Letak ayat mutasyâbih dalam Al-Qur`an terdapat dalam beberapa tempat yaitu, terkadang dari segi lafaz, terkadang dari segi makna dan terkadang dari segi lafaz dan makna. Untuk lebih jelasnya bisa diperhatikan contoh di bawah ini:
1. Kesamaran pada lafaz/kata yang digunakan ayat, seperti misalnya firman Allah yang menginformasikan sikap Nabi Ibrahim as.
terhadap patung-patung sembahan kaumnya. Allah antara lain, berfirman pada QS. Ash-Shaffat [37]: 93.
55 As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 3, h. 6
56 Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 128
57 Husein Aziz, jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa”, dalam e-journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012 h. 31-32
Kata yamin ( ) tidak jelas maksudnya, apakah dalam arti tangan kanan atau kuat atau sumpah sehingga ayat tersebut dapat dipahami dalam arti Nabi Ibrahim as.: Pergi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu memukulnya dengan tangan kanannya, atau memukulnya dengan keras, atau memukulnya disebabkan oleh sumpah yang pernah diucapkannya bahwa dia akan merusak berhala-berhala itu.
2. Kesamaran pada maknanya, seperti uraian Al-Qur`an tentang sifat-sifat Allah, misalnya:
“... tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath [48]:
10).58 Dari segi lafaz dapat dipahami dengan jelas akan tetapi tidak dapat dirincikan bagaimana keadaan yang sesungguhnya.
3. Kesamaran pada lafaz dan maknanya, seperti firman Allah:
“... bukannya kebajikan memasuki rumah dari belakangnya...”
(QS. Al-Baqarah [2]: 189).
Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyâbih, karena redaksinya yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas sehingga diperlukan pengetahuan menyangkut adat istiadat masyarakat Arab Jahiliyah/awal masa Islam, menyangkut cara mereka masuk rumah.59 G. Pandangan ulama terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyâbih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut:
“... tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, „kami beriman kepada ayat-ayat mutasyâbih”. (QS. Ali Imran [3]: 7)
58 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 212
59 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 213
Apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm di-athaf-kan pada lafaz Allah, sementara lafaz yaquuluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyâbih pun diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya.
Atau apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm sebagai mubtada‟, sedangkan lafaz yaquluuna sebagai khabar. Ini artinya ayat-ayat mutasyâbih hanya diketahui oleh Allah saja, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.60
Sebagian besar ulama berpendapat ayat mutasyâbih tidak diketahui ta‟wilnya oleh siapapun kecuali Allah. Mereka mewajibkan supaya orang tidak mencari-cari ta‟wilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah. Adapun orang yang mendalam ilmunya ketika berhadapan dengan ta‟wil Al-Qur`an berakhir pada ucapan: “kami mengimaninya, semuanya datang dari Allah Tuhan kami.
Abul Hasan al-Asy‟ari (w. 935 M) berpendapat ayat tersebut berhenti atau berakhir pada kalimat “dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.
Dengan demikian para ulama mengetahui ta‟wilnya. Pendapat tersebut diperjelas oleh Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) yang mendukungnya dan mengatakan: “Pengetahuan Allah mengenai ta‟wil ayat-ayat mutasyâbihât itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang ilmunya dalam, sebab firman tersebut diturunkan adalah pujian bagi ulama yang ilmunya mendalam. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan kaum awam.61
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Mazhab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyâbih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka menyucikan Allah dari pengertian- pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur`an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik, ketika ditanya tentang istiwa‟ ia menjawab:
60 Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. Ke-2 h.
123
61 Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur`an, (Bogor:
Granada Sarana Pustaka, 2005), cet. Ke-1, h. 76
“Istiwa itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan mempelajarinya bid‟ah. Aku mengira bahwa kau adalah orang yang tidak baik, keluarkan dia dari tempatku”.
Ibnu ash-Shalah (w. 643 H) menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dari para pemuka umat Islam pertama.
Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih.
2. Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya men- takwil-kan ayat-ayat mutasyâbih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.
Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyâbih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Qur`an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyâbih.
Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibnu ad- Daqiq al-„Id (w. 702 M)62 mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyâbih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf 63 dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.64
62 Ibnu Daqiq al-Id adalah pakar dalam fikih Mazhab Syafi‟i, ushul fikih, hadis dan bahasa Arab. Nama lengkapnya Taqiuddin Abu al-Fath Muhammad bin Ali bin Wahhab bin Muti Daqiq al-Id al-Qusyairi. (Qus, Mesir 25 Syakban 625 – Cairo, 15 Safar 702).
Selengkapnya lihat erpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 604
63 Tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya
64 Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, h. 123-128
37
BIOGRAFI IMAM ASY-SYAUKANI A. Riwayat Hidup Imam asy-Syaukani
Imam asy-Syaukani bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Hasan al-Khaisyinah Ibnu Zabbad. Ia dilahirkan pada hari senin tanggal 28 Dzulqa‟dah bertepatan dengan tahun 1173 H di daerah sekitar Syaukan pegunungan berjajar yang dikenal dengan nama Hajiratusy Syaukan.1 Ia tumbuh di bawah asuhan ayahandanya yang menjadi hakim selama 40 tahun dalam lingkungan yang penuh keluhuran budi dan kesucian jiwa.2
Orang tuanya adalah orang yang sangat alim, wara‟ dan bertakwa, sangat perhatian kepada anaknya dan dididik dengan budaya Islam seperti kedalaman seorang cendekiawan.3 Ayahnya merupakan seorang ulama besar di Shan‟a. Ia banyak mengajarkan ilmu kepada anaknya dan banyak mengeluarkan harta demi kepentingan pendidikan anaknya.4
Tidaklah heran jika melihat latar belakang keluarga Imam asy- Syaukani adalah keluarga yang menjunjung tinggi ilmu dan pendidikan, hal inilah yang mendorong Imam asy-Syaukani bersemangat dalam menuntut ilmu-ilmu agama dan menjadikannya sebagai ulama besar dan seorang mujtahid di masanya.
Imam asy-Syaukani telah hafal Al-Qur`an. Hal ini adalah perkara terpenting bagi orang yang akan menggeluti ilmu agama dan bahasa Arab. Al-Qur`an merupakan pondasi awal bagi orang yang akan studi Al- Qur`an dan mendalami bahasa Arab.5
Imam asy-Syaukani sangat kuat ingatannya, dari kecil ia banyak menghafal bagian matan6. Di usia mudanya dia telah menggeluti kitab sejarah dan kumpulan satra-sastra. Kelebihan ini sampai pada puncaknya ketika semangatnya semakin menyala dalam mencari ilmu. Ia mengeluarkan fatwa saat ia berusia 20 tahun. Perumpaan Imam asy-
1 Syaukan, adalah nama wilayah yang terletak di Yaman utara. Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, terj. Fathul Qadir (Al Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir ), terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saifullah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet. Ke-1, h. 31
2 Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir bii al-Ma‟tsur, (Jakarta: IIQ Jakarta: 2010), cet.
Ke-1, h. 174
3 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Manhaj al-Mufassirin Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 187
4 Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 32
5 Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h.188.
6 Matan adalah bentuk ringkas dari satu bidang ilmu
Syaukani saat itu sama dengan posisi ulama besar Amirul Mukminin dalam hadis, Sufyan ats-Tsauri yang alim dan terkemuka yang mengeluarkan fatwa di usia 20 tahun.7
Pada masa Imam asy-Syaukani muncul juga nama-nama pembaharu seperti M. Isma‟il al-Amir, Shaleh al-Mahdi al-Maqili, al-Husain bin Ahmad al-Jallal dan Ibrahim bin Muhammad al-Wazir. Ini semua menunjukkan bahwa Imam asy-Syaukani tidak hanya mengambil pengetahuannya dari para ulama terkenal sebelumnya, tapi ia juga mengambil pengetahuan dari seluruh pakar di bidangnya walaupun mereka hidup semasa. Imam asy-Syaukani telah merampungkan kegiatan belajarnya dengan para ulama-ulama di Shan‟a juga telah banyak menghafalkan kitab-kitab. Setelah itu Imam asy-Syaukani menfokuskan dirinya untuk pengajaran.
Dalam sehari semalam pelajaran yang ia pelajari mencapai 13 materi, sebagian beliau belajar dari gurunya dan sebagian ia ajarkan kepada teman-temannya.8
Imam asy-Syaukani dikatakan bersentuhan dengan mazhab Zaidi.
Mazhab Zaidi merupakan salah satu cabang dari paham Syi‟ah dan biasa disebut dengan aliran Syi‟ah Zaidiyah. Kelompok ini memandang bahwa sebenarnya imam Ali yang lebih berhak mengganti khalifah setelah Rasulullah Saw wafat. Salah satu hal yang menarik dalam pandangan mazhab Zaidi adalah bahwa mazhab ini tidak pernah menutup pintu ijtihad selamanya meskipun ijtihad yang mereka maksudkan tidak merupakan ijtihad mutlak menurut pendapat jumhur. Karena mereka beranggapan bahwa pintu ijtihad selamanya terbuka, akibatnya dalam mazhab Zaidi banyak terdapat imam yang menelorkan hukum-hukum fiqh seperti mazhab Qasimiyah, mazhab Hadawiyah, mazhab Nasiriyah dan lain sebagainya yang kesemuanya merupakan cabang mazhab Zaidiyah dalam bidang fiqh.
Imam asy-Syaukani dikatakan bersentuhan dengan mazhab Zaidi karena kehidupan keluarganya bermazhab Zaidiyah. Dan ini membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam pemikirannya. Asy-syaukani muda telah mengusai fiqh-fiqh mazhab Zaidiyah, seperti kitab Azhar.
Kecintaannya terhadap ilmu tidak menutup kesempatan untuk hanya membatasi diri dengan kajain-kajian mazhab Zaidiyah9
Di samping itu Imam asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di negeri Yaman yang baik pada zamannya, sehingga ia bisa mempelajari
7 Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h. 188
8 Syaikh M. Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, terj. Hayatul Aimmah, terj.
M. Khaled Muslih, Imam Awaluddin, (Jakarta: Puataka Al Kautsar, 2005), cet. I, h 258
9 Achmad Tubagus Surur, “Dimensi Liberal dalam pemikiran hukum imam asy- Syaukani”, dalam e-journal stain pekalongan.ac.id , vol. 8, no 1, 2010 h. 3
karangan-karangan imam-imam besar seperti Imam asy-Syafi‟i dan Ibnu Taimiyah.10
Sikap terbuka inilah yang menjadikan imam asy-Syaukani sangat menentukan langkah-langkah mana yang tepat untuk dijadikan panutan, maka bukan hal yang eneh jika sejak kecil hingga menginjak dewasa mengikuti mazhab Zaidiyah, tetapi untuk bidang teologinya walaupun kebanyakan pengikut mazhab Zaidiyah mengikuti paham Mu‟tazilah, imam asy-Syaukani tidak mengikitinya. Justru ia cenderung mengikuti aliran mazhab salaf. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman mengenai ayat mutasyâbihat yang menafsirkannya seperti ulama salaf. Untuk masalah kemakhlukan Al-Qur`an, imam asy-Syaukani juga tidak sependapat.11
Di samping itu Imam asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di negeri Yaman yang baik pada zamannya, sehingga ia bisa mempelajari karangan-karangan imam-imam besar seperti Imam asy-Syafi‟i dan Ibnu Taimiyah. Walaupum Imam asy-Syaukani pada saat itu hidup di lingkungan Zaidiyah tapi ia tidak terpengaruh oleh pemikiran tersebut.
Posisi Imam asy-Syaukani terhadap taqlid jelas ia mengingkari secara keseluruhan bahkan ia mengarang suatu kitab al-Qaul al-Mufid untuk melawan mereka yang berpegang dan menyebarkan ajam taqlid.
Imam asy-Syaukani dikenal sebagai ulama yang menekuni, mengembangkan, dan menjadi sumber fatwa mazhab Zaidiyah. Tetapi kemudian, setelah mandiri dalam memahami hadis Rasulullah Saw secara baik, ia berusaha memberantas taqlid yang merajalela di zamannya, dan mengumandangkan perlunya sikap ijtihad. Ia mendapat tantangan keras dari ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.12
Beliau meninggal dunia saat menjadi hakim di Shan‟a pada bulan Jumadil Akhir tahun 1250 H, dan saat itu beliau berumur 77 tahun. Beliau di makamkan di Shan‟a.13