• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian 1. Struktur

Penelitian ini akan menggunakan teori Intertekstual Gender novel Perempuan di TitikNol Karya Nawal El Saadawi dalam Novel Perempuan BerkalungSorban Karya Abidah el Khalieqy, yakni sebuah teori atau sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva (1980: 5). Istilah interteks pada umumnya dipahami sebagai

hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks- teks lain sebagai bahan dasar penciptaan.

Novel PerempuandiTitikNol karya Nawal El Saadawi (2014) dan novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy (2009), dalam hal ini akan menjadi pengkajian kedua karya sebagai bahan penelitian untuk menelusuri dan menghubungkan keterjaringan, pengarang telah mengambil bahan-bahan lain untuk penciptaan yang disusun dan diberi variasi sesuai dengan keperluannya sehingga menghasilkan teks baru dan diberi variasi sesuai dengan keperluannya sehingga menghasilkan teks baru lainnya, pembacaan suatu teks selalu menghadirkan teks lain sebagai contoh, teladan, maupun sebagai kerangka acuan. Teks lain yang baru meneladani, menanggapi, dan menentang teks lama. Inilah yang dinamakan prinsif intertekstual ( Culler, 1977 : 139 ).

Novel PerempuandiTitikNol karya Nawal El Saadawi (2014) dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy (2009) konsep intertekstual terdapat relasi-relasi yang tidak sederhana antara bentuk dan makna atau penanda dan petanda sebagaimana yang dipertahankan oleh semiotika konvensional. Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu, bahwa sebuah teks dibuat dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, dalam sebuah teks mesti ada relasi dengan teks lain dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.

40

Konsep Kristeva (1980: 13) menegaskan bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri, tidak otonom dalam pengertian bahwa teks tersebut eksis berdasarkan relasi-relasi atau kriteria- kriteria internal pada dirinya sendiri, dilatarbelakangi oleh sesuatu yang eksternal melainkan sebuah permainan dan mozaik kutipan-kutipan dari teks yang mendahuluinya.

Sebuah teks hanya terdapat di dalam teks tersebut terdapat teks-teks lain yang saling mengisi dalam membentuk suatu makna. Senada dengan Kristeva, seorang pemikir Rusia, Mikhail Bakhtin mengatakan bahwa tidak ada ungkapan yang tidak berkaitan dengan ungkapan lainnya. Bakhtin secara implisit menyebutkan bahwa seluruh teks dengan ungkapan lainnya. Bakhtin secara implisit menyebutkan bahwa sebuah teks diproduksi dalam suatu proses komunikasi. Suatu teks dihasilkan bukan sebagai monolog pengarang, bukan pula suatu refleksi diri pengarang secara utuh dalam suatu proses referensi diri.

Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan penegasan dan gambaran semua bahan yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di pihak lain struktur karya sastra juga bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersamaan membentuk satu kesatuan makna yang utuh dalam karya sastra.

Pemahaman secara intertekstual bertujuan untuk menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Dan semua harus dibaca atas dasar latar belakang teks-teks lain.

Karya kritik ini mengandung tiga substansi, yaitu aspek historis, mengungkapkan karya yang dikritik dalam jalinan historisnya; seperti keaslian teks, dokumen,dan lain-lain. Kedua, aspek rekreatif, yaitu menemukan apa yang telah diungkapkan pengarang dalam karya yang dikritik. Ketiga, aspek penghakiman, yaitu menentukan nilai karya yang telah dibaca.

Untuk mengungkap pengkajian di atas maka penelitian ini saya batasi membagi beberapa bagian bagaimanakah hubungan kedua budaya, sosial, dan stereotipe yang akan menekankan hubungan interteks pada kedua novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi (2014) dalam Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy ( 2009 ) akan diurai sebagai berikut.

a. Budaya

Unsur Budaya dalam Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi Dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi, pengarang hendak menyampaikan gagasannya serta ingin menunjukkan fakta yang terjadi dalam sistem budaya yang berkembang di Mesir pada saat novel ini ditulis. Suatu wajah budayayang cenderung menganggap perempuan sebagai bagian dari produk sosial kelas kedua. Keberadaannya hanyalah melengkapi sebagai bagian dari produk sosial kelas kedua. Keberadaannya hanyalah melengkapi peran laki-laki yang lebih banyak

bertugas secara publik (sosial). Sehingga dominasi laki-laki dalam semua corak kehidupan banyak ditemukan pengarang ingin mengungkapkan selubung budaya ditemukannya dalam budaya Mesir. Suatu wilayah yang sangat kental nilai-nilai keagamaannya dengan penciptaan konsep gender. Perempuan sebagai obyek pembicaraan. Semua ranah yang diceritakan selalu saja mengangkat persoalan- persoalan perempuan.

Dalam novel ini, tidak ada menceritakan tentang perempuan yang bahagia dan dihargai selayaknya manusia.Semua menceritakan tentang kebiasaan yang di alami perempuan tersebut. Bahkan seorang germo bernama Shafira yang ditakuti dikalangan pelacur, dan disegani lelaki hidung belang pun tidak berdaya ketika langganannya yang bernama Fawzi memukulinya dan memaksa berhubungan intim tanpa membayar. Terdapat contoh lagi, ketika Paman Firdaus sedang berbicara dengan sang istri, dan sang istri memanggil Paman Firdaus dengan sebutan ‘yang mulia’. Hal ini menggambarkan laki-laki adalah segalanya, dan perempuan tak lain hanyalah seorang budak yang melayani setiap keinginan lelaki.

Berdasarkan tematik penciptaan dalam membongkar selubung budaya dan sistem kemasyarakatan di Mesir, segera kita ingin mengatakan bahwa dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi, kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pelecehan seksual, seperti: menyampaikan lelucon jorok secara vulgar, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan perkataan kotor, mengomentari tubuh seseorang terutama yang terkait dengan seksualitasnya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan atau mempertahankan kerja serta

promosi yang termasuk pelecehan seksual terhadap perempuan, atau janji-janji lainnya, proses pemiskinan, penggusuran di berbagai bidang terhadap perempuan, proses eksploitasi, menitik beratkan semua pekerjaan rumah terhadap perempuan.

Data budaya disimbolkan dengan Data M. Berikut adalah kutipannya:

Data M.1

AYAH SAYA, SEORANG petani miskin, yang tak dapat membaca maupun menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan. Bagaimana caranya bertanam, bagaimana menjual kerbau yang telah diracun oleh musuhnya sebelum mati, bagaimana menukar anak gadisnya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimanacaranya mendahului tetangganya mencuri tanaman pangan yang matang di ladang. Bagaimana meraih tangan ketua kelompok dan berpura-pura menciumnya, bagaimana memukul isterinya dan memperbudaknya tiap malam”.

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 16) Pada kutipan data M.1, menggambarkan adanya kebisaan yang di lakukan ayah firdaus yang telah menjadi tradisi atau budaya yang terdapat dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. Gambaran tentang kehidupan keluarga Firdaus yang menempatkan perempuan termaginalkan oleh laki-laki.

Kehidupan keluarga yang miskin, menukarkan anak gadisnya jika itu harus dilakukan demi melanjutkan hidup.

Data M.2

“Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air.

Sekarang saya telah menggantikan Ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 25)

Pada kutipan data M.2 menggambarkan kehidupan Firdaus pada masa pertumbuhan menjadi remajatelah di kenalkan dengan tradisi yang sering dikerjakan oleh ibu yakni bagaimana cara membasuh kaki ayahnya dengan air meskipun dia tidak tahu apa maksudnya melakukan hal itu. Keadaan ini menjadikannya mulai terbiasa dan menjadikannya perempuan yang rendah di mata laki-laki, perempuan berada pada posisi terbawah karena di usia anak-anak dengan mudahnya menerima perlakuan itu.

Data M.3

“Panasnya tungku mengenai muka saya, menggosongkan ujung-ujung rambut saya. Galabeya saya acapkali menggelosor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak saya perhatikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan pmana saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhati-hati.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 20) Pada kutipan data M.3 menjelaskan keadaan Firdaus yang menerima perlakuan tidak etis seorang paman terhadap kemanakannya. Firdaus berada pada posisi sebagai perempuan yang tak mengerti akan perlakuan pamannya terhadap dirinya yang seharusnya dia dilindungi dan dijaga kehormatannya oleh keluarga akan tetapi dengan perlakuan paman terhadapnya menjadikannya perempuan yang bernilai dalam keluarga karena tidak dihargai sebagai seorang anak, ataupun kemanakan.

Data M.4

“Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air.

Sekarang saya telah menggantikan Ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya”.

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 25) Pada kutipan data M.4 menggambarkan bahwa perempuan pada posisi termarginalkan oleh laki-laki yang menjadikan perempuan berada jauh di bawah laki- laki bahkan membasuh kaki ayah dan suami adalah pekerjaan perempuan sebagai seorang anak atau istri yang diperbudak setiap malamnya.

Data M.5

JIKA SALAH SATU anak perempuan mati, Ayah akan menyantap makan malamnya. Ibu akan membasuh kakinya dan kemudian ia akan pergi tdur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukuli ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur”.

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 26) Pada kutipan data M.5 menambahkan kelengkapan teks sebelumnya pada novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi yang menggambarkan posisi perempuan tidaklah begitu berarti dibandingkan laki-laki. Bahkan kematian perempuan bagi seorang Ayah di keluarga Firdaus hanya dianggap menambah jatah makan Ayah dan mengurangi pembagian makanan kepada anak-anaknya. Sedangkan, jika kematian itu terjadi pada anak laki-laki itu akan menjadi amarah dan gemuruh Ayah terhadap Ibu setelah makan malam.

Data M.6

“Saya terpesona akan sinar matanya, saya raih tangannya. Perasaan dari sentuhan tangan kami terasa aneh, sekonyong-konyong. Sebuah perasaan yang membuat tubuh saya gemetar dengan rasa nikmat mendalam dan lebh dari usia kehidupan yang saya ingat, lebih dakam dari kesadaran yang saya bawa selama ini.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 42)

Pada kutipan data M.6 menggambarkan perlakuan yang tidak etis terhadap Firdaus oleh Nona Iqbal seorang perempuan yang ditemuinya di ruangan terbawah dengan suasana malam yang kelam.

Data M.7

“Saya tidak suka makanan dia. Kau tahu, yang mulia, memasak adalah

‘semangat yang kau tiup ke dalamnya. Dan saya tidak suka apa yang dia

‘hembuskan’ ke dalam masakannya, dan kau juga tidak. Kau tidak ingat okra yang dimasaknya untuk kita? Kau katakan kepadaku bukannya okra yang telah terbiasa bagimu untuk dimakan bila aku membuatnya dengan tanganku sendiri.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 51) Pada kutipan data M.7, posisi Istri Paman tidaklah lebih dari budak yang memanggil suami dengan sapaan ‘yang mulia’ dan mengibaratkan semua kelebihan, pekerjaan, kekuatan yang ada dalam diri istrinya berasal dari ‘hembusan’ dan ‘tiupan’

sang suami. Laki-lakilah segalanya dalam keluarga mereka, semua kekuatan itu bersumber dari Ayah, Suami, dan anak laki-laki mereka sedangkan Istri dan anak perempuan hanya menerima kekuatan dan perintah itu untuk melayani serta memenuhi semua kebutuhan laki-laki.

Data M.8

“Ke universitas? Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan laki-laki? Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang laki-laki?! Di samping itu, dari mana kita mencari uang untuk biaya hidup, dan buku serta bajunya? Kau tahu betapa tingginya biaya hidup sekarang ini. Harga-harga seperti bertambah gila, dan gaji pegawai pemerintah naik sedikit sekali.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 52) Pada kutipan data M.8, pembicaraan antara Paman Firdaus dan istrinya yang membahas tentang keberadaan dan kelanjutan pendidikan Firdaus yang menjadi

beban ekonomi dalam keluarga mereka yang pada akhirnya Firdaus akan dijodohkan dengan Syekh Mahmoud, Paman dari istri Pamannya. Keadaan ekonomi yang mencekik di keluarga paman mengaharuskan dia mengorbankan perasaan, meninggalkan masa remajanya, melanjutkan pendidikan ke Universitas, menjadikannya harus berada dalam kungkungan keluarga untuk ditukar dengan beberapa pon dari keluarga Syekh Mahmoud.

Data M.9

“Tetapi belum lama saya membaringkan tubuh di atasnya untuk istrahat karena lelah sesudah memasak, mencuci serta membersihkan rumah yang besar itu dengan ruangan-ruangan yang penuh meubel, maka Syekh Mahmoud akan muncul di samping saya. Usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, sedangkan saya belum lagi sembilan belas.”

(Perempuan di Titik Nol, 2014: 61) Pada kutipan data M.9, menggambarkan kelengkapan penderitaan Firdaus setelah menikah dengan Syekh Mahmoud. Penderitaannya sebagai seorang istri yang tunduk dan berada di bawah perintah suaminya meskipun kepatuhan itu hanya penuh dengan penyiksaan lahir batin yang diterimanya setelah menikah dan ditukarkan oleh keluarganya demi beberapa pon dan tidak sanggup memberikannya makan setiap hari di keluarga Pamannya sendiri. Jika dalam taraf ekonomi rendah, perempuan dijadikan sebagai alat atau perantara untuk mendapatkan harga jika ditukarkan menjadi seorang istri yang diperbudak oleh laki-laki yang tidak lain adalah suaminya sendiri.

a. Unsur Budaya dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah ElKhalieqy

Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy, penulis hendak menyampaikan gagasannya serta ingin menunjukkan fakta yang terjadi dalam

sistem budaya yang berkembang di pondok pesantren pada saat novel ini ditulis.

Suatu wajah budaya dengan patriarki yang masih begitu kuat tertanam. Tata nilai yang bergerak cenderung menganggap perempuan sebagai bagian dari produk sosial kelas kedua. Keberadaannya adalah hanya melengkapi peran laki-laki yang lebih banyak bertugas secara publik (sosial). Sehingga dominasi laki-laki dalam semua corak kehidupan banyak ditemukan pengarang ingin mengungkapkan selubung budaya yang ditemukannya dalam budaya pesantren. Suatu wilayah yang sangat kental nilai-nilai keagamaannya.

Tematik penciptaan karya ini adalah gender dan budaya dengan perempuan sebagai obyek pembicaraan. Semua ranah yang diceritakan baginya hanya ruang kosong realitasnya perempuan banyak mengalami kekerasan, terutama dalam kehidupan rumah tangga dengan beribu wajah dan bentuknya sub tema, pendidikan islam.

Berdasarkan tematik penciptaan dalam membongkar perempuan muslim yang tidak radikal, tokoh feminis yang mengungkapkan gugatannya tidak dengan marah mengatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah budaya yang beradab, kekerasan terhadap perempuan, pendidikan yang digambarkan dalam kehidupan pondok pesantren amatlah naif yang menganggap wanita dijadikan sebagai bahan perampasan bagi lelaki, pemaksaan kehendak orang tua yang tidak memberikan kebebasan ruang gerak untuk belajar memilih bahan bacaan selain dari teks Al-Qur’an.

Konsep gender marginalisasi pada novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Data tentang unsure sosial disimbolkan dengan data M.berikut adalah kutipannya:

Data M.10

“Kewajiban seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau di mana saja asal bisa mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 12) Pada kutipan data M.10, menggambarkan adanya konsep gender margnalisasi yang menekankan perempuan pada posisi marginal terhadap laki-laki bahwa kodrat seorang perempuan hanya terbatas pada ruang gerak dalam rumah untuk mengurus semua kebutuhan rumah tangga. Padahal pada dasarnya baik pekerjaan maupun mengurus keluarga adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri.

Data M.11

“Naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa ?Sebab kau ini anak perempuan, Nisa.Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, Pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2099: 7) Pada kutipan data M.11, adanya makna gender marginalisasi yang merupakan proses pemiskinan yang diakibatkan adanya keyakinan bahwa adanya perbedaan

profesi antara seorang laki-laki dengan perempuan dalam hal ini perempuan tidak sewajarnya belajar naik kudahanya laki laki yang dianggap boleh melakukannya.

Posisi perempuan tersebut termarginalkan oleh keyakinan tersebut.

Data M.12

“Begini. Setiap pagi sehabis tidur, Nisa minum segelas air putih sebelum berkumur, Kemudian melafalkan huruf hijaiyah, alif, ba, ta, dan seterusnya dengan jelas dan tegas. Jangan ditekan atau takut didengar orang lain. Jangan lupa juga, lafalkan perbedaan huruf shaddengan syin, dzot dengan dzok, kaf dengan qof, dzal denga zak dengan huruf -huruf lainnya, yang hampir sama ucapannya, sampai kamu tahu perbedaannya. Paham?.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 18) Pada kutipan data M.12, keyakinan yang dianut di dalam keluarga adalah hanya di perbolehkan belajar mengkaji kitab al qur’an dan tidak di perbolehkan melakukan belajar naik kuda hal ini mempengaruhi kecerdasan seorang perempuan bernama Annisa yang ingin merasakan kebebasan dalam berpikir dan beraktivitas.

Adanya anggapan seperti ini menjadikan perempuan pada posisi terbawah dan jauh lebih rendah daripada laki-laki.

Data M.13

“Andaikata perempuan memiliki dunia seluruhnya dan ia membelanjakan semua hartanya untuk suaminya, kemudian ia mengungkit ungkit sesudah waktu lama, maka Allah melebur amalnya maka ia akan dihalau bersama qarun.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 96) Pada kutipan data M.13, adanya gender marginalisasi atau kewajiban yang harus di lakukan seorang istri terhadap suaminya meski perempuan berada dalam

tekanan-tekanan seorang laki-laki. Kepemilikan tubuh seorang perempuan adalah hak perempuan itu sendiri dan tidak seharusnya dikuasai oleh laki-laki sekalipun itu adalah suaminya sendiri.Hal inilah yang menyebabkan perempuan selalu berada dibawah tekanan seorang laki -laki karena walaupun seorang istri membelanjakan seluruh hartanya namun mengungkit kembali di sebabkan perbuatan laki-laki tidak di kehendaki perempuan atau istri seringkali di lontarkan.

Data M.14

“Andaikata kedua hidung suami mengalir darah atau nanah, lalu sang istri menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Kalau manusia boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan itu untuk bersujud kepada suaminya.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 77) Pada kutipan data M.14, melengkapi teks sebelumnya yang mengandung makna gender budaya dimana perempuan harus tunduk dan patuh terhadap laki-laki dan di yakini jika manusia memiliki tempat untuk bersujud selain bersujud atau taat selain kepada Nya maka perempuan itu bersujud atau taat kepada laki-laki dalam hal ini suaminya.

Data M.15

“Bukankah memasak adalah termasuk salah satu kewajiban perempuan?”

“Masa begitu, menurut siapa, Lek?”

“Menurut budaya kita dan tradisi semua orang di kampung ini.”

(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 174) Pada kutipan data M.15,kewajiban perempuan dalam mengurus rumah tangga sudah menjadi sebuah budaya dan tradisi di kampung tersebut hal ini seakan-akan ada perbedaan marginalisasi gender antara laki-laki dan perempuan dalam

beraktivitas untuk mencari nafkah di luar rumah dan tidak ikut campur dalam pengurusan dalam rumah yang menjadi tanggung jawab perempuan sebagai seorang istri.

b. Unsur Sosial

1). Unsur Sosial dalam Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi

Konsep nilai - nilai yang terdapat pada masyarakat telah memisahkan dan memilah- milah peran gender laki laki dan perempuan.Perempuandi anggap tidak penting dalam keputusan politik. Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

Pada novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawipenulis menyampaikan tentang penindasan lahir batin tokoh, persamaan R.A Kartini dengan Firdaus dalam membela hak-hak keperempuanan, posisi perempuan di titik nol, dan relasi judul dengan isi cerita.Menurut Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok

yang dianggap lebih kuat dan menempatkan perempuan berada di bawah posisi dan tekanan laki-laki sehingga tidak memberikan kesempatan terhadap perempuan untuk menjadi seorang pemimpin.

Perjuangan Firdaus dalam memperjuangkan hak-haknya, mengingatkan saya kepada Raden Ayu Kartini.Firdaus adalah seorang placur yang memperjuangkan hak- haknya sebagai perempuan.Sedangkan Kartini adalah seorang perempuan yang berasal dari keluarga priayi yang juga memperjuangkan hak-hak perempuan.

Meskipun pada dasarnya dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawitidaklah sebebas pada masa perjuangan Raden Ayu Kartin dalam memperjuangkan hak-hak perempuan menjadi seorang pemimpin dan hanya berada dalam kungkungan keluarga dan suami yang membatasi ruang geraknya karena adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat irasional dan emosional yang tidak stabil untuk menjadi seorang pemimpin.

Namun di sisi lain, Firdaus dengan senang hati menjalankan profesinya itu, walaupun sempat merasakan perang batin. Ia merasa bahwa lelakilah yang menciptakan dirinya sebagai pelacur, sehingga ia pun merasa menikmatinya. Seorang lelaki yang bernama Marzouk memaksa Firdaus untuk menjadi istrinya, tetapi Firdaus menolak karena Firdaus trauma untuk berumah tangga.Firdaus merasa tidak bebas jika harus menjadi seorang istri, lebih baik menjadi pelacur daripada menjadi seorang istri.Tetapi Marzouk pun menawarkan sesuatu kepada Firdaus disertai dengan berbagai ancaman yang berbahaya bagi Firdaus, tawaran tersebut adalah Firdaus harus menggunakan jasa germo Marzouk. Akhirnya Firdaus pun melaporkan

Dokumen terkait