A. Formula Patch
Pada penelitian ini diformulasikan patch mukoadhesif untuk penghantaran lokal. Patch terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan utama menggunakan polimer hidrofilik HPMC yang mengandung zat aktif dan lapisan backing membran yang impermeable yaitu film tipis etil selulosa untuk melindungi lapisan patch agar zat aktif tidak berdifusi ke saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif yang searah. Zat aktif yang digunakan adalah minyak cengkeh (Syzygium aromaticum) dengan kadar pada setiap formula sebanyak 5% (Diah et al 2015). Minyak cengkeh yang digunakan didapatkan dari Harum Kimia yang telah di uji dengan metode GCMSD, kemudian didapatkan hasil mengandung caryophllene 28,33%
dan eugenol 71,67%.
Lapisan utama dibuat menggunakan polimer HPMC dengan memvariasikan konsentrasi yaitu 1%(F1), 1,5%(F2), dan 2%(F3). Proses pembentukan larutan polimer dilakukan dengan melarutkan HPMC dengan berbagai konsentrasi sesuai formula ke dalam air panas. Penggunaan propilenglikol sebesar 15% sebagai plasticizer dapat menurunkan kekakuan dari polimer, sekaligus dapat meningkatkan fleksibilitas dalam pembuatan film (Srikhnat 2011). Propilenglikol juga dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi didasarkan atas sifat propilenglikol yang termasuk kelas poliol memiliki mekanisme transport paraseluler dan memiliki mekanisme aksi dengan cara mengganggu susunan lipid interseluler (Dodla & Sellappan, 2013) sehingga diharapkan obat dapat cepat berpenetrasi ke dalam gingival yang mengandung kreatinin. Sediaan patch dibuat menggunakan metode solvent casting karena mudah. Solvent casting adalah teknik pencetakan patch yang setiap komponen dilarutkan dahulu dalam pelarutnya, kemudian dicampurkan dan dicetak pada suhu tertentu.
Patch dibuat dengan mencampurkan larutan polimer dengan air panas, kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik. Setelah homogen campuran larutan ditambahkan tween 80 yang telah dilarutkan dengan air panas. Kemudian larutan polimer ditambahkan campuran BHT yang telah dilarutkan dalam minyak
cengkeh dan span 80, diaduk hingga homogen. Setelah homogen ditambahkan metil paraben yang sudah dilarutkan dalam propilenglikol, diaduk hingga homogen dan didiamkan untuk menghilangkan gelembung udara. Setelah gelembung udara hilang, masukkan ke dalam wadah. Pembuatan patch dibuat sebanyak 30 gram untuk satu cetakan patch, bobot 30 gram dipilih berdasarkan proses optimasi pengamatan visual sehingga menghasilkan film yang cukup tipis dan tidak rapuh agar nyaman bila digunakan pasien. Pengeringan dilakukan pada suhu ruang yaitu 25ºC hingga kering, pemilihan suhu berdasarkan optimasi suhu pada tabel 3. Pengeringan patch dilakukan selama 10 hari, waktu pengeringan patch dilakukan berdasarkan optimasi waktu. Setelah patch kering kemudian dilapisi dengan backing membran etil selulosa sehingga menjadi patch. Patch kemudian dipotong-potong dengan ukuran 2x1 cm untuk menyesuaikan dengan gingival tikus, kemudian dilakukan evaluasi fisik patch.
Tabel 3. Optimasi Suhu Optimasi Suhu Konsentrasi
HPMC 25° 30° 40° 50°
1% Minyak tidak
keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
1,5% Minyak tidak
keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
2% Minyak tidak
keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
Minyak keluar
B. Organoleptis
Makroskopik patch terlihat berwarna putih. Dengan tekstur permukaan atas halus dan dasar film rata, berbentuk tipis, elastis, tidak rapuh dan berbau khas aromatik. Hasil pengamatan makroskopik dapat dilihat pada gambar 1.
F1 F2 F3
Gambar 4. Patch Sesudah Dipotong
Keterangan : a). Patch F1 (HPMC 1%) ; b) Patch F2 (HPMC 1,5%) ; c) Patch F3 (HPMC 2%)
C. Evaluasi Fisik
Tabel 4. Sifat Fisik Patch
Formula Bobot (g) ± SD Ketebalan (µm) ± SD pH
F1 0,30 ± 0 1,51 ± 0 6
F2 0,31 ± 0 1.57 ± 0 6
F3 0,32 ± 0 1,64 ± 0 6
1. Keseragaman Bobot
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa patch yang dihasilkan memiliki bobot dan ketebalan yang seragam yang dilihat dari simpangan baku yang diperoleh.
Peningkatan jumlah polimer pada formula secara langsung menyebabkan peningkatan bobot dan ketebalan patch yang dibentuk. Bobot patch paling rendah diperoleh dari bobot formula F1 dengan konsentrasi larutan polimer HPMC terendah yaitu 1%, sedangkan bobot patch terberat adalah patch dengan formula F3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer HPMC terbanyak yaitu 2%.
Gambar 5. Grafik Keseragaman Bobot
Begitu juga ketebalannya, ketebalan maksimal dihasilkan patch dengan konsentrasi larutan polimer terbesar yaitu 2% sedangkan patch dengan ketebalan minimal dihasilkan oleh formula F1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1%. Bertambahnya keseragaman bobot dan ketebalan patch seiring dengan meningkatnya konsentrasi polimer HPMC disebabkan karena HPMC memiliki kemampuan mengikat menyerap air sehingga dapat meningkatkan ketebalan dan bobot patch.
Gambar 6. Grafik Ketebalan Patch 2. pH Permukaan
Penetapan pH permukaan patch dilakukan untuk melihat adanya kemungkinan iritasi. Apabila patch memiliki pH asam atau basa dapat menyebabkan iritasi pada mukosa gingiva, sehingga diharapkan pH permukaan patch mendekati pH netral. pH permukaan patch diukur menggunakan pH indikator universal. pH permukaan dari setiap formula memiliki pH yaitu 6. Dari hasil pengukuran ini diharapkan patch tidak menimbulkan iritasi pada mukosa gusi. Hasil pengukuran pH permukaan patch juga sesuai dengan pH saliva normal manusia yaitu 5,6-7 (Kaul et al. 2011).
3. Uji Pelipatan
Tabel 5. Uji Pelipatan Patch Formula Pelipatan
F1 >300 F2 >300 F3 >300
Pengujian daya tahan lipatan patch ditentukan dengan cara melipat secara berulang satu patch pada tempat yang sama hingga patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Hasil pengujian menunjukkan bahwa patch dari setiap formula tidak mengalami kerusakan hingga pelipatan ke-300.
4. Swelling Index
Derajat pengembangan diukur dengan mengamati peningkatan bobot patch yang didiamkan dalam buffer fosfat pH 6,8 selama 30 menit. Derajat pengembangan polimer menentukan sifat bioadhesif dari polimer tersebut. Dari data pada tabel 6 diketahui bahwa derajat pengembangan patch setiap formula
meningkat dengan sangat cepat pada menit ke-5 dan mulai mengalami penurunan pada menit ke-25. Perendaman patch dalam medium menyebabkan terjadinya absorpsi molekul air sehingga semakin lama waktu perendaman maka derajat pengembangan patch semakin meningkat. Sedangkan penurunan bobot yang terjadi pada menit ke-25 hingga menit ke-30 terjadi karena lapisan polimer pada patch perlahan-lahan mengalami erosi dan terdisolusi di dalam medium.
Tabel 6. Derajat Pengembangan Patch Dalam Medium Buffer Fosfat 6,8 Waktu (menit) Derajat Pengembangan
F1 ± SD F2 ± SD F3 ± SD 0 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00
5 99 ± 1 105 ± 0,58 110 ± 0,58
10 107 ± 1 111 ± 1,53 117 ± 0,58 15 113 ± 3,61 118 ± 0,58 122 ± 0 20 120 ± 6,51 127 ± 0,58 126 ± 0,58 25 108 ± 4,58 122 ± 0,58 122 ± 1,73 30 104 ± 4,16 114 ± 0,58 118 ± 2,65
Jika dilihat dari derajat pengembangan masing-masing formula pada tabel 6, F3 memiliki derajat pengembangan yang paling tinggi. Hal ini dikarenakan terjadi disperse molekul polimer ini masuk dalam rongga yang dibentuk molekul air, sehingga terjadi ikatan hidrogen antara gugus hidroksil (-OH) dari polimer dengan molekul air. Ikatan hidrogen ini berperan dalam hidrasi pada proses swelling, sehingga semakin tinggi konsentrasi HPMC maka makin banyak gugus hidroksil yang berikatan (Erawati et al. 2005).
Derajat pengembangan patch sangat penting untuk memprediksikan pelepasan zat aktif. Pelepasan zat aktif lebih cepat terjadi bila polimer cepat terhidrasi dan mengalami pengembangan. Selain itu, proses pengembangan dapat meningkatkan area permukaan untuk proses interpenetrasi polimer-mukus (Singh et al. 2013). Peningkatan area permukaan lapisan polimer pada patch akibat proses pengembangan dapat menyebabkan patch keluar dari area backing layer.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kebocoran zat aktif ke saliva atau area rongga mulut lainnya, sehingga meyebabkan zat aktif yang sampai ke tempat aksi akan berkurang. Oleh karena itu, pada saat pengaplikasian dibuat patch dengan
luas area backing layer lebih besar daripada luas area lapisan polimer untuk mencegah kebocoran zat aktif.
5. Waktu Tinggal
Uji waktu tinggal dijadikan parameter untuk mengukur seberapa lama kemampuan patch melekat pada mukosa bukal. Pengujian dilakukan dengan mengaplikasikan patch pada mukosa bukal kambing segar. Pengujian waktu tinggal patch ditentukan dengan menggunakan disintegrator. Waktu tinggal masing-masing formula yaitu F1 56 menit, F2 58 menit, dan F3 59 menit. Pada patch yang sudah terlepas dari gusi kambing terlihat bahwa lapisan polimer sudah terlarut dan hanya tersisa lapisan etil selulosa saja. Waktu tinggal patch meningkat dengan bertambahnya konsentrasi polimer dalam sediaan, hal ini disebabkan karena HPMC memiliki gugus pembentuk ikatan hidrogen, sehingga akan menyebabkan gaya tarik antara patch dengan mukus (Carvalho et al. 2010).
Tabel 7. Waktu tinggal patch pada permukaan gusi kambing dan pemanjangan patch
Formula Waktu Tinggal Patch (menit)
Pemanjangan (%)
F1 56 75
F2 58 100
F3 59 117
6. Uji Pemanjangan
Pemanjangan didefinisikan sebagai persentase perubahan panjang patch pada saat patch ditarik sampai putus (Krochta 1997). Hasil evaluasi pemanjangan patch (elongation) edible patch mukoadhesif minyak cengkeh dengan konsentrasi plasticizer 15% dan kosentrasi polimer HPMC 1%, 1,5%, dan 2% ditunjukkan pada Tabel 7. Pemanjangan patch (elongation) edible patch mukoadhesif minyak cengkeh tertinggi pada F3 dengan konsentrasi polimer HPMC 2%. Peningkatan konsentrasi bahan, akan menyebabkan peningkatan pula matrik yang terbentuk, sehingga patch akan menjadi kuat. Menurut Wu dan Bates (1973) dalam Suryaningrum dkk. (2005) edible film dengan kekuatan peregangan tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik.
7. Uji Aktivitas Antiinflamasi Patch
Pada uji ini dilakukan anastesi terlebih dahulu dengan cara menginjeksikan 0,2 ml ketamin secara i.m. pada kaki kanan tikus, kemudian dilakukan injeksi 0,3 ml karagenan 2% pada gingiva. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan alat jangka sorong untuk menilai efek antiinflamasi berupa lebar diameter udema (µm). Pengukuran udema diambil sebelum diinduksi karagenan dan pada jam ke- 2, -4, dan -6, setelah dilakukan injeksi karagenan. Data tersebut kemudian diambil rerata dan didapatkan hasil seperti gambar 7.
Gambar 7. Grafik Uji Aktivitas Antiinflamasi Patch pada Gingiva Tikus
Berdasarkan data rerata diameter edema gingival tikus, dapat terlihat bahwa kelompok kontrol negatif memiliki nilai rerata diameter edema yang terus naik hingga jam ke-6. Rerata diameter edema gingiva tikus kelompok kontrol negatif dapat mengalami peningkatan karena adanya respon inflamasi secara umum akibat dari pemberian karagen. Inflamasi bertujuan untuk memperbaiki kerusakan jaringan yang terjadi. Dalam beberapa menit setelah kerusakan jaringan terjadi sintesis prostaglandin dan leukotrien dari metabolisme asam arakidonat pada tempat terjadinya inflamasi yang mengarah ke rekrutmen neutrofil, peningkatan aliran darah, dan permeabilitas vaskular. Hal ini dapat menyebabkan terbentuknya edema dan akan mempengaruhi ukuran gingiva tikus (Kulkarni 2016).
Rerata diameter edema tertinggi pada kelompok kontrol positif, terlihat pada jam ke-2 dan terendah terjadi pada jam ke-6.Pemilihan karagenan sebagai
bahan induksi inflamasi pada penelitian ini karena karagenan tidak menimbulkan efek sistemik. Karagenan merupakan kimia kuat yang digunakan untuk melepaskan mediator inflamasi dan proinflamasi seperti prostaglandin, leukotrien, histamin, bradikinin, TNF-α, dan lain-lain (Amdekar 2012). Inflamasi akut yang ditimbulkan oleh karagenan merupakan peristiwa bifasik. Pada fase pertama terjadi pelepasan histamin, serotonin, dan kinin dalam beberapa jam pertama, sedangkan fase kedua dikaitkan dengan pelepasan prostaglandin dalam 2-3 jam.
Selanjutnya pada rerata diameter edema kelompok kontrol uji dengan konsentrasi HPMC 1%, 1,5%, dan 2% menunjukkan bahwa sediaan patch mukoadhesif memiliki aktivitas antiinflamasi. Adanya perubahan pada diameter udema setelah pemberian patch mukoadhesif minyak cengkeh karena minyak cengkeh memiliki kandungan eugenol yang telah terbukti memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi (Diah dkk 2016). Mekanisme kerja eugenol sebagai antiinflamasi melalui penghambatan terhadap sintesis prostaglandin dan neutrofil chemotaxis (Chainy et al. 2000).
Data diameter udema masing-masing tikus tiap kelompok dianalisis statistik dilakukan dengan uji normalitas, uji homogenitas, analisis variansi satu arah (One Way ANOVA) dan uji Tukey. Berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro- Wilk diperoleh nilai signifikansi >α (0,05), sehingga data nilai persen inhibisi yang diperoleh telah terdistribusi normal. Hasil uji homogenitas diperoleh nilai signifikansi > α (0,05), sehingga data nilai persen inhibisi yang diperoleh memiliki variasi yang homogen. Berdasarkan kedua hasil pengujian, uji normalitas dan uji homogenitas yang menyatakan bahwa data nilai persen inhibisi yang diperoleh telah terdistribusi normal dan homogen, sehingga pengujian dapat dilanjutkan dengan menggunakan analisis variansi satu arah (One Way ANOVA).
Analisis variansi satu arah (One Way ANOVA) dilakukan dengan taraf keperayaan 95% atau sig = 0,05. Berdasarkan hasil analisis variansi satu arah (One Way ANOVA) terhadap nilai akhir persen inhibisi menunjukan adanya perbedaan yang bermakna yang dapat dilihat pada nilai signifikansi 0,000 < α (0,05). Hasil uji normalitas, homogenitas dan analisis variansi satu arah (One Way Anova) dapat dilihat pada Lampiran 14.
Setelah mendapatkan hasil analisis variansi satu arah (One Way ANOVA), dilakukan pengujian lanjutan dengan uji Tukey untuk melihat letak perbedaan pada tiap kelompok. Berdasarkan hasil uji Tukey terlihat adanya perbedaan yang bermakna setiap kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa patch mukoadhesif minyak cengkeh memiliki aktivitas antiinflamasi pada penanganan penyakit periodontal.