B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Al-Qur`an menurut Imam asy-Syaukani
2. Penafsiran Terkait dengan Sesuatu yang Ghaib
Ayat-ayat mutasyâbihât juga dapat berkaitan dengan sesuatu yang ghaib seperi surga, neraka, padang mahsyar, dabbah50 dan lain sebagainya.
Secara bahasa, kata ghaib (بيغ) berarti tertutupnya sesuatu dari pandangan mata. Karena itu, matahari ketika terbenam atau seseorang yang tidak berada di tempat juga disebut ghaib (بيغ). Secara singkat dapat dikatakan bahwa ghaib adalah lawan “nyata”. Ghaib (بيغ) secara terminologis berarti sesuatu yang tidak bisa dijangkau manusia kecuali bila diinformasikan oleh Allah dan rasul atau sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.51
Dalam terninologi hukum Islam, istilah ghaib diartikan sebagai seseoarng atau sesuatu yang maujud (ada) secara fisik, tetapi tidak berada di tempat tindak hukum dilakasanakan sehingga tidak dapat dilihat oleh mata orang yang hadir. Pengertian ghaib dalam konteks hukum Islam lebih bersifat fisik, sehingga penekanannya adalah penglihatan mata kepala manusia.52 Jadi ghaib adalah sesuatu yang tidak dapat kita lihat secara fisik namun keberedaannya nyata. Berikut adalah penafsiran imam asy-Syaukani terhadap sesuatu yang ghaib
i. Ayat yang berkaitan dengan 53 (Melihat Allah) QS. Al- Qiyamah [75]: 22
50 Kata dabbah ( ) berasal dari kata dabba ( ) yadabbu ( , dabban ( ) atau dabiiban ( ), kemudian dijadikam isim mufrad, dabbah (ةباد), dan jamaknya dawabb ( ). Menurut Ibnu Faris, kata dabbah ( ) berakar pada huruf dal dan ba yang memiliki satu pengertian pokok: munafis ( ), yaitu yang memiliki gerak yang lebih ringan (halus) dari berjalan. Menurut al-Ashfahani, kata ad-dabbu ( ) dan ad-dabib ( ) adalah kata yang umumnya digunakan pada hewan yang lambat jalannya. Lihat Perpustakaan Nasional:
Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-Qur`an, h. 153-154
51 Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al- Qur`an, h. 242-243
52 Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, h. 367
53 Ru‟yah adalah penglihatan atau pandangan. Kata ini sering dugunakan secara metafisis sebagai pemahaman intelektual, atau sebagai penglihatan secara psikis atau intuisi.
Ia juga merupakan ilham yang disampaikan kepada Nabi dan orang-orang Shalih, sebagaimana yang pernah terjadi dalam mimpi Nabi Muhammad Saw sebelum berlangsung perjanjian Hudaybiyyah, bahwa Nabi bersama pengikutnya memasuki Masjid al-Haram di Makkah tanpa ada halangan sedikitpun, dalam rangka menjalankan peribadatan di dalamnya:
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kebenaran tentang mimpi Rasulnya dengan
“Kepada Tuhannyalah mereka melihat”
Imam asy-Syaukani menafsirkan lafaz “ ” adalah dengan melihat penciptanya, rajanya, atau melihat Allah secara langsung.
Pendapat imam asy-Syaukani ini sesuai dengan jumhur ahli ilmu berdasarkan hadis mutawattir. Bahwasannya seorang hamba akan melihat Tuhannya seperti melihat rembulan di malam Badar.54
Adapun hadis-hadis yang menguatkan penafsiran imam asy- Syaukani di atas berdasarkan penelusuran penulis adalah hadis yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah dan Abu Hurairah ra. dalam Sunan Abu Daud (w. 275 H/88 M)55:
[20]
130
“Usman bin abi Syaibah menyampaikan kepada kami dari Jarir, Waki‟
dan Abu Usamah, dari Ismail bin abu Khalid, dari Qais bin abu Hazim bahwa Jarir bin Abdullah berkata , “Suatu ketika kami pernah duduk
sebebnarnya, yakni bahwa kamu akan memasuki Masjid al-Haram, Insya Allah dalam keadaan aman...” (QS.48:27). Lihat Chryl Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), terj. The Concise Encyclopaedia of Islam, terj. Ghufron A. Mas‟adi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. 1, h. 343
54 Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 29, h. 1559
55 Seorang ulama, hafiz (penghafal Al-Qur`an), ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keislaman terutama di badang hadis dan fikih. Nama lengkapnya Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran al-Azdi as-Sijistani. (Sijistan [di perbatasan Iran dan Afghanistan] 202H/817M-Basra, 15 Syawal 275/888 M). Lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), cet. 1, h. 10
bersama Rasulullah Saw, lalu beliau melihat bulan purnama pada malam keempat belas. Beliau kemudian bersabda, „Sungguh, kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan itu. Kalian tidak berdesak-desakan saat melihatnya. Jika kalian mampu untuk tidak luput melaksanakan shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan sebelum matahari terbenam (Asar), lakukanlah. „Beliau lalu membacakan ayat,
“Dan bertasbilah dengan memuji Rabbmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam, (QS. Thaha: [20]:130)”56
Selanjutnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menegaskan bahwa setiap mukmin akan mampu melihat Allah Swt tanpa penghalang.
“Musa bin Ismail menyampaikan kepada kami dari hammad, dalam sanad lain, Ubaidullah bin Mu‟adz menyampaikan kepada kami hadis yang semakna dari ayahnya, dari Syu‟bah, dari Ya‟la bin Atha‟, dar Waki‟- ibnu Udus dari abu Razin- Musa al-Uqaili mengatakan bahwa Abu Razin bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami semua dapat melihat Rabb kami?” Ibnu Mu‟adz dalam riwayatnya menyebutkan,
„Tanpa penghalang apa pun untuk melihat-Nya pada hari kiamat?
Apakah tandanya pada makhluk-Nya?‟ Beliau menjawab, „Wahai Abu Razin, bukaknkah kalian semua bisa melihat bulan?‟ Dalam riwayatnya Ibnu Mu‟adz menjawab menambahkan lafaz, „Pada malam purnama tanpa ada penghalang apa pun‟. Selanjutnya kedua perawi (Musa dan Ibnu Mu‟adz) meriwayatkan dengan lafaz yang sama bahwa Abu Razin menjawab, „Tentu‟. Beliau bersabda, “Allah lebih agung dari itu”. Ibnu Mu‟adz dalam riwayatnya menyebutkan lafaz, “Bulan adalah salah satu
56 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis Sunan Abu Dawud, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 1, h. 987
makhluk di anatara para makhluk Allah. Allah tentu lebih agung dan lebih mulia untuk dapat dilihat”.57
Berbeda dengan penafsiran yang diungkapkan Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi-Zhilalil Qur‟an tentang ayat “ ”. Sayyid Quthb berkata: sesungguhnya merupakan hal sulit bagi manusia untuk mengungkapkan sekedar gambaran bagaimana pertemuan dengan Allah Swt itu terjadi, kecuali meningkatnya eksistensi kemanusiaan dan keterbatasannya dari ikatan eksistensi bumi yang terbatas ini. Perlu diketahui untuk dapat memandang kepada keindahan Dzat Allah memerlukan bantuan dari Allah Swt sendiri dan memerlukan peneguhan dari-Nya agar manusia dapat menguasai dirinya hingga mampu bertahan dan menikmati kebahagiaan yang tidak ada bandingannya, yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan. 58
Sebagian ulama, di antaranya Abu Hasan al-Asy‟ari (w. 936 M), mengatakan bahwa Allah Swt dapat dilihat dengan kekuatan rohani atau maknawi yang dianugerahkan Allah Swt kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Melihat Allah Swt semacam ini tidak mensyaratkan objek yang dilihat selalu berada dihadapannya. Demikian pula, tidak dipersyaratkan menentukan tempat atau arah yang memungkinkan Allah Swt dapat dilihat, mengingat Allah Swt berada di segala tempat.
Keadaan melihat Allah ini bersifat spiritual (ruhiyah). Oleh karena itu kedua mata (fisik) sama sekali tidak berperan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang buta dan orang yang dapat melihat.59
Adapun kelompok Mu‟tazilah60, ahli bid‟ah, Khawarij61, dan sebagian Murji‟ah62 menyangka bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat
57 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis Sunan Abu Dawud, h. 988
58 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur`an Jilid 12, terj. Fi Zhilalil Qur‟an, h. 561-562
59 Perpustakaan Nasiona RI, Ensiklopedi Tematis Al-Qur`an (Bersama Allah Jilid 1), (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005), cet. 1, h. 44-45
60 Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil „aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Ata pada tahun 100 H/ 718 M. Selengkapnya Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 290
61 Khawarij adalah aliran teologi pertama yang mucul dalam dunia Islam. Aliran ini mulai timbul pada abad ke-1 H (abad ke-8 M) pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kahilfah gterakhir dari khulafa‟ ar-rasyidin. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh adanya pertikaian politik Ali dan Mu‟awiyah. Selengkapnya, lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 47
siapapun. Melihatnya-Nya adalah mustahil. Dugaan itu tidak benar dan menunjukkan ketidakmengertian mereka.63 Jadi bisa dikatakan bahwa aliran-aliran tersebut tidak menerima atau mengkaji riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan kebisa-an seoarang mukmin melihat Tuhannya di akhirat kelak seperti hadis yang penulis terangkan di atas.
Dari hasil data-data di atas dan memperhatikan secara teliti ternyata penakwilan yang dilakukan imam asy-Syaukani hampir sama dengan yang dilakukan aliran ahlus sunnah wal jama‟ah64. Walaupun secara mazhab fiqh imam asy-Syaukani bermazhabkan Syiah Zaidiyah, tetapi ketika menjelaskan makna ayat mutasyâbihât imam asy-Syaukani mengikuti metode ahlus sunnah wal jama‟ah, sama-sama menakwilkannya kepada pemahaman yang sesuai dengan keadaan Allah dan sama-sama menghindari akan adanya keeserupaan Allah dengan makhluk.
Berbeda dengan golongan al-Hasywiyah dan al-Karamiyah65 mengartikan ayat-ayat Al-Qur`an sesuai dengan makna primernya termasuk ayat-ayat mutasyâbihât, sehingga Tuhan menurut pandangan mereka adalah berupa jasmani, daging, darah, mempunyai anggota badan seperti tangan, kaki, kepala, lisan, dua mata dan dua telinga. Atas dasar pandangan inilah al-Hasywiyah dan al-Karamiyah66 dinamakan sebagai golongan Mujassimah, yaitu orang-orang yang menyamakan Tuhan dengan jasmani manusia. Menurut penulis penafsiran yang dilakukan
62 Murjiah adalah salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal bahwa orang yang pertama membawa paham Murji‟ah adalah Gailan ad-Dimasyqi. Kata murji‟ah berasal dari kata Arab arja‟a yang artinya menunda. Aliran ini disebut Murjia‟ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik poloti anatara Ali bin Abi Thalib, Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Selengkapnya, lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 301
63 Perpustakaan Nasiona RI, Ensiklopedi Tematis Al-Qur`an (Bersama Allah Jilid 1), (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005), cet. 1, h. 44-45
64 Ahlus sunnah wal jama‟ah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang timbul karena reaksi terhadap paham golongan Muktazilah. Istilah ahlusuna wal jama‟ah dinisbahkan pada aliran teologi Asy‟ariyah dan Maturidiyah. Ahlusuna wal jama‟ah percaya kuat dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan melkukan interpretasi. Selengjapnya lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 1 h. 50
66 Al Karamiah adalah sebuah golongan yang merupakan cabang/sekte dari alirann teologi Murjiah. Pendirinya adalah Ashab bin Abdillah Muhammad bin Karam. Aliran teologi paling penting dalam golongan Karamiah ini adalah pandangan antropomorfisme (musyabbihâh atau mujassimah), yakni pandangan yang melihat Allah Swt mempunyai persamaan dengan sifat makhluk. Dalam hal ini , kepada Allah Swt dikenakan ciri-ciri manusia. Selengjapnya lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 12
imam asy-Syaukani terhadap ayat-ayat mutasyâbihât di atas sudah tepat dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, hal ini berdasarkan dalil
“Laisâ Kamiślihi Syai‟un” dan agar mudah dipahami orang awam karena dapat diterima oleh akal.
Kemudian beginilah bahasa Al-Qur`an yang nota bene nya menggunakan bahasa Arab, ia tidak hanya memperhatikan gagasan, pemikiran dan petunjuk-petunjuk yang akan disampaikan akan tetapi juga memperhatikan dunia kehidupan dan tradisi-tradisi masyarakat yang diajak bicara dan manusia secara keseluruhan (Allah menrunkan bahsa sesuai dengan yang dipahami manusia). Kemudian bahwa bahasa secara umum dan bahasa Arab secara khusus, kosa kata dan kalimatnya baik yang berkaitan dengan makna hakiki ataupun makna majazitidak terlepas dari lingkungan kehidupan dan tradisi-tradisi masyarakatnya.67
67 Husein Aziz, jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabbihâh Perspektif Bahasa”, dalam e-journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012, h. 33
73 PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan penafsiran Imam asy-Syaukani terhadap ayat-ayat mutasyâbihât yang tertuang di dalam karyanya yang berjudul Tafsir Fathul Qadir, maka pada bab ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam keseluruhan tafsir Fathul Qadir imam asy-Syaukani juga menggunakan metode tafsir tahlili (analitik), bentuk penafsirannya adalah gabungan dari bil riwayat dan bil-ra‟yi dan corak penafsirannya fiqh (hukum-hukum Islam). Hal ini disebabkan imam asy-Syaukani banyak memiliki basik keilmuan dalam bidang fiqh (hukum-hukum Islam). Sedangkan sistematika penafsirannya mengklasifikasikan ayat Al Qur‟an dengan urutan mushaf yang ingin ditafsirkan, menjelaskan kandungan setiap surat secara global atau umum, menjelaskan sisi kebahasaan ayat- ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya, menjelaskan sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) jika ada, mengeluarkan hukum yang berkaitan denga ayat yang sudah ditafsirkan, menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci disertai dengan qiraatnya, membahas kesusastraan dan i`rab ayat-ayat yang hendak ditafsirkan dan fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.
2. Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât imam asy-Syaukani terlebih dahulu mengemukakan pendapatnya sendiri, baru kemudian menafsirkan menurut pendapat-pendapat ulama. Dan terkadang membenarkan (men-tarjih) pendapat ulama.
3. Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dengan metode ta‟wil yaitu dengan memahami ayat mutasyâbihât atau mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Terkait dengan sifat-sifat Allah imam asy-Syaukani menggunakan metode ta‟wil akan tetapi ada sebagian sifat Allah yang tidak ditakwilkan.
Sedangkan ayat terkait dengan sesuatu yang ghaib imam asy- Syaukani tanpa ta‟wil (diteriam apa adanya).
4. Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dengan dita‟wil-kan, hal ini dapat diketahui penafsiran kata wajhu dengan makna ridho Allah atau dzat, lafaz a‟yun diartikan dengan
pengawasan yang meliputi pemeliharaan dan penjagaan, yad diartikan dengan “tanpa ada perantara”, lafaz Jaa‟a diartikan dengan telah datang perintah dan ketetapan Allah swt, lafaz Ramaa ditafsirkan dengan pertolongan dan kemenangan dari Allah, lafaz al-Janb diartikan dengan ketaatan kepada Allah, kemudian lafaz “wahuwa ma‟akum” ditafsirkan dengan kekuasaan, kekuatan dan pengetahuan-Nya yang meliputi makhluk-Nya, lafaz Allahu Nuur assamawati wal ardh diartikan dengan pujian terhadap sifat Allah dan sumber dari segala cahaya, lafaz nazirah diartikan dengan melihat Allah secara langsung seperti melihat bulan di malam Badar.