BAB II KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Teori
1. Pekerja atau Buruh
a. Pengertian Pekerja atau Buruh
Definisi terkait pekerja atau buruh bisa dijumpai pada ketentuan umum angka 3 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa “Setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”16. Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja memberikan definisi yang berbeda antara pengusaha, pemberi kerja dan perusahaan. Dalam pasal 1 angka 4 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja mengartikan pemberi kerja yakni “Orang perseorangan, pengusaha, pemberi kerja, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Terdapat pengertian pengusaha secara legal, yaitu:17
1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan milik pribadi;
2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan milik pribadi;
3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pekerja atau buruh merupakan individu yang melakukan aktivitas pekerjaannya bagi individu lain dan mendapatkan honorarium bekerja18. Selain itu, definisi dalam ketentuan pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
17 Pasal 1 angka 5 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja
18https://kbbi.web.id/buruh, diakses 26 Pebruari 2021.
21
berbunyi “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”19.
Buruh atau pekerja berarti setiap orang yang sedang/memiliki kerja satu perusahaan, pekerja diharuskan sesuai dengan arahan dalam bekerja dan pedoman regulasi dalam perusahaan untuk bertanggungjawab bagi iklim perusahaan dan selanjutnya atas hasil kerjanya akan mendapatkan honorarium dan hak lain sesuai kontrak.
Hal ini tergantung pada adanya hubungan yang berfungsi antara pekerja dan pelaku bisnis.20
Saat menjalankan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha diharapkan untuk harmonis agar memperoleh peningkatan capaian produktivitas serta kemakmuran pekerja. Daripada itu, pemilik usaha atau pengusaha ketika bersikap kepada pekerja supaya;
1) Para pekerja dianggap sebagai rekan yang membantu pengusaha dalam mensukseskan visi misi perusahaan;
2) Memberikan honorarium yang layak berupa penghasilan yang layak serta jaminan sosial tertentu supaya lebih produktif bagi para pekerja (berdaya guna);
3) Menjaga hubungan yang baik kepada para pekerja.
19Ketentuan Umum No. 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
20 Grace Vina, “Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Hal Pemberian Upah Oleh Perusahaan Yang Terkena Putusan Pailit”, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, diakses 23 Pebruari 2021,http://e-journal.uajy.ac.id/10676/1/JurnalHK11050.pdf.
b. Hak dan Kewajiban Buruh
Pekerja atau buruh kaitannya pada hak yang dasarnya memiliki beberapa hak, yaitu:
1) Hak atas pekerjaan
Pekerjaan merupakan hak fundamental yang diatur dalam konstitusi dan menjadi salah satu kategori hak asasi manusia sebagaimana pengertianktub pada pasal 27 ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara yang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
2) Hak atas upah yang adil
Upah yang adil merupakan hak yang harusnya diperoleh setiap buruh ketika mengadakan suatu perjanjian kerja sehingga mengikat kepada dirinya pada perusahaan (pengusaha) serta pekerja memiliki hak untuk menuntut berdasarkan norma-norma yang sah yang diatur pada pasal 88 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja .
3) Hak untuk berserikat dan berkumpul
Agar bisa melakukan perjuangan atas keperluan dan hak sebagai buruh/pekerja, dia diharus dianggap dan dijamin atas hak dalam berhubungan serta berserikat untuk perjuangan pada kesetaraan hak yang wajib diterima dan diperoleh. Hal ini tergantung pada Pasal 104 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja dengan menyatakan yaitu “setiap
23
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.
4) Hak atas perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam ketentuan pasal 86 ayat (1) huruf (a) Undang- undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja mengatakan yaitu “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja”.
Dalam melaksanakan kewajiban pekerja diharuskan mendapat jaminan atas kesehatan serta pula keamanan saat melaksanakan pekerjaan yang dijalani. Terlebih pada perusahaan yang konsentrasi pada bidang kegiatan usaha dengan risiko tinggi.
5) Hak untuk perlakuan yang sama
Pada ketentuan pasal 6 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja menyatakan bahwa “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Dapat dipahami bahwa, adanya larangan praktik diskriminasi kepada sesama pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Terkhusus kepada pekerja/buruh yang mengalami kekurangan (disabilitas) atau bahkan dibedakan oleh corak warna kulit, jenis kelamin, suku, ras, dan agama baik yang diperlakukan tidak sama dalam sikap, jabatan, gaji dan hal lain.
6) Hak untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan tersebut ada pada pasal 99 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja yang mengatakan bahwa “setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak memperoleh jaminan sosial dan tenaga kerja”.
7) Hak atas kebebasan suara hati
Buruh/pekerja tidak diperbolehkan untuk dipaksa dalam melaksanakan agenda kerja atau kegiatan tertentu di luar tugas dan kontrak pekerjaan terlebih dianggap buruk, terlepas dari apakah itu dapat diterima seperti yang ditunjukkan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Komitmen tenaga buruh/pekerja antara lain melaksanakan pekerjaan sesuai dengan petunjuk pengusaha atau atasan, selain itu buruh/pekerja wajib menjaga kerahasiaan dan selanjutnya tergantung pada pasal 167 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa
“buruh/pekerja wajib bekerja sampai batas waktu yang ditentukaan oleh perusahaan” serta pada pasal 168 Undang- undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja mengatakan bahwa “buruh/pekerja harus bekerja, tidak boleh bolos kerja selama 5 hari berturut-turut tanpa penjelasan yang jelas dan tersusun“.
25
8) Upah
Ketentuan pada pasal 1 ayat 30 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja mengatakan bahwa “upah merupakan hak pekerja atau karyawan yang diterima baik berbentuk nominal uang sebagai honorarium dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang diberikan haknya sebagaimana pengertianktub dalam perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, juga mendapat tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau dilakukan”.21
Kemudian pada ketentuan pasal 1 poin b PP Nomor 5 Tahun 2003 turut memberikan penjelasan berkenaan dengan upah, yang mengatakan bahwa:
“Upah memiliki hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam format uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan ditetapkan dan dibayarkan berdasarkan pendapat suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan tunjangan bagi pekerja dan keluarganya”22.
Dalam ketentuan Islam upah merupakan imbalan (gaji) yang diperoleh individu (pekerja) dari keuntungan pekerjaan yang selesai dilakukannya secara tepat dan akurat sebagai penghargaan terhadp hasil kerja yang adil dan layar serta sebagai
21 Republik Indonesia, Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
22 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2003 tentang UMR.
balasan di akhirat berbentuk pahala23. Upah harus dikelola secara wajar dan sungguh-sungguh sehingga semua individu yang tertarik tidak merasa terdholimi dan dirugikan dengan membayar pekerja mereka dengan tawaran yang tepat dan sesuai dengan porsi pekerjaan mereka. Namun, fenomena saat ini adalah bahwa sering terjadi pengkhianatan dalam pengaturan upah kepada buruh. Pekerjaan yang dilakukan buruh tidak setimpal dengan upah yang didapat, sehingga kerugian akan dialami oleh buruh.
Demikian membuat permasalahan dalam penetapan upah buruh menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan buruh.
Pada umumnya upah adalah pendapatan yang menjadi bagian vital dalam kehidupan pekerja untuk mencukupi keperluan keluarganya, sehingga sudah sepatutnya jika pekerja:
a) Mendapat sejumlah penghasilan yang cukup dipertimbangkan untuk dapat sebagai penjamin kebutuhan hidup yang pokok beserta keluarga buruh;
b) Merasakan terpenuhinya kelayakan gaji pada perusahaan yang berbeda dengan menyelesaikan pekerjaan yang sama di suatu tempat perusahaan yang berbeda.
Upah sendiri memiliki beberapa jenis yang dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, yaitu:
23 Armansyah Waliam, “Upah Berkeadilan Ditinjau Dari Perspektif Islam”, BISNIS Vol.
5, No. 2, (Desember, 2017), 268.
27
a) Menurut perspektif nilai, upah diklasifikasikan menjadi dua yaitu, upah nominal dan upah riil. Upah nominal merupakan upah dalam bentuk kalkulasi uang, kemudian upah riil merupakan produk yang dapat dibeli dengan tolok ukur uang tunai tersebut. Upah riil merupakan terpenting bagi buruh, adanya upah jenis ini mereka diharuskan untuk cukup mendapat kebutuhan barang dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama dengan keluarga mereka. Peningkatan upah nominal bukan menjadi prioritas bagi pekerja, namun besaran upah juga harus diikuti oleh kenaikan biaya kebutuhan hidup dalam arti kata yang luas. Berkurangnya biaya kebutuhan hidup karena, misalnya, peningkatan penciptaan produk- produk, akan menjadi peningkatan jumlah upah kepada buruh meskipun penerimaan terhadap jumlah nominal uang tunai pada usaha memiliki kesamaan dengan sebelumnya.
Sebaliknya, peningkatan biaya kebutuhan hidup secara konsisten menyiratkan penurunan upah bagi buruh.
Sedangkan, peningkatan biaya kebutuhan hidup secara konsisten menyiratkan pengurangan terhadap upah buruh.
b) Menurut perspektif bentuk, upah diklasifikasikan menjadi dalam bentuk uang tunai dan produk dagangan. Terkait uang tunai, ketentuan dalam KUHPerdata untuk pembayaran wajib dilaksanakan dengan bentuk mata uang yang legal di
Indonesia, yakni Rupiah. Upah sebagai uang tunai dapat ditetapkan dalam bentuk uang asing, namun pembayaran wajib dilaksanakan dalam bentuk mata uang Indonesia.
Dengan demikian, perhitungan diselesaikan dengan nilai (skala konversi) waktu dan tempat transaksi dilaksanakan.
Kemudian upah bentuk barang dagangan dapat berupa makanan, pengobatan, perawatan, transportasi, perumahan, tunjangan, dan lain-lain.
c) Dalam metode untuk penetapan upah, seetidaknya terdapat klasifikasi sistem upah, antara lain:
1) Sistem upah jangka waktu
Perspektif metode pengupahan ini ditetapkan upah yang ditentukan oleh rentang waktu buruh ketika pekerjaan selesai. Pemberian kompensasi secara berkelanjutan didasarkan pada waktu. Untuk pekerjaan harian diberikan upah perhari, selama satu minggu diberikan upah perminggu, untuk waktu satu bulan diberikan upah perbulan, dan lainnya.
2) Sistem upah potongan
Kerangka upah potongan ini secara teratur dipakai guna menggantikan pengertian upah jangka waktu, dilaksanakan ketika pekerjaan yang dilaksanakan tidak baik/tidak sesuai. Penetapan upah ini tergantung pada hasil
29
kerja yang dapat diperkirakan dengan perkiraan tertentu, contoh jumlah, ukuran tertentu, semua luas dari apa yang dilakukan, tidak semua perusahaan dapat menerapkan kerangka pembayaran ini.
3) Metode upah pemufakatan,
Kerangka upah jenis ini secara mendasar merupakan upah potongan, yakni upah atas efek hasil pekerjaan sesuai dengan perjanjian, contoh dalam pembangunan jalan, pekerjaan memuat, membongkar dan memindahkan barang, dan lainnya, namun upah tersebut tidak diserahkan terhadap buruh, namun terhadap perkumpulan buruh yang menyelesaikan pekerjaan bersama.
4) Kerangka skala-upah berubah,
Terdapat implikasi dari upah dan harga hasil transaksi perusahaan pada kerangka skala upah berubah.
Skema pengupahan ini bisa diselesaikan dari perusahaan dengan harga barang dagangan secara universal atau biaya pasar bergantung harga di internasional. Dinamisasi upah sesuai dengan tingkatan harga pada biaya transaksi produk perusahaan.
5) Upah yang bervariasi
Seperti yang ditunjukkan oleh naik turunnya biaya rata-rata biaya penghidupan, disebut upah indeks.
Dinamisasi terhadap upah ini tidak mempengaruhi terhadap upah dari segi nilai riil.
6) Kerangka pembagian profit.
Sekalipun upah yang diperoleh buruh pada jangka waktu khusus, pada akhir tahun anggaran, jika kebetulan perusahaan telah memperoleh keuntungan yang cukup besar, sebagian dari keuntungan tersebut diberikan kepada para pekerja.
Adapun mekanisme upah yakni sebagai berikut;
1) Upah menurut prestasi kerja
Upah menurut prestasi kerja, jenis ini menekankan pada prestasi kerja buruh, tingginya prestasi berimplikasi pada besarnya upah yang diterima buruh. Dalam hal ini besar upah tergantung dengan kuantitas pencapaian yang diraih dalam rentang waktu kerja.
2) Upah menurut lama kerja
Metode tersebut dikenal dengan sistem upah waktu.
Penentuan banyaknya upah dari seberapa lama buruh kerja di perusahaan tersebut. Metode perhitungannya dapat menggunakan hitungan jam, minggu, bulan atau tahun.
31
3) Upah menurut senioritas
Upah jenis ini disebut berdasar pada lamanya kerja atau sistem senior dalam karyawan yang bersangkutan pada suatu perusahaan.
4) Upah menurut kebutuhan
Upah sesuai kebutuhan yang berdasarkan dengan klasifikasi kebutuhan hidup yang baik oleh para pekerja. Tolok ukur kewajaran upah dapat didasarkan pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari secara bauk dan tidak berlebih serta tidak kurang.24
Metode pengupahan seperti yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa pengaturan terhadap pemenuhan upah harus berdasar pada gagasan keadilan dari dalam dan luar.
Keadilan dari dalam mengacu pada proporsionalitas pembayaran upah yang mengacu pada prestasi dan pangkat.
Sedangkan keadilan dari luar mengacu pada keperluan pekerja dan keluarga, yang ditunjukkan pada pendapatan nominal upah.
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law sebagai sebuah regulasi untuk menyelesaikan salah satu permasalahan besar terkait perekonomian di Indonesia yang buruk serta
24 Burhanuddin Yusuf, Manajemen Sumber Daya Manusia di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta; Grafindo Persada, 2016),251.
perkembangan ekonomi yang mengalami perlambatan dengan hanya menempati angka di kisaran 5% yang mana hal ini dianggap tidak cukup untuk menghindari ancaman MIT (Middle Income Trap). Untuk menyelesaikan permasalahan ini pemerintah membuat kebijakan baru yang dinilai dapat mendorong investasi dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan status pekerjaan. Adanya regulasi yang tumpang tindih serta ketidakharmonisan pada regulasi antara pusat dan daerah menjadi sebuah faktor terhambatnya investasi. Oleh karena itu, pemerintah membahas dan menetapkan UU Cipta Kerja yang mana undang-undang ini merupakan sebuah produk hukum yang dinilai mampu meningkatkan investasi Indonesia secara global sehingga akan membuka lapangan pekerjaan yang otomatis dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi dan mesejahterakan masyarakat.25
Dalam Undang-undang cipta kerja upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.26 Dalam pasal ketenagakerjaan yang berfokus pada ketentuan
25 Nur Alfiyani, “Perbandingan Regulasi Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja” Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan, Vol. 14 No. 2, (Desember 2020): 123.
26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
33
mengenai pengupahan menjadi sorotan permasalahan yang muncul khususnya bagi para pekerja/buruh, dalam ketentuan pengupahan pada pasal 88 Undang-undang Ketenagakerjaan jo Undang-undang Cipta Kerja telah mengatur 11 macam kebijakan yang diantaranya: upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja katena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala upah, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan atau pembayaran hal dan kewajiban lainnya. Sementara, dalam UU Cipta Kerja ketentuan pengupahan hanya mengatur 7 macam kebijakan.27
3. Hukum Ekonomi Syariah
Upah atau gaji adalah bayaran yang harus diberikan kepada perkerja oleh majikan atas pekerjaan atau usaha yang dilakukannya dalam kegiatan produksiatau jasa28. Upah dalam Bahasa Arab adalah al-ujrah.29 Dalam sudut bahasa al-ajru berarti iwad (penganti), dari sebab al-sawab (pahala) dinail al-ajru atau al-ujrah (upah).30 Sebagai imbalan atas kerja yang diberikan atau imbalan atas manafaat dalam pekerjaan.
27 Alfiyani, “Perbandingan Regulasi Ketenagakerjaan, 124.
28 Muhammad Sulaiman dan Aizuddinur Zakaria, Jejak Bisnis Rasul, (Jakarta: Cet. 1, PT Mizan Publika, 2010), hlm. 309.
29 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 9.
30Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 29.
Upah bisa diartikan sebagai suatu pendapatan yang didapatkan oleh tenaga kerja, yang mana didalamnya dapat dilihat sebagai jumlah uang yang didapatkan pekerja dalam jangka waktu tertentu misalnya sebulan, mingu ataupun hari yang mana mengacu pada upah minimal tenaga kerja. upah yang diberikan pada buruh tergantung dari beberearapa faktor seperti jumlah nominal uang, daya beli dan lain sebagainya, yang bisa dikatakan terdiri kebutuhan hidup yang sebetulnya diterima oleh pekerja dari hasil kerjanya sehingga besar kecilnya upah sebanding dengan hasil kerjanya.
Upah secara garis besarnya dapat dikategorikan atas:
a. Memberikan upah atas diambilnya manfaat dari barang yang berkaitan dengan sandang dan papan dan lain sebagainya.
b. Memebrikan upah atas dasar kerja seseirang baik berupa pelayan yang pertama merujuk pada kegiatan sema menyewa dan yang kedua merujuk pada tenaga kerja.31
Berkaitan dengan ijarah dalam tenaga manusia dalam hal ini fiqh mengatur ujrah (upah) sebagai berikut:
a. Harus diketahui upahnya dalam bentuk harta yang mana sudah dinyatakan secara jelas. Karena agar tidak menimbulkan unsur jihalah (Ketidakjelasan) hal itu sudah menjadi ketetapan ulama’. Namun ulama’ Malikiyah menetapkan ijarah ini dalam konteks satuan upah upah yang tersebut bisa diketahui bedasarkan kebiasaan dan adat.
31Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam iy wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 3811.
35
b. Upah harus menyesuaikan Obyek masing-masing, menyerupakan suatu pekerjaan seperti kegiatan sewa menywa rumah pelayanan jasa menurut Hanafi tidak sah secara hukum karena dapat menghantarkan pada praktek riba.
Dalam menyelamatkan masing-masing pihak islam menawarkan penyeelesaian yang baik. Upah harus ditetapkan dengan cara yang baik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Keduabelah pihak harus mendapatkan haknya sehingga islam menawarkan suatu penyelesaian agar kepentingan yang diinginkan kedua belah pihak terselamatkan.32
“...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”(Q.S. Al- Baqarah : 279)33
Ayat tersebut menjelasjak terkait perjanjian (tentang upah) kedua belah pihak dituntut untuk saling jujjur dan adil dalam urusan itu.
Sehingga hal ini tidka menimbuklan tindakan Aniyah kepada orang lain dan tidak menghilangkan kepentingan sendiri.
Kebutuhan dari setiap pekerja adalah mendapat upah dengan wajar dengan artian tidak dirugikan, yaitu adalah batas minimum dari biaya hidup. Penentuan upah ini tidak bisa ditetapkan atas dasar perkiraan batas taraf hidup yang terendah atuu batas tertentu tertinggi. Bukan pekerjaan mudah memang dalampenetapan upah pekerja yang adil dan sesuai dengan hukum syariah. Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah
32 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, hlm. 363.
33 Imam Ghozali Maskur, Al-Munawwar: Al-Qur‟an Tajwid Warna Transliterasi Per Ayat Terjemah Per Ayat (Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2015), 47.
berpendapat, dasrpenetapan upah ialah harus cukup atrinya upah ini harus bisa memenhui keburuthan minimal pekerja.34
Adapun macam-macam upah dalam perspektif Islam yaitu dibagi menajdi dua bagian:
a. Upah yang sepadan (Ujrah Al-Misli) yaitu upah yang sepadan dengan kerjanya serta dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan jumlah nilai yang disebutkan dan disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemberi kerja dan penerima kerja pada saat terjadi pembelian jasa, maka dengan itu untuk menentukan tarif upah atas kedua belah pihak yang melakukan transaksi pembelian jasa tetapi belum menentukan upah yang disepakati maka mereka harus menentukan upah yang wajar sesuai dengan pekerjaanya atau upah yang dalam situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan dengan tingkat jenis pekerjaan tersebut.
Tujuan ditentukannya tarif upah yang sepadan adalah untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak.
b. Upah yang disebut (Ujrah Al-Musamma) syaratnya ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima) kedua belah pihak yang sedang melakukan transaksi terhadap upah tersebut. Dengan demikian, pihak musta’jir tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang telah disebutkan, sebagaimana pihak mu’jir juga tidak boleh dipaksa untuk mendapatkan lebih kecil dari apa yang yang telah disebutkan, melainkan upah tersebut merupakan upah
34Rustam Effendi, Produks5. i Dalam Islam, Magistra Insani Pres, Yogayakarta, hlm. 55
37
yang wajib mengikuti ketentuan syarak. Apabila upah tersebut disebutkan pada saat melakukan transaksi, maka upah tersebut pada saat itu merupakan upah yang disebutkan (Ujrah Al-Musamma).
Apabila belum disebutkan, ataupun terjadi perselisihan terhadap upah yang telah di sebutkan, maka upahnya bisa diberlakukan upah yang sepadan.35
4. Akad yang dipakai secara syariah
Pada dasarnya akad ijrah sama dengan bentuk akad sewa menyewah. Akad ijarah atau upah ini tidak berbeda jauh dengan akan muamalah yang lainnya seperti gadai, jual beli dan lain sebagainya yang memiliki hukum dasar mubah atau boleh kecuali ada hukum ain yang melarangnya.36
Beberapa pendapat ulama seperti Abu Bakar al-Ahshamm, Ismail in’Aliyah, Hasan Basri, dan lainnya melarang akad ijarah dengan alasan akad tersebut sama dengan akad bai‟al ma‟dum yang dilarang. Alasan akad tersebut dilarang karena manfaat yang dijadikan objek tidak bisa dihadirkan ketika akad berlangsung.37
Dalam fiqh rukun ijarah adalah pihak penyewa (musta’jir), yang menyewakan (mu‟jir), akad ijab dan qowul sigah), mengetahui manfaat dari barang dan upah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan bahwa rukun ijarah adalah:
35 Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), 103.
36 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 277.
37 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.155.