• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

B. Pembahasan

Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat asusila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya kepada soal-soal birahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? (Toer, hal. 75)

Dalam kutipan ini, terjadi penyapaan tidak langsung kepada pembaca yaitu pada kata „siapapun tahu‟ hal ini menjelaskan bahwa penulis memang menempatkan pembaca pada posisi penting dalam novelnya. Pembaca dibawa untuk masuk ke dalam cerita dengan posisi tetap sebagai pembaca yang diarahkan oleh penulisnya dalam mengikuti alur cerita. Pada teks kedua, Pramoedya seakan berbicara langsung kepada pembaca dan menyerahkan kepada pembaca untuk mengetahui akhir dari teks ini. Sehingga muncul komunikasi antara penulis dan pembaca.

ideologisnya dan munculnya perlawanan baru terhadap kapitalisme kolonial yang bercokol).

Pada zaman ini orang Belanda berkuasa dengan perusahaannya, dengan Gubermennya, dan dengan hukum putihnya. Orang putih dan orang pribumi tidak bergaul dan tidak membaur. Hanya ada satu dua orang yang masuk sekolah orang Belanda. Ironisnya mereka adalah golongan yang sangat tertindas dan dihina oleh masyarakatnya yaitu perempuan-perempuan yang disebut “gundik” atau “Nyai”.

Para nyai inilah yang sempat kenal rumah tangga Eropa dari dekat; sempat berbincang-bincang intim dengan “lelakinya”, bisnisnya, temannya, ilmu pengetahuannya dan dunia modernnya.

Pada novel Bumi Manusia, Pramoedya menggambarkan seorang nyai yang berwibawa karena prinsipnya, yang punya cara pandang maju dan tercerahkan, bukan sekadar nyai yang hanya menjadi objek seksual dan prestise sosial tuan kolonial. Nyai Ontosoroh menghadirkan dirinya tidak lagi sekadar gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Citra “suka selingkuh” yang menjadi watak Nyai terbantahkan oleh diri Nyai Ontosoroh.

Nyai Ontosoroh pada mulanya bernama Sanikem, gadis berumur 13 tahun yang dijual oleh ayahnya sendiri menjadi gundik seorang Belanda. Sanikem adalah perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan menolak untuk menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak

menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.

Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Tetapi bagaimanapun juga Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawan mempertahankan anaknya meski kalah. Kekalahan adalah resiko dari pertarungan. Tetapi semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal.

Sanikem adalah gambaran dari gadis-gadis di Bumi Putra yang mewarisi ketertindasan feodalisme (kerajaan), yang bukan saja tidak memiliki pengetahuan karena tidak dapat bersekolah bukan hanya karena berasal dari keluarga miskin, tetapi juga karena kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya untuk mendampingi suami, melayaninya, melahirkan anak, dan merawatnya. Sanikem adalah salah satu gadis jawa yang dilarang berbuat sesuatu seperti laki-laki.

Pada umumnya gadis Jawa yang tidak berpengetahuan apa-apa mengahadapi raksasa peradaban Eropa. Jangankan gadis-gadisnya, seluruh tatanan kejawaan yang didominasi laki-laki saja tidak berdaya menghadapi kolonialisme.

Tetapi Sanikem justru menemukan kebangkitan karena pergumulannya dengan tuan Eropanya justru dimanfaatkan untuk belajar mengerti tentang kehidupan, sedikit demi sedikit menjadi banyak pengetahuan yang diserap, memunculkan pencerahan diri yang muncul dalam sebuah sikap dan prinsip. Nyai Ontosoroh mengalami pemberontakan batin karena sang Ayah telah menggadaikan dirinya.

Ia tak berdaya karena budaya yang jahat, tetapi dari ketidakberdayaan itu ia berjanji untuk meninggalkan kebudayaan yang jahat dan tidak memiliki dasar lagi dalam ilmu pengetahuan dan prinsip kemanusiaan baru.

Akhirnya pengalaman pahit Sanikem alias Nyai Ontosoroh ini ternyata bisa menjadi penggerak orang berdiri tegak dan membangun karakternya dengan memergunakan pengetahuan yang didapat dari musuhnya untuk membangun dirinya.

Keseluruhan novel Bumi Manusia ini menggambarkan bagaimana posisi subjek dan objek penceritaan menentukan bagaimana teks hadir kepada pembaca.

Peristiwa yang dialami oleh Nyai Ontosoroh diceritakan oleh laki-laki yaitu Pramoedya melalui tokoh Minke. Nyai Ontosoroh di sini ditampilkan sebagai objek sekaligus subjek.

Nyai Ontosoroh sebagai objek ketika seorang gadis dijual dan dipaksa kawin oleh ayahnya sendiri, di mana hak-haknya pada saat itu diambil. Pandangan umum tentang Nyai-nyai yang digambarkan sangatlah buruk dimata semua orang.

Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai subjek ketika dia mulai bangkit dari ketertindasan dan melawan dengan segala usaha yang dia punya. Nyai Ontosoroh juga digambarkan sebagai seorang Nyai yang tidak seperti orang-orang mengenal Nyai selama ini. Sanikem belajar menjadi orang yang mampu mengutarakan pendapatnya dan belajar berbagai hal termasuk menjalankan bisnis.

Posisi ini sengaja dilakukan agar pembaca tidak melakukan keberpihakan terhadap salah satu tokoh dalam novel. Posisi ini juga dimaksudkan agar pembaca tidak hanyut dalam posisi sebagai aktor utama yang seringkali membawa pembaca

masuk terlalu jauh dalam cerita dan akhirnya melakukan pemihakan. Posisi pembaca ditempatkan sejajar dengan subjek sehingga dalam teks terjadi komunikasi antara pembaca dan penulis.

49

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Melalui novel ini, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu. Pada zaman kolonial Belanda istilah Nyai berkonotosi negatif. Kata Nyai saat itu untuk menggambarkan seorang perempuan yang bodoh, jorok, bermoral rendah, pelacur, gundik, selir, atau wanita piaraan para pejabat dan serdadu Belanda.

Perempuan yang menjadi nyai biasanya dijual oleh keluarganya sendiri demi mendapatkan harta dan jabatan. Tidak sedikit pula karena ekonomi yang sulit, banyak perempuan saat itu rela dijadikan sebagai selir Belanda. Sialnya, seorang Nyai tidak mengenal perkawinan sah di hadapan hukum Belanda. Biasanya para nyai mengenakan pakaian yang jauh lebih baik ketimbang perempuan pribumi lainnya. Nyai Ontosoroh mengenakan pakaian bersulam emas, giwang yang terbuat dari berlian, kalung emas dan perhiasan mahal lainnya. Namun hidup seorang Nyai tak berbeda dengan seorang budak dengan kemasan yang menggiurkan. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pram menghadirkan sosok perempuan yang kuat, pintar, dan melindungi keluarga.

Dalam penelitian ini, peneliti merepresentasi posisi subjek-objek dan posisi pembaca dengan menggunakan metode analisis Sara Mills. Pada posisi subjek-objek dalam novel ini, penulis memposisikan tokoh utama sebagai

subjek pencerita sekaligus sebagai objek penceritaan. Posisi ini sengaja dilakukan agar pembaca tidak melakukan keberpihakan terhadap salah satu tokoh dalam novel. Posisi ini juga dimaksudkan agar pembaca tidak hanyut dalam posisi sebagai aktor utama yang seringkali membawa pembaca masuk terlalu jauh dalam cerita dan akhirnya melakukan pemihakan. Posisi pembaca ditempatkan sejajar dengan subjek sehingga dalam teks terjadi komunikasi antara pembaca dan penulis. Pramoedya merepresentasikan nilai feminism melalui tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Nilai Feminisme yang menonjol adalah feminism radikal.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, penulis memiliki beberapa saran yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi orang lain yang membaca skripsi ini:

1. Diharapkan agar penelitian ini menjadi sebuah acuan untuk melakukan perubahan-perubahan dan pencerahan atas kasus-kasus ketidakadilan/

deskriminasi terhadap kaum perempuan yang sering terjadi namun luput diperhatikan.

2. Diharapkan agar masyarakat dapat berpikir kritis dan mampu memproses teks yang ada pada novel ini dengan baik sehingga masyarakat memiliki tambahan pengetahuan tentang feminisme.

51

DAFTAR PUSTAKA

Djajanegara, Soenarjati. 2000. “Kritik Sastra Feminis: Sebuah pengantar”.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Reflika Aditama.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Tesks Media. Yogyakarta:

LKIS.

Eriyanto. 2007. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Tesks Media. Yogyakarta:

LKIS.

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Tesks Media. Yogyakarta:

LKIS.

Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial dari Klasik hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Hubeis, Aida Vitayala S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa.

Bogor: IPB Press.

Kuntjara, Esther. 2012. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulya.

Mills, Sara. 2007. Diskursus Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial.

Diterjemahkan oleh Ali Noer Zaman. 2007. Jakarta: Penerbit Qalam.

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nunan, David. 1992. Mengembangkan Pemahaman Wacana: Teori dan Praktik.

Diterjemahkan oleh Elly W. Silangen. Jakarta: Pustaka Setia.

Nurcahyani, Nani. 2008. Anasir-Anasir Feminisme Dalam Dua Novel Tetralogi Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi tidak diterbitkan.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univeristas Indonesia.

Rahim, A. Rahman & Thamrin Paelori. 2013. Seluk-Beluk Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Romiz Aisy.

Rianto, Arga Fajar. 2010. Representasi Feminisme dalam Film “Ku Tunggu Jandamu” (studi analisis semiotika representasi feminisme melalui

52

tokoh Persik). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.

Sugihastuti & Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Suranto, Hanif (Editor). 1998. Wanita dan Media Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Titscher, Stefan dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta : Lentera Dipantara.

0 jadi begini: (Toer, hal.107)

2. Waktu berumur tiga belas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanak-kanak dulu. Malah duduk di pendopo ku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak (Toer, hal.

118).

3. Begitulah keadaannya, Ann. Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang meminang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya.

Semua ayah yang menentukan. (Toer, hal. 118)

4. Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak yang telah dijual oleh ayahnya sendiri, jururtulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun. (Toer, hal.

123)

5. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku:

kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai. (Toer, hal. 128)

6. Sudah sejak di Tulangan ia menternakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malam hari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menysusun kalimat Belanda. (Toer, hal.130)

7. Dalam setahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan Mellema pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja. (Toer, hal. 129)

8. Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan harga diriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apa lagi semua itu. Papamu yang mengajariku, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud harga diri itu. (Toer, hal. 130)

9. Sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema.

Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. (Toer, hal 131).

10. Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru.

Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi (Toer, hal. 134)

11. Siapa yang menjadikan aku gundik? siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? dihinakan? Apa Tuan-Tuan mengkehendaki anakku juga jadi gundik? (Toer, hal. 427)

12. Suaranya terngaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas.

Pada waktu itu wanita pribumi itu telah menjadi jaksa resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang menertawakan perbuatan mereka sendiri. (Toer, hal. 427)

13. Kita telah melawan, Nak. Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

(Toer, hal. 535)

14. Mengapa aku menceritakan ini padamu, Ann? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulang pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan seperti itu. (Toer, hal. 127-128)

15. Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapapun tahu, begitulah tingkat asusila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya kepada soal-soal birahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan

tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? (Toer, hal. 75)

58

seorang guru, sedangkan ibunya pedagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semiotobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh.

Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal diujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura- pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai- nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima.

Kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama

pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap di tempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika di penjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia.

Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan dilepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama.

Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'.

Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebarluaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke

Dokumen terkait