• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV EKONOMI DAN KEADILAN

H. Robert Nozick dan Keadilan Distributif

I. Keadilan Ekonomis

Keadilan ekonomis ini memegang peranan penting dalam konteks ekonomi dan bisnis. Itu karena menyangkut barang yang diincar banyak orang untuk dimiliki atau dipakai, ditandai dengan perhatian besar terhadap keadilan beserta relasi-relasi ekonomis, serta dipandang dalam perpektif sejarah.

Sejarawan berkebangsaan Kanada, C.B Macl Pherson, berpendapat bahwa pengertian keadilan ekonomi mengalami gerak pasang surut yang cukup mencolok dalam sejarah.

Pada zaman kuno, keadilan ekonomis diberikan tempat yang penting, khususnya pada Aristoteles. Pemikiran ini dilanjutkan dalam masyarakat dan abad ekonomis yang dianggap sebagai sesuatu yang harus diusahakan, karena tidak timbul dengan otomatis, dan akan dianggap (Seperti

47 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

keadilan pada umumnya) sebagai suatui nilai yang etis.

Pada zaman modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi pada pertengahan abad ke-19, dan berperan penting dalam demokrasi-demokrasi parlementer abad ke-20.

Keadilan ekonomis paling tidak bisa dipahami sebagai sebuah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Ini lantas berarti bahwa keadilan dalam bidang ekonomi adalah perlakuan yang adil bagi setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada.

John Rawls dalam karyanya yang monumental, menegaskan bahwa keadilan merupakan keutamaan khas untuk lembaga-lembaga sosial, serta menjadi ciri khas sebuah teori. Berdasar pendapat Rawls ini, Bertens (2000) sampai pada kesimpulan bahwa para founding fathers Republik Indonesia memaksudkan hal yang serupa ketika mereka berbicara tentang masyarakat yang adil dan makmur. Masyarakat yang makmur sekalipun belum diatur dengan baik kalau tidak ditandai keadilan. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa keadilan hanya merupakan sesuatu ciri sosial saja atau bahwa hanya masyarakat (Institusi sosial) bisa disebut adil dalam arti yang sesungguhnya.

Keadilan, simpul Bertens, harus berperan pada tahap sosial maupun individual. Juga dalam konteks ekonomi dan bisnis. keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat tetapi keadilan merupakan juga keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis secara pribadi. Dan dalam konteks ekonomi dan bisnis salah satu nilai norma terpenting adalah keadilan.

49

BAB V

KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN

A. Pengantar

Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah suatu yang sepatutnya diberikan. Jika mengacu pada pendapat seorang filosof ternama, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan demikian dikenal dengan sebutan “teori korelasi,” di mana setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain. Demikian sebaliknya, setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut.

Terkait dengan karyawan, setiap perusahaan pasti membutuhkannya sebagai tenaga yang menjalankan setiap aktivitas yang ada dalam organisasi perusahaan. Karyawan merupakan aset terpenting yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kesuksesan sebuah perusahaan. Tanpa mesin canggih, perusahaan dapat terus beroperasi secara manual, akan tetapi tanpa karyawan, perusahaan tidak akan dapat berjalan sama sekali.

Meskipun kata karyawan sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan kita sandang sebagai gelar kebanggaan kita, akan tetapi tidak sedikit diantara kita yang tidak mengetahui definisi ataupun pengertian karyawan yang sebenarnya. Lantas, apa sih sebenarnya karyawan itu? Ada berapa jenis kah karyawan yang ada di perusahaan?

Jika diartikan secara sederhana, karyawan dapat diartikan sebagai setiap orang yang memberikan jasa kepada perusahaan ataupun organisasi yang membutuhkan jasa tenaga kerja, yang mana dari jasa tersebut, karyawan akan mendapatkan balas jasa berupa gaji dan kompensasi- kompensasi lainnya. Selain pengertian di atas, ada banyak sekali pengertian kata karyawan yang telah disampaikan oleh para ahli.

Menurut Subri (2002), karyawan merupakan setiap penduduk yang masuk ke dalam usia kerja (berusia di rentang 15 hingga 64 tahun), atau jumlah total seluruh penduduk yang ada pada sebuah negara yang memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan akan tenaga yang mereka produksi, dan jika mereka mau berkecimpung / berpartisipasi dalam aktivitas itu. Selanjutnya Hasibuan (2002) menyatakan bahwa karyawan adalah setiap orang yang menyediakan jasa (baik dalam bentuk pikiran maupun dalam bentuk tenaga) dan mendapatkan balas jasa ataupun kompensasi yang besarannya telah ditentukan terlebih dahulu.

Jika dikelompokkan berdasarkan statusnya, karyawan dalam perusahaan dapat dibagi menjadi dua jenis kelompok karyawan yaitu karyawan tetap dan karyawan tidak tetap.

Karyawan tetap merupakan karyawan yang telah memiliki kontrak ataupun perjanjian kerja dengan perusahaan dalam jangka waktu yang tidak ditetapkan (permanent). Karyawan

51 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

tetap biasanya cenderung memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karyawan tidak tetap. Selain itu, karyawan tetap juga cenderung jauh lebih aman (dalam hal kepastian lapangan pekerjaan) dibandingkan dengan karyawan tidak tetap.

Selanjutnya karyawan tidak tetap, yaitu karyawan yang hanya dipekerjakan ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja tambahan saja. Karyawan tidak tetap biasanya dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh perusahaan ketika perusahaan sudah tidak membutuhkan tenaga tambahan lagi. Jika dibandingkan dengan karyawan tetap, karyawan tidak tetap cenderung memiliki hak yang jauh lebih sedikit dan juga cenderung sedikit tidak aman (dalam hal kepastian lapangan pekerjaan).

B. Kewajiban Karyawan

Menurut Bertens (2000) paling tidak ada 3 kewajiban karyawan. Pertama ketaatan. Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Selain itu karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Selanjutnya karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.

Kedua, kewajiban konfidensialitas. Kewajiban ini adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial dan kareana itu rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Konfidensialitas berasal

dari kata Latin confidere yang berarti mempercayai. Dalam konteks perusahaan, konfidensialitas memegang peranan penting. Itu karena seseorang yang sudah bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja mempunyai akses terhadap aneka informasi rahasia perusahaannya. Oleh karena itu, yang bersangkutan harus menyimpan rahasia perusahaan, dengan alasan etika mendasari kewajiban ini; yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka rahasia itu berarti sama saja dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada barang fisik saja, tetapi meliputi juga ide, pikiran, atau temuan seseorang. Dengan kata lain, disamping milik fisik terdapat juga milik intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan adalah intellectual property rights dari perusahaan. Alasan kedua adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas.

Ketiga, kewajiban loyalitas. Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan.

Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan.

Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersain dengan kepentingan perusahaan. Karena bahay konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis pekerjaan

53 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

tidak boleh dirangkap. Dalam konteks ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi/hadiah selaku karyawan perusahaan.

Jika disesuaikan dengan konteks sekarang, maka komisi berkaitan erat dengan “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).” Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar tergantung dari sikap yang diambil perusahaan bersangkutan.

Begitupun tantang hadiah yang diberikan oleh perusahaan/

intansi lain kepada karyawan waktu menjalankan tugasnya.

Hal itu dimaksudakan untuk mempengaruhi karyawan tersebut. Jalan keluarnya pun dengan membuat peraturan yang jelas dalam kode etik perusahaan/dengan cara lain.

Selain memiliki kewajiban sebagaimana telah diuraikan, karyawan juga memiliki hak. Hak karyawan ini tercantum dalam kontrak kerja, di mana ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahaukan satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan perusahaan. Kewajiban loyalitas memang tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja.

C. Melaporkan Perusahaan

Terkait dengan perusahaan, ada istilah cukup terkenal yaitu whistle blowing. Tindakan ini adalah menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau perusahaan. Terkait dengan etika bisnis, maka whistle blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal. Whistle blowing internal ini dimaknai sebagai pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal dimaknai

sebagai pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.

Pelaporan kesalahan perusahaan itu, dinilai dengan cara yang sangat berbeda. Di satu pihak seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Tetapi di sisi lain, ia bisa disebut sebagai penghianat, karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan.

Dari sudut pandang etika, jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas. Kalau memang diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam bidang kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih mendesak. Dengan demikian, terkadang ada kewajiban untuk melaporkan suatu kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit sekali untuk memastikan kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi. Pada kenyataannya hati nurani si pelapor harus memutuskan hal itu, setelah mempertimbangkan semua faktor terkait.

Menurut Bertens (2000), pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila memenuhi syarat berikut:

1. Kesalahan perussahaan harus besar. Jika terdapat fenomena ini maka pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar.

2. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.

3. Penyelesaiaan masalah secara internal harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum kesalahan

55 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

perusahaan dibawa ke luar. Selain itu juga harus ada kemungkinan nyata bahwa pelaporan kesalahan akan sukses.

Adanya whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan mempunyai kebijakan etika yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu terjadi.

D. Kewajiban Perusahaan

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang apa saja etika dan kewajiban karyawan. Selanjutnya pada bagian ini akan diuraikan apa saja yang menjadi kewajiban perusahaan untuk tidak diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas dan untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Kewajiban perusahaan biasanya sepadan dengan hak karyawan.

Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi.

Diskriminasi adalah masalah etis yang baru nampak dengan jelas dalam paro kedua dari abad ke-20. Biasanya mengenai warna kulit dan gender (jenis kelamin). Di Indonesia diskriminasi timbul berhubungan dengan status asli/tidak asli, pribumi/non-pribumi, dari para warga negara dan agama.

Diskriminasi dalam konteks perusahaan. Istilah diskriminasi berasal dari bahas Latin “discernee” yang berarti membedakan, memisahkan, memilah. Dalam konteks perusahaan diskriminasi dimaksudkan membedakan antara pelbagai karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dari prasangka. Membedakan antara karyawan tentu sering

terjadi karena alasan yang sah. Dalam menerima karyawan baru, perusahaan sering menentukan syarat seperti mempunyai pengalaman kerja sekian tahun, memiliki ijazah S-1 (malah bisa ditambah dengan IPK minimal 2,75), menguasai Bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis dan sebagainya. Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus akhir tahun karena lebih berprestasi daripada karyawan lainnya.

Selanjutnya, ada juga karyawan yang diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan tidak relevan.

Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhadap ras, agama atau jenis kelamin bersangkutan.

Dengan kata lain, latar belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme/seksisme. Berikut ini terdapat beberapa argumentasi melawan diskriminasi, yaitu:

1. Pihak utilitarisme menyatakan bahwa diskriminasi merugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalm rangka pasar bebas, menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan memperhatikan faktor-faktor lain selain kualitas karyawan ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Karena itu perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.

2. Deontologi berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang didikriminasi.

Berarti tidak menghormati martabat manusia yang merupakan suatu pelanggaran etika yang berat.

57 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

3. Teori keadilan berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan dengan keadilan, khususnya keadilan distributif/keadilan membagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Pikiran itu sudah dikenal sebagai prinsip moral keadilan distributif.

Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial / budaya dalam masyarakat. Karena keterkaitan dengan faktor sejarah dan sosio-budaya ini, masalah diskriminasi tidak bisa ditangani dengan pendekatan hitam putih. Artinya tergantung dengan tempatnya sehingga bersifat relativitas. Dalam konteks perusahaan, favoritisme dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus, dan lain-lain. Seperti diskriminasi, favoritisme pun memperlukan orang dengan cara tidak sama, tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak terjadi karena prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif (mengutamakan orang-orang tertentu).

Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutamakan karyawan yang berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dll. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang etika. Dengan itu pula lebih mudah dihindari nepotisme, yang bertentangan dengan keadilan distributif. Tetapi sulit untuk ditentukan pada saat mana favoritisme pasti melewati ambang toleransi etika.

Untuk menanggulangi akibat diskriminasi, sudah saatnya dipakai affirmative action atau “aksi afirmatif”. Melalui aksi

ini orang mencoba mengatasi / mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya di diskriminasi.

Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja. Beberapa aspek keselamatan kerja. Keselamatan kerja dapat terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja itu aman kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati.

Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan / penyakit.

Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).

Sedangkan di Amerika Serikat didirikan Occupational Safety and Health Administration (OSHA), yang mengawasi pelaksanaan UU dengan tujuan “to assure as far as possible every working man and woman in the nation safe and healthful working conditions.”

Terkait dengan perlindungan karyawan, terdapat tiga dasar etika, yaitu (1) The right of survival (hak untuk hidup);

(2) Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka; (3) Kewajiban etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat.

Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan beresiko. Si pekerja sendiri harus mengambil resiko dengan sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguh-sungguh bebas dalam hal ini, perlu beberapa syarat : (1) Harus tersedia pekerjaan alternatif; (2) Diberi informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya

59 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

sebelum si pekerja mulai bekerja; (3) Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin.

Selanjutnya terdapat dua masalah khusus, kaitannya pekerja dengan kewajiban perusahaan. Si pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi tentang risiko bagi pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang lebih tinggi) dan resiko bagi keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih rendah. Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan, terkadang secara tidak langsung terlihat memaksakan kepada para pekerja jika didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari pekerjaan lain menjadi sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki alternatif lain dan akhirnya bertahan dengan resiko yang tidak kecil.

Kewajiban memberi gaji yang adil. Motivasi seseorang untuk bekerja tidak lepas dari untuk mengembangkan diri, memberi sumbangsih yang berguna bagi pembangunan masyarakat namun yang sangat penting adalah untuk memperoleh upah atau gaji. Namun dalam gerakan sosial zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok perjuangan yang utama.

Menurut keadilan distributive. Gaji / upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan distributif. Di kebanyakan negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperan. Prinsip pertama adalah bagian yang sama.

Supaya adil, gaji semua karyawan memang tidak perlu

sama, tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu besar.

Jelas pemerataan pendapatan adalah tuntutan etis yang berkaitan dengan prinsip ini. Prinsip-prinsip hak, usaha dan kontribusi kepada masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia masalah gaji yang adil disinggung juga. Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take home pay saja. Fasilitas khusus seperti rumah, kendaraan, bantuan beras dll harus dipandang sebagai imbalan kerja. Lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun dll. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitas-fasilitas lain.

Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski agar gaji / upah bisa adil :

1. Peraturan hukum. Di sini yang paling penting adalah ketentuan hukum tentang upah minimum sebagai salah satu perjuangan sosialisme dalam usahanya memperbaiki nasib kaum buruh. Adanya upah minimum berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah.

2. Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu. Dalam semua sektor industri, gaji / upah tidaklah sama. Karena itu rupanya suatu kriteria yang baik adalah : gaji / upah bisa dinilai adil, jika rata- rata diberika dalam sektor industri bersangkutan asalkan keadaan di sektor itu cukup mantap. Namun gaji yang sama belum tentu menjamin daya beli yang sama. Karena perbedaaan daya beli itu di Indonesia upah minimum ditetapkan sebagau upah minimum regional (UMR).

3. Kemampuan perusahan. Perusahaan kuat yang

61 Dr. Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, M.E.

menghasilkan laba besar, harus memberi gaji yang lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin laba yang kecil saja. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Harus dinilai tidak etis, bila perusahaan mendapat untung besar dengan menekan gaji karyawan.

4. Sifat khusus pekerjaan tertentu. Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalani oleh orang yang mendapat pendidikan/pelatihan khusus, kadang- kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi.

Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.

5. Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan. Kalau pekerjaan tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih ama / mengandung resiko tertentu, maka gaji / upah harus sama. Sehingga berlaku prinsip equal pay for equal work.

6. Perundingan upah / gaji yang fair. Perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara yang ampuh untuk mencapai gaji dan upah yang fair. Tentu saja, perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak perusahaan. Lebih bagus bila perundingan gaji itu dilakukan untuk suatu sektor industri sehingga dihasilkan kesepakatan kerja bersama.

7. Senioritas dan imbalan rahasia. Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari pengalamannya bekerja dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya pada perusahaan, zaman sekarang sudah tidak diperhitungkan lagi. Zaman

modern sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran sama untuk pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan karenanya dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan berkurang. Pembayaran khusus / kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman- teman sekerja pun tidak etis karena tidak mengadakan kontrol sosial dan akan merusak suasana kerja. Jelas, disini berlaku prosedur yang terbuka dan demokratis untuk menjamin mutu etis sebuah sistem.

Selanjutnya, setiap perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Menurut Garret dan Klonoski ada tiga alasan yang lebih konkrit untuk memberhentikan karyawan, yaitu: (1) Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat; (2) Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya;

(3) Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin

Dokumen terkait