BAB I PENDAHULUAN
E. Metodologi Penelitian
penafsiran cinta tanah air menurut tafsir al-Huda dan tafsir al-Azhar.
Namun dengan begitu, skripsi Lia Marlinta sedikit memberi kontribusi untuk skripsi yang akan penulis teliti.26
Tafsir al-Azhar Sumber data sekunder:
Pandangan Hidup Muslim
Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh
Wawasan Al-Qur‟an
Membumikan Islam Nusantara
Literatur Tafsir Indonesia
Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar
Tasawuf Modern
Rujukan-rujukan jurnal dan buku lainnya.
c. Tehnik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, penulis memerlukan informasi mengenai cinta tanah air dalam segala segi, yang nantinya bisa menjadi pemicu semangat pembaca untuk lebih menyadari peranan dirinya terhadap bangsa.
Untuk mendapatkan hal tersebut, penulis mengumpulkan data- data yang ada dalam berbagai karya. Penulis sengaja memilih penelitian ini karena informasi yang dibutuhkan lebih banyak bersifat deskirptif yaitu, informasi yang berbentuk uraian dalam suatu dokumentasi ilmiyah.
d. Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisa secara deskriptif dan komparatif terhadap kedua tafsir tersebut.
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
Dalam usaha untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, penulis berusaha semaksimal dan sebisa mungkin membuat sistem yang sesuai dengan buku petunjuk yang ada. Untuk teknisi penulisan
dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta Tahun 2017.
Sedangkan sistematika penulisannya, skripsi ini terbagi menjadi lima bab pembahasan. Dimana masing-masing bab diuraikan dalam sub- bab pembahasan dengan urutan sebagai berikut:
Bab pertama (Pendahuluan) menjelaskan Latar Belakang dahulu untuk mengidentifikasi permasalahan yang memunculkan penelitian ini.
Kemudian dilanjutkan Pembatasan dan Perumusan Masalah, setelah itu penulis mengungkapkan Tujuan dan Kegunaan Penelitian. Lalu Tinjauan Pustaka yang merupakan uraian tentang posisi penelitian penulis sendiri dengan karya terkait mengenai cinta tanah air.
Penguraian Metode Penelitian sangat penting, karna hal ini terkait dengan bagaimana penelitian akan dilakukan dan prediksi hasil akhir penelitian juga. Penulisan skripsi ini tentu mengacu pada Pedoman Skripsi yang di keluarkan oleh Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
Bab kedua (Pembahasan) menguraikan diskursus tentang cinta tanah air dalam Islam, mulai dari pandangan para pakar, cinta tanah air dalam sejarah islam dan cinta tanah air dalam pengertian dalam Al- Qur`an dan Hadis.
Bab ketiga (Pembahasan) penulis memperkenalkan tafsir yang akan di teliti, yang mana didalamnya terdapat profil dari tiap-tiap tafsir.
Bab keempat (Pembahasan) membahas analisis cinta tanah air menurut tafsir al-Huda dan tafsir al-Azhar, yang mana didalamnya menjelaskan penafsiran tentang ayat cinta tanah air menurut Tafsir Al- Huda dan Tafsir Al-Azhar, sampai persamaan dan perbedaan penafsiran Bakri Syahid dan Prof. Dr. Hamka dalam Ayat yang menjelaskan Cinta Tanah Air.
Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini. Pada bab terakhir ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA: Pada bagian akhir, penulis akan mencantumkan daftar pustaka yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini agar pembaca dapat menelaah jauh hal-hal yang berkaitan dengan cinta tanah air.
23
DISKURSUS TENTANG CINTA TANAH AIR A. Pengertian Cinta Tanah Air
Perasaan cinta sebenarnya mengandung unsur kasih dan sayang terhadap sesuatu. Kemudian, dalam diri akan tumbuh suatu kemauan untuk merawat, memelihara dan melindungunya dari segala bahaya yang mengancam. Cinta tanah air berarti rela berkorban untuk tanah air dan membela dari segala ancaman dan gangguan yang datang dari bangsa manapun. Para pahwalan telah membuktikan cintanya kepada tanah airnya yaitu tanah air Indonesia.
Mereka tidak rela Indonesia diinjak-injak oleh kaum penjajah. Mereka tidak ingin negerinya dijajah, dirampas atau diperas oleh bangsa penjajah. Mereka berani mengorbankan nyawanya demi membela tanah air Indonesia.
Cinta tanah air adalah perasaan yang timbul dari dalam hati sanubari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan. Definisi lain mengatakan bahwa rasa cinta tanah air adalah rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya yang ada di negaranya dengan melestarikannya dan melestarikan alam lingkungnya.1
Cinta tanah air biasa juga disebut dengan nasionalisme, berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan
1https://belanegarari.com/2016/03/23/pengertian-rasa-cinta-tanah-air/#more-2598 diakses tanggal 26 Mei 2018 pukul 11:32
manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas yang sama atau kebersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi.2 Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata “suku” yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar.3
Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis- sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis- sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat.
Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam suatu negara dan sebaliknya, suatu bangsa tersebar ada yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme.4
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara
22 Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 89
3 Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 970
4 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 58
sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.5
Nasionalisme berarti menyatakan keunggukan suatu afinitas (persamaan, pertalian) kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadang kala tumpang-tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menujuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.6
Menurut Huszer dan Steveson, nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta alami kepada tanah airnya. Dalam pengertian lain yang disampaikan L. Stoddard, nasionalisme adalah suatu kejadian jiwa dan suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa. Hans Kohn, bapak teoritikus nasionalisme, menuturkan bahwa nasionalisme negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.7
Dalam prespektif Islam, ada dua kata yang biasanya dikaitkan dengan ide nasionalisme; al-Wathaniyah dan al-Qawmiyah. Menurut al-Banna, pengertian dua kata tersebut dalam konteks kebangsaan adalah bahwa al- Wathaniyah sepadan dengan kata patriotisme yang berarti cinta tanah air.
Konsep ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah
5 Lukman Ali, DKK, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 684
6 Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, terj. M. Miftahuddin dan Hertian Silawati, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 193-194
7 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 58
darah. Keterikatan pada identitas bersifat given atau dalam teori sosiologi sebagai status yang diperoleh (ascribed status). Singkatnya adalah rama memiliki negeri sendiri.8 Adapun kata al-Qawmiyah berarti rasa berbangga dan bernegara, rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau sekelompok orang, biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi, dan aspirasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama.9
Beberapa definisi di atas memberi kesimpulan bahwa nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
B. Cinta Tanah Air dalam Sejarah Islam
Nasionalisme Arab pertama lahir di Libanon. Di Libanon “Modernisasi”
dan pembentukan kesadaran politik yang baru secara langsung dipengaruhi oleh penetrasi pendidikan, politik, dan perdagangan bangsa Eropa. Di Libanon dan di daerah pedalaman Syria, volume perdagangan yang sedang berkembang membangkitkan produksi pertanian yang laku keras seperti sutra, kapas, dan padi-padian yang dengan mudah dapat dikirim kewilayah pesisir. Disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya spesialisasi ekonomi, beberapa pengusaha, seperti pemintal sutra berkesempatan mempertinggi posisi mereka. Beberapa produk lain, seperti pakaian Syria yang disulam dengan benang perak dan benang emas,
8 Abdul Hamid Al-Ghazali, Peta Pemikiran Hasan Al-Banna: Meretas Jalan Kebangkitan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 195
9 Abdul Hamid Al-Ghazali, Peta Pemikiran Hasan Al-Banna: Meretas Jalan Kebangkitan Islam, h. 198
yang tidak dapat ditiru oleh produk Eropa, mampu mempertahankan posisinya dalam pasaran khusus.10
Dengan alasan yang berbeda, belakangan nasionalisme Arab juga berkembang dikalangan bangsawan Muslim Damascus. Dalam hal ini faktor utamanya bukan alasan otonomi politik atau penetrasi perdagangan, melainkan alasan yang lebih bersifat operasional dari sistem usmani dan sebagai reaksi Muslim terhadap kemajuan perdagangan Eropa (dan warga Kristen lokal) yang tengah berkembang. Sebelum tahun 1860 kalangan bangsawan Damascus pada umumnya adalah ulama‟ keturunan ulama‟ besar abad delapan belas yang menduduki beberapa jabatan seperti mufti, khatib, dan kelompok keturunan Nabi. Mereka mengelola kekayaan wakaf dan mendapat dukungan yang besar dari kalangan pedagang, pengrajin, jennisari, dan mereka mengelola beberapa wilayah perkotaan. Pada akhir abad delapan belas dan abad sembilan belas keluarga-keluarga ini bekerja sama dengan kepala militer kesukuan (aghwat) yang kekuatan mereka bersandar pada perwalian jennisari, dan bersandar pada penguasaan atas beberapa wilayah sub-perkotaan dan penguasaan pada perdagangan gandum yang beredarnya melalui mereka. Pada akhir abad sembilan belas keluarga ulama dan aghawat bergabung menjadi sebuah kekuatan gabungan elite tuan tanah dan elite agama. para pengusaha yang kaya raya dan beberapa pejabat Usmani juga tergabung dalam elite ini. Pada masa ini banyak keluarga mengirimkan putranya sekolah-sekolah profesional Usmani dan mereka memperebutkan beberapa posisi kedinasan dalam pemerintahan Usmani. Meskipun demikian, kalangan bangsawan tidak merupakan satu kesatuan tubuh, melainkan
10 Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) , bag.III, cet. I. h. 139
mereka terdiri dari sejumlah keluarga dan faksi yang terlibat dalam persaingan.11
Kemudian Masalah nasionalisme menjadi hangat semenjak Napoleon Bonaparte pada akhir abad 18 menguasai dan menjajah bangsa lain di Eropa.
Bangsa-bangsa yang menjajah ini dapat menikmati segala keuntungan dari negara yang dijajahnya. Sedangkan bangsa-bangsa yang dijajah benar-benar merasa tertindas oleh bangsa lain; nasib bersama menimbulkan kebutuhan kepada persatuan, terutama diantara mereka yang dijajah.12
Menurut Barbara Ward, akar nasionalisme di dunia barat, diawali setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa Barat dimana menumbuhkan kelompok-kelompok kesukuan dan setelah melakukan serangkaian penaklukan lalu menjadi negara-negara feodal13. Dengan majunya abad pertengahan, tiga dari kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk nasional yang dapat dilihat. Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan mereka diberi bahasa yang dilatinisasi. Di bawah pembagian tanah secara feodal diantara pangeran-pangeran Inggris, raja-raja Capet dan pengikut- pengikut Burgundia maka masyarakat mulai memakai bahasa Perancis yang memepunyai bentuknya sendiri dan daerah bahasa ini mempunyai batas- batasnya yang tegas secara geografis sepanjang Laut Atlantika, sepanjang Pegunungan Pyrenea dan Alpen. Akhir abad ke-14, Perancis menjadi sadar tentang dirinya sebagai sebuah kelompok nasional yang besar yang memakai bahasa Perancis.14
11 Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 142-143
12 Tukiran Taniredja. Konsep Dasar Kewarganegaraan. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013). h. 50
13 Feodal adalah berhungan dengan susunan mesyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan; mengenai kaum bangsawan; mengenai cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa. Lihat pada apl. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
14 Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
Menurut Yosaphat Haris Nusarastriya pada essai penelitiannya sejarah nasionalisme dunia Barat khususnya di Eropa dibagi menjadi tiga fase, yakni:
Pertama, fase ini ditandai dengan runtuhnya banyak kerajaan beserta sistemnya yang kemudian dilanjutkan dengan berdirinya negara-negara nasional. Fase ini dimulai pada zaman akhir abad pertengahan. Ciri utama yang sangat ketara dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa.
Kedua, fase ini sering juga disebut sebagai “the middle class nationalism”. Dimana pada fase ini terdapat banyak kekacauan perang yang dibuat oleh Napoleon dan yang segera berakhir pada tahun 1914.
Nasionalisme pada masa ini bukan hanya tercermin dari perilaku seorang raja saja, tapi juga pada masyarakat secara umum yang memiliki peran signifikan kala itu.
Ketiga, pada fase ini nasionalisme sering disebut dengan tema
”sosialisasi dari pada bangsa”. Corak yang paling dominan pada fase ini adalah melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi suatu nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain. 15
Nasionalisme bersifat statis dan senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan pola dan sistem nasionalisme banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial suatu negara kala itu. Di abad ke- 20, nasionalisme di negara-negara Barat seperti Jerman dan Italia dan beberapa negara lainnya lebih condong ke arah nasionalisme totaliter. Nasionalisme totaliter di Jerman dengan Italia jauh berbeda. Di Italia nasionalisme lebih mengarah ke paham fasisme, yakni paham yang menekankan kedaulatan negara diatas
15 Yosaphat Haris Nusarastriya. Sejarah Nasionalisme Dunia Dan Indonesia, (tt.p.:t.p.,t.t) h.. 2-3
kedaulatan rakyat. Berbeda halnya dengan Jerman. Dibawah pimpinan Hitler, Jerman lebih menitik beratkan faktor ras. Nasionalisme semacam ini dekenal dengan Nasionalisme Sosialis (NAZI). Paham ini merupakan penurunan tradisi nasionalisme-romantisme Jerman yang dulu pernah ada pada abad ke-19, tetapi kemudian muncul kembali dan bermetamorfosis di abad ke-20 dalam bentuk yang dianggap ekstrim.16
Mengutip dari buku Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme karya Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Pada awalnya, Islam tidak mengenal istilah nasionalisme. Adapun yang dikenal hanya dua konsep teritorial-religious yakni wilayah damai (Darul Islam) dan wilayah perang (Darul Harb). Oleh karena itu, munculnya konsep negara bangsa (nation state) telah melahirkan beberapa ketegangan historis dan konseptual dikalangan Islam. Meski demikian, di dalam Islam dikenal dua terminologi yang mendekati konsep negara-bangsa yaitu kata millah dan ummah yang berarti masyarakat atau umat. Akan tetapi istilah tersebut lebih mengacu pada kelompok sosio-religius bukan kepada masyarakat politik. Pada pihak lain, konsep negara-bangsa mengacu atas kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah serta mengabaikan unsur religius. Sedangkan pada tataran institusional konsep negara-bangsa berbenturan dengan konsep khilafah atau pan-Islamisme.17
Nasionalisme di dunia Islam dapat dipelajari dari sejarah negara-negara muslim yang ada di dunia yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dan negara-negara Eropa. Dalam realita sejarah, tidak semua ide dan model nasionalisme yang ada di Eropa dapat diterima oleh masyarakat Islam, namun juga tidak dijumpai negara dan pemikir muslim yang secara
16 Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
17 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hinggaPost-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 12
terang-terangan menentang dan menempatkan dirinya pada posisi yang antagonistik terhadap Eropa.
Turki adalah salah satu negara muslim yang menerima secara terbuka konsep nasionalisme sebagaimana yang ada di negara-negara barat. Dinasti Turki Utsmani kala itu menguasai hampir seluruh kawasan Timur Tengah.
Negara-negara ini mengakui dan mengagumi beberapa konsep politik Eropa diantaranya di bidang adminitrasi negara dan militernya. Hal itu terbukti pada tahun 1730-an pemerintah Turki dengan cepat dan sistematis melakukan pembaruan dan reorganisasi militernya sesuai dengan sistem yang berlaku di Eropa, dan puncak pembaruan tercatat pada pemerintahan Sultan Salim III (1792). Perubahan yang dilakukan olehnya tidak hanya sebatas pada aspek sistem pemerintah saja, tetapi perubahan secara totalitas, atau lebih tepatnya dia melakukan westernisasi. Perubahan tersebut dimulai dari organisasi militer, sistem pemerintahan pusat maupun propinsi, sampai menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem perdagangan, keuangan, dan diplomatik.
Tokoh Turki yang cinta terhadap peradaban Eropa adalah Namik Kemal dan Ziya Gokalp. Keduanya terus mengembangkan dasar-dasar intelektual dan teooritis nasionalisme Turki secara lebih rinci. Kemal (w. 1888 M) bahkan terkenal sebagai orang yang membawa dua gagasan besar, yaitu kebebasan (free-dom) dan cinta tanah air (fatherland). Sedangkan Gokalp secara tegas mengatakan bahwa nasionalisme Turki dibangun dengan pola modernisasi dan dengan memosisikan agama pada ranah prifat.
Ide besar tentang nasionalisme yang diudung oleh para pemikir Turki saat ini tidak bisa dilepas dari setting sejarah umat Islam sendiri. Sejarah membuktikan, ketika Turki Utsmani berada di ambang kehancuran, terutama setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I, sebuah gerakan nasionalisme Ataturk melihat bahwa satu-satunya ideologi gerakan yang bisa memobilisasi
massa dan meyakinkan kaum intelektual Turki waktu itu adalah nasionalisme. Bagi Ataturk, ideologi Pan-Islamisme (kekhalifahan) tidak lagi memiliki daya panggil untuk berjihad melawan sekutu. 18
Dalam konteks sejarah, nasionalisme muncul dan berkembang di Barat sejak abad ke-15. Ketika itu, wacana nasionalisme di kawasan lain belum muncul. Model kekuasaan politik di luar Eropa, terutama di Asia dan Afrika memiliki kesamaan dengan model imperium yang bersifat dinasti dengan didasarkan pada identitas-identitas kultural dan religius. Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan.19 Dalam perkembangannya, nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antarbangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri- negeri di Benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang saat ini belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme).
Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagi pusat merupakan pandangan beberapa pemikir Eropa saat itu, di antaranta Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan objektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subjektif. Negara adalah ideal (geist) yang diobjektif melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang
18 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hinggaPost-Modernisme, h. 59
19 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h.
63
benar dan salah mengenai hahikat negara, menentukan apa yang moral dan apa yang bukan moral, seta apa yang baik dan apa yang destruktif.20 Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain.
Absolitisme negara di hadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang diciptakan Hegel, yaitu monarki.21
Di Timur, paham nasionalisme mulai muncul pada abad ke-19 di mana kolonisme oleh bangsa Barat marak terjadi di Asia dan Afrika. Kegagalan dan kekalahan politik yang disertai eksploitasi ekonomi oleh Barat terhadap negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin inilah yang menjadikan kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk kesadaran akan pentingnya suatu identitas baru (nasionalisme) yang dapat digunakan sebagai alat pada gilirannya membangkitkan semangat untuk melakukan perlawanan.
Semangat perlawanan terhadap Barat justru dilakukan dengan mengguanakn ide-ide yang lahir dan berkembang di Barat: Nasionalisme.
Dari sini mulai disadari bahwa nasionalisme merupakan suatu gerakan perjuangan rakyat yang modern dan berperan penting dalam membangun suatu kekuatan bangsa melawan kolonialisme bangsa Eropa, sekaligus dalam rangka mendirikan suatu negara dan pemerintahannya. Nasionalisme yang sama dengan Barat yang menganjurkan adaranya suatu identitas baru yang menegaskan ikatan nonreligius dan nonetnis.
Di sinilah kemudian terjadi persinggungan antara Islam dan konsep nasionalisme. Studi tentang hal ini menunjukkan bahwa hubungan Islam dan
20 Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2003), h. 166
21Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayat dalam Persiapan UUD 1945, h. 224