut porin dan lipopolisakarida.
Porin pada membran terluar dinding sel bakteri gram negatif tersebut bersifat hidrolik. Porin yang terkandung pada membran terluar tersebut menyebabkan molekul-molekul komponen ekstrak lebih sukar masuk ke dalam sel bakteri. Selaput luar E. coli bersifat menolak molekul hidrofobik sekaligus hidrolik dengan baik namun selaput ini memiliki saluran khusus yang disebut porin, yang menyebabkan difusi pasif senyawa hidrolik dengan berat molekul rendah seperti glukosa dan asam amino, sedangkan molekul dengan berat molekul besar seperti molekul antibiotik akan mengalami kesulitan menembus selaput ini. Adanya perbedaaan struktur dan komponen dinding sel tersebut yang menyebabkan E. coli sebagai gram negatif lebih resisten (Jawetz et al., 2001). Hal inilah yang menyebabkan zona halo pada S. aureus lebih besar daripada zona halo pada E. coli.
4.2 Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak segar Sikaduduak terhadap bakteri uji C. albicans ATCC 10231, E. coli ATCC 25922 dan S. aureus ATCC 25923 didapatkan hasil sebagai berikut :
32
Tabel 2. Nilai KHM dan KBM dari Ekstrak Segar Buah dan Daun M. malabathricum terhadap C. albicans, S. aureus dan E. coli
Mikroba Uji Nilai KHM (%) Nilai KBM (%)
Candida albicans 0 0
Staphylococcus aureus 12,25 25
Escherichia coli 12,25 50
Keterangan : 0 tidak mampu menghambat dan membunuh mikroba uji
Dari Tabel 2. dapat dilihat nilai KHM dan KBM dari ekstrak segar daun Sikaduduak terhadap E. coli dan S. aureus. Pada penelitian yang telah dilakukan, semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi tingkat kejernihan larutan pada tabung uji. Nilai hambat minimum dari ekstrak daun Sikaduduak terhadap E.
coli dan S. aureus yaitu pada konsentrasi 12,25%. Namun, ekstrak segar daun Sikaduduak memiliki kemampuan bunuh minimum tertinggi terhadap S. aureus dengan konsentrasi ekstrak sebesar 25% dan pada E. coli sebesar 50% dikarenakan tidak ditemukannya koloni bakteri setelah ditanam pada medium MHA. Sedangkan pada C. albicans tidak dapat ditentukan nilai KHM dan KBM dikarenakan keruhnya konsentrasi ekstrak pada semua perlakuan.
Pada Metode Difusi, ekstrak segar buah Sikaduduak dapat membentuk zona hambat terbesar dibanding organ lainnya yaitu 11,67 mm terhadap C. albicans, namun setelah dilakukan uji dengan metode dilusi, ekstrak buah ini tidak mampu menghambat atau membunuh mikroba uji, hal ini membuktikan bahwa kemampuan ekstrak buah Sikaduduak dapat menghambat mikroba uji pada konsentrasi 100%.
Menurut Volk dan Wheeler (1991) zat antimikroba akan bersifat bakteriostatis pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi akan bersifat bakteriosidal. Hal ini dikarenakan senyawa aktif antimikroba berbanding lurus dengan tingginya konsentrasi ekstrak, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka akan semakin tinggi pula kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Ekstrak segar daun Sikaduduak memiliki kemampuan bunuh minimum tertinggi terhadap S. aureus dibandingkan dengan E. coli . Hal ini didukung oleh Alnajar (2012) yang menyatakan bahwa bakteri gram positif lebih sensitif terhadap
33
senyawa antimikroba dari tanaman herba ataupun tumbuhan obat lainnya daripada bakteri gram negatif. Hal ini dikarenakan lipopolisakarida pada dinding bakteri gram negatif, yang mengatur keluar masuknya senyawa, sehingga bahan kimia menghadapi kesulitan dalam menembus membran ini dan akibatnya efektivitas mereka dibatasi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Titi, Rusmiati dan Farida (2007) mengemukakan bahwa fraksi etil asetat ekstrak metanol daun Senggani mempunyai aktifitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan E. coli dengan KHM untuk S. aureus 0,78-1,56% dan E. coli 25-50% dengan metode difusi agar.
Kemampuan antibakteri daun Sikaduduak terhadap bakteri E. coli ini membuktikan bahwa kandungan senyawa aktifnya sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan antibakteri. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan Suryaningsih (2010) bahwa ekstrak daun Sikaduduak mempunyai aktifitas antibakteri terhadap E. coli pada konsentrasi efektif 200 mg/ml.
Adanya nilai KHM dan KBM dari Sikaduduak terhadap S. aureus dan E. coli dikarenakan senyawa bioaktif pada daun Sikaduduak seperti flavonoid, polifenol, tanin dan saponin yang ikut berkontribusi terhadap aktifitas antibakteri. (Robinson, 1995 cit. Hertiani et al., 2003) menyatakan bahwa aktifitas antibakteri dari saponin diduga melalui sifatnya yang memiliki gugus polar dan non polar seperti sabun yang merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri. Diabsorbsinya saponin pada permukaan sel akan menyebabkan naiknya permeabilitas sehingga membran sel menjadi bocor atau rusak yang dapat menimbulkan kebocoran konstituen sel yang esensial (Jawetz et al., 2005). Senyawa flavonoid dapat mendenaturasi protein sel bakteri sehingga mengubah struktur dan menghilangkan sifat khasnya (Tjay dan Raharja, 2002).
Senyawa flavonoid memiliki aktifitas antibakteri karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein yang terdapat pada dinding sel maupun protoplas sel
34
(Hertiani et al., 2003) dan senyawa polifenol bekerja dengan cara mempresipitasikan protein sel bakteri (Robbers, 1996). Pada penelitian Alnajar (2012) membuktikan bahwa ekstrak methanol dan air dari Sikaduduak dapat menghambat dan membunuh S. aureus, dengan KHM 1.25 µg/mL dan KBM 2.5 µg/mL.
Hasil uji aktifitas antibakteri daun Sikaduduak menunjukkan bahwa aktifitas antibakteri ekstrak segar daun lebih tinggi terhadap S. aureus daripada E. coli. Hal tersebut dapat diakibatkan perbedaan dinding sel mikroba yang merupakan penentu penetrasi, ikatan, dan aktifitas obat (Jawetz et al., 2005). Dinding sel bakteri S.
aureus berlapis tunggal dan tersusun atas peptidoglikan (protein dan gula) serta lipid dengan kadar rendah (1-4 %), sehingga ekstrak etanol yang mengandung senyawa- senyawa polar seperti flavonoid lebih mudah menembus dinding sel. Dinding sel bakteri E. coli lebih sulit ditembus senyawa yang bersifat polar karena struktur dinding sel bakteri ini berlapis tiga yang tersusun atas peptidoglikan dan lipid dengan kadar yang tinggi (11-22 %) (Kusumowati, 2014).
Pada penelitian yang telah dilakukan, semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah tingkat kekeruhan pada tabung uji. Sesuai dengan laporan yang ditulis oleh Rahman (2010), bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba maka akan semakin cepat sel mikroba mati dan terhambat pertumbuhannya. Semakin besar konsentrasi semakin besar pula daya hambatnya, sehingga dapat diketahui besarnya konsentrasi dan daya hambat berbanding lurus satu sama lain (Purwanto, 2015). Kemampuan suatu bahan antimikroba dalam meniadakan kemampuan hidup mikroorganisme dipengaruhi oleh konsentrasi dari bahan mikroba tersebut (Schlegel, 1994). Berdasarkan nilai KHM dibedakan menjadi 4 yaitu, aktifitas antibakteri sangat kuat jika KHM kurang dari 100 µg/ml, aktifitas antibakteri cukup kuat jika KHM 100-500 µg/ml, aktifitas antibakteri yang lemah jika KHM 500 - 1000 µg/ml, tidak memiliki aktifitas antibakteri jika KHM lebih dari 1000 µg/ml (Holetz, 2002).
35
Selain faktor konsentrasi ternyata jenis bahan antimikroba juga menentukan kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba. Sesuai dengan Ajizah (2004) menyatakan bahwa perbedaan besarnya hambatan untuk masing-masing bakteri uji dapat disebabkan oleh perbedaan besar kecilnya konsentrasi, banyak sedikitnya kandungan zat aktif antimikroba yang terkandung dalam ekstrak, kecepatan difusi bahan antimikroba ke dalam medium dan inkubasi, pH lingkungan, komponen media, ukuran inokulum, waktu inkubasi dan aktifitas metabolik mikroorganisme.
4.3 Aktifitas Antioksidan dengan Metode DPPH (1,1 –Diphenyl-2-Picryl Hidrazik), Polifenol dan Antosianin ekstrak segar Sikaduduak
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai kadar antosianin, kadar polifenol dan aktifitas antioksidan ekstrak bunga, buah dan daun segar Sikaduduak dengan metode Efek Peredaman terhadap Radikal Bebas DPPH (1,1 –Diphenyl-2- Picryl Hidrazik) didapatkan hasil seperti Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Aktifitas Antioksidan dengan Metode DPPH, Polifenol dan Antosianin ekstrak segar Sikaduduak
Bunga Buah Daun
Antioksidan (%) 69,77 68,86 73,52
Polifenol (mgGAE/g) Antosianin (mg/100g)
7,75 9,57 x 10-3
7,73
23,42 x 10-3
7,93 1,02 x 10-3 Dari Tabel 3. di atas dapat diketahui bahwa bunga Sikaduduak memiliki nilai aktifitas antioksidan tertinggi, yaitu sebesar 69,77% pada 5.105 mg/ml ekstrak. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Danladi (2015) bahwa bunga Sikaduduak memiliki nilai aktifitas antioksidan tertinggi (86,06 % dalam 20 L ekstrak) dibandingkan semua organ tumbuhan Sikaduduak lainnya. Nilai aktifitas antioksidan daun Sikaduduak sebesar 73,52% pada 1,25.105 mg/ml ekstrak dan nilai aktifitas antioksidan terendah yaitu pada buah (68,86% pada 0,625.105 mg/ml ekstrak). Data ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Danladi (2015) mengemukakan bahwa nilai aktifitas antioksidan terendah ada pada daun (80,12%