• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Novel Bumi Manusia merupakan sebuah novel fiksi yang menceritakan kisah perjalanan hidup seorang lelaki yang bernama Minke dan seorang perempuan yang bernama Nyai Ontosoroh yang menjadi korban penjualan manusia dan ketidakadilan. Dalam bab ini, penulis akan merepresentasikan nilai feminisme tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia dengan menggunakan analisis wacana Sara Mills.

Refresentasi Nilai Feminisme Tokoh Nyai Ontosoroh

1. Posisi Subjek-Objek

Dalam novel Bumi Manusia, bentuk teks yang disajikan Pramoedya melalui tokoh Minke yang menceritakan kembali kisah Nyai ontosoroh yang didengarnya dari Annelies, anak dari Nyai Ontosoroh. Hal ini memposisikan Nyai sebagai pencerita atau subjek sekaligus objek, seperti kutipan di bawah ini:

Tak dapat aku menahan kecucukanku untuk mengetahui siapa Nyai Ontosoroh yang hebat ini. Beberapa bulan kemudian baru kuketahui dari cerita lisan Annelies tentang ibunya. Setelah ku susun kembali cerita itu jadi begini: (Toer, hal.107)

Nyai Ontosoroh awalnya bernama Sanikem, gadis berumur 14 tahun yang dijual oleh ayahnya yang sangat berambisi untuk menjadi seorang Juru bayar yang rela melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya, termasuk menjual anaknya sendiri kepada seorang Tuan besar yang bernama Herman Mellema.

Waktu berumur tiga belas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanak-kanak dulu. Malah duduk di pendopo ku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak (Toer, hal.

118).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa adanya konstruksi sosial terhadap seorang wanita yang ketika berusia 13 tahun harus mengalami pencekalan dirinya (pemingitan) terhadap lingkungannya, dengan melarang keluar rumah sampai dia dikawinkan dengan seorang pria.

Begitulah keadaannya, Ann. Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang meminang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya.

Semua ayah yang menentukan. (Toer, hal 118)

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan Nyai Ontosoroh pada waktu itu. Nyai Ontosoroh tidak berhak atas dirinya, tidak berhak menentukan calon suaminya. Karena ayahnya mempunyai rencana lain demi kepentingan pribadi.

Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak yang telah dijual oleh ayahnya sendiri, jururtulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun. (Toer, hal.

123)

Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuat Sanikem sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, sadar akan kondisi tersebut Sanikem berusaha keras dengan terus-menerus belajar agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Sanikem berpendapat bahwa untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar.

Dendamnya kepada orang tuanya membuat ia berusaha bangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa. Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda, membaca media Belanda, belajar budaya dan hukum Belanda. Sebab dia berharap pada suatu hari semua pengetahuan itu akan berguna untuk dirinya dan anak- anaknya.

Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku:

kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai. (Toer, hal 128)

Sudah sejak di Tulangan ia menternakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malam hari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menysusun kalimat Belanda. (Toer, hal.130)

Dalam setahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan Mellema pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja. (Toer, hal. 129) Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan harga diriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apa lagi semua itu. Papamu yang mengajariku, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud harga diri itu. (Toer, hal. 130)

Sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema.

Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. (Toer, hal 131).

Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru.

Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi (Toer, hal. 134)

Namun kebahagiaan Nyai Ontosoroh terguncang dahyat ketika harus berhadapan dengan hukum Belanda. Meskipun demikian, Nyai Ontosoroh memiliki kesadaran tinggi akan hak-haknya, berani menyatakan pendapat dan tidak takut dengan kekeliruan. Nyai Ontosoroh berani melawan setiap penindasan yang menimpa diri dan keluarganya.

Siapa yang menjadikan aku gundik? siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinakan? Apa Tuan-Tuan mengkehendaki anakku juga jadi gundik? (Toer, hal.427)

Suaranya terngaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas.

Pada waktu itu wanita pribumi itu telah menjadi jaksa resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang menertawakan perbuatan mereka sendiri. (Toer, hal. 427)

Siang itu saat matahari sangat terik, warna duka terlebih dulu menyelimuti rumah Nyai Ontosoroh. Mereka kalah di hadapan peradilan kolonial Belanda.

Annelies Mellema diambil oleh orang-orang Belanda. Minke kekasihnya tak mampu berbuat banyak. Semua orang melepas kepergian Annelies dengan duka.

Nyai Ontosoroh berkata kepada Minke:

Kita telah melawan, Nak. Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

(Toer, hal.535)

Bagi Nyai Ontosoroh, kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal.

2. Posisi Penulis dan Pembaca

Selain dilihat dari posisi subjek-objek, posisi pembaca dianggap penting dalam menganalisis sebuah teks. Dalam model Sara Mills, posisi tersebut merupakan hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Penempatan posisi pembaca umumnya dihubungkan dengan bagaimana penyapaan, penyebutan itu dilakukan dalam teks. Dihubungkan dengan pemakaian kata ganti “Aku, Kamu, Anda” di mana pembaca disapa atau disebut secara langsung dalam teks. Menurut Mills, penyapaan tersebut jelas menempatkan posisi pembaca menjadi bagian yang integral dalam keseluruhan teks. Bagian yang integral ini bukan hanya pembaca dipandang ada, tetapi secara tidak langsung memperhitungkan keberadaan pembaca. Kehadiran yang diperhitungkan itu bisa untuk menarik dukungan, menekankan, atau untuk mencari simpati dari pembaca. (Eriyanto, 2009 : 204)

Mengapa aku menceritakan ini padamu, Ann? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulang pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan seperti itu. (Toer, hal. 127-128)

Kutipan di atas adalah prolog dari novel Bumi Manusia. Teks ini merupakan teks yang ditujukan kepada pembaca, bukan menceritakan tentang cerita Nyai Ontosoroh. Penyapaan langsung ini.merupakan komunikasi antara penulis dengan pembaca tanpa perantara agar pembaca merasa digiring untuk memasuki cerita selanjutnya.

Dalam penggambaran Nyai-Nyai, penulis juga menggunakan kata sapaan tidak langsung kepada pembaca.

Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat asusila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya kepada soal-soal birahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? (Toer, hal. 75)

Dalam kutipan ini, terjadi penyapaan tidak langsung kepada pembaca yaitu pada kata „siapapun tahu‟ hal ini menjelaskan bahwa penulis memang menempatkan pembaca pada posisi penting dalam novelnya. Pembaca dibawa untuk masuk ke dalam cerita dengan posisi tetap sebagai pembaca yang diarahkan oleh penulisnya dalam mengikuti alur cerita. Pada teks kedua, Pramoedya seakan berbicara langsung kepada pembaca dan menyerahkan kepada pembaca untuk mengetahui akhir dari teks ini. Sehingga muncul komunikasi antara penulis dan pembaca.

Dokumen terkait