BAB II:WAKAF DAN PERLINDUNGAN HUKUM
5. Keabsahan Tanah Wakaf
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Yuridis adalah secara hukum, menurut hukum. Sedangkan Legalitas berarti perihal
12 “UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.”
(keadaan) sah atau keabsahan.13 Maka yuridis memiliki arti tentang hukum- hukum atau aturan yang berlaku di suatu negara. Sedangkan legalitas memiliki arti tentang keberadaan suatu hal atau suatu benda yang diakui selama ada kententuan yang mengatur atau ketetentuan yang tidak mengatur secara resmi.
Berbicara mengenai legalitas, kata legalitas ini cenderung identik dengan hal-hal yang berbau resmi. Seperti halnya asas legalitas dalam hukum pidana yang memiliki arti bahwa intinya tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, kecuali ada peraturan yang membolehkannya dijatuhkan hukuman sebelum perbuatan itu dilakukan, hal ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 1 ayat (1).14
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwasanya yuridis legalitas tanah wakaf merupakan suatu bentuk keabsahan dari keberadaaan suatu tanah wakaf berdasarkan aturan yang telah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia. Legalitas ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui tentang status sesuatu dengan memertimbangkan dan mengalisa hal-hal tertentu, seperti keabsahan tanah wakaf.
Harta benda wakaf merupakan harta benda yang terlepas dari kepemilikan pribadi, badan hukum maupun organisasi sejak benda tersebut diikrarkan. Yang mana benda tersebut menjadi Hak Allah dan manfaat dari
13 https://kbbi.kemdikbud.go.id/ diakses pada tanggal 30 April 2022 pada Pukul 9.20 WIB.
14 Suyanto, Pengantar Hukum Pidana (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018), 23.
benda tersebut menjadi milik penerima wakaf. Maka dari itu wakaf menjadi suatu amanat Allah SWT yang harus diurus, dikelola dan di lindungi oleh manusia.15
Tanah yang berada di Indonesia, baik berupa tanah wakaf, tanah pribadi maupun jenis tanah yang lainnya tidak semata-mata dibiarkan terlantar begitu saja. Tanah tersebut juga dilindungi baik oleh Undang- Undang atau peraturan-peraturan kepemilikan yang sah. Selain berkaitan tentang perwakafan, keabsahan pertanahan merupakan pernyataan dalam hak milik. Sesuai dengan pasal 28 H yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh hak pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang- wenang oleh orang lain, termasuk hak milik atas tanah merupakan hak asasi bagi setiap orang.16
Pada dasarnya keabsahan hak atas tanah tidak hanya terbatas pada wakaf saja, secara umum keabsahan hak atas tanah diatur di dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) termasuk hak milik, hak guna usaha dan hak guna pakai.17 Di dalam UUPA kepemilikan hak atas tanah di atur dalam Pasal 20 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) yang menyatakan bahwa hak milik merupakan hak yang turun temurun yang dapat dipunyai oleh seseorang dan
15 Siah Khoisyi’ah, Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan Perkembangannya Di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 72-74.
16 Hendra Akbar Nugraha, “Pendaftaran Tanah Wakaf Yang Berasal Dari Petuk Pajak Bumi Dengan Peruntukan Sebagai Gedung Peribadatan” 1, No. 1 (2018): 152.
17 Sahnan, Hukum Agraria Indonesia (Malang: Setara Press, 2018), 73.
dapat dipindahkan, beralih dan dialihkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.18
Di dalam Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 menyatakan bahwa pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf. Yang selanjutnya mengenai keabsahan tanah secara resmi akan ditunjukkan bukti tulisan berupa sertifikat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Hal ini sesuai dalam pasal 32 yang berbunyi PPAIW atas nama Nadzir Mendaftarkan Harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Instansi yang berwenang diatas adalah Badan Pertanahan Nasional. Kemudia diperjelas dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2017 yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (7) bahwa Sertifikat Tanah Wakaf adalah Bukti Tanah Wakaf.
Di Indonesia legalitas tanah di atur dalam UU No 5 Tahun 1960 sebagaimana telah diperbarui dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pelaksanaannya dan diperbarui lagi dengan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yang menyatakan secara tegas bahwasanya bukti sah kepemilikan atas tanah adalah sertifikat.
18 Government The Republic Of Indonesia, “Law of Republic of Indonesia Number 5 of 1960 Concerning Basic Regulation for Agrarian Principle (Basic Agrarian Law),” no. 5 (1960): 1–34.
Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka 20 sebagaimana yang di maksud di dalam pasal 19 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak kepemlikian atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik rumah susun, dan hak tanggungan yang sudah dibukukan di dalam buku tanah masing masing.19 Serta dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2017 yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hak atas tanah yang telah di wakafkan hapus sejak tanggal ikrar wakaf dan statusnya menjadi benda wakaf.20
Tanah wakaf haruslah memiliki sertifikat sebagai bukti untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Kekuatan hukum sertifikat menduduki peranan penting dalam penyelesaian persengketaan di kemudian hari. Sertifikat merupakan bukti tertulis yang dinilai otentik dan sah menurut hukum.
Dalam buku Siah Kosyi’ah yang berjudul “Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya Di Indonesia” menyatakan bahwa Absahnya dan tetapnya suatu harta benda wakaf adalah dengan telah didaftarkan dan dicatatkannya wakaf dalam sertifikat tanah milik yang diwakafkan. Dengan melakukan penyertifikasian tersebut maka tanah atau
19 Richard Eddy, Aspek Legal Properti, Teori, Contoh Dan Aplikasi (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), 25.
20 BPN RI, “Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf Di Kementrian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.”
benda lainnya telah memiliki bukti yang kuat. Dengan begitu, tetapnya harta benda wakaf bisa dipertanggungjawabkan, baik secara individu maupun legal formal.21
Akan tetapi sertifikat bukanlah bukti yang mutlak, ketidakmutlakan tersebut dipengaruhi oleh asaz kebenaran dan asaz keadilan,22 artinya sertifikat akan menjadi bukti yang mutlak apabila di dalamnya terdapat unsur kebenaran dan sesuai dengan azas keadilan.
Dari beberapa uraian diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keabsahan suatu tanah wakaf di Indonesia dilihat dari ada atau tidaknya sertifikat tanah wakaf. Urgensi sertifikat memiliki kedudukan sebagai jaminan hukum dan kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap tanah. Sertifikat merupakan bukti yang sah dan otentik menurut hukum. Jadi tanah wakaf dianggap legal apabila telah memiliki sertifikat dan terdaftar di BPN setempat.
Sedangkan keabsahan status tukar guling tanah wakaf disebutkan dalam pasal 40-41 UU No. 41 Tahun 2004 bahwa harta benda wakaf yang telah diwakafkan tidak boleh ditukar, kecuali apabila harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum dan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan peraturan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan kententuan syariah.23 Diperjelas dalam pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
21 Khoisyi’ah, Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan Perkembangannya Di Indonesia, 124.
22 Khoisyi’ah, 26.
23 “UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.”
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam pasal Pasal 49 ayat (4) point a24 yang menyatakan bahwa perubahan status harta benda Wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan persetujuan BWI. Kemudian Menteri menerbitkan Izin tertulis apabila harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali terjadi pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya sebuah persoalan atau persengketaan. Hal tersebut tidak dapat dihindari, karena hidup bermasyarakat juga membutuhkan adaptasi yang begitu mendalam. Secara umum hambatan yang dialami oleh masyarakat dalam melakukan perwakafan adalah pendaftaran sertifikat perwakafan.25
Sesuai dengan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Legalitas tidak hanya terbatas pada Akta Ikrar Wakaf saja, akan tetapi dilanjutkan dengan pembuatan sertifikat di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN).26 Menurut jurnal Faisal yang berjudul “Akibat Hukum Ketiadaan Akta Ikrar Wakaf Atas Perwakafan Tanah” mengungkapkan bahwa apabila tanah wakaf telah memiliki sertifikat, maka akan mendapatkan kepastian hukum atas harta yang diwakafkan, memberikan
24 Kemenkumham, “PERMEN RI No. 25 Tahun 2018; Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 - 2004 Tentang Wakaf.”
25 Faisal Faisal, “Akibat Hukum Ketiadaan Akta Ikrar Wakaf Atas Perwakafan Tanah,” De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 2 (2018): 150, Https://Doi.Org/10.30596/Dll.V3i2.3154.
26 Faisal, 151.
rasa aman bagi orang yang mewakafkan bahwa proses pelaksanaan wakaf telah sesuai dengan aturan syariah dan perundang-undangan, benda wakaf terjaga dan manfaat dari benda tersebut sesuai sasaran, serta mengantisipasi terjadinya sengketa di kemudian hari.27 Sehingga, tanah yang tidak memiliki legalitas tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum, maka tanah dapat ditarik sewaktu-waktu oleh pihak yang berwenang.
Beberapa dampak negatif apabila tidak memiliki sertifikat tanah wakaf yang disebutkan oleh Petrus GSinaga, dalam jurnalnya yang berjudul
“Sertifikat Hak Atas Tanah Dan Implikasi Terhadap Kepastian Kepemilikan Tanah” adalah sebagai berikut:
a) Tidak memiliki kepastian hukum dan perlindungan hukum;
b) Tidak memiliki bukti otentik dan tertulis;
c) Berpotensi menimbulkan sengketa;
d) Dapat menimbulkan pemalsuan sertifikat;
e) Produk hukum yang salah akibat kelalaian, dsb.28