Sejarah Kota Tasikmalaya
TASIKMALAYA berasal dari kata “tasik jeung laya” yang ber makna “keusik ngalayah” atau “hamparan pasir” sebagai aki
bat letusan Gunung Galunggung tahun 1822. Ada juga yang me
nyebut Tasikmalaya sebagai gabungan kata “tasik” yang berarti te
laga, laut atau air yang menggenangi dan “malaya” yang berarti ja jaran gununggunung. Toponimi ini mengandung makna bahwa keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan laksana air la ut.1 Gununggunung tersebut ada yang terbentuk sebelum dan se sudah Galunggung meletus. Secara geologis, letusan tersebut meng aki
bat kan terciptanya jurang terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke arah timur Gunung Galunggung. Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, muncul bukitbukit kecil (hillocks) berjumlah se kitar 3.648 buah. Bukitbukit ini memperkuat ciri khas geogafis
1Zen, M. T. “Seribu Gunung di Priangan Timur” dalam Majalah Intisari, No mor 6 Agustus 1968, hal. 62.
Kota Tasikmalaya.2
Dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya be lum dipakai sebagai nama distrik.3 Tapi pada tahun 1820, Tasikmalaya sudah digunakan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Distrik Tasjikmalaija op Tjitjariang de ngan wilayah sepanjang 37 pal. Lalu pada akhir tahun 1830an, nama distrik tersebut berubah menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang wilayahnya mencakup sekitar 79 desa.4
Sebelum bernama Tasikmalaya, daerah ini bernama Tawang, Ga lunggung atau TawangGalunggung. Tawang diambil dari ka
ta sawang, yang berarti tempat luas yang terbuka atau tempat palalangon yang bermakna (Sunda) sebagai tempat panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu.5 Sekarang, Tawang merupakan na
ma salah satu kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pu sat Kota Tasikmalaya. Sementara nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada Tawang. Sampai awal abad ke19, wilayah Ga
lung gung yang sekarang meliputi daerah Kota Tasikmalaya, me
ru pakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang.6 Ketika ka
bu paten ini dibubarkan pada 1811, Galunggung dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Sumedang. Saat sistem distrik diper
ke nalkan dalam birokrasi tradisional, Tawang berubah status men jadi distrik dan pada waktu pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura berkedudukan di Manonjaya (18391901), Distrik Tawang
2Ibid., hal. 63.
3Miftahul Falah, Sejarah Kota Tasikmalaya (18201942). Bahasan lebih jauh, lihat dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/
2011/02/pertumbuhan_kota_tasikmalaya.pdf
4Ibid.
5Ekdjati Edi S., et al., Hari Jadi Tasikmalaya, Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya, 1975, hal. 3.
6Miftahul Falah, Sejarah…Op. Cit.
merupakan salah satu distrik di Kabupaten Sumedang.7
Dalam Verslag Omtrent de Residentie PreangerRegentschappen en Krawang 1816, Raffles membagi wilayah ini berdasarkan sistem distrik yang dipimpin oleh seorang wedana. Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa distrik, antara lain Ciawi, Pagerageung, Rajapolah, Indihiang, Cicariang, dan Singaparna. Sementara itu, di Kabupaten Sukapura tidak terdapat wilayah bernama Distrik Tawang atau Galunggung.8
Distrik Cicariang ini kemudian berkembang menjadi Distrik Tasikmalaya, karena secara geografis wilayah Distrik Cicariang ham pir sama dengan wilayah Distrik Tasikmalaya. Hal tersebut di perkuat dengan data statistik yang dibuat oleh Pemerintah Hin
dia Belanda. Dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Be
landa tahun 1820, Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa distrik, salah satunya bernama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal dan pusat pemerintahannya di Tasjikmalaija en Tjitjariang. Kedudukan Tasikmalaya dan Cicariang sebagai hoofdplaats van het Distrikt Tassikmalaija op Cicariang ter
catat dalam peta Distrik Tasikmalaya awal abad ke19.
Akhir 1830an, nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang menghilang. Dalam administrasi Pemerintah Hindia Belanda yang ada hanya Distrikt Tasjikmalaija mencakup 79 desa. Pertengahan abad ke19, Distrik Tasikmalaya dibagi jadi delapan onderdistrik:
Sambong, Siloeman, Tjibodas, Tjisangkir, Tjihideung, Pagaden, Tji
beuti, dan Mangkoeboemi. Kedudukan Tasikmalaya sebagai pusat
7Iwan Roswandi, “Sejarah Kabupaten Tasikmalaya; Studi tentang Berdiri dan Berkembangnya Pemerintahan Tasikmalaya” dalam Iim Imanuddin dan Sin du Galba (eds.). Sejarah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Banten: Garut-Su- bang-Bekasi-Tasikmalaya-Tangerang, Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006, hal. 232.
8R. Memed Sastrahadiprawira, “Manondjaja Dajeuh Narikolot” dalam R.
I. Adiwidjaja. Pantjawarna, Djakarta: Balai Pustaka, 1953, hal. 182.
pemerintahan distrik dan ketujuh onderdistrik lainnya tercatat dalam Algemeen Atlas van Nederlandsch Indië yang dibuat 1857.
Hal ini menunjukkan Distrik Tasikmalaya bukan perubahan na
ma dari Distrik Tawang, tapi perubahan dari Distrik Cicariang.
Perubahan ini tak dilakukan secara langsung tapi bertahap. Hal ini terlihat dari penggunaan nama distrik TjitjariangTassikmalaija op TjitjariangTasikmalaja. Juga lokasi pusat pemerintahannya, awal nya tidak hanya berkedudukan di Tasikmalaya, tapi juga di Cicariang.9
Penting dijelaskan, bahwa pembahasan mengenai Kota Tasik
malaya harus dibedakan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Nama yang disebut terakhir tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Ka
bupaten Sukapura, karena faktanya Kabupaten Tasikmalaya m eru
pakan penjelmaan dari Kabupaten Sukapura. Sementara Ko ta Tasikmalaya merupakan perkembangan dari Kabupaten Sume
dang.10 Dengan demikian, nama Tasikmalaya saat ini dipakai untuk dua nama pemerintah daerah, yaitu Kabupaten Tasikmalaya11 dan Kota Tasikmalaya.
Proses pembentukan Kota Tasikmalaya dimulai sejak Bu pati Tasikmalaya A. Bunyamin (19761981). Tonggak sejarah la hir nya Kota Tasikmalaya dimulai dengan diresmikannya Kota Adminis
tratif Tasikmalaya sesuai PP Nomor 22 Tahun 1976 oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, sekaligus pelantikan Walikota Administratif pertama, Oman Roosman oleh Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi. Pada awal pembentukannya, wilayah Kota
9Miftahul Falah, Sejarah…Op. Cit.
10Iwan Roswandi, “Sejarah Kabupaten Tasikmalaya...Op. Cit., hal. 234.
11Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2 ini bernama Sukapura, didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram tanggal 9 Muharam Tahun Alif, bersamasama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang. Ibid., hal. 8081.
Administratif Tasikmalaya meliputi 3 Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung, dan Tawang.
Berkat perjuangan Bupati Tasikmalaya Suljana WH beserta to koh masyarakat, dirintis pembentukan Kota Tasikmalaya. Pada era Bupati Tatang Farhanul Hakim, 17 Oktober 2001, melalui UU Nomor 10 Tahun 2001, Kota Tasikmalaya diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Suryadi Sudirja bersama dengan Kota Lhoksumawe, Langsa, Pager Alam, Prabumulih, Padangsidempuan, Lubuk Ling
gau, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang dan Baubau. Pada tanggal 18 Oktober 2001 Wahyu Suradiharja dilantik sebagai Pj.
Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana di Ge
dung Sate Bandung.
Politik Islam di Kota Tasikmalaya
Awal abad ke20, tumbuh berbagai organisasi pergerakan Is
lam, yang tidak hanya bergerak di tingkat pusat, tapi juga sampai ke daerahdaerah, tak terkecuali di daerah sekitar Priangan. Ber
beda dengan daerah lainnya, organisasi pergerakan Islam di dae
rah Priangan mempunyai kekhasan, yaitu berkarakter militan dan radikal menjadi ciri khasnya. Puncak dari militanistik dan ra
dikalistik tergambar dengan lahirnya Negara Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirjo. Konteks kekinian, ka
rakter militan dan radikal juga masih terlihat, yang ditandai dengan munculnya upaya daerah di sekitar Priangan yang mencoba menerapkan Syariat Islam.
Periode Pasca Kemerdekaan
Selepas kemerdekaan, tepatnya pasca ditandatanganinya Per
janjian Renville tahun 1948, terjadi perpecahan politik di lingkup umat Islam. Perjanjian ini telah mengakibatkan Indonesia terpecah men jadi beberapa negara, termasuk Jawa Barat yang berubah
menjadi negara Pasundan. Dampak dari keterpecahan ini salah s tunya di lingkup militer. Dengan Perjanjian Renville, seluruh militer yang ada di Jawa Barut harus rela ditarik ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Konsekuensinya, terjadi kevakuman pasukan, dan ini dimanfaatkan secara baik oleh DI/TII pimpinan Kartosuwirjo, de ngan memproklamasikan NII dan menerapkan Syariat Islam di seluruh wilayah kekuasaannya, tanggal 7 Agustus 1949.12 Saat sebagian tentara, termasuk dari unsur Sabilillah dan Hizbullah, ba
lik (hijrah) ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, ada sebagian tentara dari unsur Sabilillah dan Hizbullah yang memilih untuk tetap bertahan di Jawa Barat dan bergabung dengan DI/TII pimpinan Kartosuwirjo.
Satu dekade lebih DI/TII berhasil memperlihatkan eksistensinya di masyarakat Tasikmalaya. Hal ini tak lepas dari dukungan sebagian masyarakat yang tidak puas dengan keadaan Indonesia saat itu. Ketidakpuasan yang muncul sebagian didasari oleh alasan keagamaan. Beberapa tokoh ternyata masih menyimpan hasratnya untuk mendirikan negara Islam.13 Oleh para tokoh Islam ini, per
juangan politik yang dimulai sejak sebelum kemerdekaan melalui BPUPK, PPKI, dan Panitia Sembilan sampai dengan Perjanjian Ren
ville dinilai telah mengalami kegagalan. Karenanya, ketika Kar
tosuwirjo hadir dengan DI/TIInya dinilai telah memberikan se
cercah harapan bagi lahirnya Negara Islam.14
Selama dekade 1950an, DI/TII meluaskan pengaruhnya ham
12Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional. Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990; Julius Pour, Doorstoot Naar Djokja Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 179180.
13Lihat Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Pus
taka Utama Grafiti, 1997, hal. 94.
14BJ. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal. 4878.
pir di seluruh wilayah Priangan. Banyak kiai dan tokohtokoh ma
syarakat yang bergabung dengan gerakan ini. Mereka berharap DI/
TII akan menjadi kendaraan politik untuk mewujudkan berdirinya negara Islam. Dukungan para ulama dan tokoh masyarakat terha
dap DI/TII bahkan masih tergambar ketika pasukan TNI yang men
coba masuk kembali ke Jawa Barat selepas jatuhnya Ibukota Yog
yakarta. Sebagaimana digambarkan Holk H. Dengel:
Tak lama setelah jatuhnya pemerintahan Republik di Yogyakarta, kesatuan Divisi Siliwangi mulai menyiapkan diri mengadakan “long march” kembali ke Jawa Barat yang sudah direncanakan sebelumnya, apabila Belanda menyerang daerah Republik. Ketika batalyonba
talyon Siliwangi sampai di daerah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah, mereka menemukan selebaran dan plakat yang ditempel di pohonpohon, yang menyuruh untuk menggabungkan diri dengan Tentara Islam Indonesia, Terutama kesatuan TNI seperti batalyon Nasuhi dan Rivai yang memasuki daerahdaerah yang merupakan pusat gerakan Darul Islam merasakan situasi mg telah berubah tersebut dengan jelas. Banyak anggota kesatuan ini diberikan makanan yang telah dibubuhi obat bius atau diracuni, dan kemudian dalam keadaan yang tak dapat membela diri, senjata mereka dirampas.
Bagaimana parahnya situasi pada waktu itu terlihat, ketika panji Siliwangi yang disimpan batalyon Nasuhi pernah jatuh ke tangan gerakan Darul Islam, namun kemudian dapat direbut kembali.15 Ada dua alasan penolakan Kartosuwirjo atas kembalinya TNI ke Jawa Barat. Pertama, sesuai isi Perjanjian Renville, Kartosuwirjo melihat bahwa kedatangan kembali TNI ke Jawa Barat sebagai ke
datangan satu angkatan yang tidak dibenarkan. Kartosuwirjo me
lihat Jawa Barat sebagai daerah yang harus dipertahankan sebagai ne gara. Sebaliknya, para pemimpin Republik, yang tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville, kembali mengirimkan TNI menyusup
15Holk H. Dengel, Darul Islam – NII dan Kartosuwirjo: Angan-angan yang Ga- gal, Jakarta: Sinar Harapan, 2011, hal. 85.
ke daerah yang berada dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jawa Barat. Dengan demikian, di Jawa Barat terjadi apa yang dikenal de
ngan nama “perang segitiga”, antara TNI, DI (TII), dan Belanda.16 Kedua, Kartosuwirjo menganggap bahwa militer Indonesia telah disusupi oleh kaum komunis. Walaupun pemberontakan komunis di Madiun pada 1948 telah ditumpas oleh pemerintah Indonesia, Kartosuwirjo tampaknya tidak hendak melihat bahwa pemerintah serta militer Indonesia bersih dari anasir komunis. Maka, ia pun menyebut militer Indonesia yang masuk ke daerah Jawa Barat se
telah Agresi Militer II Belanda itu sebagai angkatan dari “Republik Indonesia darurat dan komunis gadungan”.17
Kartosuwirjo mulanya memproklamasikan Negara Islam pada 14 Agustus 1945, tetapi kemudian ditariknya kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan Indonesia. Untuk sementara tetap loyal kepada Republik. Kartosuwirjo masih juga menganjurkan per
satuan pada Mei 1946, ketika dalam suatu pidato di Garut meng
ingatkan para pendengarnya bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaanperbedaan ideologi. Segera setelah tercapai kemerdekaan penuh, perbedaanperbedaan ini dapat dicari penyelesaiannya secara demokratis, menurut prinsip kedaulatan rakyat. Bila mayoritas rakyat menginginkan komunisme, ideologi negara harus komunis. Bila mayoritas rakyat menginginkan so
sialisme atau nasionalisme, negara harus sosialis atau nasionalis.
Tetapi bila Islam berjaya, ia menekankan, negara harus diatur sesuai dengan prinsipprinsip Islam.18
Sosok nasionalnya diakui ketika Masyumi direorganisasi men
16Deliar Noer, Partai Islam…Op. Cit., hal. 180182.
17Pinandi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Jakarta: Aryaguna, 1964, hal. 65.
18Cornelis van Dijk, Darul Islam…Op. Cit., hal. 75.
jadi partai tahun 1947. Kartosuwirjo diangkat jadi anggota De
wan Pimpinan Partai dan wakil Masyumi untuk Jawa Barat. Saat men jabat sebagai wakil Masyumi, Kartosuwirjo mulai menyusun kembali pasukan gerilya di Garut dan sekitarnya. Pada tahun 1947 Kartosuwirjo berhasil mendirikan Dewan Pertahanan Umat Islam di Garut dan Majelis Umat Islam Indonesia di Tasikmalaya atas na
ma Masyumi. Baru pada 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo benarbenar memdeklarasikan NII.19
Seiring perjalanan waktu, harapan ulama dan tokoh masyarakat terhadap DI/TII semakin memudar. Penyebabnya, DI/TII justru lebih suka menampilkan diri sebagai organisasi militer daripada or ganisasi politik yang bercitacita mendirikan Negara Islam. Ke
nya taan ini membuat banyak ulama dan tokoh masyarakat yang awalnya simpati justru mengurungkan dukungannya. Apalagi ke nyataan bahwa DI/TII kemudian berhadapan dengan TNI. Ne
gara pun juga pada akhirnya mengambil kebijakan tegas untuk me numpas DI/TII. Gerakan perlawanan DI/TII berakhir pada 5
19Ada dua alasan lahirnya DI/TII. Pertama, jatuhnya Ibukota Yogyakarta di tangan Belanda akibat Agresi Militer II, 19 Desember 1948, dan menyerahnya Soekarno dan Hatta kepada Belanda, yang dilanjutkan dengan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, di mana secara politis sangat merugikan Indonesia. Kartosuwirjo menganggap bahwa Republik Indonesia benar
benar telah hapus dan tidak melihat NII sebagai penyimpangan dari negara proklamasi karena perjuangan yang mereka usahakan hingga berdirinya NII itu adalah kelanjutan perjuangan kemerdekaan menurut Proklamasi 17 Agus
tus 1945. Kedua, kekecewaan terhadap Masyumi, atas terjadinya konflik di in
ter nal dalam menyikapi Kabinet Amir Syarifuddin. Kartosuwirjo cenderung mengambil posisi tengah menyikapi konflik tersebut. Kartosuwirjo sendiri di tawari duduk di Kabinet Amir Syarifuddin, namun ditolaknya, dengan ala san bahwa dirinya tidak terlibat dalam proses pembentukan kembali PSII sebagai partai politik (pasca keluar dari Masyumi) dan juga masih mempunyai keterikatan dengan Masyumi. Kekecewaan Kartosuwirjo memuncak seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian RoemRoyen yang disebutnya sebagai
“berisi racun bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia”. Bahkan Kartosuwirjo menyebut kegiatan Roem “sebagai wakil Masyumi, wakil umat Islam sungguh memalukan sekali.” Lihat Ibid., hal. 7276.
September 1962, seiring dengan vonis hukuman mati yang dijatuh
kan kepada Kartosuwirjo.20
Menyadari DI/TII tak lagi dapat dijadikan sebagai kendaraan politik untuk berdirinya negara Islam, para ulama dan tokoh Islam mulai mengalihkan perhatian pada Masyumi. Dalam perjalannya terdapat beberapa anggota yang keluar dari Masyumi dan berubah jadi partai. Mula pertama PSII,21 menyusul kemudian NU. Keputusan NU ini diambil melalui Muktamar NU ke19 di Palembang 1952.22
Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian partaipartai Islam.23 Masyumi dan NU meraih kemenangan besar.24 Sementara partai
20Berakhirnya perlawanan DI/TII dipahami sebagai berakhirnya perla wan
an DI/TII. Bahwa pasca kematian Kartosuwirjo masih kerap muncul gerakan
gerakan yang dikaitkan dengan DI/TII tidak dipungkiri. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11: Dilema Politik Islam dalam Peradaban Modern, Jakarta: Kompas, 2011.
21Keluarnya PSII dari Masyumi berawal ketika Amir Syarifuddin menga
takan bahwa untuk membentuk kabinet yang kuat tidak mungkin tanpa meng
ikutsertakan golongan nonIslam, tapi pimpinan Masyumi menolaknya. PSII merupakan satusatunya yang menerima usulan Amir Syarifuddin. Seketika muncul tuduhan bahwa PSII oportunis dan telah merugikan perjuangan umat Islam. Selain tuduhan tersebut, alasan lainnya adalah sikap Masyumi yang menolak dan memboikot Kabinet Amir Syarifuddin I. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1947, PSII menyatakan keluar dari Masyumi dan menyatakan kegiatan politik praktis sendiri. Pada Kabinet Amir Syarifuddin I, PSII mendapat lima menteri: Wondoamiseno (Menteri Dalam Negeri), Arudji Kartawinata (Menteri Muda Pertahanan), Syahbuddin Lathief (Menteri Penerangan), Sukoso Wirjosaputro (Menteri Muda Sosial), dan Anwaruddin (Menteri Agama).
Empat bulan kemudian, Masyumi bersedia masuk. Baca Deliar Noer, Islam dalam…Op. Cit., hal. 171.
22Lebih jauh lihat Saifuddin Zuhri, Berangkat…Op. Cit., hal. 395402. Baca juga Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim, Bandung: Mizan, 2011, hal.
541546.
23Pemilu (DPR RI) dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya. Pemilu diikuti 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi
24Uraian tentang hasil Pemilu 1955, lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LKiS, 2003, hal. 216.
Islam lainnya tampil tidak cukup membanggakan. Di tingkat na
sional, PNI meraih 57 kursi (22,3% suara), Masyumi meraih 57 kursi (20,9% suara), NU 45 meraih kursi (18,4% suara), PKI meraih 39 kursi (15,4% suara), dan PSII meraih 8 kursi (2,89 suara).25
Tabel 3.7.
Lima Besar Partai Hasil Pemilu 1955 DPR RI
No Partai Suara % Kursi
1. PNI 8.434.653 22,32 57
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama 6.955.141 18,41 45
4. PKI 6.179.914 16,36 39
5. PSII 1.091.160 2,89 8
Sumber: KPU Pusat
Seluruhan kursi yang diperoleh sebanyak 257 kursi. Tiga kursi sisa menjadi jatah wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Diangkat juga 6 anggota mewakili Tionghoa dan 6 me
wakili Eropa. Dengan demikian seluruh anggota DPR berjumlah 272 orang.26 Menariknya, tokohtokoh utama Masyumi ditempatkan di Dapil Jabar, seperti Isa Anshari, Syafrudin Prawiranegara, Moh.
Natsir, Moh. Roem. PKI menurunkan DN Aidit dan Sakirman. PNI me nempatkan Sanusi Hardjadinata dan Wilopo. Di Jawa Barat, Ma
syumi dapat 14 kursi, PNI 12 kursi, PKI 7 kursi, NU 5 kursi, IPKI dan PSII masingmasing 3 kursi.27
Sementara Pemilu untuk memilih anggota Konstituante
25Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta:
Balai Pustaka, 2010, hal. 317.
26Herbert Feth, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta, Jakarta:Gramedia,1999, hal. 8486
27Pikiran Rakjat, 5 Oktober 1955.
dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 dengan memilih 520 anggota Konstituante. Irian Barat (Papua) yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Sehingga kursi yang dipilih hanya 514. Hasilnya menunjukkan bahwa PNI, NU, dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi mengalami penurunan, meski tetap berada di urutan kedua.
Tabel 3.8.
Perolehan Suara dan Kursi Pemilu Konstituante 1955
No Partai Suara % Kursi
1. PNI 9.070.218 23,97 119
2. Masyumi 7.789.619 20,59 112
3. Nahdlatul Ulama 6.989.333 18,47 91
4. PKI 6.232.512 16,47 80
5. PSII 1.059.922 2,80 16
Sumber: KPU Pusat
Hasil Pemilu 1955 di Jawa Barat, Masyumi mendapatkan suara tertinggi dengan 1.833.847 suara, diikuti oleh dengan PNI 1.513.540 suara, PKI dengan 739.551 suara, dan NU de
ngan 645.433 suara.
28Tabel 3.9
Perolehan Suara dan Kursi Pemilu 1955 Propinsi Jawa Barat
Partai Suara Parlemen Kursi
Masyumi 1.833.847 14
PNI 1.513.540 12
PKI 739.551 7
NU 645.433 5
Sumber: Pikiran Rakjat, 4, 5 dan 7 Oktober 1955
28Pikiran Rakjat, 4, 5, dan 7 Oktober 1955.
Sementara hasil Pemilu 1955 di Tasikmalaya dan beberapa daerah di sekitar Priangan, perolehan kursi dan urutan suaranya beragam. Masyumi berhasil menempati urutan pertama di daerah yang menjadi basis DI/TII, seperti Tasikmalaya dan Garut, dengan perbedaan suara yang mencolok dengan peringkat di bawahnya.
Sementara PNI berhasil menang di Ciamis dan Cianjur. Menariknya, perolehan suara PKI di Ciamis berada di urutan kedua mengalahkan Masyumi yang berada di urutan ketiga.
Tabel 3.10.
Hasil Pemilu 1955 di Daerah Priangan
Partai Politik Jumlah Suara
Tasikmalaya Garut Ciamis Cianjur
Masyumi 121.665 134.133 97.027 94.224
NU 78.391 24.188 36.378
PNI 66.653 48.200 133.235 96.882
PKI 39.638 33.487 99.594 19.720
PSII 48.131
Sumber: Diolah berdasarkan data yang terdapat di Pikiran Rakjat, 4, 5 dan 7 Oktober 1955.
Periode Orde Baru
Gerakan Islam politik menghadapi tantangan serius di era Orde Baru. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap Islam tidak berbeda ja uh dengan kebijakan Pemerintah Belanda dan Orde Lama, yang me
nekan kekuatan “Islam politik” dan sebaliknya mendukung “Islam ibadah”.29 Dukungan negara terhadap “Islam ibadah” diwujudkan dalam berbagai bentuk konsesi bagi organisasiorganisasi Islam un tuk pembinaan dan pengelolaan kegiatan keagamaan dan pen
29Bahasan tentang “Islam ibadah” dan “Islam politik”, lihat dalam Kunto
wijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
didikan Islam. Berbagai kegiatan keagamaan difasilitasi, tentu de ngan persyaratan bahwa kegiatan tersebut tidak mengarah pa
da mobilisasi politik yang memuat sentimen negatif terhadap Pe
merintah.
Sebaliknya, terhadap “Islam politik”, Orde Baru mengambil po sisi sebaliknya dan bahkan lebih sering berhadaphadapan.
Per mintaan rehabilitasi Masyumi tidak dikabulkan. Orde Baru ha nya membolehkan pendirian Parmusi.30 Ketika diangkat men
ja di pejabat Presiden 1967, Soeharto juga tidak secepatnya menye
lenggarakan Pemilu. Bahkan Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu dilaksanakan pada 1968, diubah sa at Sidang Istimewa MPR 1967 menjadi tahun 1971. Soeharto juga te
tap menggunakan MPRS dan DPRGR bentukan Soekarno, ten tu dengan membersihkan dua lembaga tersebut dari anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada praktiknya, Pemilu baru terlak
sana tanggal 5 Juli 1971.
Hal yang berbeda dari Pemilu 1955, pada Pemilu 1971 para peja
bat negara harus bersikap netral, meski dalam prakteknya secara demonstratif dimobilisir untuk mendukung Golkar. Sedangkan pa da Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara for
mal. Seperti sudah diperkirakan, Golkar berhasil mendulang sua
ra terbanyak dengan 34.348.673 (62,82%) suara dan 236 kursi. Se
mentara NU secara meyakinkan mendapat 10.213.650 (18,68%) sua
ra dan 58 kursi, perolehan suara dan kursi yang lebih tinggi dari
30Terkait dengan hal ini, baca surat Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Masyumi terakhir kepada Pejabat Presiden Soeharto dengan jusul,
“Me ngetuk Hati Nurani Jenderal Soeharto”. Surat ini merupakan respon atas surat balasan dari Soeharto yang secara tegas menolak upaya permintaan re
habilitasi Masyumi. Baca S.U. Bajasut, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, Jakarta: Kompas, 2014, hal. 228243.