• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya-karya Bakri Syahid

BAB III MENGENAL TAFSIR AL-HUDA DAN TAFSIR AL-AZHAR

2. Karya-karya Bakri Syahid

b. Ilmu Jiwa Sosial c. Kitab Fiqih d. Kitab Aqidah

Keempat karya ini beliau tulis ketika beliau menjadi mahasiswa.

Selanjutnya karya beliau yang lain adalah:

e. Kitab Pertahanan dan Keamanan Sosial f. Ilmu Kewiraan

g. Ideology Negara Pancasila h. Tafsir al-Huda

Keempat karya selanjutnya ini beliau tulis ketika menjadi pejabat di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. Profil Tafsir Bakri Syahid a. Identifikasi Fisiologis

Setiap edisi tafsir al-Huda dicetak dalam satu jilid. Pada edisi cetakan pertama, tafsir al-Huda dicetak pada kertas buram dengan sampul berwarna hijau dengan panjang 24 cm dan lebar 15,5 cm dengan ketebalan 5,5 cm dan berjumlah 1.376 halaman.5

Sumber rujukan utama yang dipakai oleh Bakri Syahid dalam menafsirkan al-Qur`an ke dalam bahasa Jawa adalah al-Qur`an dan terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI.

5 Imam Muhsin, Al-Qur`an dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2013), hal. 34

b. Identifikasi Metodologis 1) Latar Belakang Penulisan

Latar belakang penulisan kitab tafsir ini bermula pada saat dilaksanakannya sarasehan di Mekah dan Madinah. Banyak pihak yang terlibat dalam sarasehan tersebut. Sarasehan itu bertempat di kediaman Syekh Abdul Manan. Pihak-pihak yang terlibat dalam sarasehan tersebut antara lain adalah kolega- koleganya yang berasal dari Suriname dan masyarakat Jawa yang merantau ke Singapura, Muangthai dan Filipina. Dalam sarasehan berdama tersebut menghasilkan sebuah rasa keprihatinan terhadap minimnya karya Tafsir al-Qur`an dalam bahasa Jawa yang disertai dengan tuntunan membaca dalam tulisan latih dan keterangan penting lainnya. hal inilah yang paling kuat melatarbelakangi Bakri Syahid untuk menulis kitab tafisr yang sesuai dengan harapan dari sarasehan tersebut.

Dengan latarbelakang tersebutlah kemudian memotivasi Bakri Syahid untuk menulis Kitab Al-Huda Tafsir Al-Qur`an Basa Jawi yang kemudian diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 M oleh penerbit Bagus Arafah Yogyakarta.6

Pada penerbitan yang pertama kalinya, tafsir al-Huda mengalami delapan kali cetakan dalam setiap kali cetakan jumlahnya tidak kurang dari 1000 hingga 2000 eksemplar. Pada cetakan pertama yaitu pada tahun 1979 itu, Tafsir al-Huda berhasil dicetak sebanyak 10.000 eksemplar yang bekerja sama dengan pengadaan Kitab Suci al-Qur`an Departemen Agama Republik Indonesia. Hasil cetakan pertama disebar luaskan untuk

6 Bakri Syahid, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, (Yogyakarta:

Persatuan Perss, 1979), hal. 8

masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa sendiri dan ada pula yang didistribusikan untuk masyarakat Jawa yang tinggal di Suriname.

2) Sumber, Metode dan Corak Penafsiran

Penafsiran yang dilakukan oleh Bakri Syahid dalam kitab Tafsir al-Huda ini dengan menuliskan tafsirannya dalam sebuah catatan kaki di kitab tafsirnya. Adapun fungsi dari catatan kaki dalam kitab tafsirnya antara lain:

a) Sebagai tafsiran dari al-Qur`an, dalam hal ini, pengarang kitab menafsirkan al-Qur`an seperti memberi komentar terhadap perkara-perkara yang menurut pengarang kitab perlu ditafsirkan. Jadi, pengarang kitab tafsir ini tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qu`an.

b) Sebagai intisari sebuah surat dalam al-Qur`an. Jadi, pengarang kitab tafsir ini ketika di akhir surat memberikan intisari dari surat tersebut.

c) Sebagai muhasabah antar surat, beliau memberikan munasabah antar surat yang terletak di akhir surat dan di awal surat untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang adanya hubungan antar surat.

d) Sebagai petunjuk keterangan tafsir yang membahas tema yang sama, ketika ada tema yang telah ditafsirkan dalam suatu surat kemudian disurat lain ada tema yang sama, maka pengarang kitab tafsir hanya menuliskan petunjuk agar pembaca melihat surat yang telah di tafsirkan di awal surat tanpa menafsirkannya kembali.7

7 Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 47

Bakri Syahid dalam Tafsir al-Huda juga mengutip hadis Nabi (meskipun tidak dijelaskan secara detail teks dari hadis tersebut) hal itu bisa kita lihat dari penafsiran ayat ketujuh dari al-Fatihah yang berbunyi: “Sasampanipun maos fatihah maos... Aamiin”.

(setelah membaca al-Fatihah dianjurkan membaca amin).

Jadi, Bakri Syahid menjadikan riwayat-riwayat sebagai titik tolak dalam penafsirannya, namun demikian dalam beberapa tempat masih dalam pemikirannya. Bakri Syahid dalam penafsirannya pun mendapatkan pengaruh dari keorganisasian, kemiliteran, keilmuan, dan posisinya sebagai MPR, serta Sosial- Budaya masyarakat dalam tafsirannya. Pengaruh keorganisasian terlihat dalam kandungan surat al-Fatihah ketika berbicara cakupan puasa meliputi menu, bahkan sikap wara‟i (tidak rakus, dan tidak banyak mengeluh), menjauhi dari sikap berlebihan (hidup wajar dan apa adanya). Menurut Mistsuo Nakamura inilah motto hidup masyarakat Muhammadiyah.8

Pengaruh kepemiliterannya dan jiwa kenasionalismenya juga terlihat dalam penafsirannya pada surat al-Baqarah ayat 11 lafadz

ْْوُدِسْفَ تَلا

ا , Bakri Syahid menafsirkan: Janganlah membuat kerusakan dimuka bumi baik kerusakan batin maupun kerusakan lahir, serta hal-hal yang merusak mental, yang hal ini sangan ditakutkan. Adanya perserikatan bangsa-bangsa merupakan bentuk usaha mulia yang harus didukung sepenuhnya.

Secara metodologis langkah-langkah penafsiran al-Quran dalam tafsir al-Huda merupakan sebuah pendekatan yang dapat disebut pendekatan Tsaqafi Ijma‟i sosial budaya. Dalam

8 Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, hal. 48

pendekatan ini ayat-ayat Al-Qur`an dipahami berdasarkan konteks militer dan historinya kemudian diproyeksikan dalam situasi dan kondisi masyarakat Jawa yang melingkupi lahirnya Tafsir al-Huda berdasarkan sudut pandang budaya Jawa.

Dialegtika al-Qur`an dan nilai-nilai budaya Jawa dalam Tafsir al- Huda merupakan proses perkumpulan antara al-Qur`an warisan budaya Jawa yang dimiliki pengarang dan kondisi sosial budaya Jawa yang melingkupinya.

Tafsir al-Huda bercorak tafsir bi al-ra‟yi9, cenderung bersifat rasional, dan menggunakan penalaran. Dalam penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur`an, kadang-kadang Tafsir al-Huda didukung dengan riwayat yang berkaitan dengan kandungan nyata atau yang sedang dijelaskan, termasuk riwayat yang berhubungan dengan asbabun nuzul, tetapi tidak jarang penjelasan itu dilakukan dengan menggunakan penalaran akal semata-mata tanpa mengemukakan riwayat yang relevan. Fungsi riwayat hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran bukan sebagai titik tolah atau subjek.10

Sumber rujukan utama yang dipakai oleh Bakri Syahid dalam menafsirkan al-Qur`an ke dalam bahasa Jawa adalah al-Qur`an dan terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI.

3) Sistematika Penulisan

9 Berdasarkan pengertian etimologi, ar-Ra‟yi berarti keyakinan (i‟tiqod), analogi (qiyas), dan Ijtihad. Ra‟yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Adapun yang dimaksud tafsir bial-Ra‟yi ialah penafsiran al-Qur`an yang dilakukan berdasarkan Ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari berbagai aspeknya serta mengenal lafal- lafal bahasa arab dan dari segi argumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair- syair jahiliyah serta mempertimbangkan sabab nuzul, dan lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat https://www.tongkronganislami.net/tafsir-bil-rayi-atau-bid-diroyah/ di akses pada tanggal 30 mei 2018, 22:37 WIB

10 Ali Hasan, al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tadsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 48

Tafsir Al-Huda menafsirkan seluruh surat dalam Al-Qur`an yang berjumlah 114 surat dan 30 juz penuh. Tafsir ini disajikan secara urut menurut Mushaf Utsmani dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas. Pembahasan dalam setiap surat diawali dengan mengemukakan sifat khusus surat tersebut, kemudian pembahsan dilanjutkan dengan menyajikan materi inti dari tafsir tersebut yaitu: Pertama teks-teks al-Qur`an dalam tulisan aslinya yaitu tulisan Arab yang berada di sisi sebelah kanan. Kedua transliterasi bacaan al-Qur`an dalam huruf latin yang ditulis di bawah teks asli. Ketiga terjemahan ayat-ayat al-Qur`an dalam bahasa Jawa yang ditulis di sisi kiri. Keempat keterangan atau penjelasan makna ayat al-Qur`an dalam bahasa Jawa yang ditulis di bagian bawah dalam bentuk catatan kaki. Kelima, poin penting berkaitan dengan topik-topik ibadah yang diberi judul

“Katarangan Sawatis Ingkang Wigatos Murakabi”, Keenam daftar pustaka.11

A. Profil Tafsir Prof. Dr. Hamka 1. Biografi Buya Hamka

H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenl sebagai Buya Hamka, lahir pada 17 februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Di Maninjau, Sumatra Barat.12 Nama ini adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927 dan mendapatkan tambahan haji.

Beliau dilahirkan disebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagari

11 Bakri Syahid, Tafsir al-Huda Tafsir Al-Qur`an Bahasa Jawi, (Yogyakarta:

Persatuan Perss, 1979), hal. 13

12 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republik Penerbit, 2015)

Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau13, Sumatra Barat, pada 17 februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya seorang ulama terkenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham Islam di Minangkabau.14 Ibu Hamka bernama Syofiah. Ayah dari Syofiah mempunyai gelar adat bagindo nan batuah. Dikala mudanya, bagindo terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Di waktu Hamka masih kecil, selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari kakeknya Buya Hamka dalam memorinya mengatakan “Ayahku menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya dan kakek-kakeknya yang terdahulu”. Ketika Hamka lahir, ayahnya mengatakan kepada neneknya bahwa kelak setelah berusia sepuluh tahun, si malik akan dikirim ke Mesir agar menjadi ulama.15

Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur`an dirumah orang tuanya ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai tujuh tahun, dia dimasukkan di sekolah desa. Pada tahun 1916 sekolah Diniyah Putra16 dan pada tahun 1918 belajar juga di

13 Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Profinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara kota Padang, ibukota Sumatra Barat. Minanjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas danau minanjau sekitar 99,5 km2 dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi di perbukitan sekitar danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Puncak bukit ini setiap tahun menjadi star olahraga terbang layang bertaraf Internasional. Untuk bisa mencapai danau maninjau dari arah Bukittinggi, maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau. Lihat, http:/id.wikipedia.org/wiki/maninjau di akses tanggal 30 mei 2018, 23:25 WIB

14 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007), hal. 11

15 Mafri Amir, Literatur Tafsir di Indonesia, (Banten: Madzhab Ciputat, 2013), hal.

170-171

16 Sekolah Diniyah putra didirikan oleh Zainuddin Labai el-Yanusi, kakak Rahmah el-Yunusiyah pendiri Diniyah Putri yang berlokasi di Pasar Usang Padang Panjang

Thawalib School.17 Pagi hari ke Sekolah Desa, sore belajar di Sekolah Diniyah, dan pada malam harinya berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Ini merupakan aktifitas harian seorang Hamka di masa kecilnya dan ini juga merupakan keinginan ayahnya agar kelak anaknya menjadi ulama seperti dirinya.18

Pada tahun 1924, dalam usia 16 tahun, Hamka berangkat menuju tanah Jawa. Kunjungannya ke tanah Jawa itu mempu memberikan

“Semangat Baru” baginya dalam mempelajari Islam. dalam pencarian ilmu di tanah Jawa, Hamka memulai dari kota Yogyakarta yang merupakan kota awal berdirinya organisasi keislaman Muhammadiyah.19 Lewat Ja‟far Amrullah yang merupakan pamannya, Hamka dapat berkesempatan untuk mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam.

Dalam kesempatan ini pula, Hamka bisa bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, dan dia mendapatkan pelajaran Tafsir al-Qur`an. Hamka juga bertemu dengan H.O.S. Cokroaminoto, dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu Hamka berkesempatan bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Syamsul Ridjal.

17 Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi. Ini terjadi setelah Syekh Abdul Karim Amrullah kembali dari perlawatannya ke tanah Jawa. Pada langkah pertama perubahan itu, Thawalib School masih dalam pengajian surau, buku-buku yang dipakai masih buku-buku lama. Kebaruan hanya dilihat dari sudut pembagian kelas ke dalam tujuh kelas. Lihat dalam Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), jilid I, hal. 54-55, juga dalam catatan akhir M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 61

18 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:

Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 40

19 Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan. Diakses dari http://www.muhammadiyah.or.id/sejarah-muhammadiyah.html tanggal 30 mei 2018 jam 23:52

Pada usia 17 tahun, Hamka kembali ke Minangkabau. Hamka telah tumbuh menjadi pemimpin di tengah-tengah lingkungannya. Dia memulai berpidato, bertabligh di tengah masyarakat Minangkabau. Dia pun membuka kursus pidato bagi teman-temannya di Surau Jembatan Besi. Kemampuan dalam menyusun kata-kata, baik dalam berpidato maupun dalam menulis, telah menempatkan Hamka pada posisi istimewa di kalangan teman-temannya. Dia catat dan susun kembali pidato-pidato temannya, kemudian diterbitkan dalam sebuah majalah yng dipimpin serta diberi nama Khatibul Ummah.20

Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan pada 29 April 1929 di usia 22 tahun.21 Beberapa waktu setelah perkawinannya dengan Siti Raham, dia mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Dalam kongres Muhammadiyah ke-19 yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tahun 1930, Hamka menjadi pemrasaran dengan membawakan makalah berjudul, “Agama Islam dan Adat Minangkabau”. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1933, lagi-lagi Hamka muncul dengan makalah berjudul, “Muhammadiyah di Sumatra”. Setahun kemudian diutus ke Makasar menjadi muballigh atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1933, dia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934, diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.22

Pada tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka bersama M. Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman

20 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:

Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 45-46

21 Kata Pengantar Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjiman, 1982), jilid I, hal. 2

22 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta:

Penamadani, 2003), cet. Ke-2, hal. 48

Masyarakat. Pada tahun 1942, Jepang mendarat di kota Medan, dan kehadiran Jepang ini tidak sedikit membawa perubahan, majalah Pedoman Masyarakat diberangus. Bendera Merah Putih tidak boleh lagi dinaikkan. Segala bentuk persyarikatan dan perkumpulan dilarang.

Semua rakyat harus turut serta dalam membantu cita-cita memenangkan Perang Asia Timur Raya.23

Hamka memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintas Jepang.

Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, dia diangkat sebagai anggota Syusangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat, pada tahun 1944. Dalam kedudukan ini, Hamka diminta pertimbangan oleh Jepang untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari kalangan umat Islam.

Pada tahun 1945, Hamka meninggalkan kota Medan kemudian berada di Padang Panjang. Pada tahun 1946, dia mendapatkan kepercayaan sebagai Ketua dalam Kongres Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundang Hamka untuk menetap selama empat bulan. Selain berkunjung ke Amerika Serikat, Hamka juga beberapa kali melakukan kunjungan luar negeri lainnya seperti, menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954). Kemudian pada tahun 1955, berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka ikut berkecimpung dalam politik praktis sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Ia juga pergi ke Lahore (1958) untuk menghadiri Konferensi Islam, dan menghadiri undangan Universitas al-Azhar di Kairo untuk memberikan ceramah tentang “Pengaruh Muhammad

23 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke-2, hal. 49

Abduh di Indonesia”, ceramah tersebut menghasilkan gelar Doktor Honorius Causa bagi Hamka.24

Hamka juga menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)25 pertama sejak tahun 1975, dan kemudian mengundurkan diri.

Pengunduran diri ini disebabkan oleh masalah perayaan “natal bersama”

antara umat Kristen dan agama lain, termasuk Islam. Majelis Ulama Indonesia, yang Hamka menjadi ketua umumnya, mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan natal.

Dua bulan setelah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Hamka dirawat di Rumah Sakit disebabkan serangan jantung yang cukup berat. Selama lebih kurang satu minggu, Hamka dirawat di Rumah Sakit Pertamina Jakarta Pusat, ditangani oleh para dokter ahli. Namun, kendatipun dokter telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka bagi kesembuhan Hamka, akan tetapi Allah swt.

lebih menyayangi beliau, karena sesungguhnya Allah lebih mengetahui sesuatu yang terbaik bagi hambanya-Nya. Pada hari Jum‟at tanggal 24 Juli 1981/22 Ramadhan 1401 H, yang dikelilingi oleh istrinya Khadijah26 dan beberapa teman dekat serta puteranya Afif Amrullah, Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun.

2. Karya-karya Buya Hamka

Buya Hamka banyak menulis dalam bentuk fiksi, sejarah dan biografi, doktrin Islam, etika dan tasawuf, politik dan adat Minangkabau

24 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. Ke-2, hal. 52

25 MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Organisasi Kemasyarakatan yang mewadahi ulama, zu‟ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jkarta, Indonesia.

26 Siti Khadijah adalah istri ke-2 Hamka setelah meninggalnya Siti Rham. Siti Khadijah berasal dari Cirebon, Jawa Barat.

dan Tafsir. Yang sudah dibukukan tercatat kurang lebih 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat diberbagai media masa dan disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Kalau dicermati dalam kurun waktu enam tahun (1936-1942), Hamka terlihat mengkonsentrasikan diri dalam hal menulis karya-karya diberbagai bidang ilmu.27

Dengan kemahiran berbahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, seperti Zaki Mubarok, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustapa al-Mafalutidan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman. Hamka sejak muda juga rajin membaca dan bertukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal di Jawa seperti H.O.S.

Tjokromonoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachruddin, A.R. Sultan Mansur dan I Bagus Hadikusumo sambil mengasal bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Banyak karya-karya Buya Hamka yang terkenal hingga kepelosok penjuru Indonseia, diantaranya:

Karya-karya Buya Hamka:

a. Khatibul Ummah, jilid 1-3. Ditulis dalam huruf bahasa Arab.

b. Si Sabariyah. (1928).

c. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abu Bakar as-Shiddik), 1929.

d. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929).

e. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).

f. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929).

g. Hikmat Isra‟ Mi‟raj.

h. Arkanul Islam (1932) di Makasar.

i. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

27 M. Thalhah Ahmad Hakim, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, (Yogyakarta: UII Press, 2005), cet. Ke-I, hal. 33

j. Majallah „Tentera‟ (4 nomor) 1932, di Makasar.

k. Majalah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makasar.

l. Mati Mengandung Malu (Salinan al-Manfalithi) 1934.

m. Dibawah Lindungan Ka‟bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

n. Tenggelamnya Kapal Van Der Wick (1937) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

o. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

p. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

q. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

r. Tuan Direktur, 1939.

s. Dijemput Mamaknya, 1939 t. Dll.

Dalam bidang sastra Hamka juga menghasilkan beberapa karya seperti Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Di Dalam Lembah Kehidupan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Margaretta Gauthier, Kenang-Kenangan Hidup, dll.

Dalam bidang karya-karya non-satra antara lain Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Tasawuf Modern, Tasawuf, Perkembangan & pemurniannya, Sejarah Umat Islam, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Tanaya Jawab I& II, Dari Lembah Tjita- Tjita, Lembaga Hikmat, Bohong di Dunia, Karena Fitnah Tuan Direktur, Pandangan Hidup Muslim, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, dan Tafsir al-Azhar, dll.28

28 Buntaran Sanusi Nasir Tamara dan Vicent Djauhari, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan), hal. 139-142

Hamka juga memimpin majalah-majalah Islami antaranya Majalah Pedoman Masyarakat, pada tahun 1936-1942, Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956, dan juga memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), tahun 1950-1953.

3. Profil Tafsir al-Azhar

a. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Azhar Ada beberapa faktor, diantara lain:

1) Adanya semangat para pemuda di Indonesia dan di daerah- daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui isi al-Qur`an, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa Arab. Untuk mereka inilah tujuan pertama tafsir ini disusun.

2) Golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Mereka ini, para muballigh, menghadapi bangsa yang sudah mulai cerdas dengan habisnya buta huruf.

Masyarakat mulai berani membantah keterangan agama yang disampaikan apabila tidak masuk akal. Kalau mereka itu diberi keterangan berdasarkan al-Qur`an secara langsung, maka dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka tafsir ini merupakan suatu alat penolong bagi mereka untuk menyampaikan dakwah itu.29

Sebelum Hamka memulai penulisan Tafsir al-Azhar, Hamka awalnya memberikan ceramah setiap setelah shalat subuh sejak tahun 1959 di Masjid al-Azhar yang membahas Tafsir al-Qur`an. Ceramah itu dimuat secara teratur dalam majalah Gema Islam sampai januari 1964. Demikianlah tanpa diduga sebelumnya pada hari senin 12

29 Pendahuluan Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Jilid I, hal. 4

Dokumen terkait