• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SUMBER NORMA EKONOMI ISLAM

D. Ijtihad

87

88

terurai.37 Sementara ijtihad dalam aspek yang terkait dengan hukum merupakan pengarahan segala daya upaya yang dimiiliki untuk bisa mencapai hukum yang mengandung nilai ketuhanan atau masuk dalam aspek nilai agama dalam kandungannya.38

Dalam hal ini sebagai misal adalah Ibnu Khaldun, tokoh kontemporer muslim sekaligus sebagai bapak ekonom dunia sudah berkontribusi dalam aspek pemikiran yang berhubungan dengan bidang ekonomi, termasuk kategori ajaran terkait nilai, pembagian kerja, hukum penawaran sistem harga, permintaan, konsumsi, produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran.

Beliau juga mengupas tuntas aneka levelisasi yang dilampui komunitas umat dalam pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, merintis paham asas yang muncul dalam kurva penawaran tenaga kerja dimanan tingkat kemiringannya bertahap mundur. Tidak salah kemudian jika ijtihad-ijtihad beliau hingga kini tetap relevan dan menjadi varian yang tidak bisa dipisahkan dari sumber rujuk dalam upaya perluasan pengembangan ekonomi.39

Oleh sebab itu, perihal ijtihad pada masa kekinian jauh lebih diprioritaskan dibanding dengan masa terdahulu. Aneka prolematika kontemporer telah timbul kepermukaan dan menuntut umat untuk mampu menyikapinya. Aneka problematika yang dikehendaki mencakup aneka sisi kehidupan, dimulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada problem rekayasa genetik dalam bidang medis. Pada kategori ekonomi, tidak jarang dijumpai beberapa aktivitas atau kelembagaan yang pada awalnya tidak terwujud.

Lembaga perbankan dengan segala macam ragamnya.

37 Muhammad Abu Zahroh, Ushūl al Fiqḥ, alih bahasa Sefullah Ma’shum, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 567.

38 Khairul Umam, dkk., Ushul Fiqih II, cet. II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 131.

39 TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. I, (Semarang: PT.

Pustaka Riski Putra, 1997), hln 261.

89

Lembaga asuransi dengan segala variannya merupakan problem yang harus didelik hukumnya oleh agama Islam.40

Mekanisme istibāth hukum saat melakukan ijtihad di masa kontemporer kekinian harus lebih diproritaskan dan ditekankan melalui ijtihad kolektif. Apabila dipahami secara tekstual-konstekstual menandaskan bahwa ijtimā’ ulil amri supaya melakukan musyawarah dalam penentuan produk hukum sebuah permasalahan yang belum tercantum aturannya dalam Al-Qur’an maupun hadis. Selanjutnya berakhir pada pandangan yang dikompromikan, menjadi satu model ijtihad dan satu di antara rujukan dasar hukum Islam.

Dalam kondisi ini menurut Yusuf Qardhawi, dalam bidang muamalah, lahan ijtihad yang mengharuskan aneka solusi ada dua: pertama, kategori ekonomii atau keuangan.

Dalam aspek ini muncul sejumlah aneka model transaksional yang bersifat kebaruan, sebab belum pernah dijumpai pada masa lampau. Kedua, bidang ilmu pengetahuan maupun kedokteran. Dalam kategori inipun termasuk ditemukan macam-macam metode aktivitas yang memerlukan kepastian yang jelas tetang status hukum.41

Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan universal kemudian ditopang dengan adanya teknologi informasi telah menghadirkan variasi produk ekonomi, oleh karenanya, aspek ekonomi menuntut pondasi hukum Islam yang berkesesuaian dengan hukum Islam. Terdapat beberapa aspek ekonomi yang menjadi skala prioritas berijtihad, di antaranya adalah, pertama, dari aspek prasyarat terhadap siapapun yang hendak berijtihad pada aspek ekonomi, dengan penguasaan tentang ilmu ekonomi jadi satu di antara persyaratannya, selain aneka syarat secara global. Kedua, berdasarkan teknis dengan tujuan mencapai idealisme profesionalitas dan proporsionalitas pada upaya melahirkan ijtihad, maka ijtihad kolektif (bersama) menjadi formulasi yang dianggap efisien dalam perluasan ijtihad kontemporer.

Sederetan argumen terhadap efektivitas ijtihad kolektif di era kontemporer, di antara alasan yang dikehendaki ialah:

40 Fathurrahman Djamal, Filsafat Hukum Islam, cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm. 166.

41 Yusuf Al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Cet. I, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 126.

90

1) Masalah kontemporer yang sangat variasi dan memadai yang dipicu oleh kemajuan pola hidup umat manusia. Interaksi perbankan, perdagangan bursa, variasi jenis asuransi, macaman transaksi ekonomi modern serta aneka masalah kontemporer yang tak sebatas bahasan dan ketentuan hukumnya melalui ijtihad personal. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer.

Dalam mengulas masalah ini dibutuhkan wujud musyawarah dan ijtihad secara bersama-sama, oleh tersebab tidak cukup sekedar menonjolkan hegomoni ilmu-ilmu keislaman semata, tetapi juga dibutuhkan komplikatif dari aneka ilmu keduniawian yang berhubungan apakah itu langsung atau tidak dengan semua masalah-masalah kontemporer tersebut.

2) Tampak adanya spesialisasi (focus keahlian) pengetahuan pada diri ilmuan muslim kekinian, misalnya era kekinian, sulitnya ditemukan sosok ilmuan muslim yang kompleksitas dalam keilmuan (mumpuni). Maka justru yang terjadi sekarang adalah adanya spesifikasi keilmuan pada ragamnya yang berbeda secara mandiri dan tersendiri. Spesialisasi yang dimaksud mencakup kebahasaan, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis dan disiplin lainnya. Sementara prasyarat melakukan ijtihad di antaranya memiliki keahlian berbagai ilmu keislaman. Dengan demikian, mengaharuskan urgensitas ijtihad pada level bersama yang selanjutnya dibarengi oleh para tokoh ilmuan muslim lainnya dengan ragam keahlianya, sehingga syarat-syarat berijtihad dapat terakomodir.

3) Maraknya perbedaan pendapat dan kontroversial dalam pendangan yang terjadi. Di antara sebab terjadi ikhtilāf atau perselisihan pandangan di kalangan umat Islam ditengarai dengan banyaknya ketidaksamaan berbagai fatwa secara individual. Hal ini menjadi sulit bagi kalangan internal Islam sebab diberi kesempatan memilih di antara ragam fatwa yaang bertebaran. Bahkan sampai terjadi sederetan kasus kontak fisik di kalangan umat karena ketidaksamaan fatwa. Oleh karenanya, diperlukan forum ijtihad kolektif sebagai tujuan dalam

91

menelurkan fatwa kolektif, minimal dapat memperkecil ketidakcocokan faham.

Ketiga, merealisasikan dua kaidah ushūliyah yang populer terkait aspek muamalah, yaitu:

1) Al-muḥāfadzatu bi al-qadīmi al-shalīḥ wa al-akhdhu bi al-jadīd ashlaḥ, yakni, menjaga peninggalan keilmuan masa lampau yang cukup pantas dan melepas begitu saja praktik yang sudah ada di masa kekinian, namun hal itu dapat dilaksanakan dengan syarat selama tidak wujud isyarat pada larangannya.

2) Al-ashlu fi al-mu’āmalati al-ibāḥati ḥattā yadullad dalīlu ’alā al-taḥrimi, maksudnya, secara prinsip segala yang dilakukan dalam muamalah hukumnya boleh, kecuali terdapat wujud petunjuk yang mengharamkannnya.

Keempat, prinsip maslahah, pada kajian ekonomi Islam, maslahah diposisikan pada tingkatan kedua, yaitu sesudah prinsip tauhid. Maslahah merupakan tujuan agama Islam dan merupakan sentral andalan syariah Islam itu tersendiri. Ulama telah memberikan rumusan maqāshīd al- syarī’ah (tujuan syariah) berupa rangka yang mewujudkan kemaslahatan, misalnya Imam al-Juwaini, al-Ghazali, asy- Syathibi, ath-Thufi dan sederetan pakar muslim terkemuka lainnya yang menyepakati konsep maqāshīd al-syarī’ah.

Dengan begitu, sangat relevan, logis dan proporsional apabila maslahah diposisikan sebagai bagian dari prinsip ekonomi Islam.42

Pada umumnya, maslahah dimaknai dengan kebaikan (kemakmuran) duniawi dan akhirat. Defenisi yang disampaikan ulama Ushūl Fiqḥ tentang maslahah adalah memberi dengan segala sesuatu hal yang mengandung unsur manfaat, kebaikan, kegunaan, dan menjauhkan dari mafsadāt atau madharāt, (jalbu al-naf’i wa daf’u al-dharār). Al-Ghazali berusaha memberi simpulan, bahwa maslahah merupakan usaha mewujudkan dan menjagaa lima kebutuhan yang mendasar, yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pengaplikasian maslahah pada ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang aspek yang lebih komprehensif apabila dikomparasi dengan bidang ibadah. Ajaran Islam

42 Akhmad Mujahidin, op. cit., hlm. 1.

92

tentang muamalah secara global bersifat umum, oleh sebab itu, peluang berijtihad untuk dinamisasi hukum semakin terbuka luas.

Penerapan maslahah pada bidang ekonomi Islam berbeda dengan ibadah murni (maḥdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), hampir tidak memiliki cukup ruang untuk melakuakan ijtihad. Peluang ijtihad dalam sisi ibadah sangatlah kecil. Berbeda halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang terbentang luas akan adanya kreasi, inovasi sesuatu yang baru dan terbarukan dalam upaya mengembangkan ekonomi Islam.

Oleh sebab itu, karakteristik dasar maslahah pada aspek muamalah menjadi standar dan pijakan yang urgen.

Terutama berkaitan dengan sistem kebijakan ekonomi yang termasuk kategori area kosong dari hukum. Minimal dalil atau nāsh yang dijadikan petunjuk berkaitan dengan problem kebijakan ekonomi teknis, akan membuka pintu yang signifikan untuk kelanjutan pengembangan ijtihad dengan prinsip maslahah. Maslahah sebagai alternatif model pemahaman dalam ijtihad bersifat urgensitas dalam perluasan ekonomi Islam dan siyāsah iqtishādiyah (kebijakan ekonomi).

Tujuan yang dikehendaki sekaligus direalisasikan oleh syariat adalah konsep maslahhah. Maslahah juga merupakan esensi dari kebijakan syariah dalam upaya menangkap peluang dan tantangan serta perkembangan sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah umum merupakan tempat berpijak muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibungkus dengan syariat hukum Islam. Praktik ekonomi Islam tidak selalu berorientasi pada profit motive dan material rentability sebagaimana yang diterapkan pada ekonomi konvensional.43