BAB VI PEMBAHASAN
B. Pembahasan Hasil Penelitian
2. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Status Gizi Lebih
81
mungkin berkontribusi pada kelebihan lemak pada saat dewasa.
Kenaikan berat badan dapat memicu terjadinya status gizi lebih bahkan obesitas yang mungkin tidak mudah untuk kembali pada berat badan ideal. Tentunya, hal tersebut dapat mengancam kesehatan dan kesejahteraan anak-anak (Browne dkk., 2021)
2. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Status Gizi Lebih
82
untuk perubahan fisik dan emosional dalam pertumbuhan remaja sehingga sering kali terjadi masalah gizi terkait status gizi lebih atau obesitas pada anak-anak usia ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa berjenis kelamin laki- laki lebih banyak mengalami gizi lebih dan obesitas (29,9%) dibandingkan dengan perempuan (28,2%). Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Danari dkk., (2013) dan Parengkuan dkk., (2013) yang menunjukkan bahwa kasus obesitas terjadi lebih banyak pada siswa berjenis kelamin laki-laki (64,7%) dibandingkan dengan siswa yang berjenis kelamin perempuan (35,3%). Hal ini terjadi karena pola makan anak laki-laki cenderung lebih banyak mengonsumsi jajanan dan makanan dibandingkan dengan anak perempuan sehingga anak laki-laki dikalahkan untuk mengalami gizi lebih dan obesitas dibandingkan anak perempuan. Selain itu, anak laki-laki cenderung lebih sedikit bermain game yang dapat membakar lebih banyak kalori karena munculnya video game (Danari dkk., 2013; Parengkuan dkk., 2013).
Hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi lebih dan obesitas pada siswa siswi MI Khoirul Huda Kota Tangerang tahun 2021 (P-value > 0,05).
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani &
Hernanda, (2020) dan Susanti & Pardede, (2016) yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan secara statisitik antara jenis kelamin dengan status gizi lebih dan obesitas. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Sugesti yang membuktikan bahwa terdapat
83
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas (P-value 0,013) dan penelitian lainnya oleh Sartika, (2011) yang menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki peluang untuk mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan dengan siswi perempuan.
Perbedaan angka kejadian gizi lebih dan obesitas pada anak- anak laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh pengaruh biologis.
Hormon steroid seks dikaitkan dengan perbedaan komposisi tubuh pada anak-anak. Penelitian lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi leptin yang bersirkulasi lebih tinggi pada perempuan, dimana hormon leptin merupakan hormon yang bekerja untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi (Shah dkk., 2020).
Sosial budaya juga berperan dalam mempengaruhi perbedaan angka kejadian gizi lebih dan obesitas pada anak laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan, terutama mereka yang berada di negara berpenghasilan tinggi, lebih menyukai makanan yang rendah energi dan padat nutrisi, seperti buah- buahan dan sayuran, sedangkan anak laki-laki cenderung mengkonsumsi lebih banyak daging dan makanan tinggi kalori (Knebusch dkk., 2021). Selain itu, penelitian Sartika (2011) pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa anak perempuan juga mungkin sering merasa kekhawatiran terkait berat badan, termasuk keinginan untuk menurunkan berat badan untuk alasan penampilan, perasaan bersalah karena makan terlalu banyak (Sartika, 2011).
84
Adapun, penelitian lain menjelaskan hal sebaliknya bahwa anak- anak perempuan mungkin berpeluang untuk mengalami gisi lebih dan obesitas karena tingkat aktivitas anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Anak perempuan umumnya kurang aktif secara fisik karena anak perempuan cenderung tidak bergabung dengan komunitas olahraga. Tingkat aktivitas fisik yang tinggi dikaitkan dengan faktor pencegah terjadinya gizi lebih dan obesitas (Knebusch dkk., 2021).
Pada masa anak-anak usia sekolah yaitu usia 5-12 tahun, dimana pada usia tersebut anak-anak sedang mengalami pertumbuhan yang pesat baik tinggi badan maupun berat badan. Kemudian, pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya pembatasan yang mengakibatkan terbatasnya ruang gerak anak-anak dalam melakukan aktivitas fisik di luar ruangan seperti di taman dan fasilitas umum lainnya yang mendukung sehingga anak laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki risiko atau peluang untuk mengalami obesitas (Browne dkk., 2021; Susanti & Pardede, 2016).
Hasil penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara pekerjaan ayah dan ibu dengan status gizi lebih dan obesitas pada siswa siswi MI Khoirul Huda Kota Tangerang tahun 2021 (P-value >
0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang mengalami gizi lebih dan obesitas lebih banyak memiliki ayah dengan pekerjaan sebagai pekerja formal (31%). Diketahui bahwa anak dengan ayah yang memiliki pekerjaan sebagai pekerja formal lebih banyak memiliki
85
frekuensi konsumsi minuman manis ≥ 5 kali/minggu (61,2%) dan memiliki aktivitas yang kurang (52,6%) dibandingkan dengan anak yang memiliki pekerjaan informal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 rata-rata pendapatan bersih dalam satu bulan pekerja formal di provinsi Banten sebesar 3,782 juta rupiah, sedangkan rata-rata pendapatan pekerja informal (pekerja bebas) sebesar 1,564 juta rupiah (Badan Pusat Statistik, 2021b, 2021a).
Pada pekerjaan ibu, kebanyakan anak yang mengalami gizi lebih dan obesitas memiliki ibu yang tidak bekerja (30,5%). Diketahui bahwa anak dengan ibu yang tidak bekerja, lebih banyak memiliki aktivitas penggunaan media berbasis layar ≥ 28 jam/minggu (74,4%) dan memiliki aktivitas yang kurang (53,7%) dibanding anak dengan ibu yang bekerja. Temuan-temuan ini mungkin dapat berpengaruh pada hasil penelitian. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasihah (2021 )terhadap anak usia di bawah 5 tahun yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami obesitas lebih banyak memiliki ibu yang tidak bekerja (58,1%) dan anak yang mengalami obesitas memiliki ibu sebagai pekerja sebanyak 34,9%.
Ibu yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga memiliki kendali penuh dalam mengurus anak, sehingga pola asuh memiliki peran penting karena memiliki dampak pada strategi pemberian makan anak yang nantinya akan berpengaruh pada status gizi anak. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Triana, dkk (2020) yang menunjukkan
86
bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia sekolah dengan P-value < α (p value = 0.012) (Triana, 2017).
Pekerjaan orang tua berkaitan dengan tingkat pendapatan orang tua, dimana tingkat pendapatan orang tua selanjutnya mempengaruhi status sosial ekonomi suatu keluarga. Tingkat pendapatan orang tua terkait dengan kemampuan serta daya beli orang tua dalam memberikan asupan gizi dengan mempertimbangkan pemilihan jenis dan jumlah makanan kepada anaknya. Jika tingkat pendapatan orang tua tinggi maka akan berpengaruh kepada status sosial ekonomi, status sosial ekonomi yang lebih tinggi diprediksi lebih mampu untuk membeli makanan yang digemari oleh anak-anak usia sekolah seperti makanan cepat saji dan cenderung memiliki pola makan tinggi lemak. Selain itu, anak-anak dengan orang tua yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi cenderung diberikan uang saku yang cukup besar sehingga anak dapat jajan makanan seperti makanan cepat saji, camilan, dan lain sebagainya dengan mudah. Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap gaya hidup keluarga yang juga akan berdampak pada anak (Octari dkk., 2014; Parengkuan dkk., 2013; Susanti & Pardede, 2016).
Pandemi Covid-19 mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi sehingga berdampak pada kemiskinan dan kerawanan pangan. Tidak sedikit para orang tua yang diberhentikan dari tempat bekerja dan menjadi pengangguran selama pandemi Covid-19. Hal tersebut akan berdampak pada tingkat pendapatan orang tua dan dapat mempengaruhi
87
kemampuan orang tua dalam memberikan makanan yang bergizi dan dengan mempertimbangkan kuantitas.
Keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan rendah cenderung untuk memilih makanan yang lebih mengenyangkan tanpa memperhatikan kualitas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Koletzko dkk., (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki status sosial ekonomi rendah memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi untuk mengalami kenaikan berat badan dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik (Koletzko dkk., 2021). Hal ini membuktikan bahwa pekerjaan orang tua yang akan mempengaruhi status sosial ekonomi rendah, menengah dan tinggi masing-masing memiliki kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori, jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik maka dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih dan obesitas (Susanti &
Pardede, 2016).
3. Hubungan Antara Frekuensi Konsumsi Makanan Cepat Saji