• Tidak ada hasil yang ditemukan

Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Dalam dokumen BERPIKIR KRITIS DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN (Halaman 43-64)

daripada meletakkan dalam semua yang telah Anda baca pada topik.

memiliki karakter yang sama, tetapi dalam higher orther thingking skills acuannya adalah tingkatan kognitif pada taksonomi Bloom.

Menurut Arifin Nugroho (2019), mendidik siswa dengan higher orther thingking skills berarti menjadikan mereka mampu berpikir.

Siswa dikatakan mampu berpikir jika siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki dalam konteks situasi yang baru. Kemampuan berpikir siswa dapat diartikan bila siswa mampu mengubah atau mengkreasi pengetahuan yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu yang baru.

Dengan higher order thinking skills, siswa dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas, berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkonstruksi penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas. Hal-hal ini merupakan kemampuan yang jelas dapat memperlihatkan bagaimana kemampuan bernalar siswa.

Kemampuan bernalar siswa merupakan salah satu unsur dari keterampilan berpikir kritis.

Saputra (2016) menyebutkan tujuan utama dari high order thinking skills adalah bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik pada level yang lebih tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam menerima berbagai jenis informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat

keputusan dalam situasi-situasi yang kompleks.  Dari rumusan tujuan tersebut jelas terlihat saling keterkaitan antara berpikir kritis dengan high order thinking skills. Kemampuan berpikir pada level tinggi sangat membutuhkan keterampilan berpikir kritis.

Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang sudah mulai diterapkan didunia pendidikan di Indonesia baik mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas memiliki manfaat untuk siswa itu sendiri. Arifin Nugroho (2019) menyebutkan manfaat Higher Order Thinking Skills (HOTS) untuk siswa adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan prestasi

Dalam dunia pendidikan di Indonesia hasil belajar merupakan ukuran umum untuk mengukur prestasi siswa. Banyak beberapa penelitian yang mengukur tingkat pencapaian hasil belajar siswa melalui Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang hasilnya menjadi tinggi atau baik. Sehingga dengan pembelajaran HOTS maka akan menaikkan hasil belajar siswa dan juga akan meningkatkan prestasinya.

2. Meningkatkan motivasi

Higher Order Thinking Skills (HOTS) juga mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini disebabkan melalui HOTS dapat membangkitkan rasa senang siswa karena merasa percaya diri dan lebih merangsang dalam belajar sehingga akan meningkatkan motivasi belajar siswa.

3. Meningkatkan sikap positif (afektif)

Meningkatkan sikap positif atau afektif merupakan salah satu penilaian dalam kurikulum 2013. Pendidikan akan dinyatakan berhasil apabila karakter positif terbentuk. Hasil penelitian Hugerat & Kortam dalam Arifin Nugroho (2019) menunjukkan bahwa pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) pada materi Sains menggunakan metode inkuiri dapat mengembangkan sikap positif, emosional dan kognitif yang baik.

Higher Order Thinking Skills (HOTS) tidak dapat dipisahklan dari dimensi keterampilan berpikir pada ranah kognitif Taksonomi Bloom. Bloom membagi enam tingkatan pada ranah kognitif yang kemudian direvisi oleh Andreson dan Krathwohl (2001) yaitu mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta.

The Australian Council for Educational Research (ACER) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses: menganalisis, merefleksi, memberikan argumen (alasan), menerapkan konsep pada situasi berbeda, menyusun, menciptakan.

Menurut Arifin Nugroho (2019) Higher Order Thinking Skills (HOTS) memiliki ciri yang khas yaitu level kemampuan ini mencakup kemampuan atau keterampilan siswa dalam menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta

(create). Sebaliknya ketiga ranah yang lainnya yaitu mengingat (remember), memahami (understand) dan mengaplikasi (apply) termasuk kedalam keterampilan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skills (LOTS). Indikator keterampilan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta didasarkan pada teori yang dipaparkan dalam revisi Taksonomi Bloom. Dibawah ini gambar perubahan level kognisi Taksonomi Bloom.

Gambar. Perubahan Level kognisi Taksonomi Bloom

Gambar 2. Kategori pengetahuan dan proses kognitif (Model Kuhn, 2001 dalam Schraw&Daniel, 2011)

Gambar di atas merupakan kategori pengetahuan dan proses kognitif (Model Kuhn, 2001 dalam Schraw&Daniel, 2011) dalam Arifin Nugroho(2019). Pada setiap tingkatan kemampuan dan pengetahuan pada tahapannya memiliki beberapa indikator masing-masing.

Bila dilihat dari gambar diatas, maka indikator Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah:

1. Level Analisis

Menganalisis adalah menguraikan bahan atau konsep kedalam bagian, menentukan hubungan antar bagian atau hubungan bagian terhadap struktur atau tujuan secara keseluruhan.

Level analisis terdiri dari kemampuan atau keterampilan membedakan, mengorganisasi dan menghubungkan.

2. Level Evaluasi

Mengevaluasi adalah membuat penilaian berdasarkan kriteria- kriteria dan standar-standar melalui pemeriksaan dan kritik.

Mengevaluasi juga membuat keputusan berdasarkan kriteria dan standar. Level evaluasi terdiri dari keterampilan mengecek dan mengkritisi.

3. Level Mencipta

Mencipta adalah memasukkan elemen untuk membentuk satu kesatuan yang koheren atau fungsional atau melakukan reorganisasi elemen menjadi pola atau struktur baru melalui proses membangkitkan, merencanakan atau menghasilkan.

Pada level tertinggi ini, siswa mengorganisasi berbagai informasi menggunakan cara atau strategi baru atau berbeda dari biasanya. Siswa dilatih memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang baru, koheren, dan orisinal. Level mencipta terdiri dari merumuskan (generating), merencanakan (planning) dan memproduksi (producing).

Brookhart (2010) berpendapat bahwa definisi Higher Order Thinking Skills dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Higher Order Thinking Skills sebagai transfer (HOTS as Transfer)

Brookhart mengambil kesimpulan dari Anderson dan Krathwohl (2001) bahwa belajar untuk transfer merupakan pembelajaran yang bermakna yaitu suatu proses mempelajari sesuatu yang akan diterapkan oleh siswa dalam situasi nyata.

Diterapkan maksudnya siswa emmpu menggunakan, mentransfer, dan mengeksplorasi pengetahuan yang mereka dapatkan untuk situasi baru.

Proses belajar bermakna tidak sekedar menghafal konsep- konsep atau tetapi merumuskan kegiatan menghubungkan konsep- konsep untuk dapat menghasilkan pemahaman yang utuh. Dengan begitu, konsep yang dipelajari dapat dipahami dengan baik dan tidak mudah dilupakan. Hal ini dapat dikatakan bahwa HOTS

mengaplikasikan pengetahuan dan juga keterampilan yang sudah dikembangkan dalam pembelajaran pada konteks yang baru.

2. Higher Order Thinking Skills sebagai berpikir kritis (HOTS as critical thingking)

Higher Order Thinking Skills sebagai berpikir kritis didefinisikan sebagai keterampilan memberikan penilaian yang bijak dan mengkritisi sesuatu menggunakan alasan logis dan ilmiah. Tujuan pembelajaran, salah satunya adalah menjadikan siswa mampu mengungkapkan argumentasi, melakukan refleksi, dan membuat keputusan yang tepat.

Keterampilan berpikir kritis sangat penting bagi siswa karena dengan keterampilan ini siswa mampu bersikap rasional dan memilih alternetive pilihan yang terbaik bagi dirinya. Siswa yang memiliki keterampilan ini akan selalu bertanya pada diri sendiri dalam menghadapi persoalan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya.

3. Higher Order Thinking Skills sebagai pemecahan masalah (HOTS as problem solving)

Higher Order Thinking Skills sebagai pemecahan masalah didefinisikan sebagai keterampilan mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan masalah menggunakan strategi yang nonautomatic.

Dengan kemampuan ini, maka siswa akan mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri dan bekerja dengan lebih efektif.

Kategori berpikir tingkat tinggi sebagai aktivitas pemecahan masalah dijelaskan dalam dua penjelasan, yaitu:

a. Seorang siswa akan mengalami masalah ketika ia akan mencapai tujuan pembelajaran karena ia tidak secara otomatis mengetahui cara atau solusinya. Problemnya adalah bagaimana mencapai tujuan yang diinginkannya. Karena ia tidak secara otomatis mengetahui, sehingga ia harus menggunakan salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan untuk memecahkan masalah.

b. Ketika menjelajahi hal baru, maka perlu mengingat informasi, belajar dengan pemahaman, mengevaluasi ide secara kritis, merumuskan alternatif kreatif, dan berkomunikasi secara efektif, model penyelesaian masalah dapat diterapkan untuk masing-masing masalah ini. Hal tersebut membantu siswa terus belajar sendiri dan mandiri.

Dalam rangka menerapkan proses pemecahan masalah, Stobaugh dalam Arifin Nugroho (2019) menawarkan sebuah desain berpikir. Model yang ia sampaikan mampu memberi jalan siswa dalam menyusun suatu struktur pemikiran dan desain solusi permasalahan. Dengan desan ini, siswa melakukan proses kognitif pada level kreasi. Desain yang ditawarkan Stobaugh, yaitu:

• mengidentifikasi peluang: mengidentifikasi masalah sekolah atau masyarakat dan mengumpulkan informasi tentang masalah tersebut.

• Desain: brainstorming solusi untuk maslaah dan ide penelitian terbaik.

• Prototipe: mengidentifikasi bagaimana solusinya akan bekerja dengan cara membuat sketsa atau prototipe.

• Mendapatkan umpan balik: meminta ahli untuk meninjau pekerjaan dan memberikan umpan balik demi perbaikan.

• Skala dan penyebaran: merencanakan pelaksanaannya, termasuk memperhatikan kemungkinan dibentuknya subkelompok kerja untuk menyelesaikan tugas.

• Presentasi: mempresentasikan ide dalam seting otentik, misalnya melalui skype atau tatap muka langsung dengan siswa lain.

Mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan di dunia pendidikan sekarang ini adalah menuntut bukan hanya pembelajaran yang HOTS, tetapi juga diharapkan siswa dapat mengerjakan soal-soal yang bermuatan HOTS. Oleh karena itu Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas menyusun Modul yang berjudul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) merekomendasikan soal-soal yang digunakan pada berbagai bentuk penilaian kelas. Untuk menginspirasi guru

menyusun soal-soal HOTS di tingkat satuan pendidikan, berikut ini dipaparkan karakteristik soal-soal HOTS yaitu:

1. Kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving), keterampilan berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), kemampuan berargumen (reasoning), dan kemampuan mengambil keputusan (decision making). Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu kompetensi penting dalam dunia modern, sehingga wajib dimiliki oleh setiap peserta didik.

Kreativitas menyelesaikan permasalahan dalam HOTS, terdiri atas:

a. Kemampuan menyelesaikan permasalahan yang tidak familiar;

b. Kemampuan mengevaluasi strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda;

c. Menemukan model-model penyelesaian baru yang berbeda dengan cara-cara sebelumnya.

Tingkat kesukaran dalam butir soal tidak sama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebagai contoh, untuk mengetahui arti sebuah kata yang tidak umum (uncommon word) mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat tinggi,

termasuk higher order thinking skills. Dengan demikian, soal-soal HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka proses pembelajarannya juga memberikan ruang kepada peserta didik untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Aktivitas dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.

2. Berbasis permasalahan kontekstual

Soal-soal HOTS merupakan penilaian yang berbasis situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, dimana peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan masalah.

Permasalahan kontekstual yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini terkait dengan lingkungan hidup, kesehatan, kebumian dan ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pengertian tersebut termasuk pula bagaimana keterampilan peserta didik untuk menghubungkan (relate), menginterpretasikan (interprete), menerapkan (apply) dan mengintegrasikan (integrate) ilmu pengetahuan dalam pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan

Johnson (2006) dalam bukunya Contextual Teaching and Learning yang memperkenalkan model pembelajaran kontekstual yaitu dimana pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata atau lingkungan sekitar siswa. Pembelajaran kontekstual ini sangat cocok untuk meningkatkan berpikir kritis atau bisa sebagai soal yang termasuk kedalam Higher Order Thinking Skills. Johnson menyebutkan lima karakteristik asesmen kontekstual, yang disingkat REACT diantaranya adalah:

a. Relating, asesmen terkait langsung dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.

b. Experiencing, asesmen yang ditekankan kepada penggalian (exploration), penemuan (discovery), dan penciptaan (creation).

c. Applying, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di dalam kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah nyata.

d. Communicating, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mampu mengomunikasikan kesimpulan model pada kesimpulan konteks masalah.

e. Transfering, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mentransformasi konsep-konsep pengetahuan dalam kelas ke dalam situasi atau konteks baru. 

Peran Soal HOTS dalam Penilaian Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas dalam Modul yang berjudul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) bertujuan untuk

mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dalam melakukan penilaian, guru dapat menyisipkan beberapa butir soal HOTS.

Berikut dipaparkan beberapa peran soal-soal HOTS dalam meningkatkan mutu Penilaian.

1. Mempersiapkan kompetensi peserta didik menyongsong abad ke-21.

Penilaian yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan diharapkan dapat membekali peserta didik untuk memiliki sejumlah kompetensi yang dibutuhkan pada abad ke-21. Secara garis besar, terdapat 3 kelompok kompetensi yang dibutuhkan pada abad ke-21 (21st century skills) yaitu:

a. Memiliki karakter yang baik (beriman dan taqwa, rasa ingin tahu, pantang menyerah, kepekaansosial dan berbudaya, mampu beradaptasi, serta memiliki daya saing yang tinggi);

b. Memiliki sejumlah kompetensi (berpikir kritis dan kreatif, problem solving, kolaborasi, dan komunikasi);

c. Menguasai literasi mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori.

Penyajian soal-soal HOTS dalam penilaian dapat melatih peserta didik untuk mengasah kemampuan dan keterampilannya sesuai dengan tuntutan kompetensi abad ke-21 di atas. Melalui penilaian berbasis pada soal-soal HOTS, keterampilan berpikir

rasa percaya diri (learning self reliance), akan dibangun melalui kegiatan latihan menyelesaikan berbagai permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari (problem-solving).

2. Memupuk rasa cinta dan peduli terhadap kemajuan daerah.

Dalam Penilaian guru diharapkan dapat mengembangkan soal-soal HOTS secara kreatif sesuai dengan situasi dan kondisi di daerahnya masing-masing. Kreativitas guru dalam hal pemilihan stimulus yang berbasis permasalahan daerah di lingkungan satuan pendidikan sangat penting.

Berbagai permasalahan yang terjadi di daerah tersebut dapat diangkat sebagai stimulus kontekstual. Dengan demikian stimulus yang dipilih oleh guru dalam soal-soal HOTS menjadi sangat menarik karena dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh peserta didik. Sehingga peserta didik merasa terpanggil untuk ikut ambil bagian untuk memecahkan berbagai permasalahan yang timbul di daerahnya.

3. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

Pendidikan formal di sekolah hendaknya dapat menjawab tantangan di masyarakat sehari-hari. Ilmu pengetahuan yang dipelajari di dalam kelas, agar terkait langsung dengan pemecahan masalah di masyarakat. Dengan demikian peserta didik merasakan bahwa materi pelajaran yang diperoleh di dalam kelas berguna dan dapat dijadikan bekal untuk terjun di masyarakat.

Tantangan-tantangan yang terjadi di masyarakat dapat dijadikan stimulus kontekstual dan menarik dalam penilaian, sehingga munculnya soal-soal berbasis soal-soal

HOTS, yang diharapkan dapat menambah motivasi belajar peserta didik.

4. Meningkatkan mutu Penilaian.

Penilaian yang berkualitas akan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan membiasakan melatih siswa untuk menjawab soal-soal HOTS, maka diharapkan siswa dapat berpikir secara kritis dan kreatif.

Penilaian Higher Order Thinking Skills tidak hanya menilai sekedar kognitif saja tetapi juga menilai keterampilan yang dimiliki oleh siswa yaitu dengan penilaian autentik. Ciri-ciri penilaian kontekstual yang berbasis pada penilaian autentik, adalah sebagai berikut:

a. Peserta didik mengonstruksi responnya sendiri, bukan sekadar memilih jawaban yang tersedia;

b. Tugas-tugas merupakan tantangan yang dihadapkan dalam dunia nyata;

c. Tugas-tugas yang diberikan tidak hanya memiliki satu jawaban tertentu yang benar, tetapi memungkinkan banyak jawaban benar atau semua jawaban benar.

Pengembangan pembelajaran Critical thinking dan higher order thinking skills merupakan suatu tuntutan dan perkembangan zaman di abad 21 ini yang saat ini semua informasi dan tekhnologi berkembang dengan pesat. Kemampuan berpikir kritis hanya dapat diterima dan dikembangkan didunia pendidikan. Oleh karena itulah dunia pendidikan menjadi salah satu alternatif untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis manusia Indonesia melalui generasi penerus bangsa. Dengan keterampilan berpikir kritis yang dilatih dan dikembangkan oleh dunia pendidikan maka tujuan pendidikan Indonesia akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Bailin, S. Critical thinking and science education. Science &

Education, 11(4), 2002.

Bailin, S., Case, R., Coombs, J. R., & Daniels, L. B. Conceptualizing critical thinking. Journal of Curriculum Studies, 31(3), 1999.

Barry, M. What skills will you need to succeed in the future? Phoenix Forward (online). Tempe: AZ, University of Phoenix, 2012.

DirJen Dikdasmen Kemendikbud. Modul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skill (HOTS). https://www.berkasedukasi.

com/2017/07/modul-penyusunan-soal-hots-sma.html

Emily R. Lai. Critical Thinking: A Literature Review. Research Report. Always Learning. Pearson. 2011.

Fischer, S. C., Spiker, V. A., & Riedel, S. L. Critical thinking training for army officers, volume 2: A model of critical thinking. (Technical Report). Arlington, VA: U.S. Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences, 2009.

Frydenberg, M., & Andone, D. Learning for 21 st Century Skills, 2011.

Garnison. D. R., Anderson, T. & Archer, W. Critical Thingking and Computer Conferencing: A Model and Tool to Assess Cognitive Presence. http://communitiesofinquiry.com/documents/Cogpres_

Final.pdf, 2001.

Halpern, D. F. Assessing the effectiveness of critical thinking instruction. The Journal of General Education, 50(4), 2001.

Hidayah, Ratna dkk. Critical Thingking Skill: Konsep dan Indikator Penilaian. Jurnal Taman Cendekia Vol. 01 No. 02 Desember 2017.

Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. California:

Corwin Press, 2002.

Milton Keynes. Thinking Critically. United Kingdom: Thanet Press.

ISBN 978-0-7492-2920-7, 2008.

Molan, Benyamin. Logika: Ilmu dan Seni Berpikir Kritis. Jakarta: PT.

Indeks, 2019.

Moore, Brooke Noel and Richard Parker. Critical Thinking. New York: McGraw-Hill, 2005.

Potter, Mary Lane.  From Search to Research: Developing Critical Thinking Through. Web Research Skills© Microsoft Corporation, 2010.

Redecker, C., et al. The Future of Learning: Preparing for Change.

Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2011.

Sternberg, R. J. Critical thinking: Its nature, measurement, and improvement National Institute of Education. Retrieved from http://eric.ed.gov/ PDFS/ED272882.pdf, 1986.

Tilaar, H. A. R. Pedagogik Kritis, Perkembangan, Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Wagner, T. Overcoming The Global Achievement Gap (online).

Cambridge, Mass: Harvard University, 2010.

Willingham, D. T. Critical thinking: Why is it so hard to teach?

American Educator, 2007.

PROFIL PENULIS

Linda Zakiah, S.Pd, M.Pd. Lulus S1 di Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta tahun 2004, lulus S2 di Program Studi Teknologi Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta tahun 2014.

Pernah mengajar di Sekolah Menengah Pertama di Jakarta dari tahun 2005 sampai tahun 2014. Saat ini, adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta dari tahun 2015 sampai sekarang.

Dr. Ika Lestari, S.Pd., M.Si. Lulus S1 di Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta tahun 2006, lulus S2 di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia tahun 2009, kemudian melanjutkan studi di jenjang S3 pada Program Studi Teknologi Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta tahun 2017. Saat ini, adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta dari tahun 2008 sampai sekarang. Aktif menulis di berbagai prosiding seminar nasional maupun internasional, menulis buku teks, maupun artikel jurnal ilmiah yang semuanya bertemakan Belajar dan Pembelajaran. Selain mengajar, saat ini juga sebagai Evaluator Pembukaan Program Studi dari Direktorat Kelembagaan, Kemenristekdikti dari tahun 2016 sampai sekarang.

Dalam dokumen BERPIKIR KRITIS DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN (Halaman 43-64)

Dokumen terkait