Skema 1 Skema 1
D. Strategi Pembelajaran PPKn untuk Pembentukan Karakter Tanggung Jawab Peserta Didik
1. Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila
59 kontribusi penting dalam membentuk dan mewujudkan warganegara yang cerdas seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu smart and good citizenship (Jayadiputra, 2016: 11).
METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini berdasarkan pada metode studi literatur. Dimana studi literatur adalah adalah metode untuk mengumpulkan data untuk mengungkapkan bahan pembahasan pada penulisan artikel ini. Teknik studi literatur ini dapat dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku maupun jurnal yang berkaitan dengan pembahasan. Pembahasan dalam penulisan artikel ini adalah terkait dengan internalisasi nilai, nilai-nilai Pancasila, pembelajaran PKn, dan tentang good and smart citizen. Teknik ini untuk mendapatkan data teoritis yang dapat mendukung penulisan artikel ini. Faisal (1992:30) mengemukakan bahwa
“hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti”.
PEMBAHASAN
60 Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh.
b) Tahap Transaksi Nilai
Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik.
c) Tahap Transinternalisasi
Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.
Menurut Kuperman (Irawan, B. dkk, 2014: 6) “nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif”. Kemudian Prof. Dr. Notonegoro (Widodo, 2009:
9) menyatakan bahwa, nilai dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
b) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas.
c) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Setiap negara memiliki pandangan hidup masing-masing untuk menentukan langkah hidup ke depan. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, hal ini tampak bahwa Pancasila adalah jiwa, kepribadian dan pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Menurut Darmadi, sebagai pandangan hidup Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari.
Dengan kata lain Pancasila sebagai penunjuk arah bagi semua kegiatan dalam aktivitas hidup (Darmadi, 2010: 249).
Pancasila dianggap sebagai perwujudan jiwa seluruh rakyat Indonesia yang hidup dan berkembang dalam kepribadian bangsa. Bentuk perilaku rakyat Indonesia bisa dicerminkan dari Pancasila. Masyarakat dalam berperilaku seharusnya bisa menunjukkan bagaimana yang tertuang di sila-sila Pancasila.
61 Dalam pandangan Kaelan, bahwa bangsa Indonesia sebagai kausa materialis dari Pancasila. Pandangan hidup dan filsafat hidup itu merupakan kristalisasi nilai- nilai yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia yang menimbulkan tekad bagi dirinya untuk mewujudkannya dalam sikap tingkah laku dan perbuatannya (Kaelan, 2002: 47).
Nilai-nilai yang ada di Pancasila seharusnya tertanam pada seseorang sejak sudah bisa berinteraksi dengan dunia luar. Jika seseorang sudah bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila itu maka seseorang akan bisa menjiwai dari Pancasila itu sendiri. Menurut Widjaja, Pancasila di dalamnya mengandung nilai-nilai yang universal (bersifat umum) yang dikembangkan dan berkembang dalam pribadi manusia-manusia sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk sosial (Widjaja, 1984: 4). Penanaman nilai-nilai Pancasila ini bisa membangkitkan kesadaran akan dirinya atas tanggung jawab pribadi dan masyarakat.
Asmaroini (2017: 58) menjelaskan, bahwa nilai-nilai dalam lima sila Pancasila dijelaskan, antara lain sebagai berikut.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa: Nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini adalah dimana kita sebagai manusia yang diciptakan wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Masyarakat Indonesia berhak untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dan wajib menjalankan apa yang diperintahkan dalam agama masing-masing dan menjauhi apa yang dilarang.
b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: Sila kedua menjelaskan bahwa kita sesama manusia mempunyai derajat yang sama dihadapan hukum.
c. Persatuan Indonesia: Makna persatuan hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat tidak terpecah.
d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Dalam sila ini menjelaskan tentang demokrasi, adanya kebersamaan dalam mengambil keputusan dan penanganannya, dan kejujuran bersama.
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Makna dalam sila ini adalah adanya kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat, seluruh kekayaan dan
62 sebagainya dipergunakan untuk kebahagiaan bersama, dan melindungi yang lemah.
Jadi, internalisasi nilai-nilai Pancasila merupakan sebuah proses atau cara menanamkan nilai-nilai Pancasila pada kewargaan guna mencapai kebribadian yang sesuai dengan Pancasila atau meng-habituation-kan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Sugiarti dalam Ristina (Mona, 2010: 15) mengemukakan bahwa
“pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi-kondisi agar terjadi kegiatan belajar membelajarkan.
Dalam kegiatan itu terjadi interaksi antara kedua belah pihak, yaitu peserta didik (warga belajar) yang melakukan kegiatan belajar, dengan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan”.
Landasan PKn adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman, serta Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Kurikulum 2013, serta Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Kewarganegaraan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah-Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu, anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Supriadi, A. dkk, 2014:
651).
Lebih lanjut, Somantri (2001: 299) mengemukakan bahwa, “pendidikan kewarganegaraan yang cocok dengan Indonesia adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah,
63 masyarakat, dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan kehidupan bernegara yang demikian maju dengan segala tantangannya, Pendidikan Kewarganegaraan tampaknya perlu memperluas misinya dari sekedar pendidikan politik.
Pendidikan Kewarganegaraan pada masa sekarang ini memiliki misi sebagai berikut (Maftuh, 2008: 137):
a. PKn sebagai pendidikan politik, yang berarti program pendidikan ini memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran berpolitik (political awareness), serta kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi.
b. PKn sebagai pendidikan nilai (value education), yang berarti melalui PKn diharapkan tertanam dan tertransformasikan nilai, moral, dan norma yang dianggap baik oleh bangsa dan negara kepada diri siswa, sehingga mendukung bagi upaya nation and character building. Dalam hal ini, nilai- nilai Pancasila tetap harus menjadi rujukan utama dalam upaya pendidikan nilai ini.
c. PKn sebagai pendidikan nasionalisme, yang berarti melalui PKn diharapkan dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan rasa kebangsaan atau nasionalisme siswa, sehingga mereka lebih mencintai, merasa bangsa, dan rela berkorban untuk bangsa dan negaranya.
d. PKn sebagai pendidikan hukum, yang berarti bahwa program pendidikan ini diarahkan untuk membina siswa sebagai warga negara yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi, yang menyadari akan hak dan kewajibannya, dan yang memiliki kepatuhan terhadap hukum yang tinggi.
e. PKn sebagai pendidikan multikulural (multiculutal education), yang berarti PKn diharapkan mampu meningkatkan wawasan dan sikap toleran siswa dan mahasiswa untuk hidup dalam masyarakatnya yang multikutural.
64 f. PKn sebagai pendidikan resolusi konflik (conflict resolution education), yang berarti PKn membina siswa dan mahasiswa untuk mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
Dengan melihat misi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang demikian luas, maka tujuan PKn pun perlu lebih diperluas pula. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education atau citizenship education) secara teoritis adalah untuk mendidik para siswa menjadi warga negara yang baik, cerdas, dan bertanggung jawab yang dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat yang demokratis.
Winarno (2012: 55) mengemukakan bahwa, pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya adalah pendidikan untuk membentuk seperangkat karakteristik sebagai warganegara_yang sejalan dengan pandangan hidup komunitas politik yang bersangkutan_bukan sekedar mempelajari fakta-fakta tentang pranata dan prosedur kehidupan politik, tetapi juga mencakup pembelajaran serangkaian disposisi, kebajikan, dan loyalitas. PKn adalah pendidikan untuk me”warganegara”kan orang-orang didalam suatu komunitas.
Untuk mendukung upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pembelajaran PKn, maka perlu diupayakan pembelajaran PKn yang memiliki kekuatan (powerful). Pembelajaran PKn akan memiliki kekuatan (powerful) jika diajarkan secara: bermuatan nilai, bermakna, aktif, terpadu, mengundang kemampuan berfikir tingkat tinggi, demokratis, menyenangkan (joyful), efective, efisien, kreatif, melalui belajar dengan bekerja sama (cooperative learning), dan mengundang aktivitas sosial. Pembelajaran PKn yang perlu diupayakan antara lain (Maftuh, 2008: 142-143):
Pertama, pembelajaran PKn hendaknya bermuatan nilai (value-based), artinya PKn mesti mengembangkan sikap, nilai, dan moral atau kecerdasan emosional dan kecerdasan moral siswa, bukan hanya mengembangkan kemampuan dan kecerdasan intelektual. Dengan demikian PKn perlu mengembangkan secara terpadu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme, PKn memang harus bermuatan nilai.
65 Kedua, pembelajaran PKn hendaknya bermakna (meningful), yakni PKn mampu membelajarkan dan membinakan kemampuan atau kompetensi hidup yang bermakna kepada para siswa, bukan sekedar menyampaikan informasi yang artifisial atau kurang bermanfaat bagi kehidupan siswa. Pembelajaran bermakna mengandung arti bahwa kemampuan yang dimiliki siswa dapat digunakan secara fungsional sepanjang kehidupannya.
Ketiga, pembelajaran PKn mesti mengundang siswa untuk aktif dalam belajar. Dengan demikian, pembelajaran PKN harus berpusat kepada siswa (student centered). Keaktifan siswa ini dapat diwujudkan melalui aktivitas membaca, bertanya, berdiskusi, mengumpulkan data, menganalisis data, menilai (value judgment), memecahkan masalah, ataupun mengambil keputusan.
Keempat, pembelajaran PKn yang baik adalah pembelajaran terpadu, baik terpadu dilihat dari konsep-konsep keilmuan, maupun terpadu dari ranah (domain) pendidikan yang dikembangkannya (kognitif, afektif, dan psikomotor).
Kelima, pembelajaran PKn hendaknya mampu mengundang kemampuan berpikir siswa pada taraf yang lebih tinggi. Dengan demikian PKn bukan hanya mengajari siswa dengan kemampuan mengingat (recall) fakta atau konsep, tetapi juga sampai pada kemampuan berpikir analitis, kritis, kreatif, reflektif, dan evaluatif. Cara penjelasan, teknik bertanya dan tugas-tugas yang dirancang secara baik oleh guru dapat membantu mengundang kemampuan bepikir siswa.
Pengembangan kemampuan berpikir ini juga sangat perlu dalam masalah penanaman nilai, di mana diharapkan nilai-nilai yang dibinakan dapat diterima siswa dengan penuh nalar.
Keenam, pembelajaran PKN hendaknya demokratis, artinya dilangsungkan dalam suasana hubungan antarsiswa dan antara siswa dan guru yang terbuka, kekeluargaan, harmonis dan manusiawi, tanpa ada tekanan fisik maupun psikologis. Pembelajaran PKn bukan sekedar mengajar apa itu konsep demokrasi, melainkan pembelajaran yang dilakukan secara demokratis dalam suasana yang demokratis pula.
Ketujuh, pembelajaran PKn itu hendaknya menyenangkan (joyful) bagi siswa, artinya siswa merasa senang dan tertarik dengan mata pelajaran PKn,
66 bukan justru sebaliknya merasa bosan dan membenci PKn karena dianggap tidak menyenangkan. Oleh karena itu, learning by playing atau learning by doing dalam PKn perlu lebih dikenalkan dari pada sekedar verbalisme atau mengingat fakta (memorizing facts). Pembelajaran PKn hendaknya efektif dan efisien, artinya pengajaran yang sederhana, tidak complicated, tetapi mampu mencapai target kompetensi atau tujuan yang telah ditetapkan.
Kedelapan, pembelajaran PKn hendaknya kreatif, dalam arti mampu mengundang dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi di kelas. Kreativitas siswa ini akan berkembang jika didukung oleh guru yang kreatif pula. Pembelajaran PKn hendaknya dikembangkan pula melalui cooperative learning (belajar secara bekerja sama), daripada hanya pengajaran yang mengembangkan kompetisi individual. Cooperative learning bukan hanya dapat membantu meningkatkan kemampuan akademis secara bersama-sama untuk semua siswa, tetapi mampu pula mengembangkan sikap-sikap positif, seperti sikap kerjasama, toleransi, menghormati perspektif orang lain, serta empati; dan
Kedelapan, pembelajaran PKn hendaknya mampu mengajak siswa untuk melakukan aktivitas sosial yang riil (social action). Dengan demikian siswa bukan hanya belajar di dalam ruangan kelas saja, tetapi juga dapat di luar kelas atau di masyarakat dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang nyata yang dapat bermanfaat bagi dirinya ataupun bagi masyarakatnya. Hal ini perlu untuk menumbuhkan kemampuan siswa sebagai aktor sosial, yakni warga masyarakat yang memiliki kepekaan atau kepedulian sosial dan mampu memecahkan masalah-masalah sosial dengan baik.
3. Good and Smart Citizen
Budimansyah (Winarno, 2012: 55) menegaskan bahwa, baik dan cerdas adalah bagian dari karakter, dan karakter yang baik dan cerdas adalah karakter yang dimiliki seorang pribadi. Dalam perspektif etika, manusia berbuat baik bahkan cerdas itu dalam kaitannya dengan norma moral yakni berusaha untuk mengarahkan perbuatannya ketujuan tertinggi hidupnya sebagai manusia atau menyesuaikan tindakannya dengan norma yang mengatur perihal bagaimana manusia seharusnya hidup. Ia adalah orang yang selalu berusaha untuk hidup
67 sesuai dengan tuntutan hati nuraninya atau sesuai dengan kesadarannya akan apa yang secara konkret menjadi kewajiban moralnya sebagaimana diungkapkan oleh Soedarminta (Winarno, 2012: 55). Jadi karakter “baik dan cerdas” adalah dalam konteks ia sebagai manusia yang dipandu oleh hati nurani, terlepas dari atribut ataupun prestasi dibelakangnya.
Winarno (2012: 59) dalam wacana kewarganegaraan menyatakan, bahwa warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen), merupakan titik temu antara civic confidence, civic competence dan civic commitment. Civic confidence merupakan irisan dari civic knowledge dan civic dispositions, civic competence merupakan irisan dari civic knowledge dan civic skill dan civic commitment merupakan irisan dari civic dispositions dan civic skill. Warga negara yang memiliki civic knowledge, civic dispositions dan civic skill adalah warga negara yang confidence, competence dan commitment yang selanjutnya disebut sebagai smart and good citizen.
Pendapat lain mengenai warga negara yang baik atau good citizen diungkapkan oleh Numan Somantri (2001: 279). Menurutnya, warga negara yang baik adalah warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, Pancasila sejati. Selanjutnya, menurut Azis Wahab (2011: 311-312) warga negara yang baik adalah warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga negara memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial, mampu memecahkan masalahnya sendiri, juga masalah kemasyarakatan secara cerdas sesuai dengan fungsi dan perannya, memiliki sikap disiplin. Selain itu melaksanakan hukum dan aturan, tidak merusak lingkungan, memanfaatkan lingkungan dengan rasa tanggung jawab.
Sedangkan yang dimaksud dengan warga negara yang cerdas adalah warga negara yang cerdas adalah warga negara yang mampu berpikir analitis, memiliki komitmen dan mampu melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Wahab dan Sapriya, 2011: 314). Warga negara yang baik itu ukurannya adalah konstitusi negara yang bersangkutan. Sepanjang warga negara itu sikap dan perilakunya tidak bertentangan dan mematuhi konstitusi maka ia berkategori warga negara baik, sementara manusia /orang
68 yang baik pada dasarnya sama di semua negara, karena ia ditentukan oleh hati nuraninya.
KESIMPULAN
Internalisasi nilai-nilai Pancasila merupakan sebuah proses atau cara menanamkan nilai-nilai Pancasila pada warga negara guna mencapai kepribadian yang sesuai dengan Pancasila atau meng-habituation-kan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Proses internalisasi nilai-nilai Pancasila diajarkan dalam pembelajaran PKn, karena landasan PKn sendiri adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan zaman, serta Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Kurikulum 2013, serta Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Kewarganegaraan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional- Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah-Direktorat Pendidikan Menengah Umum.Untuk mendukung upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pembelajaran PKn, maka perlu diupayakan pembelajaran PKn yang memiliki kekuatan (powerful). Pembelajaran PKn yang perlu diupayakan antara lain (Maftuh, 2008: 142-143): Pertama, pembelajaran PKn hendaknya bermuatan nilai (value-based). Kedua, pembelajaran PKn hendaknya bermakna (meningful). Ketiga, pembelajaran PKn mesti mengundang siswa untuk aktif dalam belajar. Keempat, pembelajaran PKn yang baik adalah pembelajaran terpadu. Kelima, pembelajaran PKn hendaknya mampu mengundang kemampuan berpikir siswa pada taraf yang lebih tinggi. Keenam, pembelajaran PKN hendaknya demokratis. Ketujuh, pembelajaran PKn itu hendaknya menyenangkan (joyful) bagi siswa. Kedelapan, pembelajaran PKn hendaknya kreatif, dalam arti mampu mengundang dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi di kelas. Dengan adanya internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pembelajaran PKn diharapkan warga negara dapat menjadi smart and good citizen yaitu warga negara yang baik dan cerdas dan mempunyai jiwa
69 Pancasila sejati sehingga sikap dan perilakunya tidak bertentangan dan mematuhi konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaroini, Ambiro Puji. (2017). Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerapannya Bagi Masyarakat di Era Globalisasi. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 1, No. 2, Januari 2017 E-ISSN 2527-7057, P-ISSN 2545-2683.
Cogan, J.J. dan Derricott, R. (1998). Citizenship for the 21st Century; An InternationalPerspective on Education. London: Kogan Page.
Faisal, Sanafiah. (1992). Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Hamid, Darmadi. (2010). Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:
Alfabeta.
Irawan, B. dkk. (2014). Analisis Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembelajaran Pkn Di Kelas Viii.
Jayadiputra, Eka. (2015). Model Project Citizen Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Ilmiah Cisoc, 2 (1), hlm. 11-
20.
Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila Pandangan hidup Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Paradigma.
Maftuh, Bunyamin. (2008). Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Educationist. Vol. II No. 2 Juli 2008 ISSN : 1907 – 8838.
Mona. (2010). Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan
Kewarganegaraan Pada Konsep Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat, Tesis Magister Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
CV. Afabeta.
Poerwadarminta. (2007). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
70 Somantri, N. M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Supriadi, A. dkk. (2014). Internalisasi Nilai Nasionalisme dalam Pembelajaran Pkn Pada Siswaman 2 Model Banjarmasin. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan, 4 (8), hlm. 649-655.
Surisno. (2016). Berbagai Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai Dan Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, 5, hlm.
29-37.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahab, Abdul Azis dan Sapriya. (2011). Teori & Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Widjaja, 1984. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta : CV Era Swasta.
Widodo, Eko., Taufiqurrahman. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
CV Sari Ilmu Pratama.
Winarno. (2012). Karakter Warga Negara Yang Baik Dan Cerdas. PKn Progresif, 7 (1), hlm. 54-62.
71 PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PROGRAM PENGABDIAN
SEKOLAH SEBAGAI WUJUD INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DI SMP PONPES AN NUR UNGARAN KABUPATEN
SEMARANG Ama Farida Sari
Prodi PPKn Pascasarjana UNS, Surakarta Email [email protected]
ABSTRAK
Penanaman nilai-nilai Pancasila tidak selalu dalam pembelajaran di kelas saja, namun juga melalui tindakan nyata seperti program pengabdian kepada masyarakat, lingungan sekolah atau lembaga layanan masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pendidikan karakter yang ditanamkan oleh sekolah melalui program pengabdian yang diterapkan kepada siswa sebagai wujud internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari serta latar belakang penerapan program pengabdian siswa di SMP Ponpes An Nur Ungaran Kabupaten Semarang. Metode penelitian yaitu kualitatif dengan fokus penelitian pada pendidikan karakter yang ditanamkan oleh sekolah melalui program pengabdian serta latar belakang penerapan program pengabdian siswa di SMP Ponpes An Nur Ungaran Kabupaten Semarang. Teknik pengumpuan data dengan menggunakan cara observasi, wawancara dan studi dokumen. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi teknik pengumpulan data. Teknik analisis data dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan nilai pendidikan karakter yang diterapkan melalui program pengabdian antara lain disiplin, tanggung jawab, gotong royong, menghargai dan peduli. Pelaksanaan program pengabdian dilatarbelakangi mulai merosotnya moralitas pemuda, sikap tidak peduli dan keinginan untuk menjadikan siswa SMP Ponpes An Nur Ungaran sebagai generasi yang berkakter, mampu melaksankan tugas serta mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Saran, cara penerapan nilai-nilai Pancasila sangatlah banyak sekali, semua dapat dilakukan dalam serangkaian kegiatan pembelajaran ataupun diluar pembelajaran melalui kegiatan yang bermanfaat kepada siswa. Karakter siswa jaman sekarang seperti istilah jawa “nek ora ditutuk ora mlaku” artinya jika tidak ditegur langsung, tidak diarahan mereka tidak akan sadar untuk bertindak. Pendidikan karakter pada sekolah yang terintegritas dengan pondok pesantren memang sangat penting agar siswa yang berada disana merasa memiliki, menjaga, merawat, menghargai apa yang mereka miliki saat ini. Jika hanya mengandalkan pendidikan agama dan PPKn yang diberikan di sekolah maka pembentukan karakter kurang maksimal, semua harus seimbang antara pendidikan sekolah, agama, pendidikan karakter. Program pengabdian ini dilaksanakan secara kontinyu, sehingga dapat terkontrol perkembangannya.
Kata kunci : Pendidikan Karakter, Pengabdian Sekolah, Pancasila