Gambar 1. Taksonomi Faktor-faktor yang mendukung masyarakat menyakini Kapalli’ sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat, sumber : dataprimer 2017
Faktor dasar yang mendukung masyarakat menyakini kapalli sebagai kearifan lokal masyarakat selayar yang terdiri atas faktor adat istiadat keyakinan dan pandanag hidup yaitu atas pesan leluhur, maka dari itu harus dijaga dan dipatuhi karena orang tua memiliki tujuan ketika memerintahkan atau melarang sesuatu sangat terkait dengan perbuatan dusta yang merupakan bagian penting dari sederet tindakan yang
Faktor pendukung keyakinan kapalli’
Faktor pendorong Faktor dasar
Adat istiadat Kepercayaan Pandangan
hidup Tokoh Agama Tokoh Adat Tokoh
masyarakat
tergolong kapalli’. Dalam pengertian lain bahwa mereka yakin bahwa pesan leluhur terdahulu tidak mungkin berbohong kerena mereka tau persis bahwa perbuatan bohong atau dusta dapat mengakibatkan bibir atau bagian mulut lain akan bengkak (puru-puruang, Selayar).
Singkatnya, bahwa hal-hal yang terkait dengan kapalli’ dalam kenyataannya memang bervariasi berdasarkan tujuannya. Maksudnya, bahwa ada beberapa di antaranya yang memang terbukti secara empirik dan tentu saja sebagian hanya merupakan alat/cara untuk tujuan tertentu yang maksudnya baik.
Keberadaaan kapalli’ (pantangan) sebagai suatu institusi sekaligus sistem sosial mempunyai fungsi untuk mengatur (mengontrol) dan menentukan perilaku maupun kecenderungan setiap individu dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena proses pemaknaan terhadap nilai pesan kultural tersebut, telah berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama, sehingga tindakan sosial yang telah terpola itu menjadi sebuah sistem sosial yang diyakini bersama (kolektif). Selain itu, adanya persamaan kepercayaan, identifikasi, dan asal-usul, sehingga nilai kapalli’
dapat terintegrasi dalam suatu kelompok.
Dalam hubungannya tindakan sosial, maka Kapalli’ sebagai pesan kultural dalam masyarakat Selayar sekaligus institusi sosial, dalam konteks ini dipahami sebagai fungsi kontrol terhadap tindakan individu. Hal tercermin melalui larangan menghina orang lain termasuk yang miskin atau menertawakan orang cacat fisik, seperti pada ungkapan: ”gele kulle assalla, kapalli’i” (tindak boleh menghina orang
lain, pemali atau pantang). Maksud yang terkandung dalam pesan kultural ini, yakni ajaran leluhur yang tidak dibenarkan tindakan menghina orang lain karena boleh jadi dalam kepercayaan mereka akan ada balasan yang lebih dari itu. Mungkin ini terjadi secara tidak langsung, akan tetapi terbukti pada anak (keturunan) atau cucu yang mengalami nasib serupa.
Implikasi dari pemaknaan terhadap pesan leluhur yang melarang menghina atau menertawakan orang lain tersebut, yakni menimbulkan rasa takut bagi mereka untuk melanggarnya dengan pertimbangan bahwa akan berdampak negatif terhadap keluarganya termasuk keturunan ataupun cucunya. Dalam konteks yang lebih luas lagi, unsur fungsional dari kappalli’ ini akan dihubungkan dengan konsep motivasional dan orientasi nilai.
Contoh larangan (kapalli’), yakni larangan berkeliaran atau mondar-mandir di luar rumah bagi anak-anak menjelang sholat magrib (saat matahari hendak terbenam di ufuk barat). Menurut kepercayaan masyarakat Selayar, bahwa menjelang magrib bukan hanya makhluk sebangsa manusia yang beraktivitas (atau menggunakan jalan raya), akan tetapi bangsa jin atau setan dan jenis makhluk halus lainnya pun beraktivitas pada saat ini. Karena itu, lahirnya larangan untuk berkeliaran dimaksudkan agar tidak diganggu oleh makhluk halus hanya karena kebetulan kita bertabrakan atau menyenggol anak-anak mereka yang dapat menyebabkan mereka murka.
Akibat dari murka mereka dapat menyebabkan anak-anak tak terkecuali orang dewasa, menderita sakit yang biasanya diawali dengan muntah-muntah berwarna kuning (tapi tidak selamanya). Untuk menyebut mereka yang menderita sakit atau muntah-muntah yang disebabkan oleh perbuatan setan ini, dalam bahasa setempat dinamakan Lasampero Setang.
Peran faktor pendorong juga penting dalam menyakini Kapalli’ sebagai kearifan lokal masyarakat selayar . faktor pendorong tersebut adalah tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Kedudukan kapalli’ sebagai pedoman hidup, sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Malahan keduanya bisa saling melengkapi dimana ajaran Islam memuat perintah dan larangan dalam kapalli’ juga mengandung semacam larangan yang tujuannya baik. Jadi, sama-sama berfungsi mengatur kehidupan masyarakat. Malahan jika orang tidak perduli pada sesuatu yang termasuk kapalli’, maka langsung mendapat ganjarannya sehingga orang banyak yang patuh karena takut. Cuma sayang sekali karena generasi sekarang, kurang percaya lagi dan nanti setelah ada yang menimpa dirinya baru percaya Keterangan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua sistem norma yakni tradisi lokal dan Islam dapat saling melengkapi dalam banyak hal terkait dengan kehidupan bermasyarakat. Bahkan ia secara tidak langsung hendak menyampaikan bahwa ”lebih takut” kepada sanksi kapalli’ yang langsung diperoleh ganjarannya daripada ancaman dosa yang selalu dihubungkan dengan hari akhirat (hari kemudian). Selain itu, ia juga telah mengungkapkan wujud keprihatinannya pada implementasi nilai-nilai luhur ini.
Kapalli’ sebagai kearifan lokal masyarakat Selayar tersebut, memang perlu disegarkan kembali dan bahkan setelah ia mati sekalipun harus dihidupkan kembali dalam bentuk renaissance. Betapa tidak, hal-hal yang dalam pandangan banyak orang ini adalah irrasional rupanya memiliki dimensi fungsional terutama sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial. Dengan kata lain bahwa pentingnya meta kognisi mengenai kapalli’ merupakan gerakan kebudayaan berdimensi historis yang perlu dilakukan.
Ely Devons dan Max Gluckman tentang “logika hal irrasional” (David Caplan dan Robert A. Manners, 2002: 165-166). Dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan untuk merasionalkan hal-hal yang irrasional (sebagai penyebab orang tidak percaya kapalli’), maka sangat menarik mengutip pernyataan Menurutnya, bahwa banyak di antara institusi (lembaga, pranata) masyarakat primitif yang kelihatan ganjil dan irrasional di mata pengamat awam. Namun di balik irrasionalitas itu, institusi-institusi tersebut sesungguhnya rasional walaupun partisipannya sendiri tidak menginsyafi rasionalistas itu. Maksud dari pernyataan tersebut, sesungguhnya terkait dengan kencenderungan banyak orang yang memahami hal-hal yang dianggapnya irrasional lalu membenturkannya dengan subsistem ideologi tertentu.
Evans-Pritchard sebagai “tafsir pribumi” (David Caplan dan Robert A.
Manners, 2002) menjelaskan pentingnya untuk memahami suatu produk budaya semisal kapalli’.Dalam kaitannya dengan kecelakaan atau kejadian aneh yang menimpa seseorang, maka kapalli’ dalam konteks ini merupakan representasi teori
atau penjelasan orang Selayar mengenai alasan musibah yang menimpa seseorang pada saat dan waktu tertentu.
Sebagai contoh, seorang yang diajak makan tetapi memilih pergi dan dalam perjalanan ia mati tertimpa pohon yang sedang tumbang. Orang Selayar tahu persis bahwa pohon itu (bukan kapalli’) yang memecahkan kepala si orang tadi. Akan tetapi pertanyaan yang hendak dijawab oleh orang Selayar ini, yakni mengapa orang itu mesti melintas saat pohon akan tumbang?. Teori kapalli’ menjelaskan koinsiden itu dan memberikan jawabannya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa kapalli’ sebagai pesan kultural yang kerap dimaknai sebagai hal yang irrasional, semestinya tetap diberi tempat di tengah- tengah kehidupan masyarakat. Maksudnya, bahwa penekanan intelektualitas atau kognitif dalam menafsir produk budaya ini serta sistem kerpercayaan yang ada padanya tidak bermaksud menggusurnya. Sebaliknya, harus disikapi sebagai bagian integral dari sistem sosial budaya yang berfungsi saling melengkapi dengan unsur- unsur budaya lainnya.
Pendekatan ke arah perasionalan hal-hal yang dianggap irrasional seperti halnya kapalli’, merupakan sebuah strategi kebudayaan yang handal dalam menemukenali serta melestarikan kearifan lokal. Selain itu, dengan meletakkan kacamata ideologi tertentu dan menggantinya dengan kesadaran kultural, maka aspek fungsional sekaligus alat rekayasa sosial dari kapalli’ dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
A. Kesimpulan
1. Kappali’ sebagai kearifan lokal masyarakat selayar khususnya Kecamatan Pasimasunggu Timur yaitu berupa pesan leluhur yang dijaga dan dipatuhi. Proses kelahiran kapalli’ ini bersumber dari keyakinan kukuh dan pesan leluhur yang dipercaya sebagai sesuatu yang pernah terjadi dimasa lampau (Pappasang tau riolo) meskipun tidak dapat dipastikan kapan persis kelahirannya namun yang
pasti bahwa generasi masyarakat Selayar khususnya di Kecamatan Pasimasunggu Timur tetap percaya dan meyakini bahwa kejujuran (Orang dulu) menghapus keraguan mereka atas sesuatu terkait pesan leluhur (Pappasang), meskipun sebagian masyarakat khususnya masyarakat Modern masih ragu bahkan tidak percaya akan kebenran kapalli’. selain itu Kapalli’ sebagai kearifan lokal masyarakat Selayar tersebut, memang perlu dihidupkan kembali dalam bentuk renaissance. Betapa tidak, hal-hal yang dalam pandangan banyak orang ini adalah irrasional rupanya memiliki dimensi fungsional terutama sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial. Dengan kata lain bahwa pentingnya meta kognisi mengenai kapalli’ merupakan gerakan kebudayaan berdimensi historis yang perlu dilakukan.
2. Kapalli’ atau pesan leluhur dalam masyrakat modern ini, setlah dilakukan observasi dan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yaitu kapalli’ masih dipercayai sebagai hal yang sakral sifatnya sehingga orang harus hati-hati dalam bertindak, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa diantara rasa percaya dan tidak percaya akan kebenaran kapalli’ ini terkadang kondisi atau faktanya terbentang di depan mata, sehingga kapalli’ masih dianggap sebagai sesuatu yang sakral dalam masyarakat modern.
meyakini kapalli’ dimana faktor dasar meliputi adat istiadat, kepercayaan, dan pandangan hidup. Sedangkan faktor pendukung meliputi tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Serta hal ini terjadi proses pemaknaan nilai pesan kultural kapalli’ telah berlangsung dalam interval waktu yang cukup lama sehingga tindakan sosial yang telah terpola itu menjadi itu menjadi sebuah sistem sosial yang diyakini bersama, selain itu adanya persamaan keyakinan, identifikasi, dan asal-usul, sehingga nilai kapalli’ dapat terintegrasi dalam suatu masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada Masyarakat
Kapalli’ merupakan salah satu produk budaya yang memeiliki nilai fungsi yang baik bagi kehidupan, kiranya pesan kulutral ini dapat dijaga dan dilestarikan dan diberi ruang di masyarakat di tengah arus modernisasi agar menjadi salah satu alat kontrol sosial di masyarakat.
2. Kepada Peneliti
Kepada peneliti berikutnya, yang akan mengkaji rumusan yang serupa diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan mengkaji lebih dalam lagi tentang “Realitas Kultural Kapalli’ sebagai Kearifan