• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kajian Simulasi Kajian Simulasi 1

25

26

sampel dalam 10.000 iterasi dengan burn-in sebanyak 5000 dan thin sebesar 20.

Konvergensi rantai markov dapat dilihat dari trace plot (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Dari beberapa skenario, trace plot yang dihasilkan memiliki pola acak, plot relatif stabil pada suatu nilai tertentu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konvergensi telah dapat dicapai.

Tabel 6 Rata-rata bias pada kajian simulasi 1 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2=4

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03957

20 0 -0,05907 -0,06210 -0,06125 -0,06135

2 0,03584 0,04794 0,04383 0,04463

50 0 -0,01910 -0,02587 -0,02686 -0,02498

2 -0,06109 -0,05431 -0,05395 -0,05532

80 0 -0,08365 -0,08012 -0,09375 -0,08423

2 -0,02920 -0,03008 -0,02764 -0,02943

100 2 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03992

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03957

20 0 -0,05907 -0,06238 -0,06118 -0,06111

3 0,03584 0,04906 0,04332 0,04391

50 0 -0,01910 -0,02598 -0,02671 -0,02490

3 -0,06109 -0,05420 -0,05452 -0,05538

80 0 -0,08365 -0,07921 -0,08074 -0,08255

3 -0,02920 -0,03031 -0,03029 -0,02990

100 3 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03963

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03957

20 0 -0,05907 -0,06254 -0,06110 -0,06093

4 0,03584 0,04968 0,04276 0,04328

50 0 -0,01910 -0,02578 -0,02575 -0,02472

4 -0,06109 -0,05441 -0,05523 -0,05558

80 0 -0,08365 -0,07866 -0,07876 -0,08158

4 -0,02920 -0,03045 -0,03031 -0,02920

100 4 -0,04009 -0,04009 -0,04009 -0,03970

Salah satu evaluasi pendugaan model dilakukan dengan melihat nilai rata-rata bias. Tabel 5 memperlihatkan nilai rata-rata bias ketika 𝑚 = 20, 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2, dan 𝑘 merupakan persentase area yang memiliki 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), dan sisa nya 𝑐𝑖 = 0. Rata-rata bias ditunjukkan dengan memisahkan area yang memiliki 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), dan 𝑐𝑖

= 0. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan saat area mengandung galat dan tidak mengandung galat. Dari hasil tersebut terlihat bahwa keempat metode memberikan hasil yang tidak berbeda jauh. Akan tetapi, secara umum terlihat bahwa pendugaan langsung menghasilkan rata – rata bias yang mendekati 0, terutama saat persentase area yang mengandung galat pengukuran bernilai 𝑘 = 20 dan 𝑘 = 30 dengan 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4),. Pada semua skenario 𝑐𝑖 dengan 𝑘 = 0 dan 100, pendugaan bayes berhierarki dengan peubah penyerta

27 mengandung galat pengukuran (𝜃̂𝑖𝐻𝐵) menghasilkan nilai rata – rata bias yang secara umum lebih kecil dibandingkan metode lain.

Tabel 7 Rata-rata kuadrat tengah galat pada kajian simulasi 1 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,75708 0,76474 0,77161

20 0 1,00067 0,80295 1,12954 0,77668

2 1,03497 1,22927 1,00831 1,00870

50 0 0,94016 0,81849 1,26663 0,80390

2 1,07490 1,02980 1,01753 1,01703

80 0 0,89678 0,82019 1,10152 0,81526

2 1,03521 0,99809 0,99843 0,98774

100 2 1,00753 0,96492 0,97034 0,95629

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,75708 0,76474 0,77161

20 0 1,00067 0,82911 1,21368 0,77698

3 1,03497 1,22723 1,01746 1,01743

50 0 0,94016 0,84394 1,38689 0,80682

3 1,07490 1,04020 1,03370 1,03329

80 0 0,89678 0,83746 1,11774 0,82774

3 1,03521 1,00780 1,00950 1,00021

100 3 1,00753 0,97344 0,98180 0,96745

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,75708 0,76474 0,77161

20 0 1,00067 0,84902 1,28395 0,77754

4 1,03497 1,21510 1,02218 1,02221

50 0 0,94016 0,86044 1,39729 0,80854

4 1,07490 1,04508 1,04247 1,04228

80 0 0,89678 0,84765 1,13504 0,83953

4 1,03521 1,01252 1,01500 1,00646

100 4 1,00753 0,97802 0,98808 0,97368

Selanjutnya, rata-rata bias berdasarkan Tabel 6 memperlihatkan nilai rata-rata bias ketika 𝑚 = 20, 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4.

Seperti pada Tabel 5, saat 𝑘 kecil, yaitu 𝑘 = 20 dan 𝑘 = 50 𝑐𝑖 = 2, 3 atau 4, pendugaan 𝑦𝑖 memberikan nilai rata-rata bias paling kecil diantara metode pendugaan lainnya. Pada saat 𝑘 = 0 dan 𝑘 = 100 d, 𝑐𝑖 = 4, rata-rata bias terkecil dihasilkan oleh pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵. Jika dibandingkan hasil rata-rata bias saat 𝜎𝑢2 =4 adalah lebih besar dibandingkan saat 𝜎𝑢2 =2, walaupun perbedaamya tidak terlalu besar.

Perbandingan selanjutnya ditunjukkan pada hasil evaluasi pendugaan dari keempat metode yang dapat dilihat dari nilai rata – rata kuadrat tengah galat (KTG). Semakin kecil rata – rata KTG maka semakin baik metode tersebut dibandingkan metode yang lain. Tabel 7 menunjukkan nilai KTG ketika 𝑚 = 20, 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), dan 𝜎𝑢2 = 2. Pada saat 𝑘 = 0 (peubah penyerta tidak

28

mengandung galat pengukuran), hasil pendugaan 𝜃̂𝑖𝐹𝐻memberikan nilai rata – rata KTG paling kecil diantara metode yang lain. Ketika 𝑘 = 20 dan 𝑐𝑖 = 2 dan 4, pendugaan 𝜃̂𝑖𝑀𝐸 memberikan rata – rata KTG paling kecil diantara metode pendugaan lainnya. Pada saat 𝑘 bernilai besar, rata – rata KTG terkecil dihasilkan oleh pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵. Dapat dikatakan bahwa, semakin besar persentase 𝑘 dan nilai 𝑐𝑖, penduga 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 adalah penduga yang terbaik. Dan penduga yang memberikan hasil yang kurang baik adalah penduga langsung (𝑦𝑖), karena secara umum rata – rata KTG 𝑦𝑖 adalah yang paling besar diantara metode yang lain.

Tabel 8 Rata-rata kuadrat tengah galat pada kajian simulasi 1 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,86814 0,87158 0,87518

20 0 1,00067 0,86899 1,32187 0,88055

2 1,03497 1,14442 1,01739 1,01613

50 0 0,94016 0,85347 1,56189 0,90775

2 1,07490 1,03372 1,02437 1,02420

80 0 0,89678 0,83850 1,40214 0,91951

2 1,03521 1,00207 1,00260 0,99420

100 2 1,00753 0,97233 0,97647 0,96572

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,86814 0,87158 0,87518

20 0 1,00067 0,88087 1,57524 0,88110

3 1,03497 1,15546 1,02311 1,02229

50 0 0,94016 0,86754 1,78984 0,90985

3 1,07490 1,04256 1,03694 1,03690

80 0 0,89678 0,84901 1,45334 0,91847

3 1,03521 1,01040 1,01288 1,00380

100 3 1,00753 0,97865 0,98510 0,97371

𝒌 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

0 0 1,00753 0,86814 0,87158 0,87518

20 0 1,00067 0,89112 1,73906 0,88136

4 1,03497 1,15552 1,02636 1,02555

50 0 0,94016 0,87758 2,07256 0,91061

4 1,07490 1,04709 1,04421 1,04464

80 0 0,89678 0,85591 1,54980 0,91760

4 1,03521 1,01457 1,01793 1,00930

100 4 1,00753 0,98215 0,99024 0,97833

Perbandingan rata – rata kudrat tengah galat (KTG) ketika 𝑚 = 20, 𝑐𝑖 = (2, 3, atau 4), pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4 ditunjukkan pada Tabel 8. Pada saat 𝑘 = 20, 50 dan 80, 𝑐𝑖 = 0, rata-rata KTG terkecil dihasilkan oleh pendugaan 𝜃̂𝑖𝐹𝐻. Untuk 𝑘 = 50 saat 𝑐𝑖 = 4, pendugaan 𝜃̂𝑖𝑀𝐸 memberikan rata-rata KTG paling kecil diantara metode pendugaan lainnya. Dan saat 𝑘 = 20, 50, 80 dan 100, 𝑐𝑖 = 2, 3, atau 4, pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 memberikan rata-rata KTG paling kecil

29 diantara metode pendugaan lainnya. Rata-rata KTG pendugaan 𝑦𝑖 adalah yang terbesar diantara metode lain untuk hampir semua 𝑘 dan 𝑐𝑖. Dari nilai rata – rata KTG keempat metode, dapat dikatakan bahwa 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 memberikan hasil yang terbaik diantara metode yang lain.

4.1.2 Kajian Simulasi 2

Pada kajian simulasi 2, terdapat dua skenario yang dilakukan dalam pemodelan pendugaan parameter. Skenario pertama dilakukan dengan satu peubah penyerta (𝑥̂1𝑖) yang mengandung galat pengukuran dan satu peubah penyerta (𝑥2𝑖) yang tidak mengandung galat pengukuran. Skenario kedua dilakukan dengan dua peubah penyerta yang masing-masing mengandung galat pengukuran (𝑥̂1𝑖 dan 𝑥̂2𝑖 ). Pada proses pendugaan parameter dengan metode SaeME Bayes Berhierarki dilakukan melalui pembangkitan sampel MCMC, dengan membangkitkan data sampel dalam 100.000 iterasi dengan burn-in sebanyak 5000 dan thin sebesar 20. Konvergensi rantai markov dapat dilihat dari trace plot (Lampiran 4 hingga Lampiran 7). Evaluasi pendugaan dilakukan dengan membandingkan rata – rata bias dan rata-rata MSE. Hasil rata-rata bias kedua skenario dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2 dan galat pengukuran 𝑐𝑖 = 2, 3, dan 4, ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata bias pada kajian simulasi 2 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2

Skenario 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

1

2 0,0424958 0,0424958 0,0424958

0,0424958 0,0424958 0,0419295

3 0,0424958 0,0424958 0,0419235

4 0,0424958 0,0424958 0,0419214

2

2 0,0424958 0,0424958 0,0424958

0,0424958 0,0424958 0,0425923

3 0,0424958 0,0424958 0,0425620

4 0,0424958 0,0424958 0,0426548

Rata-rata bias yang dihasilkan baik pada skenario 1 dan 2 untuk setiap nilai 𝑐𝑖 adalah sama untuk ketiga metode yaitu pendugaan langsung (𝑦𝑖), 𝜃̂𝑖𝐹𝐻dan 𝜃̂𝑖𝑀𝐸. Oleh karena itu, rata-rata bias yang dihasilkan dari ketiga metode tersebut baik pada saat peubah penyerta hanya mengandung satu peubah yang mengandung galat pengukuran ataupun keduanya mengandung galat pengukuran adalah tidak berbeda. Berbeda hasilnya dengan rata-rata bias dari pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵. Semakin banyak jumlah peubah penyerta yang mengandung galat pengukuran, rata-rata biasnya semakin besar. Saat skenario 1, hanya satu peubah penyerta yang mengandung galat pengukuran, rata-rata bias 𝜃̂𝑖𝐻𝐵adalah lebih kecil dibandingkan metode pendugaan lainnya.

Tabel 10 Rata-rata bias pada kajian simulasi 2 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4

Skenario 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

1

2 0,0424958 0,0424958 0,0424958

0,0424958 0,0424958 0,0419279

3 0,0424958 0,0424958 0,0419239

4 0,0424958 0,0424958 0,0419217

2

2 0,0424958 0,0424958 0,0424958

0,0424958 0,0424958 0,0425438

3 0,0424958 0,0424958 0,0425974

4 0,0424958 0,0424958 0,0426585

30

Pada saat pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4, rata-rata bias ditunjukkan pada Tabel 10. Untuk metode pendugaan 𝑦𝑖, 𝜃̂𝑖𝐹𝐻dan 𝜃̂𝑖𝑀𝐸 baik saat 𝜎𝑢2 = 2 dan 𝜎𝑢2 = 4, rata-rata bias yang dihasilkan adalah sama. Secara umum, rata-rata bias terendah yang diperoleh dengan metode pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵adalah pada skenario 1, hanya salah satu peubah penyerta yang mengandung galat pengukuran. Dari kedua Tabel rata-rata bias tersebut, keempat metode pendugaan menghasilkan rata-rata bias yang mendekati 0.

Evaluasi metode pendugaan selanjutnya dilakukan dengan melihat keluaran rata-rata KTG dari keempat metode pendugaan (Tabel 11). Saat pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2 serta 𝑐𝑖 = 2, 3, dan 4, terlihat bahwa semakin besar 𝑐𝑖 dan semakin banyak peubah penyerta yang mengandung galat pengukuran maka nilai rata-rata KTG juga semakin besar. Perbedaan rata-rata KTG yang dihasilkan dari keempat metode tersebut tidak terlalu berbeda jauh. Akan tetapi secara umum, rata-rata KTG dari kedua skenario dengan nilai yang terkecil dihasilkan oleh metode 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 dibandingkan metode 𝜃̂𝑖𝐹𝐻maupun 𝜃̂𝑖𝑀𝐸.

Tabel 11 Rata-rata kuadrat tengah galat pada kajian simulasi 2 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =2

Skenario 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

1

2 1,030011 0,977280 0,984496 0,977173 3 1,030011 0,989368 0,998849 0,989181 4 1,030011 0,995951 1,006533 0,995733 2

2 1,030011 1,019537 1,020225 1,019368 3 1,030011 1,021955 1,022494 1,021600 4 1,030011 1,023211 1,024361 1,022789 Pada saat pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4 serta 𝑐𝑖 = 2, 3, dan 4, rata-rata KTG ditunjukkan pada Tabel 12. secara umum, rata-rata KTG dari kedua skenario dengan nilai yang terkecil dihasilkan oleh metode 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 dibandingkan metode 𝜃̂𝑖𝐹𝐻maupun 𝜃̂𝑖𝑀𝐸 . Tidak berbeda jauh seperti pada saat 𝜎𝑢2 =2, semakin besar 𝑐𝑖 , semakin banyak jumlah peubah penyerta yang mengandung galat pengukuran dan semakin besar 𝜎𝑢2 maka nilai rata-rata KTG juga semakin besar. Meskipun angka yang dihasilkan cukup dekat akan tetapi cukup terlihat peningkatan nilai seiring dengan meningkatnya 𝑐𝑖 Berdasarkan evaluasi pendugaan model dengan rata-rata KTG, dapat dikatakan bahwa pendugaan 𝜃̂𝑖𝐻𝐵 memberikan hasil yang terbaik dibandingkan pendugaan 𝑦𝑖, 𝜃̂𝑖𝐹𝐻 maupun 𝜃̂𝑖𝑀𝐸.

Tabel 12 Rata-rata kuadrat tengah galat pada kajian simulasi 2 dengan pengaruh acak area 𝜎𝑢2 =4

Skenario 𝒄𝒊 𝒚𝒊 𝜽̂𝒊𝑭𝑯 𝜽̂𝒊𝑴𝑬 𝜽̂𝒊𝑯𝑩

1

2 1,030011 0,980732 0,986976 0,980497 3 1,030011 0,991156 1,000131 0,990883 4 1,030011 0,997052 1,007368 0,996769 2

2 1,030011 1,019469 1,020178 1,019272 3 1,030011 1,021883 1,022444 1,021563 4 1,030011 1,023144 1,024271 1,022636

31 4.2 Kajian Data Riil

Eksplorasi IHK Indonesia dan IHK Kota Contoh di Provinsi Jawa Barat Indeks harga konsumen digunakan sebagai ukuran nasional penghitungan inflasi. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) dari barang dan jasa. IHK merupakan salah satu indikator ekonomi penting yang digunakan luas oleh banyak lembaga pemerintahan dan non pemerintahan. IHK menghitung rata-rata perubahan harga dari suatu paket barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Untuk mengetahui kondisi IHK Indonesia maka dilakukan eksplorasi data IHK yang berfokus pada tahun 2019 dalam penelitian ini. Gambar 3 menunjukkan grafik bulanan IHK Nasional Indonesia tahun 2019 (2012=100). Terlihat bahwa IHK mengalami peningkatan selama tahun kalender 2019 (Januari – Desember). Berdasarkan berita resmi statistik (BRS) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada Januari tahun 2020, dikatakan bahwa terjadi inflasi sebesar 2,72 persen atau terjadi kenaikan indeks harga konsumen dari 135,39 pada bulan Desember 2018 menjadi 139,07 pada bulan Desember 2019. Seluruh kelompok pengeluaran (7 KP) memberikan andil/sumbangan inflasi selama tahun 2019 (BPS 2020).

Pada tahun 2019, IHK terbesar adalah pada bulan Agustus 2019 dengan indeks sebesar 138,75. Jika dibandingkan dengan bulan Juli 2019, maka terjadi inflasi sebesar 0,12 persen. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu:

kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,26 persen;

kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,23 persen;

kelompok sandang sebesar 0,88 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,59 persen; dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 1,21 persen.

Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks, yaitu:

kelompok bahan makanan sebesar 0,19 persen dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,55 persen.

Gambar 3 Statistik IHK Indonesia Tahun 2019

32

Untuk melihat statistik IHK-T 82 Kota dan Indonesia tahun 2019 dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari 82 Kota contoh IHK, Kota Tual memiliki indeks yang paling tinggi dalam satu tahun kalender dibandingkan kota contoh lainnya.

Nilai indeks harga konsumen kota Tual yang dihasilkan secara umum di angka 160 ke atas. Kota Maumere memiliki indeks yang lebih rendah dibandingkan kota contoh lainnya. IHK yang dihasilkan Kota Maumere adalah dibawah 130 dalam satu tahun kalender 2019.

Gambar 4 (a) Grafik statistik IHK-T Indonesia dan kota contoh IHK Provinsi Jawa Barat Tahun 2019, (b) Boxplot IHK-T Indonesia dan kota contoh IHK Provinsi Jawa Barat Tahun 2019

Pada penelitian ini dilakukan pendugaan IHK pada Provinsi Jawa Barat.

Terdapat 7 kota di Provinsi Jawa Barat yang termasuk dalam kota IHK. Jumlah tersebut dikatakan relatif banyak dibandingkan jumlah kota IHK pada Provinsi lain. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fengki (2020) dihasilkan bahwa statistik IHK Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dengan SAE EBLUP-FH memiliki ketelitian yang lebih baik dibandingkan penduga langsung WPS di Provinsi Jawa Barat. Pada Gambar 4 (a) ditunjukkan grafik garis IHK-T Indonesia dan tujuh Kota contoh di Jawa Barat. Pola yang ditunjukkan relatif sama. Rentang indeks yang dihasilkan terbilang cukup dekat. Kota Bogor menjadi kota yang memiliki indeks paling tinggi diantara tujuh kota contoh. Sebaliknya, Kota Cirebon memiliki indeks yang paling rendah dari tujuh kota contoh. Hal tersebut juga terlihat jelas dari boxplot pada Gambar 4 (b)

Dari hasil pendataan harga yang meliputi tujuh kota pantauan IHK Gabungan di Jawa Barat tercatat terjadi kenaikan IHK dari Desember 2018 ke Desember 2019 (BPS Provinsi Jawa Barat 2020). Inflasi terjadi sebesar 3,21 persen pada tahun kalender (Januari – Desember 2019). IHK yang akan diduga pada penelitian ini adalah IHK-KP (kelompok pengeluaran) Kota contoh Provinsi Jawa Barat Januari 2019. Gambar 5 merupakan grafik yang urutan IHK-T Januari 2019 Kota contoh Provinsi Jawa Barat dari indeks terbesar ke indeks terkecil. IHK-T Januari 2019 Kota Bogor merupakan IHK-T terbesar sedangkan IHK-T Januari 2019 Kota Cirebon merupakan IHK-T terkecil dibanding kota contoh lainnya. Dari hasil pendataan harga yang meliputi tujuh

33 kota pantauan IHK Gabungan di Jawa Barat bahwa pada Januari 2019 terjadi kenaikan indeks dari 133,44 pada Desember 2018 menjadi 133,89 pada Januari 2019.

Gambar 5 Statistik IHK-T kota contoh di Provinsi Jawa Barat pada Januari 2019

IHK Tahun 2019 (2012=100) dibentuk dari tujuh kelompok pengeluaran yaitu kelompok pengeluaran bahan makanan, kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, kelompok pengeluaran sandang, kelompok pengeluaran keseharan, kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi, dan olahraga serta kelompok pengeluaran transport, komunikasi dan jasa keuangan.

Masing – masing kelompok pengeluaran terdiri dari beberapa sub kelompok pengeluaran. Setiap subkelompok pengeluaran terdiri dari komoditas – komoditas yang setiap bulan akan dipantau data harganya. Di Provinsi Jawa Barat, jumlah komoditas di setiap kota contohnya berbeda – beda. Jumlahnya berada dalam rentang 331 – 418 komoditas.

Statistik IHK-KP Januari 2019 pada masing - masing kota contoh di Provinsi Jawa Barat ditunjukkan pada Gambar 6. Urutan IHK-KP dari terbesar dan terkecil pada masing – masing kota berbeda-beda. Lima dari tujuh kota contoh (Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya) memiliki IHK-KP1 (kelompok pengeluaran bahan makanan) dengan indeks yang paling tinggi dibandingkan IHK-KP lain pada kota tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kelompok bahan makanan terdiri dari 11 subkelompok dengan komoditas - komoditas yang banyak mengalami kenaikan harga cukup besar di bulan Januari. Salah satu contohnya adalah beras, yang umumnya di awal tahun mengalami kenaikan harga hingga 2 bulan ke depan. Hal tersebut terjadi karena musim penghujan di awal tahun yang membuat hasil panen beras menjadi berkurang, sedangkan permintaan akan beras sebagai bahan makananan pokok adalah besar. Pada gambar 6 juga terlihat bahwa lima dari tujuh kota contoh (Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon dan Kota Depok) memiliki IHK-KP4 (kelompok pengeluaran sandang) dengan indeks yang paling kecil dibandingkan IHK-KP lain pada kota tersebut.

34

Gambar 6 Statistik IHK-KP pada masing – masing kota contoh di Provinsi Jawa Barat Januari 2019

Sebaran IHK-KP kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 7. Posisi paling atas adalah IHK-KP1 dengan sebaran yag cenderung menceng ke kiri. Posisi paling bawah di Provinsi Jawa Barat adalah IHK-KP4 dengan sebaran agak menceng kanan dengan rentang kanan yang cukup jauh. Sebaran IHK-KP3 dan IHK-KP5 terlihat cenderung paling simetris dibandingkan IHK- KP lainnya. Dari ketujuh kelompok pengeluaran, IHK-KP6 adalah kelompok yang memiliki pencilan atas dan bawah. Sebagai penentu dalam penghitungan IHK-T, IHK-KP masing – masing kelompok juga tentunya memiliki andil terhadap angka inflasi/deflasi tiap bulannya. Oleh karena itu, selanjutnya akan

35 dilakukan pemodelan dan pendugaan area kecil IHK-KP dengan kelompok pengeluaran sebagai domainnya.

Gambar 7 Boxplot statistik IHK-KP dari tujuh kota contoh di Provinsi Jawa Barat Januari 2019

Pemodelan Pendugaan Area Kecil IHK-KP Kota Contoh di Provinsi Jawa Barat

Pendugaan IHK-KP Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat adalah dengan tiga pendugaan area kecil. Diantaranya adalah metode EBLUP-FH (Fay Heriot), metode SAEME Ybarra-Lohr dan metode SAEME HB oleh Arima et.

al. (2015). Pertama dilakukan penentuan peubah penyerta yang akan digunakan.

Peubah penyerta dalam penelitian ini diambil dari SUSENAS Maret 2019.

Peubah penyerta yang digunakan dalam pendugaan IHK-KP akan berbeda – beda pada masing – masing kelompok pengeluaran. Penentuan dilakukan dengan melihat nilai korelasi peubah penyerta dengan IHK-KP. Kemudian akan dilakukan seleksi jika terdapat lebih dari 1 peubah penyerta. Seleksi peubah dilakukan dengan cara memasukkan atau membuang satu persatu peubah ke dalam model. Salah satu tekniknya adalah stepwise selection, yaitu gabungan teknik forward selection dan backward eliminations (Soleh &

Aunudiin 2013). Seleksi dimulai dari forward selection dan kemudian untuk setiap peubah yang masuk dievaluasi dengan backward elimination. Salah satu kriteria untuk memasukan atau membuang peubah adalah dengan AIC (Draper

& Smith 1998). Dalam penelitian ini, peubah penyerta yang terpilih merupakan peubah penyerta yang memberikan nilai AIC terkecil pada seleksi stepwise regression (SR).

Hasil korelasi antara seluruh peubah penyerta dengan tujuh kelompok pengeluaran dapat dilihat pada Lampiran 9. Setiap kelompok pengeluaran dikorelasikan dengan beberapa peubah. Peubah – peubah yang digunakan sebelumnya dilihat apakah secara logis memiliki hubungan dengan IHK-KP.

Pemilihan peubah dilakukan dengan melihat adanya korelasi antara peubah penyerta dengan masing - masing IHK-KP. Jika terpilih dua atau lebih peubah maka dilakukan metode stepwise regression. Dari hasil Tabel 13, kolom Seleksi SR merupakan kolom yang berisi peubah terpilih dengan AIC terkecil pada seleksi SR di setiap kelompok pengeluaran. Dari hasil tersebut, peubah

36

penyerta yang terpilih bisa berbeda-beda antar kelompok. Pada kelompok pengeluaran KP4 dan KP5 memiliki peubah penyerta yang sama, yaitu rata – rata pengeluaran per kapita kelompok padi-padian.

Tabel 13 Korelasi antara peubah penyerta terpilih dengan IHK pada setiap kelompok pengeluaran

No IHK

Peubah Penyerta Korelasi

dengan Peubah Penyerta

AIC

Korelasi Seleksi SR

1 KP1 x2_umbi, x4_daging x2_umbi 0,486 15,73

2 KP2 x4_daging, x5_telursusu, x9_minyak

x4_daging 0,837 22,53

3 KP3 x4_tembakau, x15_rumah, x17_pakaian

x15_rumah, x17_pakaian

-0,505 0,740

3,55

4 KP4 x1_padi, x17_pakaian x1_padi 0,564 24,97

5 KP5 x1_padi, x12_lain,

x17_pakaian, x18_tahanlama

x1_padi 0,593 26,04

6 KP6 x12_lain, x17_pakaian x12_lain 0,409 33,07 7 KP7 x16_barangjasa,

x17_pakaian

x16_barangjasa 0,643 25,27

Pendugaan Area Kecil IHK-KP Kota Contoh di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Tabel 13, selanjutnya dilakukan pemodelan pendugaan area kecil untuk masing – masing IHK-KP kota contoh di Provinsi Jawa Barat dengan peubah penyerta yang terpilih. Tiga metode dilakukan dalam menduga IHK kelompok pengeluaran, antara lain yaitu pendugaan area kecil dengan metode EBLUP Fay-Herriot (IHK_FH), Metode SaeME level area Ybarra- Lohr (IHK_ME), dan metode SaeME Bayes Berhierarki (IHK_HBME).

Terdapat tujuh IHK-KP dilakukan pendugaan dengan ketiga metode tersebut.

Gambar 8 menunjukkan perbandingan hasil dugaan IHK-KP masing- masing kelompok di tujuh kota contoh di Provinsi Jawa Barat. Gambar 9 juga membandingkan hasil duga IHK-KP dari ketiga metode dengan IHK-KP direct estimation (IHK_WPS).

Pada masing-masing kelompok pengeluaran terlihat bahwa IHK-KP yang dihasilkan dari pendugaan ketiga metode dengan IHK-KP WPS memiliki pola yang mirip. Pada KP1, kelompok pengeluaran bahan makanan, IHK-KP1 duga dengan metode SaeME Bayes Berhierarki memiliki nilai yang mendekati IHK WPS. IHK-KP1 duga dengan EBLUP FH dan SaeME Ybarra-Lohr memberikan hasil yang dapat dikatakan tidak berbeda. Kedua metode tersebut menghasilkan dugaan IHK-KP1 yang cukup berbeda dibandingkan IHK-KP1 WPS. Perbedaan yang cukup jauh terlihat jelas pada Kota Cirebon dan Kota Tasikmalaya.

Pada kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (KP2), diantara 3 metode pendugaan area kecil, metode SaeME Bayes Berhierarki menghasilkan IHK-KP2 yang memiliki nilai mendekati IHK-KP2 WPS. Metode SAE EBLUP FH dan SaeME Ybarra-Lohr menghasilkan IHK-KP2 yang cukup berbeda dibandingkan IHK-KP2 WPS.

Akan tetapi pola ketiga metode tersebut mirip dengan pola IHK-KP2 WPS.

37

Gambar 8 Perbandingan nilai dugaan IHK-KP beberapa metode pada ketujuh kota contoh di Provinsi Jawa Barat. (1) Kota Bogor, (2) Kota Sukabumi, (3) Kota Bandung, (4) Kota Cirebon, (5) Kota Bekasi, (6) Kota Depok, (7) Kota Tasikmalaya

Pendugaan IHK-KP5 (kelompok pengeluaran kesehatan) dan IHK-KP6 (kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi dan olahraga) yang ditunjukan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan dengan SaeME Bayes Berhierarki tidak berbeda dengan IHK-KP WPS. Hasil duga dengan metode EBLUP FH dan SaeME Ybarra-Lohr tidak berbeda, akan tetapi nilai keduanya

38

cukup jauh dibandingkan dengan IHK-KP WPS. Di beberapa kota, hasil duga metode EBLUP FH dan SaeME Ybarra-Lohr memiliki nilai yang berlawanan dengan IHK-KP WPS dan IHK-KP duga metode SaeME Bayes Berhierarki.

Pada kelompok pengeluaran transpor, komunikasi, dan jasa keuangan (KP7) terlihat bahwa pola ketiga metode cukup sama. Akan tetapi hasil duga IHK- KP7 dengan metode EBLUP FH dan SaeME Ybarra-Lohr adalah cukup berbeda dibandingkan IHK-KP7 WPS.

Gambar 9 Perbandingan KTG beberapa metode menurut kelompok pengeluaran pada ketujuh kota contoh di Provinsi Jawa Barat. (1) Kota Bogor, (2) Kota Sukabumi, (3) Kota Bandung, (4) Kota Cirebon, (5) Kota Bekasi, (6) Kota Depok, (7) Kota Tasikmalaya

39 Selanjutnya untuk melihat lebih jelas perbandingan metode SAE EBLUP- FH, SaeME Ybarra-Lohr dan SaeME Bayes Berhierarki maka bisa dibandingkan KTG dan akar kuadrat tengah galat relatif (AKTGR) yang dihasilkan. KTG dari ketiga metode di tujuh kelompok pengeluaran ditunjukkan pada Gambar 9.

Penghitungan KTG dilakukan berdasarkan resampling dengan metode Jackknife dengan mengeluarkan satu persatu kota contoh dan kemudian menghitung kembali pendugaan area kecil. Hal tersebut diulang sebanyak kota yang menjadi kota contoh. Dari ketujuh kelompok pengeluaran, terlihat bahwa KTG SaeME Bayes Berhierarki berada di bawah garis KTG SAE EBLUP FH dan MSE SaeME Ybarra-Lohr. Akan tetapi berbeda pada KP4 yaitu kelompok pengeluaran sandang, KTG yang dihasilkan dari ketiga metode dapat dikatakan cukup dekat.

Evaluasi hasil pendugaan dengan model SAE EBLUP-FH, SaeME Ybarra- Lohr dan SaeME Bayes Berhierarki juga dibandingkan dengan melihat AKTGR.

Perolehan nilai AKTGR dilakukan dengan menghitung akar KTG (AKTG) relatif terhadap nilai dugaan IHK-KP. Nilai AKTGR masing-masing kota di masing- masing kelompok pengeluaran dapat dilihat pada Lampiran 10 hingga Lampiran 16. Tabel 14 menunjukkan perbandingan rata-rata AKTGR dari ketiga metode pendugaan per IHK-KP Provinsi Jawa Barat. Nilai rata-rata AKTGR yang paling besar di ketiga metode adalah pada IHK-KP4 yaitu kelompok sandang dan nilai rata-rata AKTGR terkecil adalah IHK-KP1 kelompok bahan makanan.

Tabel 14 Rata-rata AKTGR tiga metode IHK-KP Jawa Barat No IHK Kelompok Pengeluaran EBLUP-

FH

SaeME Ybarra-Lohr

SaeME HB

1 Kelompok bahan makanan 0,3516 0,3515 0,2399

2 Kelompok makanan jadi,

minuman, rokok dan tembakau 1,4302 1,7196 0,8196 3 Kelompok perumahan, air,

listrik, gas dan bahan bakar 0,9133 2,0963 0,4486

4 Kelompok sandang 2,2561 2,3426 1,7663

5 Kelompok kesehatan 1,3539 0,7825 0,6799

6 Kelompok pendidikan,

rekreasi dan olahraga 2,0668 1,9676 1,1256

7 Kelompok transpor,

komunikasi dan jasa keuangan 1,3071 3,3144 0,7368 Secara umum dari ketujuh kelompok pengeluaran IHK terlihat bahwa nilai rata-rata AKTGR yang paling kecil diperoleh dengan metode SaeME Bayes Berhierarki dibandingkan dua metode lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa metode SaeME Bayes Berhierarki merupakan metode pendugaan yang lebih baik karena nilai rata-rata AKTGR yang dihasilkan lebih kecil. Pendugaan dengan metode SaeME Bayes Berhierarki pada data IHK-KP dimana peubah penyerta mengandung galat pengukuran tepat digunakan. Metode SaeME Ybarra-Lohr yang mengakomodir peubah penyerta memberikan nilai rata- rata AKTGR yang lebih kecil dibandingkan EBLUP-FH adalah di tiga kelompok pengeluaran yaitu IHK-KP1, IHK-KP5 dan IHK-KP6, sedangkan empat IHK-KP lainnya rata-rata AKTGR EBLUP-FH yang dihasilkan adalah lebih kecil dibandingkan SaeME Ybarra-Lohr. Penerapan penelitian ini sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Arima et al. (2015) bahwa pendugaan dengan bayes

Dokumen terkait