• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam kajian penelitian ini membahas esoterisme dalam penafsiran tekstual studi atas dimensi sufistik dalam tafsir Utsaimîn yaitu Tafsir Al- Qur‟an Al-Karîm, sebagai objek formal penelitian ini berkaitan dengan tafsir tekstual, sedangkan objek materialnya adalah Tafsir Al-Qur‟an Al-Karîm.

Terkait objek formal penelitian, ditemukan berbagai tulisan yang membahas ataupun menyinggung unsur esoterisme dalam interpretasi tekstualis.

1. Alham Irfani menulis (2014).40 Dalam tesisnya Alham Irfani berpendapat bahawa penafsiran tekstual hanya menitikberatkan pada aspek

40 Tesis Alham Irfani fokus pada penafsiran Sayyid Qutb terhadap konsep kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia, semakin ideologis.” Dan beberapa penafsiran tersebut, menghantarkan kepada pemikiran yang radikal, terbukti diantara lain ketidak cocokan antara asbab nuzūl ayat dengan signifikansi yang Qutb ambil tatkala menjelaskan

18

linguistik suatu teks dan mengabaikan aspek sosio historis. Baginya, setandar dalam suatu penafsiran adalah apa yang terjadi pada masa Nabi, dari penafsiran tekstual ini lahir kelompok konservatif adalah penafsiran yang otoritarian, karena bersikeras menolak perubahan dan tetap pada kevakuman dan ahistoris, di antara kelompok ini adalah gerakan salafi41 (atau disebut juga sebagai wahabi). Gerakan puritanisme ini, muncul dalam era modern sebagai gerakan purfikasi agama. Mereka meyakini bahwa Islam sekarang tidak semurni apa yang ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, para Sahabat serta Tabi‟in. Dalam menjalankan tugas tersebut, mereka menggunakan jargon yang biasa dikenal dengan “kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah” namun dengan pendekatan tekstualis.42

2. Sansan Ziaul Haq menulis dalam tesisnya “Dimensi Eksoteris dalam Tafsir Ishari” Studi atas Metode Tafsir Al-Jilani (2016), mengungkapkan dalam interpretasi sufi memandang bahwa Al-Qur‟an adalah teks yang mengandung multi lapisan makna. Ketika melalukan intrpretasi seorang sufi lebih mengandalkan inspirasi mistis yang bertumpu pada asosiasi kesatuan moral, literal, spiritual dan simbol maknawi, tetapi tidak kemudian menyebabkan pemaknaan dan pemahaman Al-Jilânî kosep kedaultan Tuhan dan manusia. Ahistoritas penafsiran Qutb tersebut, beberapa mengantarkan penafsiran radikal, karena penafsiran lebih bebas dan radikal, karena tidak mengikuti signifikansi yang terdapat pada ayat tersebut, dibuktikan yang ia gunakan, detail, generalisasi serta struktur penafsiran Qutb yang mengindikasikan bahwa muslim yang tidak menjalankan hukum dan syariat Allah SWT adalah kafir.

41 Salafi, dalam bahasa arab berasal dari kata salaf, yang dalam tradisi Islam berarti

tiga generasi awal dalam Islam, yakni zaman Nabi Muhammad SAW, Sahabat dan Tabi‟in.

Dan terminologi salafi, berarti para pengikut salaf. Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad

„Abduh dan Rashîd Rida. Gerakan ini pertama-tama bertujuan untuk membenarkan Islam terhadap upaya westerbisasi dan penolakan terhadap tradisionalisme buta. Namun lambat laun gerakan ini bergeser dari tujuan aslinya, sehingga fanatisme tersebut berpindah ke dalam gerakan mereka sendiri. Dan akibatnya, pembacaan yang literal-skriptual. Lihat Muhammad Saîd Ramadhân Al-Būthi, Salaf Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab, penerjemah Futuhal Arifin (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 3.

42 Alham Irfani, Ahistoritas Penafsiran dan Radikalisme Islam Kajian terhadap Konsep Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Manusia dalam Tafsir Fî Dzilâlil Al-Qur‟an (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2014), h. 29.

19

melampaui batas-batas tekstual, yang dihukumi sebagai kesepakatan bersama di kalangan umat Islam. Bagaimanapun dalamnya pemahaman dan pemaknaan sufistik, tetap tidak akan keluar makna tekstual (dzâhir/esoterik).43 Berangkat dari asumsi di atas, bahwa dualitas interpretasi eksoterik dan esoterik bagi kaum sufi adalah suatu kemestian.

3. Muhammad Zaenal Muttaqin menulis dalam tesisnya “Corak Tafsir Sufistik” Studi Analisis atas Tafsir Rūhul-Bayân Karya Ismâ‟il Haqqi Al-Bursawî (2015), memaparkan penafsiran sufistik Ismâ‟il Haqqi al- Bursawî termasuk dalam corak sufi fayadhî. Penafsiran Ismâ‟il Haqqi al- Bursawî memiliki kemiripan dengan penafsiran al-Qusayrî dan al-Alūsî yang juga berpegng pada makna dzahir ayat. Bahkan pendekatan makna dzahir di dalam penafsiran al-Burswî lebih kental bila dibandingkan dengan keduanya.

Temuan dalam penelitian ini mendukung pendapat al-Dzahabi, al-Zarqânî, al-Alūsî yang menyatakan bahwa penafsiran sufistik dilakukan dengan menghubungkan makna ekosterik dan esoterik yang terdapat dalam ayat, sementara itu temuan penelitian ini menolak pendapat Ibn Salâh, Abū Hasan al-Wahidî dan at-Tūsî yang menyatakan bahwa pola penafsiran sufistik tidak berlandaskan pada makna zhâhir ayat, bahkan penafsiran tersebut merubah dan memalingkan dari posisi yang semestinya.44

4. Habib al-Amin dalam jurnal “Membangun Epistemologi Tafsir Sufi (Intervensi Psikologi Mufassir)” memaparkan secara umum dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir dari yang klasik sampai kontemporer menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan eksoterik (zhâhir) yakni tafsir yang lebih menitikberatkan pada sisi lahir teks-teks Al-Qur'an. Kedua, pendekatan esoterik (bâthin), yakni tafsir yang lebih menitikberatkan pada

43 Sansan Ziaul Haq, Dimensi Eksoteris Dalam Tafsir Isyari (Ciputat: Cinta Buku

Media, cet 1, 2016), h. 377.

44 Muhammad Zaenal Muttaqin, Corak Tafsir Sufistik Studi Analisis atas Tafsir Rūhul Al-Bayân Karya Ismâil Haqqî (Jakarta: Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 197.

20

sisi isyarat atau pesan batin yang secara tegas terkandung di balik teks-teks lahiriah Al-Qur‟an dalam wadah tafsir sufi maupun tafsir isyari. Pendekatan eksoterik mengelaborasi seluruh potensi makna teks lahiriah yang ada sesuai keahlian mufassir.

Dalam penafsiran tafsir sufi lahir dari nafas sufisme, tetapi tanpa melupakan faktor kejiwaan. Hal ini ditunjukkan dengan produk penafsiran yang berupa identitas perlambangan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam bentuk pembersihan jiwa yang diorientasikan menuju eksistensi Yang Maha Suci.

Sebuah proses kerja penafasiran merupakan prilaku mufassir dengan segudang pengalaman serta kondisi psikologi, karena yang dilakukan seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologi alam bawah sadarnya, yang salah satunya emosi, yang menarik tidak semua tafsir sufi menggunakan tafsir sebagai wadah ekspresi emosi sufistiknya seperti al-Qusayri adalah merupakan seorang penulis sufi yang sangat mumpuni. Dalam hal pengembangan gaya penulisan, kemampuan untuk menggabungkan telaah atas suatu konsep yang sangat sulit dengan paparan yang jelas dan tegas serta kemampuan untuk menggabungkan analisis yang tepat.45

5.Ahmad Bisri Musthafa dalam penelitian pada kitab tafsir sufi yaitu latahif al-Isyarat, karya Imam al-Qushairi telah dilakukan sebelum penelitian ini, hanya saja tidak sama ranah penelitiannya, misalnya saja yang dilakukan membahas “Berkenalan dengan tafsir ishari studi kitab Lathaif al- Isyarat Karya Syaikh Al-Imam al-Qusayri” didalamnya berkaitan tentang metodologi penafsiran sufi Imam al-Qusayri.46

Terkait objek material dalam penelitian ini, yaitu tafsir Ibn al- 'Utsaimīn, penulis menemukan beberapa sarjana yang telah mengkajinya

45 Habib Al-Amin, “Membangun Epistemologi Tafsir Sufi; (Intervensi Psikologi Mufassir)” An-Nuha, Vol.2 No. 2, Desember 2015, h. 142-147.

46 Ahmad Bisri Musthafa, Berkenalan dengan Tafsir Isyari (Studi Kitab Lathaif Al-

Isyarât Karya Syaikh Al-Imam Al-Qusayri (Jakarta: Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ).

21

terlebih dahulu. Pada tahun 2005, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al- Barīdī telah menulis desertasi yang sudah dibukukan dengan judul Juhūd Al- Syaikh Al-'Uthaimīn wa Ārāuhu fī Al-Tafsīr wa 'Ulūm Al-Qur'ān. Dalam bukunya, Ahmad membahas bagaimana totalitas Ibn al-'Utsaimīn dalam mempelajari ilmu agama, khususnya di bidang tafsir dan 'ulūm Al-Qur'ān.

Perjalanannya menimba ilmu yang memakan waktu lebih dari setengah abad menjadikan Ibn al-'Utsaimīn sebagai sosok yang terkenal dengan kapasitas keilmuannya yang luas dan menjadi salah satu ulama terkemuka pada masanya. Ahmad juga membahas kontruksi pemikiran Ibn al-'Utsaimīn terkait tafsir dan 'ulūm Al-Qur'ān. Dalam tulisannya Ahmad menyebutkan bahwa Ibn al-'Utsaimīn dalam tafsirnya banyak merujuk kepada karya-karya Ibnu Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, Tafsir Ibn Jarīr (Jāmi'u Al-Bayān 'an Ta'wīl Āyy Al-Qurān), dan tafsir Ibnu Kathir (Tafsīr Al-Qur'ān al-'Ādzim), sebagai sumber-sumber yang banyak dikutip olehnya. Dalam aplikasi penafsirannya, Ibn al-'Utsaimīn menggabungkan antara tafsīr bi al-ma'thūr dan tafsīr bi al-ra'yī al-mahmūd. Dalam aspek linguistik, Ibn al-'Utsaimīn terkadang menghadirkan sya'ir Arab dalam rangka menjelaskan kosa-kata dalam Al-Qur'ān. Ahmad membagi tafsir Ibn al-'Utsaimīn ke dalam dua kategori pokok: tafsir dan fawāid (faidah/pelajaran), dan tiga aspek pembahasan dominan: al-jānib al-'aqadī (aspek akidah), al-jānib al-fiqhī (aspek fikih), dan al-jānib al-istinbathī (aspek istinbat). Nuansa ekslusivisme tafsir terlihat dalam aspek akidah. Ortodoksi akidah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah dan produk penafsiran ulama salaf begitu erat dipegang dan menolak pandangan yang bersebrangan dengannya. Penafsiran Ibn 'Utsaimīn banyak dijumpai dalam karya-karyanya seperti pada kitab Syarh „ushūl at- Tafsir, Syarh al-'Aqīdah al-Wāsathiyyah dan al-Qaul al-Mufīd 'ala Kitāb at- Tauhīd.47

47Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Al-Barîdî, Juhūd As-Syaikh „Utsaimîn wa

22

Berangkat dari celah yang belom dikaji oleh beberapa penelitian terdahulu, dan menghindari plagiarisme atau mengulang penelitian yang sudah ada, penulis mengangkat tema esoterisme dalam penafsiran tekstual studi atas dimensi sufistik dalam tafsir al-„Utsaimîn dan menjadikan Tafsir Al-Qur‟aan Al-Karîm karya Muhammad Shâlih al-„Utsaimîn sebagai objek material dari penelitian ini.

F. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitan ini adalah penelitan kepustakaan (library research) karena penelitian ini sangat bergantung kepada data-data dari berbagai literatur yang merupakan bahan-bahan kepustakaan.48 Penelitian ini bersifat teoritis. Mengingat, objek penelitian ini terkait ayat-ayat Al-Qur‟an dan penafsirannya yang digunakan oleh Shalîh dalam tafsirnya. Dengan demikian, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam katagori penelitian kualitatif, yang secara umum dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa teks verbal maupun non-verbal dan prilaku yang dapat diamati.49

2. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini dapat dikelompokan ke dalam dua katagori: sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah kitab tafsir Tafsir Al-Qur‟an Al-Karîm, Syarh Ushūl at-Tafsir, Syarh al-'Aqīdah al-Wāsathiyyah dan al-Qaul al-Mufīd 'Ala Kitāb at-Tauhīd.

Adapun untuk data sekunder, penulis merujuk kepada beberapa buku dan

Arâuhu Fi At-Tafsir wa „Ulum Al-Qur‟an (Riyadh

: Maktabah Ar-Rasyîd, 2005).

48 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010, h. 134.

49 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013, h. 4.

23

jurnal yang memiliki keterkaitan dengan penelitian, meliputi disiplin ilmu tafsir, „ulum Al-Qur‟an, teologi, sosiologi agama.

3. Analisa Data

Penelitian ini mencangkup tiga unsur yang saling berkaitan sebagai fokus objek yang akan dikaji: Pertama, ayat-ayat yang berkaian dengan tema yang dibahas. Kedua, adalah Shalîh „Utsaimîn adalah sebagai penafsir.

Ketiga, metode yang digunakan oleh „Utsaimîn dalam penafsirn. Dalam menganalisa data, metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat interpretatif (interpretatif research) dengan menyelami pemikiran tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya.50

Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam rangka memproses data lebih cermat dan teliti secara garis besar adalah sebagai berikut:

a. Mengumpulkan ayat-ayat yang ditatafsirkan secara tekstual oleh Muhammad Shaleh Ibn al-Utsaimîn. Perlu di garis bawahi bahwa dalam penelitian ini, penulis tidak mungkin mengumpulkan ayat- ayat tersebut dari seluruh surat dalam Al-Qur‟an, sebagai contoh QS: Al-Fajr: 22, QS: Thaha: 5, QS: Al-Fath: 10.

b. Mengumpulkan ayat-ayat yang ditafsirkan Muhammad Shaleh Ibn al-„Utsaimîn secara esoterik, yang selaras dengan ulama tasawuf dengan langsung melihat pada tafsir isyâri seperti tafsir Sahal

„Abdullah at-Tustarî, Imaam al-Qusayri dan buku tasawuf semisal ar-Risâlah al-Qusyriyah, Qūt al-Qulūb. Ayat-ayat yang dikaji berkaitan dengan ibadah: QS: An-Nur: 36, Al-Ahzâb: 41-42, Al- Anfâl: 46.

50 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisiliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010, h. 169-173.

24

c. Apabila diperlukan, penulis berusaha mengkritisi apa yang dipaparkan oleh Muhammad Shaleh Ibn al-„Utsaimîn dalam tafsirnya, sebagai usaha untuk mencari jalan keluar. Langkah- langkah diharapkan dapat mengarahkan penulisan ini tetap pada jalur ilmiah dan menghasilkan poin yang dituju.

4. Metode Penulisan

Adapun teknis penulisan ini menggunakan standar transliterasi dan penulisan note dengan mengikuti buku Pedoman Penulisan Proposal, Tesis dan Desertasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 2017 dengan SK Direktur Program Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta Nomor: K.0123.XIX/PPS/IV/2017.

Dokumen terkait