• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Kajian Teori

Secara teori awal, Wasiat Wajibah adalah sebuah amanah berupa wasiat yang disalurkan kepada ahli waris atau kerabat terdekat yang tidak

memperoleh harta warisan dari orang yang telah wafat, karena adanya halangan / hijab membuat orang ini tidak bisa menerima harta warisan.

Wasiat wajibah juga bisa dimaknai sebagai suatu pengejawantahan wasiat yang harus diberikan kepada ahli waris atau golongan keluarga (terlebih cucu) yang tertutup dalam penerimaan harta peninggalan karena ayah atau ibunya lebih dulu tiada baik secara pisah atau bersamaan lebih dulu dari pewaris, karena berdasar pada kewarisan mereka yang tertutup dalam menerima penyaluran bagian harta peninggalan kakek-nenek mereka setelah sebelumnya tertutupi oleh ahli waris ayah-ibu atau paman-bibi dari cucu tersebut23.

Pemaknaan wasiat wajibah belum ditemukan dalam kitab fikih klasik, hanya saja bisa ditemukan dalam banyak kitab fiqih, lebih-lebih ketika diundangkannya wasiat wajibah di negara Mesir serta negara lain yang ikut menegakkannya, tidak terkecuali negara Indonesia pasca terbitnya KHI melalui Instruksi Presiden (INPRES) pada tahun 1991.

Artinya, wasiat wajibah tidak menunjukkan arti bahwa wasiat secara umum itu hukumnya wajib sebagaimana dipahami dari petunjuk kata

"kutiba" pada QS. al-Baqarah (2): 180, sebagai dasar dijadikannya ayat ini sebagai dasar wasiat wajibah.

23 Eko Setiawan, “Jurnal Penerapan Wasiat Wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Kajian Normatif Yuridis”, Jurnal Hukum, Vol. 1 No. 2 (2017)

a. Pengertian dan Definisi

Wasiat wajibah tersusun atas dua kata yakni wasiat dan wajibah. Secara linguistic bermakna berpesan, menetapkan dan memerintah. Secara terminology berupa barang yang dibari oelh seseorang pada orang lain, baik itu benda, piutang , atau manfaat yang sebelumnya atas kepemilikan pemberi kepada oang yang diberi wasiat, dan berlaku setelah yang memberi wasiat meninggal. Lalu kata

“wajibah” memiliki arti salah adanya perbuatan yang bilamana kegiatan tersebut dikerjakan, akan menerima ganjaran, dan bilamana perbuatan tersebut tidak dikerjakan, maka akan mndapatkan siksa.

Secara teori awal, Wasiat Wajibah adalah sebuah amanah berupa wasiat yang disalurkan kepada ahli waris atau kerabat terdekat yang tidak memperoleh harta warisan dari orang yang telah wafat, karena adanya halangan / hijab membuat orang ini tidak bisa menerima harta warisan. Wasiat wajibah juga bisa dimaknai sebagai suatu pengejawantahan wasiat yang harus diberikan kepada ahli waris atau golongan keluarga (terlebih cucu) yang tertutup dalam penerimaan harta peninggalan karena ayah atau ibunya lebih dulu tiada baik secara pisah atau bersamaan lebih dulu dari pewaris, karena berdasar pada kewarisan mereka yang tertutup dalam menerima penyaluran bagian harta peninggalan kakek-nenek mereka setelah sebelumnya tertutupi oleh ahli waris ayah-ibu atau paman-bibi dari

cucu tersebut24.

Pemaknaan wasiat wajibah belum ditemukan dalam kitab fikih klasik, hanya saja bisa ditemukan dalam banyak kitab fiqih, lebih- lebih ketika diundangkannya wasiat wajibah di negara Mesir serta negara lain yang ikut menegakkannya, tidak terkecuali negara Indonesia pasca terbitnya KHI melalui Instruksi Presiden (INPRES) pada tahun 1991. Artinya, wasiat wajibah tidak menunjukkan arti bahwa wasiat secara umum itu hukumnya wajib sebagaimana dipahami dari petunjuk kata "kutiba" pada QS. al-Baqarah (2): 180, sebagai dasar dijadikannya ayat ini sebagai dasar wasiat wajibah.

Pada dasarnya, dalam bidang keilmuan waris, sebagaimana terlampir diatas adalah wasiat wajibah memiliki penerima yang tidak termasuk dalam kategori ilmu waris, Rumawi Eswe dalam bukunya25 mengatakan “Salah satu kewajiban ahli waris adalah menagih hutang, dan menyelesaikan wasiat pewaris. Wasiat dapat diartikan, sebagaimana yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia”.

Sayyid Sabiq26 mengambil contoh dari pasal 71 Kitab Undang-undang Wasiat dari negara Mesir terbit tahun 1946 M /1365 H. Dan mencantumkannya dalam kitab Fiqh al-Sunnah dalam akhir

24 Eko Setiawan, Op.cit, hal. 2

25 Ma Rumawi Eswe, “Ngarsa Dalem Dundum Warisan”. (Yogyakarta” LKIS Yogyakarta, 2008) hal. 48-49

26 Sayyid Sabiq, Fiqhal-Sunnah, h. 416

kitabnya setelah pembahasan bab warisan dan takharruj. Selain itu, Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy, juga memuat pembahasan wasiat wajibah setelah bahasan bab wasiat yang dikupas secara kooperatif; dan pasal 209 KHI yang diberikan untuk anak dan orang tua angkat.

Hakim adalah pejabat negara yang memiliki otoritas kekuasaan untuk membebani atau memberi amar putusan wasiat wajibah secara wajib dalam dan kepada orang tertentu. Hal ini oleh Fatchurrahman didefinisikan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Waris, wasiat wajibah sendiri adalah ketetapan yang dijalankan oleh pimpinan atau hakim sebagai aparatur tertinggi negara untuk membebani dan memberi amar putusan bersifat wajib bagi orang yang telah tiada, dan selanjutnya disalurkan kepada orang dan dalam keadaan tertentu27. Beberapa pranata bahwa wasiat bisa juga disebut wasiat wajibah antara lain :

1) Tiadanya usaha dari pembuat wasiat serta kekhususan makna

“wajib” yang datangnya dari peraturan atau ketetapan atau surat keputusan yang dilandasi kerelaan dari pembuat wasiat serta klarifikasi bentuk rasa setuju dari penerima wasiat.

2) Adanya kesamaan antara porsi pembagian warisan bagi kaum laki- laki yakni dua (2) kali lipat dari porsi kaum perempuan28.

27 Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Alma & Apos, 1994 ), hal. 63

28 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf (Surabaya: CV. Cempaka, 1997), h. 146; Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2003), h. 462.

Wasit Alawi dalam bukunya Sejarah Perkembangan Hukum Islam29 menerangkan bahwa wasiat wajibah sendiri adalah bentuk interpretasi yang bahkan pelaksanannya terkodifikasi dalam Firman Allah SWT. (QS. al-Baqarah (2): 180-181)30.

2. Dasar Hukum Wasiat Wajibah

Ketentuan secara khusus berasal dari pemikiran (Ijtihad) ulama dan dari hasil penafsiran surat Al-Baqarah ayat 180 yang berimplikasi pada pernyataan wajibah diatas berpusat pada penjabaran bahwa wasiat (kepada kerabat, bapak, ibu) bila sebelumnya bersifat wajib, dan masih diberlakukan hingga sekarang31. Namun, secara garis umum peneliti menemukan beberapa dalil baik dari Al-Qur‟an32 ataupun Hadits yang menunjang keberadaan dari wasiat wajiah ini hinga selanjutnya diinterpretasikan olh para ulama dan faqih:

29 A. Wasiat Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: INIS, 2002), hal 31.

30 Terjemahan resmi dari Departemen Agama RI berupa : “(180) Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (181) Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.

Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Namun dalam hal ini peneliti melanjutkan penjelasan Wasit Alawi diatas, adalah diwajibkan pada garis besar kepada orang/insan yang masih memiliki kesempatan dan waktu untuk membagi hartanya sebelum ajal tiba (dan dalam hal ini hartanya banyak), di sarankan untuk segera membagi harta yang ada.

31 Suparman Usman, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 163

32 Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta, Depag RI, 1980) Surat Al-Baqarah Juz 2, hal.

44, serta Surat An-Nisa‟ Juz 4, hal 177

a. QS. Al-Baqarah Ayat 18033



































b. QS. An-Nisa Ayat 1134

















































































































































Lalu dalam dalil berupa hadits : “Dari Ibnu Umar R.A berkata, Rasulullah SAW bersabda : “tidak ada hak bagi seorang Muslim yang

33 “Dan diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang taqwa”. Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

34 “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”. pada waqaf kedua ayat tersebut, memiliki interpretasi “Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah”. (lebih lanjut Lihat surat An Nisaa ayat 34). Dan pada waqaf ketiga, memiliki interpretasi ” Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.”

memiliki sesuatu yang akan diwariskan nya, melewati sampai dua malam, kecuali wafatnya tertulis disisinya (HR. Bukhari dan Muslim)35

Maka dapat dipahami bahwa dari dua dua sumber dalil diatas bahwa ketentuan atas wasiat wajibah sudah terkodisikasi dan sudah dilegitimasi pada sifat hukumnya, bukti kecondongan dari dalil diatas adalah untuk melaksanakan ketentuan wasiat wajibah.

3. Syarat-syarat Wasiat Wajibah

Tidak jauh berbeda dari ketentuan dalam wasiat pada umumnya, wasiat wajibah memiliki 3 (tiga) ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya, seperti ketentuan orang yang berwasiat (al-Mushi), ketentuan yang berkaitan dengan al-Musha bih (benda yang diwasiatkan), serta ketentuan bagi Al-Musha lah (pihak yang berhak menerimanya)36 satu dari tiga ketentuan diatas berubah-ubah sesuai referensi yang peneliti dapat dalam berbagai argumentasi, berikut adalah ketentuannya :

a. Ketentuan bagi pihak pembuat wasiat (al-Mushi) adalah memiliki keberadaan (ada), keberadaan pihak yang berwasiat sendiri merupakan hal yang penting mengingat hanya sebatas pemilik harta berupa warisan yang kemudian dibagi sesuai atas ketentuan dari wasiat.

Diisyaratkan terlebih bagi pewasiat adalah untuk ahli li-tabarru’ atau baligh dan berakal, jadi otomatis jika pihak yang berwasiat tidak

35 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu wal al-Marjan (diterjemahkan oleh Muslich Shabir) cet. 1 (Semarang: Al-Ridho, 1993) Juz 2, Kitab Wasiat, Hadits ke 1052, hal. 390

36 Satria Effendi M. Zain, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:

Kencana, 2004) hal. 370

baligh atau tidak berakal, maka akan tidak dapat melakukan wasiat37. Syarat lain yakni yang meninggalnya si pemberi wasiat, karena dengan meninggalnya pewasiat membuat wasiat wajibah ini dapat terlaksana.

Syarat terakhir yakni si pewasiat memiliki sikap urgensitas, maksudnya si pewasiat memiliki kehendak untuk berwasiat dan tanpa didahului oleh pernyataan dan kemauan untuk berwasiat. Syarat terakhir termasuk penting karena dapat membuat perbedaan antara wasiat wajibah dengan wasiat yang lain. Ada pun beberapa syarat seorang pembuat wasiat seperti, Pertama; setelah mencapai pada umur sekurang-kurangnya 21 tahun, umur demikian dianggap telah mampu untuk berkehendak dan memiliki legal dalam yuridis dengan sendirinya dan dapat pula menentukan keadaan hukum atas dirnya sendiri pula. Secara kemampuan ekstensif prikologi juga pada umur 21 tahun minimal dapat mengontrol kebijakan pada diri sendiri dan memanajemen kemauan sesuai kehendak yang ada. Maka dihitung tepat ketika menyatakannya peraturan atas telah dewasanya orang dapat memperhitungkan akibat luasnya dari kehendak serta pernyataan orang dewasa tersebut atas perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.38 Kedua; berakal sehat dan, ketiga;

wasiat tersebut harus dibuat tanpa paksa. Hal ini dinyatakan dalam pasal 194 ayat (1). Dalam angka ini (21 tahun) yang mempergunakan keteraturan KUHPerdata guna menentukan bila orang tersebut telah

37 As-Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Op cit, hal. 149

38 M. Fahmi Al Amruzi, “Op.cit”, hal. 13

dewasa atau tidak. Akan tetapi pasal 194 ayat 10 muncul penegasan diikuti pengecualian mengenai batas umur, yaitu : kecuali orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan. Walaupun sebenarnya pengecualian ini tidak dicantumkan secara tegas, tetap harus dianggap ada, sebab pasal 15 ayat (1) menegaskan batas minimal umur bisa kawin adalah laki-laki 19 tahun perempuan 16 tahun. Pasal 15 ayat (1)39 selengkapnya.40

b. Syarat bagi penerima wasiat (al-Musha lah) adalah bahwa ia bukanlah masuk dalam jajaran ahli waris, namun menurut Syafi‟iyah, Hanafiah dan Hanabilah mengecualikan bagi ahli waris untuk menjadi penerima wasiat dengan syarat telah disetujui oleh sebagian ahli waris41. Adapun syarat selanjutnya adalah penerima wasiat menerima wasiat pada saat durasi wasiat diperpanjang, melalui kenyataan atau prediksi, karena letak keberadaan dari penerima harta warisan (baca: wasiat) sangat urgent keberadaannya tidak hanya sebatas syarat, namu lebih dari itu adalah rukun juga. Syarat lainnya yakni orang yang diberi wasiat bukanlah orang yang membunuh pemberi wasiat, hal ini juga berpengaruh pada boleh atau tidaknya wasiat dijalankan. Kompilasi hukum islam setidaknya belum mengatur akan hal ini yang secara

39Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 undang -undang nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan isteri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun”

40 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Bimbagis, 1998), h. 81

41 Satria Effendi M. Zain, Op.cit, hal. 401

khusus aturan atas penerima wasiat wajibah. Meski demikian adanya daripada pasal 171 huruf (f) dapat diketahui poin oenting bahwa penerima wasiat adalah (1) Orang/Individu, dan (2) Lembaga.

Disamping itu pula pasal 196 kompilasi hukum islam juga menegaskan bahwa dalam wasiat, baik wasiat tertulis atau lissan harus disebutkan secara tegas dan jelas mengenai siapa saja individu yang menerima atau lembaga apa saja yang di amanahi untuk mendapatkan harta yang diwasiatkan. Setiap orang Nyaris setiap orang (kecuali pewasiat itu sendiri) dapat mendapatkan wasiat wajibah. Sesuai yang terpatri pada pasal 195 ayat (3), pasal 207, dan pasal 208.42

c. Syarat bagi barang wasiat (al-Musha bih) adalah barangnya ada dan merupakan murni milik si pewasiat, adapun benda tersebut boleh berbentuk mata uang kurs dan barang yang dapat diambil manfaatnya.

Pasal 171 huruf (f) menyatakan ”suatu benda” sebagai sesuatu yang dapat diwasiatkan. Tidak ada keterangan lanjutan dalam tentang pengertian benda dalam Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya, perkataan benda dalam pasa-pasal diatas harus ditafsirkan sebagai benda secara lazimnya sbuah benda, yaitu barang yang memiliki wujud dan dapat ditangkap keberadaannya oleh panca indera. Dengan maksud lain, benda merupakan sesuatu dengannya menonjol pada lain hak orang. Selain itu juga, perbedaan benda yang secara statute dapat

42 “a. Ahli waris; kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya. b. Orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan orang yang memberi tututan kerohanian sewaktu ia (pewasiat) menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. c. notaris dan saksi -saksi yang berkaitan dengan pembuatan akta wasiat”

menjadi barang/benda wasiat dan benda bergerak juga. Ketentuan ini tersimpul pad apasal 200. Adapun jenis benda yang diwasiatkan, hubungan hukum yang melekat berupa syarat benda yang diwasiat berkaitan antara keduanya, akni memanglah dimiliki pewasiat. Syarat ini masuk akal mengingat dasar dari adanya suatu wasiat berisikan pemindahan hak.. Oleh karena itu, yang berhak memindahkan hak itu harus orang yang memiliki hak untuk itu.

d. Porsi yang diberikan/takaran yang diperbolehkan dalam wasiat wajibah yang telah menjadi pedoman di Pengadilan Agama bahwa, anak angkat dapat juga menjadi penerima wasiat wajibah dengan porsi tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta warisan. Sebagaimana termaktub pada pasal 209 ayat (2) yakni bagi anak angkat yang belum menerima harta wasiat diberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.43 Sebagai pelaksanaan adanya wasiat wajibah terhadap anak angkat dalam pasal 209 dengan cara pemahaman bahwa jumlah 1/3 harta adalah jumlah maksimal dan itupun hanya diberlakukan saat tidak beradanya anak langsung atau ahli waris pengganti dari pemberi warisan. Pada saat mereka masih ada maka para hakim agama dapat menetapkan bahagiannya hanya 1/6 harta agar tidak terjadi ketidakharmonisan dalam keluarga dan tetap memelihara hubungan sosial antara mereka. Sebagaimana pada ketentuan wasiat secara umum, dalam wasiat wajibah juga ada takaran

43 M. Fahmi Al Amruzi. Op.Cit., h. 140.

/ porsi yang diberikan kepada penerima wasiat, adalah sepertiga dari harta peninggalan al-Mushi saja, ketentuan sepertiga ini mutlak berasal dari Ijma’ para ulama‟44.

Hakim adalah pejabat negara yang memiliki otoritas kekuasaan untuk membebani atau memberi amar putusan wasiat wajibah secara wajib dalam dan kepada orang tertentu. Hal ini oleh Fatchurrahman didefinisikan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Waris, wasiat wajibah sendiri adalah ketetapan yang dijalankan oleh pimpinan atau hakim sebagai aparatur tertinggi negara untuk membebani dan memberi amar putusan bersifat wajib bagi orang yang telah tiada, dan selanjutnya disalurkan kepada orang dan dalam keadaan tertentu45. Beberapa pranata bahwa wasiat bisa juga disebut wasiat wajibah antara lain :

a.

Tiadanya usaha dari pembuat wasiat serta kekhususan makna “wajib”

yang datangnya dari peraturan atau ketetapan atau surat keputusan yang dilandasi kerelaan dari pembuat wasiat serta klarifikasi bentuk rasa setuju dari penerima wasiat.

b.

Adanya kesamaan antara porsi pembagian warisan bagi kaum laki-laki yakni dua (2) kali lipat dari porsi kaum perempuan46.

Wasit Aulawi dalam bukunya Sejarah Perkembangan Hukum

44 As-Sayid Sabiq, Op. cit, hal. 415, Suparman Usman, Op. cit, hal. 57

45 Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: Alma & Apos, 1994 ), hal. 63

46 Umar Said, Hukum Islam di Indonesia tentang Waris, Wasiat, Hibah, dan Wakaf (Surabaya: CV. Cempaka, 1997), h. 146; Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2003), h. 462.

Islam47 menerangkan bahwa wasiat wajibah sendiri adalah bentuk interpretasi yang bahkan pelaksanannya terkodifikasi dalam Firman Allah SWT48 (QS. al-Baqarah (2): 180-181).

4. Interpretasi Futuristik

Interpretasi Futuristik (Futuristis) atau cara menemukan hukum berupa metode yang bersifat antisipatif, merupakan penjabaran tentang ketentuan-ketentuan yang masih tertunda dalam memiliki pondasi hukum atau dasar hukum, akarnya belum kuat sehingga membutuhkan interpretasi lanjutan49. Dengan demikian menjadikan interpretasi model Futuris- Antisipatif ini lebih kepada bersifat sebagai hukum atau ketentuan yang dicita-citakan (ius constituendum) daripada bersifat sebagai hukum atau ketentuan yang berlaku pada saat sekarang (ius constitutum).

Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang- undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap atau tidak komprehensif, maka harus menemukan model hukumnya terlebih dahulu, dengan menggunakan metode penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran lainnya”50. Satu dari banyak metode penemuan hukum dengan kemampuan menalar kemungkinan multitafsir adalah yang disebutkan oleh Sudikno sebagai interpretasi futuristik atau antisipatif, yaitu

47 A. Wasiat Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: INIS, 2002), hal 31.

48 yang intisarinya dapat digambarkan bagi orang yang merasa sudah dekat ajalnya, sedangkan ia memiliki sejumlah harta peninggalan, maka ia wajib untuk melakukan wasiat kepada kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, dan dijelaskan juga bahwa orang yang mengubah narasi isi pada wasiat tersebut akan menanggung akibatnya.

49 Albert H. Y. Chen, The Interpretaion of Basic Law-Common Law and Mainland Chinese Perspective, Hongkong Journal Ltd, 2000, hal. 5

50 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Univ Atma JayaYogya, 2010) hal. 34

penafsiran antisipatif yang mencari pola pemecahan dan jalan keluarnya dalam ketentuan hukum yang belum Incrafht (belum mempunyai kekuatan hukum), contoh seperti RUU atau UU yang sudah jatuh dari proses judicial review. Dengan demikian melalui interpretasi ini pendekatan restorative justice dapat diterapkan kepada khalayak umum, khususnya dalam segi penegakannya.

Interpretasi Futuristik merupakan satu dari beberapa prinsip keilmuan penggalian hukum secara berkelanjutan mengenai konstruk lafal pada undang-undang yang dengan eksplisit dan holistik memperlebar penafsiran agar ruang lingkupnya tidak sempit dan berhubungan dengan peristiwa tertentu, atau bisa disebut juga metode ini sebagai alat dan sarana untuk mengetahui makna dalam undang-undang itu sendiri.51

Interpretasi Futuristik/Antisipatif adalah konsep untuk menemukan hukum yang bersifat preventif serta menjelaskan dengan gamblang daripada undang-undang yang sudah berlaku saat ini (ius constitutum) juga berpegangan pula dengan undang-undang yang masih belum ada kekuatan hukumnya (ius constituendum) Jadi, dasar interpretasi ini juga menggunakan peraturan yang belum selesai sebagai tolak ukur perspektif futuristik dengan menggunakan penafsirannya meski belum matang, misalnya Rancangan Undang-Undang yang selanjutnya akan naik tingkat menjadi undang-undang yang segera diresmikan. Para hakim dalam hal ini tentu peka atas RUU yang akan segera dicanangkan sehingga

51 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2011).102

Dokumen terkait